Anda di halaman 1dari 18

Pendekatan Klinis pada Pasien dengan Peripheral Artery Disease

Dicky Kurniawan
102015090 / C3
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Email: dicky.2015fk090@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Peripheral Artery Disease (PAD) adalah suatu keadaan klinis dimana terjadi peradangan
pada pembuluh darah akibat terbentuknya plak aterosklerotik. Plak ini adalah suatu lesi yang
menonjol di dalam pembuluh darah dan tersusun oleh lemak, sel fibroblas, sel otot polos, dan
berbagai substansi lainnnya. Terbentuknya plak ini disebabkan oleh berbagai faktor risiko
seperti hiperkolesterolemia, diabetes, hipertensi, dan sebagainya. Terbentuknya pak ini akan
menyebabkan aliran darah ke daerah perifer distal dari oklusi tersebut mengalami penurunan.
Hal ini akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara kebutuhan suplai darah dan
distribusi darah. Hal yang akan terjadi adalah iskemia dari organ. LEAD, yaitu penyakit
pembuluh darah arteri di ekstremitas bawah, bermanifestasi klinis klaudikasi intermiten.
Gejala klinis ini ditandai dengan 5P, yaitu pallor, pain, pulselessness, paresthesia, dan
paralysis. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis adalah
dengan melakukan duplex ultrasonografi, ataupun arteriografi. Pengobatan yang dilanjutkan
adalah dengan menggunakan pengencer darah seperti aspirin, ataupun dengan obat yang
dapat menurunkan faktor risiko seperti statin untuk hiperkolesterolemia, dan sebagainya.
Terapi lain yang dapat digunakan adalah dengan latihan yang dinilai mampu meningkatkan
jarak jalan maksimal dari tungkai yang bersangkutan. Pencegahan dilakukan dengan
menurunkan faktor risiko seperti berhenti merokok, menjaga pola makan, berolahraga teratur,
dan sebagainya.
Kata Kunci: PAD, LEAD, klaudikasi inermiten, hiperkolesterolemia

Abstract

Peripheral Artery Disease (PAD) is a condition in which the clinical inflammation in blood
vessels due to the formation of atherosclerotic plaque. This plaque is a prominent lesions in
the blood vessels and consisted of fat cells, smooth muscle cells, fibroblasts, and various
other substances. The formation of plaque is caused by a variety of risk factors such as
hypertension, diabetes, hypercholesterolemia, and so on. The formation of this plaque will
cause blood flow to the peripheral area of distal occlusion of that decline. This will cause the
occurrence of an imbalance between the needs of blood supply and distribution of blood. The
thing that will happen is ischemia of the organ. Lead, i.e. a disease in the arteries of lower
extremities, claudicasio intermittent manifests. Clinical symptom is characterized by 5 p, i.e.,
pain, pallor pulselessness, paresthesia, and paralysis. Complementary examination is needed
to enforce a diagnosis is to do duplex ultrasonography or Arteriography. The next treatment
is to use blood thinners such as aspirin, or with drugs that can lower the risk factors such as
Statins for hypercholesterolemia, and so on. Other therapies that can be used is to exercise
that assessed was able to increase the distance of maximum path of limbs are concerned.
Prevention is done by lowering risk factors such as smoking cessation, keeping the diet,
exercising regularly, and so on
Keyword: PAD, LEAD, claudicasio intermitten, hypercholesterolemia
Pendahuluan
Kehidupan manusia adalah kehidupan yang kompleks dimana banyak faktor yang
dapat mempengaruhi kehidupan itu sendiri. Salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan
manusia adalah faktor dari tubuh manusia itu sendiri. seperti yang telah kita ketahui, tubuh
manusia tersusun dari bermilyar-milyar sel yang memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda-
beda.1-3 Semua sel-sel itu akan menyusun suatu bentuk yang lebih kompleks yang dinamakan
sebagai sebuah jaringan.4 Semua jaringan itu akan membentuk suatu organ, yang pada
akhirnya semua organ itu akan saling berkolaborasi dalam suatu sistem yang sangat teliti dan
terampil dalam menjalankan proses kehidupan.4,5
Homeostasis adalah suatu istilah yang merupakan keadaan stasis dan seimbang
dimana keadaan inilah yang dapat dianggap sebagai patokan dalam menentukan apakah
seseorang dapat dikatakan sehat dan tidak. Keadaan seimbang ini dicapai dengan cara
mengkolaborasikan berbagai jenis sistem organ yang kompleks dalam tubuh manusia yang
menunjang kehidupan manusia yang bersangkutan.1-3
Sesuai dengan pengertian homeostasis pada umumnya, tentunya terdapat berbagai
faktor yang dapat mengganggu homeostasis itu sendiri, baik yang berasal dari dalam atau luar
tubuh. Salah satu seperti yang disebutkan dalam skenario adalah keluhan nyeri pada tungkai
sejak 1 minggu yang lalu Oleh karena itu, diperlukan suatu intervensi medik dalam rangka
mengembalikan keadaan tersebut ke keadaan semula, yang dalam hal ini adalah
menghilangkan nyeri tersebut.
Berdasarkan skenario, yaitu seorang laki-laki berusia 71 tahun, pensiunan, datang ke
poliklinik dengan keluhan nyeri pada tungkai yang semakin memburuk sejak 1 minggu yang
lalu. Untuk dapat mendiagnosis sesuai dengan skenario, maka terdapat beberapa hal yang
harus diperhatikan, yaitu anamnesis yang baik, dimana anamnesis akan memberikan data-
data yang diperlukan mengenai penyakit tersebut. Kemudian dari hasil anamnesis tersebut
kita dapat memperkirakan penyakit yang diderita pasien. Informasi yang dapat diambil tidak
hanya dari pembicaraan secara verbal saja, namun dapat pula diambil dari aspek nonverbal,
seperti gaya bicara pasien, mimic wajah, dan sebagainya.6-7 Kemudian akan dilakukan
berbagai pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang apabila perlu yang akan membantu
memastikan diagnosis penyakit yang diderita tersebut. Oleh karena itu, penulis akan
membahas lebih dalam lagi mengenai berbagai langkah-langkah diagnosis penyakit sesuai
dengan skenario dan berbagai hal terkait.
Anamnesis
Mengumpulkan data-data dalam anamnesis biasanya ialah hal yang pertama dan sering
merupakan hal yang terpenting dari interaksi dokter dengan pasien. Dokter mengumpulkan
banyak data yang menjadi dasar dari diagnosis, dokter belajar tentang pasien sebagai manusia
dan bagaimana mereka telah mengalami gejala-gejala dan penyakit, serta mulai membina
suatu hubungan saling percaya. Anamnesis dapat diperoleh sendiri (auto-anamnesis) dan atau
pengantarnya disebut allo-anamnesis.
Ada beberapa cara untuk mencapai sasaran ini. Cobalah untuk memberikan lingkungan
yang bersifat pribadi, tenang, dan bebas dari gangguan. Dokter berada pada tempat yang
dapat diterima oleh pasien, dan pastikan bahwa pasien dalam keadaan nyaman.
Dengan anamnesis yang baik dokter dapat memperkirakan penyakit yang diderita pasien.
Anamnesis yang baik harus lengkap, rinci, dan akurat sehingga dokter bukan saja dapat
mengenali organ atau sistem apa yang terserang penyakit, tetapi kelainan yang terjadi dan
penyebabnya.
Anamnesis dilakukan dan dicatat secara sistematis. Ia harus mencakup semua hal yang
diperkirakan dapat membantu untuk menegakkan diagnosis. Ada beberapa point penting yang
perlu ditanyakan pada saat anamnesis, antara lain:
1. Identitas Pasien : Nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, alamat,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan agama.
2. Keluhan Utama: Pasien laki-laki berusia 71 tahun dengan keluhan nyeri pada tungkai
yang memburuk sejak 1 minggu yang lalu.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
- Waktu dan lama keluhan berlangsung: muncul sejak satu minggu yang lalu. Nyeri
dirasakan lebih berat pada tungkai sebelah kanan daripada kiri. Durasi nyeri 20-30
menit. Onset nyeri sejak 3 bulan yang lalu.
- Faktor yang memperberat/memperingan: memburuk saat berjalan kaki yang jauh,
membaik setelah istirahat.
- Keluhan penyerta: parestesi, kram, kelemahan pada tungkai, perubahan warna tungkai
dan kaki: tampak lebih pucat, bengkak dan luka pada tungkai.
4. Riwayat Penyakit Dahulu : mantan perokok berat selama 40 tahun, hipertensi, DM,
obesitas, hiperkolesterolemia, penyakit jantung, stroke, dll)
5. Riwayat Penyakit Keluarga
- Menanyakan apakah ada keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan yang
dialami oleh pasien.
- Menanyakan apakah saudara pasien ada yang memiliki gejala sama dan perlu terapi?
6. Riwayat Sosial dan Pribadi
- Tidak ada
7. Riwayat Penggunaan Obat-Obatan

Secara ringkas hasil anamnesis yang didapatkan sebagai berikut. Seorang laki-laki
berusia 71 tahun datang dengan keluhan nyeri pada tungkai yang memburuk sejak 1 minggu
yang lalu. Nyeri lebih pada tungkai kanan, memburuk saat berjalan, dan membaik saat
beristirahat. Keluhan yang dirasakan disertai dengan kram, parestesia, dan kelemahan kaki.
Pasien memiliki riwayat sindrom metabolik, penyakit jantung, dan stroke.

Pemeriksaan Fisik
Hasil dari pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut. Tingkat kesadaran pasien adalah
kompos mentis dengan keadaan umum sakit ringan. TTV dalam batas normal. Pada status
lokalis didapatkan pembengkakan pada tungkai, warna tungkai kanan lebih pucat dari sebelah
kiri, pulsasi kanan lebih kecil daripada kiri, suhu kanan lebih dingin dari kiri. Tidak terdapat
lesi. Hasil pemeriksaan ABI 0,7.

Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan adalah ABI, duplex
ultrasonography, uji treadmill, CT angiografi, dan MR angiografi.

Diagnosis Kerja
Diagnosis kerja yang paling tepat untuk kasus ini adalah Peripheral Arterial Disease
Diagnosis Banding
Kelainan Gejala Klinis Investigasi Banding

Tromboangitis Obliterans Gejala nyeri karena iskemia Arteriography


pada ujung ekstremitas atas menunjukkan adanya
dan bawah, disertai adanya corkscrew collateral.
gangrene karena adanya
inflamasi pada arteri atau
vena. Berkaitan erat dengan
penggunaan rokok menahun
dan kelainan genetik. Dapat
disertai dengan
tromboflebitis superfisial.
Insufisiensi Vena Kronik Kelemahan pada kaki, USG, phlebografi.
bengkak, gatal, dan kram
pada kaki.
Tromboflebitis Superfisial Trombosis pada vena Protein C dan S
superfisial pada tungkai insufisiensi, defisiensi
menyebabkan terjadinya antitrombin III, CT
peradangan dan venography, duplex
pembengkakan pada vena ultrasonography
tungkai serta tungkai itu
sendiri.
Deep Vein Thrombosis Nyeri pada tungkai, edema D-dimer test, test
pada tungkai, bengkak, koagulabilitas.
teraba hangat dan
kemerahan, serta
berkomplikasi pada emboli
pulmonal. Homan sign
positif.

Anatomi Ekstremitas Bawah


Gambar 1. Ekstremitas Inferior6

Ekstremitas inferior merupakan salah satu bagian pada tubuh manusia. Beberapa
organ akan dibahas kemudian. Ekstremitas bawah disusun oleh beberapa organ, yaitu, otot,
saraf, tulang, jaringan ikat, pembuluh darah, pembuluh limfe, dan sebagainya. Beberapa yang
akan dibahas lebih spesifik adalah pembuluh darah, tulang, otot, dan saraf.6-8
Otot yang terdapat pada ekstremitas inferior adalah sebagai berikut. Pada regio
femoral, terdapat beberapa otot, yaitu M. quadratus femoris yang berfungsi sebagai
ekstensor, kemudian dibagian posterior regio femoralis, terdapat beberapa otot, yaitu M.
biceps femoris caput longum et brevis, M. semitendinosus, M. semimembranosus. Di sisi
medial terdapat M. gracilis. Di sisi lateral terdapat otot yang membentang sangat jauh, yaitu
dari os ilium sampai ke condylus lateralis tibia, yaitu M. tensor fascia latae, yang berlanjut
menjadi traktus iliotibialis. Di bagian tengah, terdapat beberapa otot, yaitu M. pectineus, M.
piriformis, M. gemellus superior, M. obturator internus et externus, M. gemellus inferior, M.
quadratus femoris, dan kumpulan otot-otot adduktor di sisi medial femur.6
Otot yang terdapat pada regio popliteal sampai ke regio cruris adalah sebagai berikut.
Terdapat M. popliteus, M. gastrocnemius, M. soleus, M. plantaris, M.tibialis posterior et
anterior, dan M. peroneus longus et brevis.6
Selain struktur otot, terdapat pula struktur lain yaitu saraf dan pembuluh darah. Saraf
yang terdapat pada regio femoralis dan regio cruris adalah N. Femoralis dan N. Ischiadicus
serta N. Tibialis posterior. Keseluruhan saraf ini akan mempersarafi seluruh struktur di
tungkat yang membutuhkan rangsangan kelistrikan dari saraf, misalnya otot. Pembuluh darah
yang memperdarahi bagian tungkai adalah berasal dari A. Iliaca externa. Arteri ini akan
masuk ke daerah tungkai menjadi arteri femoralis. Arteri ini akan berjalan melewati otot dan
masuk ke fossa poplitea sebagai A. Poplitea. Kemudian arteri ini akan bercabang menjadi
arteri tibialis posterior et anterior. Arteri tibialis posterior akan mempercabangkan arteri
peroneus untuk memperdarahi sisi lateral regio cruris.6-8

Histologi Pembuluh Darah

Gambar 2. Histologi Pembuluh Darah (potongan melintang)9

Dinding pembuluh darah mengandung serat elastin yang memungkinkan pembuluh


darah untuk melakukan ekspansi dan berkontraksi. Pada ilustrasi ini, arteri muskular (1) dan
vena (4) dipotong dengan potongan melintang mengilustrasikan distribusi serat elastin di
dindingnya. Serat elastin berwarna hitam dan serat kolagen berwarna kuning. Dinding arteri
(1) lebih tebal dan lebih banyak mengandung otot polos dibandingkan dengan dinding vena
(4). Lapisan terdalam adalah tunika intima berwarna hitam karena tebalnya lapisan elastin di
tunika ini (1a). Lapisan tebal pada bagian tengah adalah otot polos, tunika media (1b)
mengandung beberapa lapis otot polos tersusun secara sirkuler. Pada lapisan perifer dari
tunika media terdapat lapisan elastik (1c). Lapisan terluar pembuluh darah adalah tunika
adventisia (1d) yang mengandung serat kolagen dan elastin. Dinding vena juga mengandung
tiga lapisan ini, yaitu tunika intima, media, dan adventisia. Disekitar pembuluh darah besar,
terdapat arteriol (5) dan venula (6) serta sel adiposa (8). Sel yang terdapat di dalam lumen
pembuluh darah adalah sel darah merah dan putih.

Definisi

Gambar 3. Skematis Pembuluh Darah dengan PAD11


Peripheral Artery Disease (PAD) didefinisikan sebagai suatu kelainan dimana terjadi
stenosis atau oklusi pada aorta ataupun arteri pada ekstremitas. 11,12 Aterosklerosis adalah
penyebab terbesar terjadinya PAD di pasien yang berumur lebih dari 40 tahun. 12 Penyebab
lain PAD adalah trombosis, emboli, vaskulitis, fibromuskular displasia, dan trauma. 12,13
Prevalensi tertinggi terjadinya PAD et causa atherosklerosis adalah pada dekade ke 6-7.
Terdapat peningkatan risiko terjadinya PAD pada pasien yang merokok dan pasien diabetes
melitus, hiperkolesterolemia, hipertensi, dan insufisiensi ginjal.12-14
PAD dapat menyebabkan terjadinya penurunan perfusi jaringan oleh karena adanya
oklusi.13 PAD bisa terjadi dimana saja, dengan prevalensi serangan biasanya pada arteri
berukuran sedang dan besar. Contoh arteri yang bisa terkena PAD adalah arteri pada sistem
pencernaan, ginjal, dan sebagainya.14 Pada kasus ini pembuluh darah yang terkena adalah
pada ekstremitas bawah. PAD yang kronis dan progresif dapat menyebabkan munculnya
gejala klinis yang disebut sebagai acute limb ichemia (ALI).14
Etiologi
Penyebab tersering dari PAD adalah atherosklerosis. Atherosklerois adalah suatu
keadaan dimana terbentuk plak pada dinding arteri yang bersangkutan. Beberapa penyebab
terbentuknya plak atherosklerosis adalah riwayat merokok, hiperkolesterolemia, diabetes
mlitus, hipertensi, dan insufisiensi ginjal12-14. Ketika terjadi kerusakan pada dinding endotel
maka proses ini akan dimulai khususnya pada dinding arteri yang rusak. Ketika terjadi
kerusakan dinding arteri pada suatu lokasi, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi
kerusakan di lokasi lainnya. Hal ini dikarenakan PAD merupakan suatu penyakit yang
bersifat sistemik12,13.

Epidemiologi
PAD diderita oleh 12-14% pada populasi umum dan prevalensinya meningkat seiring
dengan usia dan mencapai 75% pada pasien dengan usia lebih dari 75 tahun. Komorbiditas
CAD dan CVD sangat tinggi pada pasien dengan PAD khususnya pada pasien yang paruh
baya. Pasien dengan PAD sangat berisiko mengalami kematian karena CVD atau CAD. PAD
sangat trombogenik dan berhubungan erat dengan diabetes, hiperlipidemia, dan aktivitas
merokok pasien. Ketiga faktor risiko ini akan menyebabkan kerusakan endotel yang menjadi
awal dari terbentuknya plak aterosklerotik.15

Patologi dan Patofisiologi


Lesi segmental menyebabkan adanya stenosis atau oklusi yang terlokalisasi pada
pembuluh darah besar dan sedang. Gambaran patologisnya termasuk plak aterosklerotik
dengan deposisi kalsium, penipisan tunika media, kerusakan pada otot polos dan serat elastik,
fragmentasi tunika intima, dan trombus yang mengandung trombosit dan fibrin. Plak
aterosklerotik paling sering terjadi pada lokasi percabangan arteri, dimana lokasi ini adalah
lokasi yang menyebabkan turbulensi aliran darah paling besar. Turbulensi ini akan dapat
menyebabkan kerusakan endotel yang akan memicu terjadinya aterosklerosis. Faktor lain
yang juga mempengaruhi adalah gaya gesek antara darah dan pembuluh darah yang akan
merusak endotel, dan prevalensi kerusakan ini akan meningkat seiring dengan meningkatnya
usia.12-14
Terjadinya kerusakan endotel serta faktor predisposisi seperti hiperlipidemia,
hiperhomosisteinemia, dan sebagainya akan menyebabkan terjadinya proses aterogenesis.
Proses pertama adalah terbentuknya fatty streak. Fatty streak adalah suatu lapisan abnormal
pada dinding pembuluh darah khususnya di tunika intima dimana struktur ini tersusun dari sel
makrofag yang memfagosit lemak yang tertumpuk yang dalam hal ini adalah LDL (low
density lipoprotein). Kemudian turbulensi aliran darah akan menyebabkan progresifitas
kerusakan dan meningkatkan proses aterogenesis sehingga terbentuk suatu lapisan
memanjang yang tersusun oleh lemak yang disebut sebagai fatty streak.13-15 (Gambar 4)

Gambar 4. Fatty Streak; Proses Awal Aterogenesis16

Fatty streak akan berkembang lagi menjadi struktur yang lebih kompleks dimana telah
terbentuk suatu lapisan “fibrous cap”. Sebelum terbentuknya lapisan ini sel-sel inflamatorik
akan direkrut terlebih dahulu untuk menghancurkan zat asing yang dalam hal ini adalah
lemak yang tertumpuk. Beberapa sitokin disekresikan seperti ICAM-1 dan VCAM 1 untuk
menarik sel limfosit dan monosit untuk datang dan membantu menghancurkan benda asing
tersebut.16
Sel-sel seperti limfosit T dan B akan berfungsi sebagai sel pertahanan. Setelah berbagai sel
tersebut datang maka respon inflamasi juga akan meningkat dan terjadilah respon umpan
balik positif. Kemudian sel otot polos dari tunika media juga akan menginfiltrasi tunika
intima dan ikut membentuk plak aterosklerotik. Setelah itu akan terbentuk fibrous cap dimana
struktur ini tersusun oleh kolagen, elastin, dan jaringan ikat lain yang dihasilkan oleh sel-sel
jaringan ikat dan otot polos. Kemudian plak aterosklerotik akan menjadi matang. Plak yang
matang mengandung berbagai jenis sel yang masih hidup. Oleh karena tidak terdapatnya
suplai nutrisi dan oksigen, maka terjadi neovaskularisasi ke dalam plak tersebut.16
Gambar 5. Plak Aterosklerotik pada Arteri16

Plak ini akan menyumbat pembuluh darah baik secara parsial ataupun secara total.
Hal ini akan menyebabkan peningkatan turbulensi aliran darah. Lama-kelamaan fibrous cap
akan rusak dan plak akan mengalami kerusakan. Kerusakan plak akan menyebabkan
perdarahan. Hal ini akan memicu terjadinya proses pembekuan darah tidak normal di bagian
atas dari plak. Trombus ini dapat menyebabkan penyumbatan lebih hebat ataupun dapat lepas
dan menyebabkan emboli di lokasi distal. Apabila proses ini terjadi di arteri di tungkai, maka
distal dari lokasi emboli akan mengalami iskemia dan hal ini akan menyebabkan manifestasi
klinis baru yang disebut sebagai acute limb ischemia.14,16

Gambar 6. Skema Patofisiologi Terjadinya Aterosklerosis sebagai Etiologi Utama


PAD16
Manifestasi Klinis
Kurang dari 50% pasien dengan PAD bersifat asimtomatik. Gejala khas pada PAD
yang paling sering terlihat adalah adanya klaudikasi intermiten, yang didefinisikan sebagai
rasa nyeri, kram, kebas, dan rasa lelah pada otot, yang terjadi pada saat beraktivitas dan
intensitas gejala akan menurun pada saat istirahat. Lokasi terjadinya klaudikasi adalah distal
dari oklusi. Semakin tinggi lokasi munculnya gejala, maka makin tinggi lokasi lesi oklusi
pembuluh darah yang terjadi. Apabila lokasi distal dari oklusi tidak mendapatkan suplai
nutrisi dan oksigen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan respirasi di tingkat sel, maka
yang akan terjadi adalah acute limb ischemia. Pasien akan mengeluhkan rasa nyeri dan
perasaan dingin pada kaki dan jari kaki. Gejala-gejala ini akan muncul pada malam hari
ketika kaki berada pada posisi horizontal dan membaik apabila kaki diturunkan. Pada
keadaan iskemik berat, nyeri saat istirahat juga dapat terjadi. Gejala lain yang khas pada PAD
adalah menurunnya atau hilangnya pulsasi arteri perifer, distal dari lokasi oklusi, ditambah
dengan kemungkinan adanya bruit pada lokasi sumbatan. Gejala lain yang mungkin timbul
adalah hilangnya rambut pada daerah yang teroklusi, kuku yang menebal, penurunan suhu
kulit, pucat, dan sianosis. Pada pasien dengan acute limb ischemia, ulkus dan gangrene dapat
terjadi. Pengangkatan tungkai yang mengalami oklusi akan menyebabkan bertambahpucatnya
kaki, sedangkan pada saat diturunkan, karena refleks hiperemia sekunder, akan menyebabkan
kaki menjadi lebih merah kembali. Waktu yang dibutuhkan untuk darah dapat mengalir dari
posisi kaki terelevasi sampai kaki depresi serta waktu vena terisi oleh darah akan ditentukan
oleh seberapa parahnya oklusi yang disebabkan oleh PAD dan apakah terdapat pembuluh
darah kolateral atau tidak. Pasien dengan PAD dapat terjadi edema kaki karena terlalu lama
menempatkan posisi tungkai pada posisi depresi. Apabila hal ini terus berlanjut, maka akn
menyebabkan terjadinya neuropati iskemik yang ditandai dengan adanya rasa kebas dan
hiporefleks.
Secara singkat gejala khas untuk PAD adalah “5P”, yaitu pulselessness, paralysis,
paresthesia, pain, pallor.
Tabel dibawah ini menunjukkan staging dari LEAD (low extremities arterial
disease).

Tabel 1. Tingkatan LEAD17

Pemeriksaan Penunjang
Riwayat dan pemeriksaan fisik biasanya sudah cukup untuk mendiagnosis PAD.
Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis adalah dengan
ABI (Ankle Brachial Test). Pada orang yang sehat, skor ABI-nya adalah 1,0. Biasanya
ABI<0,9 dianggap sebagai LEAD atau PAD pada ekstremitas bawah. Sensitivitas dan
spesifisitas pemeriksaan ini sekitar 79% dan 96%. ABI<0,8 atau rata-rata tiga kali
pengukuran ABI <0,9, memiliki tingkat kepositifan benar dengan persentase >95%; ABI >1,1
atau rata-rata tiga kali pengukuran ABI >1,0, memiliki interpretasi negatif dengan tingkat
kebenaran >99%. Skor ABI juga berkorelasi dengan tingkat keparahan LEAD, dengan
kemungkinan tinggi untuk dilakukan amputasi adalah apabila skor ABI <0,5.17
Pengukuran ABI dilakukan dengan melakukan pengukuran terhadap tekanan sistolik
dari pembuluh dari di tungkai, yaitu A. Tibialis posterior et anterior, dan pembuluh darah di
tangan yaitu A. Brachialis. Setelah didapatkan tekanan sistolik masing-masing, maka skor
ABI didapatkan dengan membagi tekanan sistolik terbesar di ankle dan tekanan sistolik
terbesar di lengan. Pemeriksaan ini dibantu dengan doppler instrument.17
Gambar 7. Pemeriksaan ABI17
Pengukuran ABI setelah melakukan latihan akan membantu mendiagnosis LEAD
yang memiliki skor ABI pada interval borderline. Pasien diminta untuk berjalan pada
treadmill dengan kecepatan 3,2 km/jam sampai muncul gejala khas LEAD yaitu
klaudikasiintermiten. Skor ABI akan menurun drastis apabila pasien tersebut menderita
LEAD. Pemeriksaan lain yang membantu adalah pengukuran tekanan sistolik pada jari kaki.
Indeks jari kaki <0,7 memiliki nilai diagnostik untuk LEAD.17
Tabel dibawah adalah rekomendasi untuk penegakan diagnosis LEAD.

Tabel 2. Rekomendasi Penggunaan ABI sebagai Kriteria Diagnosis LEAD17


Pemeriksaan penunjang kedua adalah dengan melakukan tes treadmill. Tes ini sangat
berguna untuk mendiagnosis LEAD dengan nilai ABI pada batas normal ataupun borderline.
Test ini harus dilakukan dengan pengawasan karena tidak boleh dilakukan pada pasien
dengan gagal jantung dekompensasi, CAD, dan lain-lain. Penurunan tekanan >20% pada
tungkai menunjukkan adanya gangguan yang berasal dari arteri.17
Pemeriksaan penunjang ketiga adalah dengan menggunakan duplex ultrasonography
(DUS). DUS memberikan informasi untuk anatomi arteri dan aliran darah. DUS yang
dikomparasikan dengan ABI akan memberikan informasi mengenai kriteria diagnosis, tingkat
keparahan, lokasi lesi, dan sebagainya.17
Pemeriksaan penunjang lainnya yang bisa digunakan adalah CT angiografi atau MR
angiografi. Pemeriksaan ini juga berfungsi untuk menentukan lokasi lesi, tingkat keparahan
dengan sangat presisi.17

Tabel 3. Rekomendasi Penggunaan DUS, CTA, atau MRA untuk Diagnosis


LEAD17

Terapi
Terapi yang biasa digunakan untuk mengobati LEAD adalah melalui tiga jalur, yaitu
terapi latihan, terapi secara farmakologis, dan terapi bedah. Terapi yang pertama adalah terapi
latihan. Terapi ini terbukti efektif untuk mengurangi gejala dan meningkatkan kapasitas kerja
tungkai yang mengalami LEAD. Pada meta analisis dari 1200 partisipan dengan nyeri kaki
stabil, latihan kaki akan meningkatkan jarak maksimal berjalan hingga 50-200%. Peningkatan
ini akan terlihat dalam 2 tahun.17
Terapi kedua adalah menggunakan obat. Beberapa obat yang dapat digunakan adalah
sebagai berikut.
Yang pertama adalah zilostazol. Obat ini adalah golongan fosfodiesterase-3 inhibitor.
Berdasarkan metaanalisis, penggunaan 50 mg/hari dapat meningkatkan jarak maksimal
berjalan 36 m, dan meningkat hingga 70 m dengan dosis 100mg/hari. Beberapa efek saming
yang harus diperhatikan adalah sakit kepala, pusing, palpitasi, dan diare.17
Obat kedua adalah naftidrofuril. Obat ini adalah golongan 5-hidroksitriptamin type 2
antagonist yang menurunkan agregasi trombosit dan eritrosit. Efisiensi penggunaan obat lebih
tinggi 26% dibandingkan dengan yang menggunakan plasebo. Efek samping yang harus
diperhatikan adalah gangguan gastrointestinal.17
Obat ketiga adalah pentoksifilin. Obat ini adalah golongan fosfodiesterase inhibitor.
Obat ini dapat meningkatkan deformasi eritrosit dan trombosit sehingga menurunkan
viskositas darah. Obat ini memiliki efek positif yaitu meningkatkan jarak jalan maksimal
sekitar +59 m.
Obat keempat adalah carnitine dan propionil-l-carnitin. Obat ini juga meningkatkan
jarak maksimal berjalan lebih baik dibandingkan plasebo.17
Obat kelima adalah obat penurun kadar lipid. Penggunaan obat golongan statin
terbukti efektif untuk menurunkan gejala kaludikasi intermiten pada pasien dengan LEAD.
Peningkatan jarak berjalan adalah salah satu keuntungan penggunaan obat golongan ini.17
Obat keenam adalah obat antiplatelet. Obat golongan ini terbukti mampu menurunkan
gejala klaudikasi intermiten dan meningkatkan jarak berjalan pada pasien dengan LEAD
berdasarkan hasil studi metaanalisis. Contoh dari golongan ini adalah aspirin (75-325
mg/hari), klopidogrel (75mg/hari), atau heparin yang bekerja pada antitrombin III untuk
menghambat pengubahan fibrinogen menjadi fibrin.13,17
Terapi ketiga adalah dengan bedah. Yang biasa dilakukan adalah melakukan bypass
dengan arteri poplitea untuk memberi jalur suplai darah baru untuk bagian distal tungkai.13

Prognosis
Pasien dengan PAD biasanya juga memiliki kelainan pada arteri koroner ataupun
pada otak. Sekitar 1/3 pasien dengan PAD simtomatis memiliki CAD pada pemeriksaan
EKG, dan lebih dari 1/2 nya memiliki CAD signifikan dengan angiografi. Pasien dengan
PAD memiliki risiko kematian 2-6 kali lebih tinggi karena CAD. Mortalitas tertinggi terjadi
pada pasien dengan PAD berat. Pengukuran ABI sangat berguna untuk ABI dan mendeteksi
faktor risiko pembentukan aterosklerosis. Sekitar 25-30% pasien dengan iskemia tungkai
yang krisis harus diamputasi dalam satu tahun. Prognosis buruk untuk pasien yang masih
merokok ataupun dengan diabetes melitus.17

Daftar Pustaka
1. Ramadhani D, Ong HO, editors. Fisiologi manusia: Dari sel ke sistem. 8th ed.
Diterjemahkan dari: Sherwood L. Introduction to human physiology. 8 th ed. Jakarta:
EGC; 2012. P. 4-6. P.326-38.
2. Albert B, Johnson A, Lewis J, Morgan D, Raff M, Robert K, et al. Molecular biology of
the cell. 6th ed. New York: Garland Science; 2015. P. 1-4, 963-6.
3. Goodman SR. Medical cell biology. 3rd ed. California: Elsevier; 2012. P. 1-6.
4. Clark DP, Pazdernik NJ. Molecular biology. 2nd ed. Oxford: Elsevier; 2013. P. 3-9.
5. Karp G. Cell and molecular biology. Concepts and experiments. Oxford. P. 19.
6. Netter FH. Atlas of human anatomy. 6th ed. Philadelphia: Saunders; 2014
7. Paulsen F, Washcke J. Sobotta, General Anatomy and Musculoskeletal System. 23 rd ed.
Munchen: EGC; 2010.
8. Standring S. Gray’s Anatomy; The anatomical basis of clinic practice. London: Elsevier;
2016.
9. Eroschenko VP. DiFiore Atlas of Histology with Functional Correlations. 11 th ed.
Baltimore: Lippincott Williams and Wilkins; 2008.
10. Mescher AL. Junqueira’s Basic Histology Text and Atlas. 13 th ed. New York: McGraw-
Hill; 2013.
11. National Heart, Lung, and Blood Institute. What os peripheral artery disease?. US: 2016.
Downloaded from: https://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/pad/.
12. Creager MA, Loscalzo J. Arterial diseases of the extremities. From: Harrison; Principles
of internal medicine. 19th ed. USA; McGraw-Hill; 2012. P. 1643-6.
13. Stephens E. Peripheral vascular disease. Downloaded from:
http://emedicine.medscape.com/article/761556-overview.
14. American Heart Association. About peripheral artery disease. Downloaded from:
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/VascularHealth/PeripheralArteryDisease/
About-Peripheral-Artery-Disease-PAD_UCM_301301_Article.jsp.
15. Shammas NW. Epidemiology, classification, and modifiable risk factor of peripheral
arterial disease. Vasc Health Risk Manag. 2007; 3(2): 229-34.
16. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbin and Cotran: Pathologic basis of disease. 9th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2015. P. 492-500.
17. Tendera M, Aboyan V, Bartelink ML, Baumgartner I, Clement D, et al. ESC guidelines
on the diagnosis and treatment of peripheral artery disease. European Heart Journal.
2017. doi:10.1093/eurheartj/ehr211. P. 23-8

Anda mungkin juga menyukai