Anda di halaman 1dari 14

REFRESHING

INFEKSI DENGUE

Pembimbing:
dr. Suryono Wibowo, Sp. A

Disusun oleh:
Andi Vannesya Astriani
2015730007

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
RS ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
2019
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Refreshing “Infeksi Dengue” ini tepat
pada waktunya. Dalam penulisan laporan kasus ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan
yang diberikan secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada dr. Suryono Wibowo, Sp. A sebagai
dokter pembimbing.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan tugas ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari semua pihak yang membaca ini, agar penulis dapat mengkoreksi dan dapat membuat
tugas ini yang lebih baik kedepannya.

Demikianlah laporan kasus ini dibuat sebagai tugas dari kegiatan klinis di stase
Pediatri serta untuk menambah pengetahuan bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.

Jakarta, 30 Juli 2019

Penulis
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Infeksi dengue adalah infeksi akut yang disebabkan oleh arbovirus (arthropadborn
virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes (Aedes albopictuse dan Aedes aegypti).
Sampai sekarang dikenal ada 4 jenis virus dangue yang dapat menimbulkan penyakit, baik
demam dangue maupun demam berdarah dengue yaitu virus dangue I, II, III, dan IV.

B. EPIDEMIOLOGI
Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data
dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita
DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World
Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD
tertinggi di Asia Tenggara.

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah
penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan
penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada
tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia
(Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh
Indonesia.

Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga
1995) dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk
pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada
tahun 1999. Selama bulan januari 2019, tercatat ada 13.683 kasus demam berdarah di
Indonesia. Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan
tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak
mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya.

C. ETIOLOGI
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam genus
Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30nm terdiri
dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Terdapat 4 serotipe virus
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam
berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan
serotipe terbanyak.

D. PATOGENESIS
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegypty
atau Aedes Albopticus dengan organ sasaran adalah organ hepar, nodus limfaticus, sumsum
tulang belakang, dan paru. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel
monosit primer. Virus dengue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan antibody
kompleks (komplek imun) yang akan mengaktifasi komplemen. Aktifasi ini akan
menghasilkan anafilaktosin C3A dan C5A yang akan merupakan mediator yang mempunyai
efek farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat fasoaktif dan prokoagulan sehingga
menimbulkan kebocoran plasma (hipovolemik syok).

Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain


mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan
menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran
ADP (Adenosin diphospat), sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID= koagulasi intravaskular deseminata),
ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi
penurunan faktor pembekuan darah. Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan
fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi
baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi factor Hageman sehingga
terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan darah (akibat KID), kelainan fungsi
trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler.

E. PERJALANAN PENYAKIT
1. Fase Demam
Pasien biasanya mengalami demam tingkat tinggi secara tiba-tiba. Fase
demam akut ini biasanya berlangsung 2-7 hari dan sering disertai dengan pembilasan
wajah, eritema kulit, nyeri tubuh menyeluruh, mialgia, artralgia, nyeri mata orbital
retro, fotofobia, eksantema rubeliform dan sakit kepala. Beberapa pasien mungkin
menderita sakit tenggorokan, faring yang terinfeksi, dan injeksi konjungtiva.
Anoreksia, mual dan muntah sering terjadi.
Mungkin sulit untuk membedakan secara klinis demam berdarah dari penyakit
demam non-demam berdarah pada fase demam awal. Tes tourniquet positif dalam
fase ini menunjukkan kemungkinan peningkatan demam berdarah. Namun, gambaran
klinis ini tidak memprediksi keparahan penyakit. Oleh karena itu sangat penting untuk
memantau tanda-tanda peringatan dan parameter klinis lainnya (Kotak Teks C) untuk
mengenali perkembangan ke fase kritis.
Manifestasi hemoragik ringan seperti petekie dan perdarahan membran
mukosa (mis. Hidung dan gusi) dapat terlihat. Dalam beberapa kasus, memar dan
pendarahan yang mudah di lokasi enepuncture. Abnormalitas paling awal dalam
hitung darah lengkap adalah penurunan progresif dalam jumlah total sel darah putih,
yang seharusnya membuat dokter waspada terhadap kemungkinan tinggi demam
berdarah.
2. Fase Kritis
Selama transisi dari fase demam ke fase demam, pasien tanpa peningkatan
permeabilitas kapiler akan membaik tanpa melalui fase kritis. Alih-alih membaik
dengan penurunan demam tinggi; pasien dengan permeabilitas kapiler yang
meningkat dapat bermanifestasi dengan tanda-tanda peringatan, sebagian besar
sebagai akibat dari kebocoran plasma.
Tanda-tanda peringatan (dirangkum dalam Kotak Teks C) menandai awal fase
kritis. Pasien-pasien ini menjadi lebih buruk di sekitar waktu penurunan suhu, ketika
suhunya turun menjadi 37,5-38 ° C atau kurang dan tetap di bawah tingkat ini,
biasanya pada hari ke 3–8 sakit. Leukopenia progresif yang diikuti dengan penurunan
jumlah trombosit yang cepat biasanya mendahului kebocoran plasma. Peningkatan
hematokrit di atas baseline mungkin merupakan salah satu tanda tambahan paling
awal. Periode kebocoran plasma yang signifikan secara klinis biasanya berlangsung
selama 24−48 jam. Tingkat kebocoran plasma bervariasi. Peningkatan hematokrit
mendahului perubahan tekanan darah (BP) dan volume nadi.
Tingkat hemokonsentrasi di atas hematokrit awal mencerminkan tingkat
keparahan kebocoran plasma; Namun, ini dapat dikurangi dengan terapi cairan
intravena dini. Oleh karena itu, penentuan hematokrit yang sering sangat penting
karena menandakan perlunya penyesuaian yang mungkin untuk terapi cairan
intravena. Efusi pleura dan asites biasanya hanya terdeteksi secara klinis setelah terapi
cairan intravena, kecuali jika kebocoran plasma bermakna. Radiografi dada dekubitus
lateral kanan, deteksi ultrasonografi cairan bebas di dada atau perut, atau edema
dinding kandung empedu dapat mendahului deteksi klinis. Selain kebocoran plasma,
manifestasi hemoragik seperti mudah memar dan perdarahan di lokasi venepuncture
sering terjadi.
Jika syok terjadi ketika volume kritis plasma hilang karena kebocoran, itu
sering didahului dengan tanda-tanda peringatan. Suhu tubuh mungkin di bawah
normal ketika terjadi kejutan. Dengan syok yang dalam dan / atau lama, hipoperfusi
menyebabkan asidosis metabolik, kerusakan organ progresif, dan koagulasi
intravaskular diseminata. Hal ini pada gilirannya dapat menyebabkan perdarahan
hebat yang menyebabkan hematokrit menurun pada syok berat. Alih-alih leukopenia
biasanya terlihat selama fase demam berdarah ini, jumlah sel darah putih total dapat
meningkat sebagai respons stres pada pasien dengan perdarahan hebat. Selain itu,
keterlibatan organ yang parah dapat berkembang seperti hepatitis berat, ensefalitis,
miokarditis, dan / atau perdarahan hebat, tanpa kebocoran plasma yang jelas atau
syok.
Beberapa pasien berkembang ke fase kritis kebocoran plasma dan syok
sebelum defervesensi; pada pasien ini peningkatan hematokrit dan onset cepat
trombositopenia atau tanda-tanda peringatan, menunjukkan timbulnya kebocoran
plasma. Kasus demam berdarah dengan tanda-tanda peringatan biasanya akan pulih
dengan rehidrasi intravena. Beberapa kasus akan memburuk menjadi demam
berdarah.
3. Fase Penyembuhan
Ketika pasien selamat dari fase kritis 24−48 jam, reabsorpsi bertahap cairan
kompartemen ekstravaskuler terjadi dalam 48-72 jam berikutnya. Keadaan umum
membaik, nafsu makan kembali, gejala gastrointestinal mereda, status hemodinamik
menjadi stabil, dan kemudian terjadi diuresis. Beberapa pasien memiliki ruam
eritematosa atau petechial konfluen dengan area kecil kulit normal, digambarkan
sebagai “isles of white in the sea of red” ("pulau putih di laut merah"). Beberapa
mungkin mengalami pruritus menyeluruh. Perubahan bradikardia dan
elektrokardiografi sering terjadi selama tahap ini. Hematokrit stabil atau mungkin
lebih rendah karena efek dilusi dari cairan yang diserap kembali. Jumlah sel darah
putih biasanya mulai meningkat segera setelah defervesensi tetapi pemulihan jumlah
trombosit biasanya lebih lambat dari jumlah sel darah putih. Distres pernapasan akibat
efusi pleura masif dan asites, edema paru atau gagal jantung kongestif akan terjadi
selama fase kritis dan / atau pemulihan jika cairan intravena berlebihan telah
diberikan.

F. KLASIFIKASI
Tabel 1. Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO 2011

DD/DBD Derajat Tanda dan gejala Laboratorium


DD Demam disertai minimal  Leukopenia (jumlah
dengan 2 gejala : leukosit ≤5000
 Nyeri Kepa sel/mm3)
 Nyeri retro-orbita  Trombositopenia
 Nyeri Otot (jumlah trombosit
 Nyeri sendi/ tulang <150.000 sel/mm3)
 Ruam kulit makulopapular  Peningkatan
 Manisfestasi perdarahan hematokrit (5%-
 Tidak ada tanda perembesan 10%)
plasma  Tidak ada bukti
perembesan plasma

DBD I Demam dan manifestasi Trombositopenia


perdarahan (uji bendung positif) <100.000 sel/mm3;
dan tanda perembesan plasma peningkatan hematokrit
≥20%
DBD II Seperti derajat I ditambah Trombositopenia
perdarahan spontan <100.000 sel/mm3;
peningkatan hematokrit
≥20%
DBD* III Seperti derajat I atau II Trombositopenia
ditambah kegagalan sirkulasi <100.000 sel/mm3;
(nadi lemah, tekanan nadi ≤ 20 peningkatan hematokrit
mmHg, hipotensi, gelisah, ≥20%
diuresis menurun
DBD* IV Syok hebat dengan tekanan Trombositopenia
darah dan nadi yang tidak <100.000 sel/mm3;
terdeteksi peningkatan hematokrit
≥20%
Diagnosis infeksi dengue: Gejala klinis + trombositopenia + hemokonsentrasi,
dikonfirmasi dengan deteksi antigen virus dengue (NS-1) atau dan uji serologi anti
dengue positif (IgM anti dengue atau IgM/IgG anti dengue positif)

 Sindrom Syok Dengue


Diawali dengan gejala dan tanda bahaya (warning signs) yaitu, demam turun tetapi
keadaan anak memburuk, anak letargi atau gelisah, nyeri tekan abdomen, muntah yang
menetap, perdarahan mukosa, akumulasi cairan, oliguria, peningkatan hematocrit dan
penurunan trombosit. Syok SSD dibagi menjadi syok terkompensasi atau dekompensasi.
Tanda SSD terkompensasi anak gelisah, takikardi, takipnea, CRT >2 detik, akral dingin,
produksi urin menurun <1ml/kgbb/jam. Sedangkan SSD dekompensasi dijumpai takikardi,
hipotensi, nadi cepat dan kecil, pernapasan kusmaull, sianosis, akral lembab dan dingin.

 Expanded Dengue Syndrom


EDS terjadi akibat komplikasi infeksi dengue sesuai dengan perjalanan, penyakit
yang mengakibatkanketerlibatan organ lain (organopati) atau akibat pengobatan berlebihan.
Diagnosis EDS harus memenuhi kriteria infeksi dengue dengan atau tanpa syok, disertai
komplikasi atau dengan manifestasi klinis yang tidak lazim seperti gangguan elektrolit,
ensefalopati, ensefalitis, perdarahan massif, gagal ginjal akut, haemoliytic uremic syndrome
(HUS), miokarditis, kelebihan cairan, atau infeksi ganda.
G. MANIFESTASI KLINIS

Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase
kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempuyai
risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan adekuat.

Berdasarkan kriteria WHO (1997) diagnosis ditegakkan bila semua hal di bawah ini
di penuhi, yaitu:

a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2 sampai 7 hari, biasanya bifasik.
b. Terdapat minimal satu manifestasi perdarahan berikut:
1) Uji bending positif.
2) Ptekie, ekimosis atau purpura
3) Perdarahan mukosa (epitaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari tempat
lain.
4) Hematemesis atau melena
c. Trombositopenia (<100.000/ul)
d. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma), yaitu
1) Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standart sesuai dengan umur dan
jenis kelamin
2) Penuruan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya.
3) Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites, hypoproteinemia atau
hiponatremia.
4) Keluhan pada saluran pernafasan seperti batuk, pilek, sakit waktu menelan
5) Keluhan pada saluran pencernaan: mual, muntah, anoreksia, diare, konstipasi
6) Keluhan sistem tubuh: nyeri atau sakit kepala, nyeri pada otot, tulang dan sendi,
nyeri otot abdomen, nyeri ulu hati, pegal-pegal pada saluran tubuh

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kriteria laboratorium pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien
tersangka demam berdarah dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin,
hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
diseertai gambaran limfosit plasma biru. Saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya
antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total. IgM maupun IgG lebih banyak.

Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:

1) Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis
relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) >
15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat
2) Trombositopenia pada hari ke 3-8
3) Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit > 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke 3 demam
4) Elektrolit: sebagai parameter pemantauan kebutuhan cairan
5) Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
IgM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3, menghilang
setelah 60-90 hari
IgG: pada infeksi primer. IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, pada infeksi
sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke 2
6) NS1: antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai hari ke
delapan. Sensitivitas antigen NS1 berkisar 63%-93,4% dengan spesifitas 100%
sama tingginya dengan spesifitas gold standard kultur virus. Hasil negatif NS1
tidak menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.

I. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis
dengan demam tifoid, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis. Seluruh kriteria
diatas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan
lemah, tekanan darah turun (< 20 mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur,
kulit dingin dan lembab serta gelisah.
J. PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam berdarah dengue, prinsip utama adalah terapi
suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang
dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika
asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui
intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.
K. KOMPLIKASI
Perdarahan saluran cerna hebat, diikuti gagal multiorgan seperti disfungsi hati dan
ginjal, hipoksia, dan asidosis. Aktivasi koagulasi yang luas menyebabkan pembentukn fibrin
intravascular dan oklusi pembuluh darah kecil yang mengakbatkan thrombosis. Kelebihan
cairan dapat mengakibatkan edema paru, gagal jantung, gagal napas, dan ematian.
L. PENCEGAHAN
Pencegahan terhadap perkembangbiakan nyamuk dan gigitan nyamuk betina Aedes
aegypti dan Aedes albopticus yang menggigit pada pagi serta sore hari merupakan upaya
menurunkan attack rate dan menurunkan jumlah angka kesakitan. Pencegahan di
Indonesia terkenal 3M yaitu Menutup, membuang/membilas, dan meninmbun barang-
barang atau tempat yang kemungkinan menjadi sarang nyamuk.

M. PROGNOSIS
Mortalitas DBD/DSS cukup tinggi. Pada usia dewasa, prognosis dan perjalanan penyakit
umumnya lebih ringan dibandingkan anak-anak.
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro, Nainggolan L. Khie Chen. Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam: Setiati
S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-6. Jakarta Interna Publishing: 2014.
2. Soegijanto Soegeng, 2004. Demam Berdarah Dangue. Tinjauan dan Temuan Baru di Era
2003. Airlangga University Press. Surabaya
3. Hendarwanto. Dengue. In: Noer HMS, Waspadji S. Rachman M, et al. Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 1996.p.417-26.
4. World health organization (WHO). Dengue: Guidelines for diagnosis, treatment,
prevention and control. Geneva: WHO. 2011
5. Depkes RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2005
6. Suvatte V. Immunological Aspect of Dangue Haemorrhagic Fever Studies in Thailand.
South East asian J. Trop Med. Pub Haealth, 1987; 1:312-5.

Anda mungkin juga menyukai