Anda di halaman 1dari 11

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian, Syarat dan Rukun Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan dalam bahasa Arab disebut “Nikah” atau “Zawaj”.

Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan

banyak terdapat dalam al-Quran dan Hadits Nabi (Amir Syarifuddin,

2014: 35).

Secara harfiah -atau dengan kata lain secara bahasa- nikah

berarti “berkumpul atau bergabung” yang dalam bahasa Arab disebut

“alDlom” (‫( (الض ّم‬Amir Syarifuddin, 2014: 36). Arti ini sebagaiana yang

dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih klasik. Syaikh Ibrahim al-Baijuri

misalnya, memaknai kata nikah dengan berkumpul, berhubungan intim

(wath’i) dan juga akad transaksional (Ibrahim al-Baijuri, t.th: 90).

Sedangkan menurut Amin Suma, nikah menurut arti etimologi

adalah al-wath’u, al-dhammu dan al-jam’u. Al-Wath’u berarti berjalan di

atas, menginjak, melalui, memijak, memasuki, menaiki, menggauli dan

bersetubuh. Al-dhammu berati mengumpulkan, menggenggam,

memegang, menyatukan, menggabungkan, menyandarkan, merangkul,

memeluk dan menjumlahkan. Sedangkan al-jam’u berati mengumpulkan,

menyatukan, menghimpun, menggabungkan, menjumlahkan dan

menyusun. Itulah sebabnya mengapa bersetubuh atau bersenggama dalam


13

12
istilah fikih disebut jima’ mengingat bahwa persetubuhan adalah

kumpulan aktivitas yang terkandung dalam kata al-jam’u (Muhammad

Amin Suma, 2004:43).

Sedangkan menurut istilah fiqih, nikah adalah akad yang

mengandung legalitas wath’u (persenggamaan) dengan lafal “inkah”

(menikahkan) (Abu Bakar, 2007: 255). Sepintas definisi tersebut terkesan

terlalu sederhana. Ia hanya menunjukkan legalitas perkawinan yang

menekankan hubungan intim.

Pengertian yang lebih luas dikemukakan oleh Ahmad Ghandur

yang dikutip oleh Amir Syarifuddin (2014:39). Pernikahan menurut

Ahmad Gahndur, adalah “Akad yang menimbukan kebolehan bergaul

antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam

kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak sebara timbal balik hakhak

dan kewajiban”.

Tidak ketinggalan pula bahwa negara juga turut campur dalam

mengatur hukum perkawinan. Campur tangan negara

tersebut

direalisasikan dan diformalisasi dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974

tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Kedua peraturan

perundangan tersebut mengatur secara rinci hukum-hukum perkawinan

yang berlaku di wilayah kedaulatan negara Indonesia. Akan tetapi, ada

perbedaan mendasar di antara kedua peraturan perundangan tersebut.

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan mengikat seluruh

warga negara Indonesia. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam hanya

mengikat warga negara Indonesia yang beragama Islam.

Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan


14

pasal 1 dijelaskan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan.

Pertama, digunakannya kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti

bahwa perkawinan itu hanya terjadi dari jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak

perkawinan sesama jenis yang sudah dilegalkan oleh beberapa negara Barat (Amir

Syarifuddin, 2014: 40).

Kedua, digunakannya ungkapan “sebagai suami isteri” mengandung arti

bawha perkawinan itu berakibat pada bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam

rumah tangga, tidak hanya dalam konteks hidup bersama (Amir Syarifuddin, 2014: 40).

Ketiga, dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan, yaitu

membentuk rumah tangga bahagia dan kekal, yang menafikan adanya perkawinan

temporal (nikah mut’ah) (Amir Syarifuddin, 2014: 40).

Keempat, disebutkannya “Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan

perkawinan itu bagi Islam adalah periwtiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi

perintah agama (Amir Syarifuddin, 2014: 40).

Lain dari pada itu, Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga memberi definisi

perkawinan. Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu

akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah

Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Dari definisi-definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

perkawinan memiliki makni inti bahwa ia adalah sebuah akad atau

transaksi yang menghalakan yang semula haram. Halal dan haram yang

dimaksud dalam hal ini adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan

dalam pergaulanya untuk memenuhi fitrahnya sebagai makhluk hidup

yang memiliki hasrat ketertarikan antara lain jenis.

Dalam pandangan Islam, di samping perkawinan itu sebagai

perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan Sunnah Rasul.


15

Sunnah Allah berarti menjadi kehendak atas dasar wadrat dan iradat Allah

dalam penciptaan alam ini. sedangkan sunnah Rasul adalah suatu tradisi

yang telah ditetapkan Rasul untuk dirinya sendiri dan ummatnya (Amir

Syarifuddin, 2014: 41).

2. Syarat-Syarat Perkawinan

Adapun syarat-syarat perkawinan dalam pembahasan ini

terbagi menjadi dua bagian besar. Pertama adalah syarat perkawinan dalam

perspektif fiqih dan kedua adalah syarat perkawinan dalam perspektif

hukum positif (Kompilasi Hukum Islam).

a. Syarat Perkawinan Dalam Perspektif Fiqih

Perkawinan sebagai akad yang sakral dan menimbulkan

akibat hukum yang sah, perlu adanya regulasi yang lengkap. Diantara

regulasi yang dimaksud adalah adanya syarat sebagai hal yang harus

dipenuhi sebelum pelaksanaan akad nikah dimulai.

Dalam hal ini fiqih mengatur syarat tersebut. Akan tetapi

dalam kebanyakan kitab-kitab fiqih syarat yang dimaksud adalah syarat

perempuan yang boleh dikawin. Adapaun syarat tersebut adalah

1) Perempuan yang dinikah tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak

dalam masa iddah

2) Perempuan yang dinikah bukanlah mahrom dari calon suami baik

sebab nasab maupun sebab persusuan (Sayyid Abu Bakar,

2007:280-283)

b. Syarat Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Positif

Adapun syarat perkawinan dalam hukum positif –yang

dalam hal ini adalah KHI- terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi

oleh calon mempelai. Syarat-syarat tersebut adalah


16

1) Berusia minimal 19 tahun bagi calon mempelai laki-laki dan 16

tahun bagi calon mempelai perempuan.

2) Harus mendapat ijin dari orang tua untuk calon mempelai yang

belum mencapai usia 21 tahun.

3) Perkawinan tersebut harus berdasarkan persetujuan dari kedua

mempelai.

Ketiga syarat tersebut diadopsi dari Undang-Undang nomor 1

tahun 1974 tentang perkawinan, yakni diatur dalam pasal 6 dan pasal 7.

3. Rukun Perkawinan

Sebagaimana syarat, rukun juga suatu hal yang harus terpenuhi

dalam suatu transaksi, termasuk perkawinan. Syarat dan rukun menjadi

penentu sah atau tidaknya suatu transaksi. Apabila syarat dan rukun tidak

terpenuhi, maka suatu amalan baik itu ibadah, ataupun mu’amalah

hukumnya tidak sah atau illegal.

Baik rukun dan syarat mengandung arti yang sama dalam hal

ia harus terpenuhi. Akan tetapi keduanya memiliki perbedaan dalam hal

kapan dan di mana ia harus terpenuhi. Jika syarat harus terpenuhi sebelum

transaksi –yang dalam hal ini adalah perkawinan- maka rukun adalah hal

yang harus terpenuhi pada saat transaksi itu berlangsung. Sebab rukun

adalah unsur dari transaksi itu sendiri (Amir Syarifuddin, 2014: 59).

Adapun rukun perkawinan adalah sebagai berikut:

a. Calon suami. Adapun syarat calon suami diantaraya adalah bukan

mahram dari calon istri, tidak terpaksa dalam menikah, sudah jelas

orangnya, mengerti nama, nasab, dan kehalalan calon istrinya, serta

laki-laki tulen (Ibrahim al-Baijuri, t.th:100).


17

b Calon istri. Syarat calon istri diantaranya adalah bukan mahram dari

calon suami, calon istri harus jelas orangnya, calon istri tidak boleh

dalam ikatan perkawinan atau dalam masa iddah serta calon istri

haruslah perempua tulen (Ibrahim al-Baijuri, t.th:101).

c. Wali. Wali dalam perkawinan harus memenuhi syarat-syarat yaitu

Islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki dan adil (Ibrahim al-Baijuri,

t.th:102-103).

d. Dua saksi. Perkawinan adalah akad yang sakral yang berisi perjanjian

yang kuat yang akan menimbulkan akibat hukum jangka panjang. Oleh

karena itu adanya saksi diperlukan agar akad yang dilakukan tidak

menimbulkan fitnah. Hal ini semata-mata untuk melindungi kesucian

pernikahan yang dilakukan.

e. Sebagaimana wali, saksi juga harus memenuhi syarat-syarat yaitu

Islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki dan adil (Ibrahim al-Baijuri,

t.th:102-103).

f. Ijab qabul. Ijab adalah pernyataan penyerahan anak perempuan oleh

walinya kepada calon suaminya dalam bingkai perkawinan. Sedangkan

qabul adalah pernyataan “menerima” dari calon suami atas penyerahan

wali calon isteri kepadanya. Ijab qabul juga sering disebut akad nikah

atau transaksi yang melegalkan hubungan suami isteri (Amir

Syarifuddin, 2014: 61).

B. Kemaslahatan Perkawinan

1. Pengertian Maslahat

Kata maslahah berakar dari s-l-h. Ia merupakan bentuk

masdar dari kata kerja salaha atau saluha yang secara etimologis berarti

manfaat, faedah, bagus, baik, patut, layak, sesuai (Asmawi, 2011:127).


18

Dalam kamus al-Munawwir, kata maslahah berarti faedah, kepentingan,

kemanfaatan dan kemaslahatan (Ahmad Warson Munawwir, 1997:

789).

Dari sudut pandang ilmu sorof, kata maslahah satu wazan

(pola) dan makna dengan kata manfaath. Kedua kata ini telah di-

Indonesiakan menjadi “maslahat dan manfaat” (Asmawi, 2011:127).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa

maslahat artinya sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah, guna.

Sedangkan kata “kemaslahatan” berarti kegunaan, kebaikan,

kepentingan, manfaat. Sementara kata “manfaat” dalam kamus tersebut

diartikan dengan guna, faedah. Kata manfaat juga sdigunakan menjadi

lawan dari kata “madlarat” yang berarti rugi atau buruk (Asmawi,

2011:128).

Dalam bahasa Arab, kata maslahah selain merupakan bentuk

masdar, juga merupakan bentuk isimyang memiliki bentuk jamak

berupa kata masalih.dalam kamus lisan al-Arab sebagaimana yang

dikutib oleh Asmawi (2011:128), bahwa al-maslahah berarti kebaikan.

Makna al-salah (kebaikan) merupakan kebalikan dari kata al-fasad

(kerusakan) (Asmawi, 2011:128).

Secara terminologis, al-maslahahh adalah kemanfaatan yang

dikehendaki oleh Allah untuk hamba-hambanya baik

berupa pemeliharaan agama mereka, pemeliharaan jiwa,

pemeliharaan kehormatan serta keturunan, pemeliharaan akal budi

maupun pemeliharaan harta kekayaan mereka (Asmawi, 2011:127).

Menurut Amir Syarifuddin (2014:368), pengertian maslahah

dalam bahasa Arab berarti ‘perbuatan-perbuatan yang mendorong pada


19

kebaikan manusia’. Dalam artinya yang umum adalah setiap hal yang

baik untuk menusiabaik dalam arti menarik atau menghasilkan atau

menghasilkan keuntungan atau kesenangan, atau dalam arti menolak

atau menghindarkan seperti menolak kerusakan.

Jadi setiap yang mengandung manfaat patut disebut maslahah itu

mengandung dua sisi, yaitu menarik kebaikan dan menolak kerusakan.

2. Konsep Maslahat Dalam Hukum Islam

Islam adalah agama yang dianugerahkan kepada seluruh ummat

manusia melalui sang Nabi yang agung, Nabi Muhammad SAW untuk

kebahagiaan manusia sendiri baik di dunia maupun di akherat. Sebuah

anugerah yang datang dari Tuhan semesta alam, tentunya Islam

membawa kebaikan dan murni hanya untuk kepentingan manusia.

(http://elmisbah.wordpress.com/al-maslahah).
Dalam kajian filsafat hukum islam –atau yang sering disebut

usul al-fiqh- terdapat satu rumusan kaidah yang disebut al-maslahah

almursalah. Ia merupakah satu kaidah usul yang mukhtalaf fih,yaitu

yang diperselisihkan oleh para Ulama. Artinya kaidah ini tidak dipakai

oleh semua Ulama. Meskipun demikian, konsep al-maslahah al-

mursalah merupakan satu metode berpikir untuk menentukan produk

hukum Islam yang perlu dipertimbangkan.

Menurut Al-Ghazali dalam kitab al-musytasyfa yang dikutip

oleh Amir Syarifuddin (2014:377-378), al-maslahah al-mursalah

adalah sesuatu yang tidak dapat dibuktikan oleh dalil nash tertentu dari

hukum syara’ untuk membatalkan atau memperhatikannya. Sedangkan

menurut Jalal al-Din Abdul al-Rahman, al-Maslahah al-Mursalah adalah

“maslahah yang selaras dengan tujuan syari’ (pembuat hukum) dan


20

tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuan atau

penolakannya”.

Menurut Abdul Wahab Khalaf (2014: 139), al-maslahah

almursalah adalah kemaslahatan yang secara umum tidak disyariatkan

oleh syari’ serta tidak ada dalil syar’i yang mengakuinya atau

membatalkannya. Maslahah ini berlaku muthlak karena tidak ada dalil

yang mengakuinya atau membatalkannya. Mislalnya kemaslahatan yang

diambil oleh para sahabat dalam mengadakan hukuman penjara,

menentukan pajak penghasilan dan penetapan hak milik tanah pertanian

atau kemaslahatan yang bersifat darurat kebutuhan atau kebaikan

namun belum diatur oleh dalil-dalil nash.

Dilihat dari segi kepentingannya, maslahah dibagi menjadi tiga

(Karsayuda, 2006: 55).

a. Maslahah dharuriyah adalah kemaslahatan yang berhubungan

dengan kebutuhan pokok manusia didunia dan di akhirat.

Kemasahatan inimeliputilima hal yaitu untuk memelihara agama,

memelihara jiwa, memelihara akal,memelihara keturunan dan

memelihara keturunan. Setiapperbuatan yang dimaksudkan untuk

memelihara kelima tujuan syara’ tersebut.

b. Maslahah hajiyah

Kemaslahatan yang dibutuhkan untuk menyempurnakan maslahah

dharury. tingkat kemaslahatan ini berada di bawah maslahah

dharury. Apabila maslahah dharury akan menimbulkan kerusakan

jika tidak terpenuhi, maka maslahah hajjiyah ini tidak sampai

menimbulkan kerusakan apabila tidak terpenuhi. Akan tetapi pada


21

akhirnya manusia akan merasa kesulitan apabila maslahah dharury

tidak terpenuhi.

Contoh maslahah hajjiyah ini misalnya menuntut ilmu, makan

makanan bergizi, menjalankan usaha bisnis untuk kelangsungan

hidup dan lain-lain.

c. Maslahah tahsiniyah

Kemaslahatan yang dubutuhkan melengkapi maslahah maslaha

daruriyyah dan maslahah hajiyyah. Jenis maslahah ini berada di

bawah kedua maslahah sebelumnya. Jika tidak terpenuhi, tidak

sampai merusak eksistensi manusia. Namun, jenis maslahah ini ada

untuk melengkapi kedua maslahah sebelumnya agar kehidupan

manusia menjadi indah.

3. Maslahat Dalam Perkawinan

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa arti dari

maslahah adalah kemanfaatan yang dikehendaki oleh Allah untuk

hamba-hambanya baik berupa pemeliharaan agama mereka,

pemeliharaan jiwa, pemeliharaan kehormatan serta keturunan,

pemeliharaan akal budi maupun pemeliharaan harta kekayaan mereka

(Asmawi, 2011:127).

Sedangkan menurut Amir Syarifuddin (2014:368), pengertian

maslahah dalam bahasa Arab berarti ‘perbuatan-perbuatan yang

mendorong pada kebaikan manusia’. Dalam artinya yang umum adalah

setiap hal yang baik untuk menusiabaik dalam arti menarik atau

menghasilkan atau menghasilkan keuntungan atau kesenangan, atau

dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kerusakan.


22

Jika maslahah dikerucutkan atau dipersempit cakupannya ke

dalam ranah perkawinan, maka maslahah dalam perkawinan adalah

halhal yang baik atau kemanfaatan yang dikehendaki oleh Allah bagi

hambanya dalam menjalani ikatan perkawinan.

Dalam konsep perkawinan agama mengaturnya dalam sebuah

tatanan ilmu –atau dengan kata lain- dalam satu bidang keilmuan

bernama fikih munakahah –yang dalam terjemahan bebas diartikan

dengan “hukum perkawinan”.

Amir Syarifuddin (2014:5) menjelaskan bahwa fikih

munakahah adalah perangkat peraturan yang bersifat amaliyah

furu’iyah berdasarkan wahyu ilahi yang mengatur hal ihwal yang

berkenaan dengan perkawinan yang berlaku untuk seluruh umat yang

beragama islam.

Sebagai contoh adalah perintah Allah untuk para suami untuk

memperlakukan isteri dengan baik sebagaimana yang tercantum dalam

surat al-Nisa ayat 191 atau kewajiban isteri untuk taat pada suami dalam

surat al-Nisa ayat 342. Keduanya bisa menjadi gambaran bagaimana

fikih munakahah bekerja, yakni demi mewujudkan kemaslahatan dalam

rumah tangga.

1 . Artinya kurang lebih “pergaulilah isteri-isterimu dengan baik”.

2 . Isteri-isteri solihah adalah mereka yang taat dan menjaga harta suami dalam keadaan
sepi (saat suami tidak ada) sebagaimana Allah manjaganya.

Anda mungkin juga menyukai