1102011279 – SKN 2
Definisi
Kejadian luar biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kesakitan/kematian yang
bermakna secara epidemiologi dalam kurun waktu dan daerah tertentu.
Kejadian Luar Biasa (KLB) : adalah timbulnya suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau
meningkatnya suatu kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada
suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu (Undang-undang Wabah, 1969).
Kriteria Kejadian Luar Biasa tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar
Biasa, tergolong kejadian luar biasa jika terdapat unsur :
1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
2. Peningkatan kerjadian penyakit terus menerus selama 3 kurun waktu berturut-turut menurut
penyakitnya (jam,hari,minggu)
3. Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih bila
dibandingkan dengan angka rata0rata perbulan dalam tahun sebelumnya
Peraturan Menteri Kesehatan RI No . 949/ MENKES/SK/VII/2004. Kejadian Luar Biasa (KLB) :
timbulnya atau meningkatnya kejadian Kesakitan atau kematian yang bermakna secara
epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.
Batasan KLB meliputi arti yang luas, yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Meliputi semua kejadian penyakit, dapat suatu penyakit infeksi akut kronis ataupun penyakit
non infeksi.
2. Tidak ada batasan yang dapat dipakai secara umum untuk menentukan jumlah penderita
yang dapat dikatakan sebagai KLB. Hal ini selain karena jumlah kasus sangat tergantung
dari jenis dan agen penyebabnya, juga karena keadaan penyakit akan bervariasi menurut
tempat (tempat tinggal, pekerjaan) dan waktu (yang berhubungan dengan keadaan iklim)
dan pengalaman keadaan penyakit tersebut sebelumnya.
3. Tidak ada batasan yang spesifik mengenai luas daerah yang dapat dipakai untuk
menentukan KLB, apakah dusun desa, kecamatan, kabupaten atau meluas satu propinsi dan
Negara. Luasnya daerah sangat tergantung dari cara penularan penyakit tersebut.
1
4. Waktu yang digunakan untuk menentukan KLB juga bervariasi. KLB dapat terjadi dalam
beberapa jam, beberapa hari atau minggu atau beberapa bulan maupun tahun.
Di Indonesia dengan tujuan mempermudah petugas lapangan dalam mengenali adanya KLB
telah disusun petunjuk penetapan KLB, sebagai berikut :
1. Angka kesakitan/kematian suatu penyakit menular di suatu kecamatan menunjukkan
kenaikan 3 kali atau lebih selama tiga minggu berturut-turut atau lebih.
2. Jumlah penderita baru dalam satu bulan dari suatu penyakit menular di suatu Kecamatan,
menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau lebih, bila dibandingkan dengan angka rata-rata
sebulan dalam setahun sebelumnya dari penyakit menular yang sama di kecamatan tersebut
3. Angka rata-rata bulanan selama satu tahun dari penderita-penderita baru dari suatu penyakit
menular di suatu kecamatan, menjukkan kenaikan dua kali atau lebih, bila dibandingkan
dengan angka rata-rata bulanan dalam tahun sebelumnya dari penyakit yang sama di
kecamatan yang sama pula.
4. Case Fatality Rate (CFR) suatu penyakit menular tertentu dalam satu bulan di suatu
kecamatan, menunjukkan kenaikan 50% atau lebih, bila dibandingkan CFR penyakit yang
sama dalam bulan yang lalu di kecamatan tersebut.
5. Proportional rate penderita baru dari suatu penyakit menular dalam waktu satu bulan,
dibandingkan dengan proportional rate penderita baru dari penyakit menular yang sama
selama periode waktu yang sama dari tahun yang lalu menunjukkan kenaikan dua kali atau
lebih.
6. Khusus untuk penyakit-penyakit Kholera, Cacar, Pes, DHF/DSS :
a. Setiap peningkatan jumlah penderita-penderita penyakit tersebut di atas, di suatu daerah
endemis yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan di atas.
b. Terdapatnya satu atau lebih penderita/kematian karena penyakit tersebut di atas. Di suatu
kecamatan yang telah bebas dari penyakit-penyakit tersebut, paling sedikit bebas selama
4 minggu berturut-turut.
7. Apabila kesakitan/kematian oleh keracunan yang timbul di suatu kelompok masyarakat.
8. Apabila di daerah tersebut terdapat penyakit menular yang sebelumnya tidak ada/dikenal.
2
Metodologi Penyelidikan KLB
Tingkat atau pola dalam penyelidikan KLB ini sangat sulit ditentukan, sehingga metoda yang
dipakai pada penyelidikan KLB sangat bervariasi. Menurut Kelsey et al., 1986; Goodman et al.,
1990 dan Pranowo, 1991, variasi tersebut meliputi :
1. Rancangan penelitian, dapat merupakan suatu penelitian prospektif atau retrospektif
tergantung dari waktu dilaksanakannya penyelidikan. Dapat merupakan suatu penelitian
deskriptif, analitik atau keduanya.
2. Materi (manusia, mikroorganisme, bahan kimia, masalah administratif),
3. Sasaran pemantauan, berbagai kelompok menurut sifat dan tempatnya (Rumah sakit, klinik,
laboratorium dan lapangan).
4. Setiap penyelidikan KLB selalu mempunyai tujuan utama yang sama yaitu mencegah
meluasnya (penanggulangan) dan terulangnya KLB di masa yang akan datang
(pengendalian), dengan tujuan khusus :
a. Diagnose kasus-kasus yang terjadi dan mengidentifikasi penyebab penyakit
b. Memastikan keadaan tersebut merupakan KLB
c. Mengidentifikasikan sumber dan cara penularan
d. Mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan KLB
e. Mengidentifikasikan populasi yang rentan atau daerah yang berisiko akan terjadi KLB
Langkah-langkah Penyelidikan KLB
1. Persiapan penelitian lapangan
2. Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB
3. Memastikan Diagnose Etiologis
4. Mengidentifikasikan dan menghitung kasus atau paparan
5. Mendeskripsikan kasus berdasarkan orang, waktu, dan tempat
6. Membuat cara penanggulangan sementara dengan segera (jika diperlukan)
7. Mengidentifikasi sumber dan cara penyebaran
8. Mengidentikasi keadaan penyebab KLB
9. Merencanakan penelitian lain yang sistematis
10. Menetapkan saran cara pencegahan atau penanggulangan
11. Menetapkan sistim penemuan kasus baru atau kasus dengan komplikasi
3
12. Melaporkan hasil penyelidikan kepada Instansi kesehatan setempat dan kepada sistim
pelayanan kesehatan yang lebih tinggi
4
atau gejala klinis yang ditemui, maka definisi kasus sebaiknya dibuat longgar, dengan
kemungkinan kasus-kasus lain akan masuk. Perbaikan definisi kasus akan dilakukan setelah
pemastian diagnose, pada langkah identifikasi kasus dan paparan.
Hipotesis awal, hendaknya meliputi penyakit penyebab KLB, sumber dan cara penularan. Untuk
membuat hipotesis awal ini dapat dengan mempelajari gejala klinis, ciri dan pola epidemiologis
penyakit tersangka. Hipotesis awal ini dapat berubah atau lebih spesifik dan dibuktikan pada
waktu penyelidikan (Bres, 1986).
Tujuan penyelidikan KLB selalu dimulai dengan tujuan utama mengadakan penanggulangan dan
pengendalian KLB, dengan beberapa tujuan khusus, di antaranya :
a. Memastikan diagnosis penyakit
b. Menetapkan KLB
c. Menentukan sumber dan cara penularan
d. Mengetahui keadaan penyebab KLB
Pada penyelidikan KLB diperlukan beberapa tujuan tambahan yang berhubungan dengan
penggunaan hasil penyelidikan. Misalnya untuk mengetahui pelaksanaan program imunisasi,
mengetahui kemampuan sistem surveilans, atau mengetahui pertanda mikrobiologik yang dapat
digunakan (Goodman et al., 1990).
Strategi penemuan kasus, strategi penemuan kasus ini sangat penting kaitannya dengan
pelaksanaan penyelidikan nantinya. Pada penyelidikan KLB pertimbangan penetapan strategi
yang tepat tidak hanya didasarkan pada bagaimana memperoleh informasi yang akurat, tetapi
juga harus dipertimbangkan beberapa hal yaitu :
a. Sumber daya yang ada (dana, sarana, tenaga)
b. Luas wilayah KLB
c. Asal KLB diketahui
d. Sifat penyakitnya.
Beberapa strategi penemuan kasus yang dapat digunakan pada penyelidikan KLB dengan
beberapa keuntungan dan kelemahannya (Bres, 1986) :
a. Penggunaan data fasilitas kesehatan Cepat Terjadi bias seleksi kasus
b. Kunjungan ke RS atau fasilitas kesehatan Lebih mudah untuk mengetahui kasus dan
kontak Hanya kasus-kasus yang berat
5
c. Penyebaran kuesioner pada daerah yang terkena Cepat, tidak ada bias menaksir populasi
Kesalahan interpretasi pertanyaan
d. Kunjungan ke tempat yang diduga sebagai sumber penularan Mudah untuk menge-tahui
hubungan kasus dan kontak Terjadi bias seleksi dan keadaan sudah spesifik
e. Survai masyarakat (survai rumah tanggal, total survai) Dapat dilihat keadaan yang
sebenarnya Memerlukan waktu lama, memerlukan organisasi tim dengan baik
f. Survai pada penderita Jika diketahui kasus dengan pasti Memerlukan waktu lama, hasil
hanya terbatas pada kasus yang diketahui
g. Survai agent dengan isolasi atau serologi Kepastian tinggi, di-gunakan pada penya-kit
dengan carrier Mahal, hanya dilakukan jika pemerik saan lab dapat dikerjakan
3. Pertemuan dengan pejabat setempat.
Pertemuan dimaksudkan untuk membicarakan rencana dan pelaksanaan penyelidikan KLB,
kelengkapan sarana dan tenaga di daerah, memperoleh izin dan pengamanan.
Penetapan KLB
Penetapan KLB dilakukan dengan membandingkan insidensi penyakit yang tengah
berjalan dengan insidensi penyakit dalam keadaan biasa (endemik), pada populasi yang dianggap
berisiko, pada tempat dan waktu tertentu. Dalam membandingkan insidensi penyakit berdasarkan
waktu harus diingat bahwa beberapa penyakit dalam keadaan biasa (endemis) dapat bervariasi
menurut waktu (pola temporal penyakit). Penggambaran pola temporal penyakit yang penting
6
untuk penetapan KLB adalah, pola musiman penyakit (periode 12 bulan) dan kecenderungan
jangka panjang (periode tahunan – pola maksimum dan minimum penyakit). Dengan demikian
untuk melihat kenaikan frekuensi penyakit harus dibandingkan dengan frekuensi penyakit pada
tahun yang sama bulan berbeda atau bulan yang sama tahun berbeda (CDC, 1979).
KLB tersembunyi, sering terjadi pada penyakit yang belum dikenal atau penyakit yang tidak
mendapat perhatian karena dampaknya belum diketahui.
KLB palsu (pesudo-epidemic), terjadi oleh karena :
1. Perubahan cara mendiagnosis penyakit
2. Perubahan perhatian terhadap penyakit tersebut, atau
3. Perubahan organisasi pelayanan kesehatan,
4. Perhatian yang berlebihan.
Untuk mentetapkan KLB dapat dipakai beberapa definisi KLB yang telah disusun oleh Depkes.
Pada penyakit yang endemis, maka cara menentukan KLB bisa menyusun dengan grafik Pola
Maksimum-minimum 5 tahunan atau 3 tahunan.
Deskripsi KLB
Deskripsi Kasus Berdasarkan Waktu
Penggambaran kasus berdasarkan waktu pada periode wabah (lamanya KLB berlangsung), yang
digambarkan dalam suatu kurva epidemik.
Kurva epidemik adalah suatu grafik yang menggambarkan frekuensi kasus berdasarkan saat
mulai sakit (onset of illness) selama periode wabah. Kurva ini digambarkan dengan axs
horizontal adalah saat mulainya sakit dan sebagai axis vertikal adalah jumlah kasus.
Kurva epidemik dapat digunakan untuk tujuan :
a. Menentukan / memprakirakan sumber atau cara penularan penyakit dengan melihat tipe
kurva epidemik tersebut (common source atau propagated).
b. Mengidentifikasikan waktu paparan atau pencarian kasus awal (index case). Dengan cara
menghitung berdasarkan masa inkubasi rata-rata atau masa inkubasi maksimum dan
minimum.
7
Deskripsi Kasus Berdasarkan Tempat
Tujuan menyusun distribusi kasus berdasarkan tempat adalah untuk mendapatkan petunjuk
populasi yang rentan kaitannya dengan tempat (tempat tinggal, tempat pekerjaan). Hasil analisis
ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber penularan. Agar tujuan tercapai, maka kasus
dapat dikelompokan menurut daerah variabel geografi (tempat tinggal, blok sensus), tempat
pekerjaan, tempat (lingkungan) pembuangan limbah, tempat rekreasi, sekolah, kesamaan
hubungan (kesamaan distribusi air, makanan), kemungkinan kontak dari orang ke orang atau
melalui vektor (CDC, 1979; Friedman, 1980).
8
Tim Gerak Cepat (TGC)
Sekelompok tenaga kesehatan yang bertugas menyelesaikan pengamatan dan
penanggulangan wabah di lapangan sesuai dengan data penderita puskesmas atau data
penyelidikan epideomologis. Tugas /kegiatan :
a. Pengamatan : Pencarian penderita lain yang tidak datang berobat.
Pengambilan usap dubur terhadap orang yang dicurigai terutama anggota keluarga
Pengambilan contoh air sumur, sungai, air pabrik dll yang diduga tercemari dan sebagai
sumber penularan.
b. Pelacakan kasus untuk mencari asal usul penularan dan mengantisipasi penyebarannya
Pencegahan dehidrasi dengan pemberian oralit bagi setiap penderita yang ditemukan di
lapangan.
c. Penyuluhahn baik perorang maupun keluarga
d. Membuat laporan tentang kejadian wabah dan cara penanggulangan secara lengkap.
2. Pembentukan Pusat Rehidrasi
Untuk menampung penderita diare yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
Tugas pusat rehidrasi :
a. Merawat dan memberikan pengobatan penderita diare yang berkunjung.
b. Melakukan pencatatan nama , umur, alamat lengkap, masa inkubasi, gejala diagnosa dsb.
c. Memberikan data penderita ke Petugas TGC
d. Mengatur logistik
e. Mengambil usap dubur penderita sebelum diterapi.
f. Penyuluhan bagi penderita dan keluarga
g. Menjaga pusat rehidrasi tidak menjadi sumber penularan (lisolisasi).
h. Membuat laporan harian, mingguan penderita diare yang dirawat.(yang diinfus, tdk diinfus,
rawat jalan, obat yang digunakan dsb.
9
2. Patogenesiti
Kemampuan bibit penyakit untuk menimbulkan reaksi pada pejamu sehingga timbul sakit.
3. Lingkungan Yang Buruk
Seluruh kondisi yang terdapat di sekitar organisme tetapi mempengaruhi kehidupan ataupun
perkembangan organisme tersebut.
Insidensi
Adalah gambaran tentang frekwensi penderita baru suatu penyakit yang ditemukan pada suatu
waktu tertentu di satu kelompok masyarakat. Untuk dapat menghitung angka insidensi suatu
penyakit, sebelumnya harus diketahui terlebih dahulu tentang data tentang jumlah penderita
baru. Jumlah penduduk yang mungkin terkena penyakit baru (Population at Risk ).
Secara umum angka insiden ini dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1. Incidence Rate
Yaitu jumlah penderita baru suatu penyakit yang ditemukan pada suatu jangka waktu
tertentu (umumnya 1 tahun) dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mungkin terkena
penyakit baru tersebut pada pertengahan jangka waktu yang bersangkutan. Yang dimaksud kasus
10
baru adalah perubahan status dari sehat menjadi sakit. Periode waktu adalah jumlah waktu yang
diamati selama sehat hingga menjadi sakit.
Rumus incidence rate=jumlah penderita baru : jumlah penduduk yg mungkin terkena penyakit x
K Konstanta ( 100%, 1000 ‰)
Manfaat Incidence Rate adalah :
a. Mengetahui masalah kesehatan yang dihadapi
b. Mengetahui resiko untuk terkena masalah kesehatan yang dihadapi
c. Mengetahui beban tugas yang harus diselenggarakan oleh suatu fasilitas pelayanan
kesehatan.
2. Insidens kumulatif (Incidence Risk)
Probabilitas individu berisiko berkembang menjadi penyakit dalam periode waktu tertentu.
Berarti rata-rata risiko seorang individu terkena penyakit Denominator haruslah terbebas dari
penyakit pada permulaan periode (observasi atau tindak lanjut)
a. Subyek bebas dari penyakit pada awal studi
b. Subyek potensial untuk sakit
c. Sedikit atau tidak ada kasus yang lolos dari pengamatan karena kematian, tidak lama
berisiko, hilang dari pengamatan.
d. Tidak berdimensi, dinilai dari nol sampai satu
e. Merujuk pada individu
f. Mempunyai periode rujukan waktu yang ditentukan dengan baik
Incidence risk = jml kasus insidens selama periode waktu tertentu : jml orang yg berisiko pada
permulaan waktu
3. Attack Rate
Yaitu jumlah penderita baru suatu penyakit yang ditemukan pada suatu saat dibandingkan
dengan jumlah penduduk yang mungkin terkena penyakit tersebut pada saat yang sama.
Manfaat Attack Rate adalah memperkirakan derajat serangan atau penularan suatu penyakit.
Makin tinggi nilai AR, maka makin tinggi pula kemampuan Penularan Penyakit tersebut.
Rumus :
Attack Rate=jml penderita baru dlm satu saat : jml penduduk yg mungkin terkena
penyakittersebut pada saat yg samax XK
4. Secondary Attack Rate
11
Adalah jumlah penderita baru suatu penyakit yang terjangkit pada serangan kedua dibandingkan
dengan jumlah penduduk dikurangi orang/penduduk yang pernah terkena penyakit pada serangan
pertama. Digunakan menghitung suatu panyakit menular dan dalam suatu populasi yang kecil
( misalnya dalam Satu Keluarga ).
Rumus :
SAR=jml penderita baru pd serangan kedua : jml penduduk- penduduk yg terkena serangan
pertama x XK
Prevalensi
Adalah gambaran tentang frekwensi penderita lama dan baru yang ditemukan pada suatu jangka
waktu tertentu di sekelompok masyarakat tertentu. Pada perhitungan angka prevalensi digunakan
jumlah seluruh penduduk tanpa memperhitungkan orang / penduduk yang kebal atau penduduk
dengan resiko (Population at Risk). Sehingga dapat dikatakan bahwa angka prevalensi
sebenarnya bukan suatu rate yang murni, karena penduduk yang tidak mungkin terkena penyakit
juga dimasukkan dalam perhitungan. Prevalens tergantung pada 2 faktor :
1. Berapa banyak orang jumlah orang yang telah sakit
2. Durasi/lamanya penyakit
Secara umum nilai prevalen dibedakan menjadi 2, yaitu :
12
Point Prevalen Rate=jml penderita lama & baru saat itu : jml penduduk saat itu x XK
13
Angka Kematian Kasar ( Crude Death Rate )
Adalah jumlah semua kematian yang ditemukan pada satu jangka waktu ( umumnya 1 tahun )
dibandingkan dengan jumlah penduduk pada pertengahan waktu yang bersangkutan.
Istilah crude digunakan karena setiap aspek kematian tidak memperhitungkan usia, jenis
kelamin, atau variabel lain.
Rumus : CDR/AKK=jml seluruh kematian : jml penduduk pertengahan x XK
14
NMRAKN=jml kematian bayi umur kurang dr 28 hari : jml lahir hidup pd tahun yg sama x XK
15
Rumus :
Angka kematian janin=jml kematian janin dlm periode tertentu : total kematian janin+janin lahir
hidup periode yg samax XK
16
Case Fatality Rate ( CFR )
Perbandingan antara jumlah seluruh kematian karena satu penyebab penyakit tertentu dalam 1
tahun dengan jumlah penderita penyakit tersebut pada tahun yang sama. Digunakan untuk
mengetahui penyakit –penyakit dengan tingkat kematian yang tinggi.
Rumus : CFR=jml kematian karena penyakit tertentu : jml seluruh penderita penyakit tersebutx
XK
17
sekitarnya. Apabila perilaku tersebut bertentangan atau tidak memperoleh dukungan dari
masyarakat, maka ia akan merasa kurang atau tidak nyaman, paling tidak untuk berperilaku
kesehatan tidak menjadi gunjingan atau bahan pembicaraan masyarakat.
c. Terjangkaunya informasi (accessibility of information), adalah tersedianya informasi-
informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil seseorang.
d. Adanya otonomi atau kebebasan pribadi (personal autonomy) untuk mengambil keputusan.
Di Indonesia, terutama ibu-ibu, kebebasan pribadinya masih terbatas, terutama lagi di
pedesaan. Seorang istri dalam mengambil keputusan masih sangat bergantung kepada
suami.
e. Adanya kondisi dan situasi yang memungkinkan (action situation). Untuk bertindak apapun
memang diperlukan kondisi dan situasi yang tepat. Kondisi dan situasi yang tepat
mempunyai pengertian yang luas, baik fasilitas yang tersedia serta kemampuan yang ada.
Untuk membangun rumah sehat misalnya, jelas sangat tergantung kepada kondisi ekonomi dari
orang yang bersangkutan. Meskipun faktor yang lain tidak ada masalah, tetapi apabila kondisi
dan situasinya tidak mendukung, maka perilaku tersebut tidak akan terjadi. WHO yang
merumuskan determinan perilaku ini sangat sederhana. Dikatakan mengapa seseorang
berperilaku, karena ada empat alasan pokok (determinan), yaitu:
a. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling). Hasil pemikiran-pemikiran dan perasaan-
perasaan seseorang atau lebih tepat diartikan pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap
objek atau stimulus, merupakan modal awal untuk bertindak atau berperilaku. Didasarkan
pertimbangan untung ruginya, manfaatnya dan sumber daya atau uang yang tersedia dan
sebagainya.
b. Adanya acuan atau referensi dari seseorang atau pribadi yang dipercayai (personnal
references). Di dalam masyarakat, di mana sikap paternalistic masih kuat, maka perubahan
perilaku masyarakat bergantung acuan kepada tokoh masyarakat setempat.
c. Sumber daya (resources) yang tersedia merupakan pendukung terjadinya perubahan perilaku.
Dalam teori Green, sumber daya ini adalah sama dengan faktor enabling (sarana, prasarana,
fasilitas).
d. Sosio budaya (culture) setempat biasanya sangat berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku
seseorang. Hal ini dapat kita lihat dari perilaku tiap-tiap etnis berbeda-beda, karena memang
masing-masing etnis mempunyai budaya yang berbeda yang khas.
18
Dari uraian ketiga teori di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat
tentang kesehatan ditentukan dan dibentuk oleh pengetahuan yang diterima. Kemudian timbul
persepsi dari individu dan memunculkan sikap, niat, keyakinan/kepercayaan, yang dapat
memotivasi dan mewujudkan keinginan menjadi suatu perbuatan.
Penguatan konsep mulai dari “tahu” menjadi “mau” dan “mampu”, akan terlaksana apabila
ada faktor eksternal yang turut mempengaruhi situasi di luar diri individu seperti: dukungan
sosial, fasilitas yang tersedia, sarana dan prasarana yang mendukung. Persepsi untuk proses
perubahan perilaku menjadi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat adalah penilaian suatu ide atau
gagasan baru yang diperkenalkan kepada individu dan diharapkan untuk diterima dan diproses
oleh individu tersebut sehingga memunculkan sikap individu menerima dan memformulasikan
ide tersebut menurut versi dirinya sendiri.
Perilaku hidup bersih dan sehat bukan hal yang baru bagi masyarakat. Di tengah
kecanggihan teknologi pada masa sekarang, informasi dan pengetahuan mudah diakses
masyarakat. PHBS adalah semua perilaku yang dapat menjadikan kita hidup sehat. Hidup sehat
tidak terbatas dengan melaksanakan sepuluh indikator saja. Tetapi indikator dengan sepuluh
perilaku adalah yang dipilih sebagai penilaian apakah masyarakat sudah berperilaku hidup bersih
dan sehat dan perlu dikembangkan di tengah masyarakat kita. Dari sepuluh Indikator PHBS yang
dicanangkan Depkes RI, pentingnya bersalin menggunakan tenaga kesehatan, program ASI
Eksklusif apalagi Inisiasi Menyusui Dini, jamban keluarga, kesesuaian lantai dengan jumlah
penghuni dan pentingnya olah raga serta makanan bervitamin dan berserat masih merupakan hal
baru bagi masyarakat.
Pelayanan kesehatan
Masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit, dan tidak merasakan sakit
sudah tentu tidak akan bertindak apa-apa terhadap penyakitnya tersebut. Tetapi bila mereka
diserang penyakit dan juga merasakan sakit, maka baru akan timbul berbagai macam perilaku
dan usaha. Respon seseorang apabila sakit adalah sebagai berikut :
Pertama, tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa. Alasannya antara
lain bahwa kondisi yang demikian tidak akan mengganggu kegiatan atau kerja
mereka sehari-hari. Mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa bertindak apapun
gejala yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya. Tidak jarang pula masyarakat
memprioritaskan tugas-tugas lain yang dianggap lebih penting daripada mengobati
19
sakitnya. Hal ini merupakan suatu bukti bahwa kesehatan belum merupakan prioritas
di dalam hidup dan kehidupannya.
Alasan lain yang sering kita dengar adalah fasilitas kesehatan yang diperlukan sangat
jauh letaknya, para petugas kesehatan tidak simpatik, tidak responsif, dan sebagainya.
Dan akhirnya alasan takut dokter, takut pergi ke rumah sakit, takut biaya, dan
sebagainya.
Kedua, tindakan mengobati sendiri, dengan alasan yang sama seperti telah diuraikan.
Alasan tambahan dari tindakan ini adalah karena orang atau masyarakat tersebut
sudah percaya kepada diri sendiri, dan sudah merasa bahwa berdasarkan pengalaman
yang lalu usaha pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan. Hal ini
mengakibatkan pencarian pengobatan keluar tidak diperlukan.
20
Perilaku pencarian pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor besar yaitu faktor
predisposing, faktor enabling, dan faktor need.
1. Faktor predisposing adalah predisposisi seseorang untuk menggunakan pelayanan
yaitu faktor demografi,faktor struktur sosial, dan faktor keyakinan terhadap kesehatan
2. Faktor Enabling merupakan kemampuan seseorang untuk mencari pelayanan berupa
sumberdaya keluarga atau sumber daya masyarakat.
3. Faktor need adalah kebutuhan seseorang akan pelayanan
Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan di puskesmas perlu ditunjang
dengan adanya penelitian-peneliatian social budaya masyarakat, persepsi dan perilaku
masyarakat tersebut terhadap sehat-sakit. Bila diperoleh data bahwa masyarakat masih
mempunyai persepsi sehat-sakit yang berbeda dengan kita, maka kita dapat melakukan
pembetulan konsep sehat-sakit itu melalui pendidikan kesehatan masyarakat. Dengan demikian,
pelayanan yang kita berikan akan diterima oleh masyarakat.
21
tujuan di tersebut dapat dianalisis sehingga dapat memberikan suatu penanggulangan atau
pencegahan dari penyakit itu.
22
LO 3 Cakupan Dan Mutu Pelayanan Kesehatan
Syarat pokok pelayanan kesehatan
Suatu pelayanan kesehatan dikatakan baik apabila:
1. Tersedia (available) dan berkesinambungan (continuous)
Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat tidak sulit ditemukan,
serta keberadaannya dalam masyarakat adalah pada setiap saat yang dibutuhkan.
2. Dapat diterima (acceptable) dan bersifat wajar (appropriate)
Artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan
masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan,
keyakinan dan kepercayaan mesyarakat, serta bersifat tidak wajar, bukanlah suatu pelayanan
kesehatan yang baik.
3. Mudah dicapai (accessible)
Ketercapaian yang dimaksud disini terutama dari sudut lokasi. Dengan demikian, untuk dapat
mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik, maka pengaturan distribusi sarana kesehatan
menjadi sangat penting. Pelayanan kesehatan yang terlalu terkonsentrasi di daerah perkotaan
saja, dan sementara itu tidak ditemukan didaerah pedesaan, bukanlah pelayanan kesehatan
yang baik.
4. Mudah dijangkau (affordable)
Keterjangkauan yang dimaksud adalah terutama dari sudut biaya. Untuk dapat mewujudkan
keadaan yang seperti itu harus dapat diupayakan biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai
dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal hanya mungkin
dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja bukanlah kesehatan yang baik.
5. Bermutu (quality)
Mutu yang dimaksud disini adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan, yang disatu pihak tata cara penyelenggaraannya sesuai
dengan kode etik serta standart yang telah ditetapkan.
Prinsip pelayanan prima di bidang kesehatan
1. Mengutamakan pelanggan
Prosedur pelayanan disusun demi kemudahan dan kenyamanan pelanggan, bukan untuk
memeperlancar pekerjaan kita sendiri. Jika pelayanan kita memiliki pelanggan eksternal dan
internal, maka harus ada prosedur yang berbeda, dan terpisah untuk keduanya. Jika
23
pelayanan kita juga memiliki pelanggan tak langsung maka harus dipersiapkan jenis-jenis
layanan yang sesuai untuk keduanya dan utamakan pelanggan tak langsung.
2. System yang efektif
Proses pelayanan perlu dilihat sebagai sebuah system yang nyata (hard system), yaitu tatanan
yang memadukan hasil-hasil kerja dari berbagai unit dalam organisasi. Perpaduan tersebut
harus terlihat sebagai sebuah proses pelayanan yang berlangsung dengan tertib dan lancar
dimata para pelanggan.
3. Melayani dengan hati nurani (soft system)
Dalam transaksi tatap muka dengan pelanggan, yang diutamakan keaslian sikap dan perilaku
sesuai dengan hati nurani, perilaku yang dibuat-buat sangat mudah dikenali pelanggan dan
memperburuk citra pribadi pelayan. Keaslian perilaku hanya dapat muncul pada pribadi yang
sudah matang.
4. Perbaikan yang berkelanjutan
Pelanggan pada dasarnya juga belajar mengenali kebutuhan dirinya dari proses pelayanan.
Semakin baik mutu pelayanan akan menghasilkan pelanggan yang semakin sulit untuk
dipuaskan, karena tuntutannya juga semakin tinggi, kebutuhannya juga semakin meluas dan
beragam, maka sebagai pemberi jasa harus mengadakan perbaikan terus menerus.
5. Memberdayakan pelanggan
Menawarkan jenis-jenis layanan yang dapat digunakan sebagai sumberdaya atau perangkat
tambahan oleh pelanggan untuk menyelesaikan persoalan hidupnya sehari-hari.
24
a. Rawat Jalan Poli Umum
b. Rawat Jalan Poli Gigi
c. Unit Rawat Inap : Keperawatan, Kebidanan
d. Unit Gawat Darurat (UGD)
e. Puskesmas Keliling (Puskel)
4. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
a. ANC (Antenatal Care) , PNC (Post Natal Care), KB (Keluarga Berencana),
b. Persalinan, Rujukan Bumil Resti, Kemitraan Dukun
5. Upaya Peningkatan Gizi
a. Penimbangan, Pelacakan Gizi Buruk, Penyuluhan Gizi
6. Kesehatan Lingkungan :
a. Pengawasan SPAL (saluran pembuangan air limbah), SAMI-JAGA (sumber air minum-
jamban keluarga), TTU (tempat-tempat umum), Institusi pemerintah
b. Survey Jentik Nyamuk
7. Pencatatan dan Pelaporan :
a. Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP)
25
3. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan
90% pada Tahun 2015;
4. Cakupan pelayanan nifas 90% pada Tahun 2015;
5. Cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani 80% pada Tahun 2010;
6. Cakupan kunjungan bayi 90%, pada Tahun 2010;
7. Cakupan Desa/Kelurahan Universal Child Immunization (UCI) 100% pada Tahun 2010;
8. Cakupan pelayanan anak balita 90% pada Tahun 2010;
9. Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada anak usia 6 - 24 bulan keluarga miskin
100 % pada Tahun 2010;
10. Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan 100% pada Tahun 2010;
11. Cakupan Penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat 100 % pada Tahun 2010;
12. Cakupan peserta KB aktif 70% pada Tahun 2010;
13. Cakupan penemuan dan penanganan penderita penyakit 100% pada Tahun 2010;
14. Cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin 100% pada Tahun 2015.
Pelayanan Kesehatan Rujukan
1. Cakupan pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin
100% pada Tahun 2015;
2. Cakupan pelayanan gawat darurat level 1 yang harus diberikan
sarana kesehatan (RS) di Kabupaten/Kota 100 % pada Tahun 2015.
Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa /KLB
1. Cakupan Desa/ Kelurahan mengalami KLB yang dilakukan penyelidikan epidemiologi <
24 jam 100% pada Tahun 2015.
Pelayanan Imunisasi
Cakupan imunisasi dalam program imunisasi nasional merupakan parameter kesehatan nasional.
Besar cakupan imunisasi harus mencapai lebih dari 80%, artinya di setiap desa, anak-anak
berusia di bawah 12 bulan, 80% harus sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Tetapi saat
ini, cakupan imunisasi belum memuaskan. Salah satu dampak cakupan imunisasi yang tidak
26
sesuai target adalah terjadinya kejadian luar biasa (KLB). Penyakit dapat dicegah bila cakupan
imunisasi sebesar 80% dari target. Penularan berbanding searah dengan cakupan imunisasi.
Apbila anak yang tidak diimunisasi semakin banyak maka penularan akan semakin meningkat.
Sedangkan cakupan imunisasi yang tinggi akan mengurangi penularan (majalah farmacia, 2012).
Rendahnya cakupan imunisasi dapat diakibatkan oleh beberapa faktor. Faktor tersebut adalah
aspek geografis dimana di daerah pelosok akses pelayanan kesehatan masih minim termasuk
imunisasi. Selain itu, masyarakat sering menganggap bahwa anak yang menderita batuk pilek
tidak boleh diimunisasi. Faktor lain adalah kurangnya kesadaran masyarakat atas imunisasi
akibat minimnya pendidikan. Sehingga tenaga kesehata seperti dokter, bidan atau perawat
memiliki kewajiban mengingatkan pasien tentang jadwal imunisasi. Faktor lain adalah
munculnya kelompok anti vaksin. Selain itu, kesalahan pemahaman masyarakat mengenai ASI
juga turut mempengaruhi kesediaan untuk melakukan imunisasi. ASI memang meningkatkan
daya tahan, namun perlindungan ASI juga akan berkurang seiring munculnya paparan pada anak
(majalah farmacia, 2012).
Dalam program Intensifikasi Imunisasi Rutin, upaya pemberian imunisasi harus lebih intensif
dibandingkan tahun lalu. Imunisasi dasar diketahui sangat efektif dalam memberikan
perlindungan terhadap suatu penyakit pada masa depan kehidupan. Imunisasi dasar berfungsi
membentuk sel memori yang akan dibawa seumur hidup. Jika imunisasi dasar diberikan lengkap
dan sel memori terbentuk semakin dini, maka semakin bagus perlindungan yang diberikan
(Hadinegoro, 2012).
Namun pada vaksin tertentu (vaksin mati atau vaksin komponen, misalnya hepatitis B atau
DTP), imunisasi dasar saja tidak cukup memberikan perlindungan dalam jangka panjang
sehingga harus dilakukan booster atau penguat. Kekebalan yang diberikan imunisasi dasar tidak
berlangsung seumur hidup dan ditandai dengan titer antibodi yang semakin lama semakin
menurun. Pemberian booster dimaksudkan membangkitkan kembali sel memori untuk
membentuk antibodi agar titer antibodi selalu di atas ambang pencegahan (protective level)
(Hadinegoro, 2012).
Vaksin DTP misalnya yang diberikan usia 2, 4, 6 bulan perlu diberikan booster pada usia 18-24
bulan dan 5 tahun. Di usia lima tahun kekebalan kembali turun sehingga perlu booster kedua
bahkan ketiga dalam jangka waktu setiap 5-10 tahun. Komponen T (tetanus) pada vaksin DTP
juga harus bisa memberikan perlindungan seumur hidup terhadap tetanus neonatorum (penting
27
untuk melindungi bayi yang dilahirkan dari infeksi tetanus apabila pemotongan tali pusat tidak
steril). Vaksin TT diberikan pada anak usia sekolah dan ibu hamil (Hadinegoro, 2012).
Sampai kapan booster diberikan, tergantung data epidemiologi dan pola penyakit dari kelompok
usia yang rentan terkena penyakit. Misalnya penyakit difteri, pertusis, dan tetanus yang bisa
dicegah dengan vaksin DTP bisa mengancam anak-anak maupun dewasa sehingga semua usia
rentan terhadap penularan penyakit-penyakit ini (Hadinegoro, 2012).
28
Kemiskinan membahayakan kesehatan, baik secara fisik dan mental. Penyakit umumyang sering
terjadi berkaitan dengan faktor kemiskinan adalah kekurang vitamin,penyakit cacing, gusi
berdarah, beri-beri, penyakit mata, Kurang Kalori Protein(KKP), busung lapar, dan lain-lain.
Miskin adalah mereka yang tidak mendapatkan makanan yang cukup sehat dan akancukup
kandungan gizinya.Fakta saat ini derajat kesehatan penduduk miskin masih rendah, hal ini
ditandaidengan:
a. Kematian penduduk miskin tiga kali lebih tinggi daripada penduduk yangtidak miskin.
b. Pengetahuan masyarakat tentang kesehatan dan pendidikan belummendukung.
c. Perilaku hidup bersih di masyarakat belum membudaya.
d. Angka kematian bayi (AKB), angka kematian anak, serta angka kematian ibu (AKA/AKI)
pada penduduk miskin jauh lebih tinggi dari yang tidak miskin.
LO.3 Memahami dan Menjelaskan Perilaku Kesehatan Masyarakat dan Pola pencarian
pengobatan
Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit
dan penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Bentuk dari perilaku
tersebut ada dua yaitu pasif dan aktif. Perilaku pasif merupakan respon internal dan hanya dapat
dilihat oleh diri sendiri sedangkan perilaku aktif dapat dilihat oleh orang lain. Masyarakat
memiliki beberapa macam perilaku terhadap kesehatan. Perilaku tersebut umumnya dibagi
menjadi dua, yaitu perilaku sehat dan perilaku sakit. Perilaku sehat yang dimaksud yaitu perilaku
seseorang yang sehat dan meningkatkan kesehatannya tersebut. Perilaku sehat mencakup
perilaku-perilaku dalam mencegah atau menghindari dari penyakit dan penyebab penyakit atau
masalah, atau penyebab masalah (perilaku preventif). Contoh dari perilaku sehat ini antara lain
makan makanan dengan gizi seimbang, olah raga secara teratur, dan menggosok gigi sebelum
tidur.
Yang kedua adalah perilaku sakit. Perilaku sakit adalah perilaku seseorang yang sakit atau telah
terkena masalah kesehatan untuk memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah
kesehatannya. Perilaku ini disebut perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking
behavior). Perilaku ini mencakup tindakan-tindakan yang diambil seseorang bila terkena masalah
kesehatan untuk memperoleh kesembuhan melalui sarana pelayanan kesehatan seperti
puskesmas dan rumah sakit.
29
Secara lebih detail, Becker (1979) membagi perilaku masyarakat yang berhubungan dengan
kesehatan menjadi tiga, yaitu:
1. perilaku kesehatan : hal yang berkaitan dengan tindakan seseorang dalam memelihara
dan meningkatkan kesehatannya. Contoh : memilih makanan yang sehat, tindakan-tindakan yang
dapat mencegah penyakit.
2. perilaku sakit : segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang individuyang
merasa sakit, untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit. Contoh
pengetahuan individu untuk memperoleh keuntungan.
3. perilaku peran sakit : segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh individu yang
sedang sakit untuk memperoleh kesehatan.
Terdapat dua paradigma dalam kesehatan yaitu paradigma sakit dan paradigma sehat.Paradigma
sakit adalah paradigma yang beranggapan bahwa rumah sakit adalah tempatnya orang sakit.
Hanya di saat sakit, seseorang diantar masuk ke rumah sakit. Ini adalah paradigma yang salah
yang menitikberatkan kepada aspek kuratif dan rehabilitatif. Sedangkan paradigma sehat
Menitikberatkan pada aspek promotif dan preventif, berpandangan bahwa tindakan pencegahan
itu lebih baik dan lebih murah dibandingkan pengobatan.
30
secara vertikal dalam arti dari unit yang berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu
atau secara horizontal dalam arti antara unit-unit yang setingkat kemampuannya. Macam rujukan
yang berlaku di negara Indonesia telah ditentukan atas dua macam dalam Sistem Kesehatan
Nasional, yaitu:
1. Rujukan kesehatan
Rujukan kesehatan pada dasarnya berlaku untuk pelayanan kesehatan masyarakat (public
health services). Rujukan ini dikaitkan dengan upaya pencegahan penyakit dan peningkatan
derajat kesehatan. Macamnya ada tiga, yaitu: rujukan teknologi, rujukan sarana, dan rujukan
operasional.
2. Rujukan medis
Pada dasarnya berlaku untuk pelayanan kedokteran (medical services). Rujukan ini terutama
dikaitkan dengan upaya penyembuhan penyakit. Macamnya ada tiga, yaitu: rujukan
penderita, rujukan pengetahuan, rujukan bahan-bahan pemeriksaan.
Manfaat sistem rujukan, ditinjau dari unsur pembentuk pelayanan kesehatan:
1. Dari sudut pemerintah sebagai penentu kebijakan (policy maker)
a. Membantu penghematan dana, karena tidak perlu menyediakan berbagai macam peralatan
kedokteran pada setiap sarana kesehatan.
b. Memperjelas sistem pelayanan kesehatan, karena terdapat hubungan kerja antara berbagai
sarana kesehatan yang tersedia.
c. Memudahkan pekerjaan administrasi, terutama pada aspek perencanaan.
2. Dari sudut masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan (health consumer)
a. Meringankan biaya pengobatan, karena dapat dihindari pemeriksaan yang sama secara
berulang-ulang.
b. Mempermudah masyarakat dalam mendapatkan pelayanan, karena telah diketahui dengan
jelas fungsi dan wewenang setiap sarana pelayanan kesehatan.
3. Dari sudut kalangan kesehatan sebagai penyelenggara pelayanan keseahatan (health
provider)
a. Memperjelas jenjang karier tenaga kesehatan dengan berbagai akibat positif lainnya seperti
semangat kerja, ketekunan, dan dedikasi.
b. Membantu peningkatan pengetahuan dan ketrampilan, yaitu: kerja sama yang terjalin.
31
c. Memudahkan atau meringankan beban tugas, karena setiap sarana kesehatan mempunyai
tugas dan kewajiban tertentu.
32
4. Kurangnya peran serta masyarakat dalam pembangunan bidang kesehatan.Aspek
sosial budaya yang berhubungan dengan kesehatanAspek soaial budaya yang
berhubungan dengan kesehatan anatara lain adalah faktorkemiskinan, masalah
kependudukan, masalah lingkungan hidup, pelacuran dan homoseksual.
Komunikasi
Komunikasi kesehatan disebut juga promosi kesehatab. Karena komunikasie
merupakan kegiatan untuk mgnondisikan fakktor-faktor predisposisi. Kurangnya
pengetahuan, dan sikap masyarakat terhadap kesehatan dan penyakit, adanya tradisi,
kepercayaan yang negative tentang penyakit, makanan, lingkungan, dan sebagainya,
mereka tidak berprilaku sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Untuk itu maka diperlukan
komunikasi, pemberian informasi-informasi tentang kesehatan. Untuk berkomunikasi
yang efektif para petugas kesehatan perlu dibekali ilmu komunikasi, termasuk media
komunikasinya.
Pola Pikir
Perilaku pencarian Pengobatan (Health Seeking Behavior) adalah pola atau
perilaku pencarian pelayanan kesehatan di masyarakat. Dua hal yang perannya kuat
dalam menentukan pengambilan keputusan tentang pengobatan.
Pertama adalah persepsi mereka terhadap penyakit.
Orang yang mempesepsikan penyakitnya sebagai penyakit ringan cenderung
untuk memilih pengobatan sendiri (self medication) misalnya dengan mencari
obat di warung atau apotik, orang yang mengganggap penyakit mereka serius,
biasanya tiga hari sampai seminggu tidak sembuh cenderung untuk memilih
datang ke dokter atau layanan kesehatan, tetapi mereka yang menganggap
penyakitnya sangat serius atau kronis seperti diabetes, stroke dan hipertensi justru
memilih pengobatan alternatif baik itu tabib, pengobatan herbal, maupun dukun.
Kedua adalah persepsi mereka tentang layanan kesehatan profesional.
Mereka yang mempersepsikan bahwa pengobatan profesional sulit untuk
dijangkau, mahal dan tidak efektif cenderung untuk lari ke pengobatan sendiri dan
pengobatan alternatif. Pada penderita penyakit kronis yang sifatnya degeneratif
seperti penyakit diabetes dan darah tinggi atau strok, tampaknya kebanyakan
mengangap bahwa penyembuhan melalui usaha medis adalah sia-sia.
Kebiasaan
Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan
dengan sakit dan penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Bentuk dari
perilaku tersebut ada dua yaitu pasif dan aktif. Perilaku pasif merupakan respon internal dan
hanya dapat dilihat oleh diri sendiri sedangkan perilaku aktif dapat dilihat oleh orang lain.
Masyarakat memiliki beberapa macam perilaku terhadap kesehatan. Perilaku tersebut umumnya
dibagi menjadi dua, yaitu perilaku sehat dan perilaku sakit :
33
Perilaku sehat yaitu perilaku seseorang yang sehat dan meningkatkan kesehatannya
tersebut. Perilaku sehat mencakup perilaku-perilaku dalam mencegah atau menghindari
dari penyakit dan penyebab penyakit atau masalah, atau penyebab masalah (perilaku
preventif). Contoh dari perilaku sehat ini antara lain makan makanan dengan gizi
seimbang, olah raga secara teratur, dan menggosok gigi sebelum tidur.
Perilaku sakit. Perilaku sakit adalah perilaku seseorang yang sakit atau telah terkena
masalah kesehatan untuk memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah
kesehatannya. Perilaku ini disebut perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health
seeking behavior). Perilaku ini mencakup tindakan-tindakan yang diambil seseorang bila
terkena masalah kesehatan untuk memperoleh kesembuhan melalui sarana pelayanan
kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit.
Secara lebih detail, Becker (1979) membagi perilaku masyarakat yang berhubungan dengan
kesehatan menjadi tiga, yaitu:
1. Perilaku kesehatan
Hal yang berkaitan dengan tindakan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan
kesehatannya.
Contoh : memilih makanan yang sehat, tindakan-tindakan yang dapat mencegah
penyakit.
2. Perilaku sakit
Segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang individuyang merasa sakit,
untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit.
Contoh : pengetahuan individu untuk memperoleh keuntungan.
3. Perilaku peran sakit
Segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit untuk
memperoleh kesehatan.
Terdapat dua paradigma dalam kesehatan yaitu paradigma sakit dan paradigma sehat :
Paradigma sakit adalah paradigma yang beranggapan bahwa rumah sakit adalah
tempatnya orang sakit. Hanya di saat sakit, seseorang diantar masuk ke rumah sakit. Ini
adalah paradigma yang salah yang menitikberatkan kepada aspek kuratif dan rehabilitatif.
Paradigma sehat Menitikberatkan pada aspek promotif dan preventif, berpandangan
bahwa tindakan pencegahan itu lebih baik dan lebih murah dibandingkan pengobatan.
Penanggulangan
Dampak
Derajat kesehatan masyarakat yang disebut sebagai psycho socio somatic health well
being , merupakan resultante dari 4 faktor yaitu:
1. Environment atau lingkungan.
2. Behaviour atau perilaku, Antara yang pertama dan kedua dihubungkan dengan
ecological balance.
34
3. Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi penduduk,
dan sebagainya.
4. Health care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif, promotif,
kuratif, dan rehabilitatif.
Dari empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku merupakan faktor yang paling besar
pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Tingkah laku
sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh faktor -faktor seperti kelas
social, perbedaan suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan yang sama (yang
ditentukan secara klinis), bergantung dari variable-variabel tersebut dapat menimbulkan reaksi
yang berbeda di kalangan pasien.
35
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 57 yang bermaksud: “Makanlah dari
makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka
menganiaya Kami, melainkan mereka menganiaya diri mereka sendiri”.
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dan baik dan apa yang terdapat di
mukabumi; dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, kerana
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (Surah Al-Baqarah, ayat
168) “Sesungguhnya mendapat kemenanganlah orang yang membersihkan dirinya “QS Al
A’la ayat : 14Dalam Islam, kebersihan adalah bersifat global atau luas. Artinya kebersihan itu
meliputi semua aspek dalam Islam. Barangsiapa benar-benar dapat mengamalkan kebersihan
yang global secara Islam ini maka oleh Allah mereka dijanjikan kemenangan baik di dunia
terlebih lagi di akhirat.
36