Endra Wijaya
Fakultas Hukum Universitas Pancasila
Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta 12640
E-mail: endra.wijaya333@yahoo.co.id
Naskah diterima: 1 Juli 2017; revisi: 16 Agustus 2017; disetujui 16 Agustus 2017
Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 135
procedural justice. The spirit to encourage human rights Keywords: the right to freedom of religion and belief,
enforcement, especially religious rights for minority minority, court decision.
groups is not evident in the decision.
Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 137
rentan) tidak menikmati hak-haknya sebagai Dalam pertimbangan hukumnya, secara
warga negara, bahkan menjebloskan mereka ke umum dapat dikatakan bahwa majelis hakim
dalam penjara. Begitu pun dengan kebijakan dalam perkara ini telah “mengadili” apa yang
legislasi yang diterapkan saat ini, memiliki menjadi keyakinan terdakwa TM, hal mana
kecenderungan bahwa setiap undang-undang sebenarnya merupakan hak yang sudah dijamin
yang mengatur publik akan selalu disertai di dalam Konstitusi Indonesia. Amar dalam
dengan sanksi pidana yang samar pengaturannya, Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG ini pada
sehingga tumbuh menjadi “pasal karet,” yang akhirnya membebankan pidana penjara kepada
mudah disalahgunakan. Dengan kata lain, ada TM. Dan tentunya dengan adanya Putusan Nomor
kecenderungan bahwa hukum memang tidak 69/PID.B/2012/PN.SPG ini menjadi sinyal
diciptakan untuk melindungi mereka yang bahwa upaya penegakan hak asasi manusia dalam
termasuk sebagai kelompok rentan. beragama dan berkeyakinan, khususnya bagi
kelompok minoritas di Indonesia, masih harus
Memperhatikan bahwa sudah kuatnya
menempuh “perjalanan panjang yang berliku.”
jaminan yang diberikan melalui konstitusi,
namun belum dibarengi dengan kuatnya praktik
perlindungan hak asasi manusia serta akses B. Rumusan Masalah
terhadap keadilan, maka yang diperlukan Kajian terhadap suatu putusan pengadilan
kemudian ialah upaya untuk membuat kedua bisa diarahkan kepada beberapa hal yang ada
poin yang masih lemah tersebut menjadi lebih pada putusan tersebut. Apabila merujuk pada
kuat. Pada poin itulah perihal aktivitas hakim kajian yang dilakukan oleh Susanto (2005: 144-
memeriksa, mengadili, dan menjatuhkan putusan 145) maupun oleh Komisi Yudisial Republik
menjadi penting pula untuk diperkuat dalam Indonesia (2014: 8), maka ada tiga hal yang dapat
rangka untuk menegakkan hak asasi manusia diamati dari suatu putusan pengadilan. Ketiga hal
secara lebih maksimal. itu ialah berhubungan dengan soal efektivitas,
efisiensi, dan kejujuran yang terkandung dalam
Sehubungan dengan paparan tersebut di atas,
putusan pengadilan. Dalam tulisan ini, dengan
maka perkara pada Pengadilan Negeri Sampang
mempertimbangkan beberapa hal teknis, maka
dengan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG
yang akan menjadi fokus pembahasan lebih lanjut
menjadi menarik untuk dicermati. Latar belakang
hanya akan dibatasi pada hal-hal yang termasuk
peristiwa dari Putusan Nomor 69/PID.B/2012/
dalam lingkup soal efektivitas dari suatu putusan
PN.SPG berkaitan erat dengan peran pengadilan
pengadilan. Dan, poin efektivitasnya tersebut
yang sebenarnya juga potensial untuk mendorong
juga akan dibahas secara terbatas, yaitu hanya
tegaknya hak asasi manusia dalam beragama
dalam konteks upaya penegakan hak asasi
dan berkeyakinan. Dengan bertempat di sekitar
manusia untuk beragama dan berkeyakinan.
wilayah yang menjadi wewenang Pengadilan
Negeri Sampang, perkara ini mendudukkan TM Kajian Susanto (2005: 144-145) dan
sebagai terdakwa dari tindak pidana penodaan Komisi Yudisial Republik Indonesia (2014: 8)
agama. TM merupakan tokoh agama bermazhab memaparkan bahwa yang dimaksud dengan
Syiah, yang keyakinan mazhabnya itu termasuk persoalan efektivitas pengadilan ialah persoalan
ke dalam kategori kelompok minoritas.
Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 139
itu, putusan pengadilan sebenarnya memiliki sosial). Alur berpikir yang demikian itulah yang
banyak makna atau peran. Berikut ini akan diadopsi ke dalam bidang hukum acara peradilan
dicoba dijelaskan beberapa makna atau peran tata usaha negara dan juga Mahkamah Konstitusi
dari putusan pengadilan tersebut: melalui asas erga omnes.
Pertama, putusan pengadilan dapat Asas erga omnes dalam sistem peradilan
dipahami sebagai tahap akhir dari suatu tata usaha negara adalah asas yang menyatakan
sengketa hukum, terutama bagi putusan yang bahwa putusan pengadilan juga memiliki daya
telah berkekuatan hukum tetap (Latifiani, 2015: berlaku dan mengikat secara publik, di samping
20). Tumpa berpendapat bahwa putusan hakim mengikat para pihak yang bersengketa (Tjandra,
merupakan bagian akhir dari suatu sengketa yang 2009: 73; Marbun, 2011: 233-234; Abdoellah,
diperiksa melalui serangkaian acara di muka 2016: 115; Suwito, 2016: 87). Hal yang serupa
persidangan di pengadilan. Putusan hakim itu juga juga diterapkan dalam sistem pengujian undang-
sekaligus menjadi titik tumpu dari suatu eksekusi undang oleh Mahkamah Konstitusi, di mana
yang tujuannya akan menyudahi sengketa yang Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara
terjadi antara para pihak (Tumpa, 2010: 1 dan 6). pengujian undang-undang mengikat semua
Pengertian putusan pengadilan seperti ini dapat komponen bangsa, baik penyelenggara negara
dipahami sebagai pengertian yang “klasik” dan maupun warga negara (Gumbira, 2016: 116).
cenderung “sempit.”
Kedua, putusan pengadilan dapat pula
Salah satu alasan mengapa pengertian dipahami sebagai instrumen yang potensial
putusan pengadilan yang memosisikannya memberikan perlindungan terhadap hak
hanya sebagai hasil akhir sengketa hukum asasi manusia. Dalam penelitian yang telah
dikatakan sempit ialah karena pengertian seperti dipublikasikan dalam bentuk buku yang
itu menempatkan putusan pengadilan hanya berjudul “Pancasila dalam Putusan Mahkamah
berpengaruh terhadap para pihak yang terlibat Konstitusi: Kajian terhadap Putusan Mahkamah
langsung dengan sengketa hukum yang terjadi. Konstitusi dalam Perkara yang Berkaitan dengan
Hal seperti ini lazimnya berlaku dalam sistem Perlindungan Hak Kelompok Marjinal,” Arizona,
hukum acara pada peradilan umum untuk perkara Wijaya, & Sebastian (2014: 106) menyimpulkan
perdata (Tjandra, 2009: 79). Mengenai dampak bahwa putusan pengadilan, yang dalam penelitian
putusan pengadilan tersebut di luar para pihak mereka tertuju pada Putusan Mahkamah
yang terlibat, misalnya kepada pihak masyarakat Konstitusi, sesungguhnya memiliki peran yang
umum, yang berarti ini juga ialah berdampak sangat potensial untuk dapat melindungi hak asasi
sosial, pendapat yang pertama ini tidak manusia. Walaupun memang dalam praktiknya
memperhatikannya. Padahal, dalam praktiknya, belum bisa diwujudkan secara maksimal Jaminan
memperlihatkan pula bahwa suatu putusan hak asasi manusia yang sudah diberikan oleh
pengadilan yang awalnya hanya ditujukan konstitusi sebenarnya belumlah bisa dikatakan
langsung bagi para pihak yang bersengketa, cukup untuk dapat benar-benar melindungi hak
setelah putusan tersebut diputus justru ternyata asasi manusia setiap warga negara. Sebagaimana
membawa pengaruh (berdampak) juga kepada kajian dari McGann, ia menjelaskan bahwa
pihak lain di luar sengketa (memiliki dampak konstitusi belum bisa secara pasti dan nyata
Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 141
Pada poin itulah terdapat perbedaan antara kajian III. HASIL DAN PEMBAHASAN
yang dilakukan oleh Jufri dengan kajian yang
A. Posisi Kasus dalam Putusan Nomor 69/
dilakukan oleh penulis dalam tulisan ini.
PID.B/2012/PN.SPG
Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 143
melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat
hukum terhadap perkara ini, Pengadilan Tinggi
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Surabaya sudah menjatuhkan Putusan Nomor
Indonesia, atau dengan kata lain, terdakwa TM481/PID/2012/PT.SBY, dan Mahkamah Agung
sudah memenuhi semua unsur dalam Pasal 156a menjatuhkan Putusan Nomor 1787 K/PID/2012.
KUHP sebagaimana yang menjadi dakwaan Namun, secara garis besar, kedua tingkat upaya
kesatu dari penuntut umum. Oleh karena dakwaan
hukum tersebut menghasilkan putusan yang relatif
kesatu telah terbukti, maka dakwaan keduanya sama, yaitu tetap menjatuhkan pidana penjara
tidak perlu dipertimbangkan lagi. kepada TM. Bahkan, pada pemeriksaan tingkat
banding, majelis hakim di Pengadilan Tinggi
Berdasarkan pertimbangan hukum yang
Surabaya dalam perkara ini menjadikan pidana
telah dirumuskan, maka kemudian pada amar
penjara yang dijatuhkan kepada TM menjadi
putusannya majelis hakim menjatuhkan putusan
empat tahun penjara.
sebagai berikut:
Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 145
memeriksa dan mengadili perkara memang rujukan yang memadai dalam proses mengadili
sudah mengajukan argumentasi yang dirumuskan di pengadilan.
secara, di satu sisi, “menyetujui” dakwaan, dan
Kedua, saat majelis hakim membahas
sekaligus di sisi lain, “menolak” dakwaan dari
beberapa fakta hukum yang penting untuk dapat
jaksa penuntut umum dengan mempertimbangkan
membuktikan bahwa TM memang benar telah
keberadaan alat-alat bukti yang dihadirkan di
“melakukan perbuatan yang pada pokoknya
persidangan.
bersifat penodaan terhadap agama Islam” terkesan
Argumentasi seperti itu tentunya dapat masih terdapat kelemahan pada argumentasi yang
dipahami mengingat majelis hakim sedang dibangun oleh majelis hakim. Dalam salah satu
menghadapi perkara yang cukup kompleks, bagian pertimbangan hukumnya, majelis hakim
baik dari perspektif pengetahuan bidang agama, merumuskan bahwa:
sosial, maupun dari perspektif yuridis. Bahkan “Menimbang, bahwa mengenai ajaran
sebagaimana kajian dari Jufri, ia menduga tentang Rukun Iman dan Rukun Islam,
bahwa dalam rangkaian proses persidangan majelis sependapat dengan penasihat
hukum terdakwa yang mendasarkan pada
perkara ini ada beberapa bentuk upaya untuk keterangan ahli Dr. Zaenal Abidin Bagir,
memengaruhi secara sistematis jalannya proses M.A., Dr. Umar Shahab, M.A., dan Prof.
persidangan. Jufri (2016: 108) menyebut bentuk- Dr. Zainun Kamal, M.A., serta barang bukti
dan surat bukti buku Risalah Ammandan
bentuk upaya seperti itu dengan istilah upaya buku Sunnah-Syiah, Bergandeng Tangan!
“hegemoni mayoritas.” Dapat diamati pula Mungkinkah (penulis M. Quraish Shihab)
yang pada pokoknya menyatakan bahwa
melalui isi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/
rumusan lima Rukun Iman dan delapan
PN.SPG ialah masih belum maksimalnya majelis Rukun Islam secara subtansi ada kesamaan
hakim mengeksplorasi lebih dalam informasi dengan rumusan enam Rukun Iman dan
lima Rukun Islam yang secara umum
dari beberapa alat bukti yang dihadirkan dalam dikenal oleh umat Islam Indonesia,
persidangan, misalnya yang bersumber dari perbedaan jumlah tersebut lebih pada
pendapat dari para ahli bidang agama dan literatur perbedaan pandangan dan tafsir atas Al
Quran dan Hadis Nabi;
(bahan hukum sekunder), seperti Risalah Amman
dan buku “Sunnah-Syiah, Bergandeng Tangan! Menimbang, bahwa mengenai perbuatan
terdakwa menyampaikan atau mengajarkan
Mungkinkah,” yang juga menjadi barang-barang bahwa Al Quran yang ada sekarang tidak
bukti. asli (tidak orisinil), majelis memandang
bahwa perbuatan terdakwa tersebut
Hal yang baru saja dipaparkan di atas telah jelas merendahkan, mengotori dan
merusak keagungan Al Quran, mengingat
tampak sejalan dengan pendapat dari Bredemeier,
sebagaimana menjadi pengetahuan umum,
yang dikutip dalam kajian Susanto, di mana bahwa Al Quran merupakan kitab suci bagi
ia menyayangkan banyaknya hasil penelitian umat Islam yang terjaga kemurniannya
karena sudah dijamin pemeliharaan
yang telah dihasilkan oleh para ahli namun (kemurniannya) oleh Allah SWT,
hasil penelitian tersebut “tetap saja tersimpan sebagaimana disebutkan dalam Al Quran
dan tertinggal rapat-rapat dalam tembok kamar Surat Al-Hijr [15] ayat 9;…”
fakultas-fakultas hukum dan di dalam majalah Kutipan pertimbangan hukum tersebut
hukum…” (Susanto, 2005: 148), atau dengan merupakan salah satu bagian di mana majelis
kata lain, bahan-bahan itu tidak dijadikan sebagai
Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 147
terhadap seorang narasumber yang relevan, di melakukan tindak pidana “melakukan perbuatan
mana ia menjelaskan bahwa, “Saya pernah bawa yang pada pokoknya bersifat penodaan terhadap
asisten saya untuk pergi ke Iran dan mencari agama Islam.” Pada poin ini, dapat terkesan bahwa
semua Al Quran yang ada di tiap-tiap daerah di proses hukum yang dikenakan terhadap TM
sana. Sampai ada sepuluh Al Quran yang dibawa. merupakan proses mengadili apa yang menjadi
Dan semuanya sama dengan Al Quran kita…” keyakinan (mazhab yang dipeluk) TM. Pada
(wawancara, 2013). Oleh karena itulah, maka sisi yang lain, jaksa penuntut umum merespons
tentu akan lebih menarik lagi jika dalam Putusan (menjawab) keresahan sebagian masyarakat,
Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, majelis hakim yang apabila dicermati dalam perkara ini dapat
melakukan penggalian yang lebih mendalam dipahami bahwa mereka berpaham Ahlus Sunnah
mengenai problem “keaslian” Al Quran yang wal Jama’ah (Sunni), melalui dakwaan terhadap
didakwakan kepada terdakwa TM. TM, yang mana dakwaannya mengarah kepada
tindak pidana penodaan agama sebagaimana
Upaya pihak terdakwa TM untuk
diatur dalam Pasal 156a KUHP, dan juga tindak
menghadirkan saksi-saksi dan barang bukti
pidana yang diatur dalam Pasal 335 ayat (1)
berupa Al Quran dalam menyangkal dakwaan
KUHP.
telah merendahkan, mengotori dan merusak
keagungan Al Quran pun tidak dapat diterima oleh Dari paparan tersebut, dapat dipahami
majelis hakim. Al Quran yang diajukan sebagai pula, bahwa perkara pada Putusan Nomor
barang bukti oleh TM dianggap oleh majelis 69/PID.B/2012/PN.SPG, mau tidak mau,
hakim sebagai “tidak serta-merta dapat menjadi bersinggungan dengan problem hubungan
bukti,” sedangkan saksi-saksi yang diajukan antarmazhab yang ada di dalam tubuh umat
oleh TM juga dianggap tidak dapat dipercaya Islam, yaitu mazhab Sunni yang pemeluknya
keterangannya, karena majelis hakim langsung mayoritas dan Syiah yang pemeluknya minoritas,
mengaitkan mereka dengan ajaran taqiyah. khususnya dalam konteks tempat terjadinya
perkara di Sampang.
Ketiga, potensi dampak dikeluarkannya
Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG Alur pikiran yang terbaca pada beberapa
terhadap persoalan penegakan hak asasi bagian dari Putusan Nomor 69/PID.B/2012/
manusia, khususnya hak asasi manusia untuk PN.SPG ialah bahwa majelis hakim pun
beragama dan berkeyakinan di Indonesia. menggunakan “perspektif mayoritas minoritas”
Substansi perkara dalam Putusan Nomor 69/ saat mengadili perkara ini. Hal tersebut dapat
PID.B/2012/PN.SPG sangat berhubungan terbaca setidaknya pada rumusan yang ada di
dengan persoalan kemerdekaan untuk memeluk dalam Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG
agama dan keyakinan, sebagaimana telah diatur yang menyatakan (huruf italic dan bold dari
dalam Pasal 28E, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal penulis):
29 UUD NRI 1945. Di satu sisi, terdakwa TM “Bahwa akibat perbuatan terdakwa
yang merupakan pemeluk mazhab Syiah, karena menyampaikan ajaran yang berbeda dengan
ajaran yang ia pahami dan ia ajarkan kepada para ajaran umat Islam pada umumnya, telah
menimbulkan keresahan dan pertentangan
pengikut dan santrinya, menjadikan ia diadili dan di masyarakat, …” (Putusan Nomor 69/
dijatuhi putusan pidana karena dianggap terbukti Pid.B/2012/PN.Spg: 84).
Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 149
bagi upaya mengurangi hak-hak asasi manusia 2) No one shall be subject to coercion which
para pemeluk Syiah di tempat kejadian perkara, would impair his freedom to have or to
adopt a religion or belief of his choice.
yang konkretnya berupa merelokasi mereka
secara paksa dari kampung halaman mereka 3) Freedom to manifest one’s religion or beliefs
may be subject only to such limitations as
sendiri (Afdillah, 2016: 91). Hal ini tentunya are prescribed by law and are necessary
sekaligus mencabut secara paksa akar sosial dan to protect public safety, order, health, or
sumber ekonomi mereka yang sudah bertahun- morals or the fundamental rights and
freedoms of others.
tahun dibina di kampung halamannya. Substansi
Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG menarik 4) The States Parties to the present Covenant
undertake to have respect for the liberty
juga untuk dicermati dengan menghubungkannya of parents and, when applicable, legal
dengan konsep forum internum dan forum guardians to ensure the religious and moral
education of their children in conformity
externum yang dikenal dalam lingkup pembahasan
with their own convictions.
hukum hak asasi manusia.
Begitu juga pada level nasional, hak
Secara prinsip, sudah jelas tidak boleh ada
beragama dan berkeyakinan sudah dijamin dan
perlakuan yang berbeda yang merugikan bagi
diatur dalam beberapa peraturan perundang-
para pemeluk agama dan keyakinan, baik bagi
undangan, antara lain, UUD NRI 1945, Undang-
mereka yang mayoritas ataupun minoritas. Pada
Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia,
level hukum internasional, sudah ada beberapa
dan bahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
pengaturan mengenai hak asasi manusia untuk
2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
beragama dan berkeyakinan. Pada Article 18 dari
Universal Declaration of Human Rights 1948, Dalam konteks hukum hak asasi manusia,
ditegaskan bahwa: hak beragama dan berkeyakinan termasuk ke
dalam kelompok non-derogable rights, yang
“Everyone has the right to freedom of
thought, conscience and religion; this right berarti merupakan hak yang bersifat mutlak
includes freedom to change his religion (absolut), dan oleh karenanya, tidak dapat
or belief, and freedom, either alone or
in community with others and in public ditangguhkan atau ditunda dalam situasi atau
or private, to manifest his religion or kondisi apapun. Dengan demikian, segala jenis
belief in teaching, practice, worship and tindakan yang dapat mengakibatkan hilangnya
observance.”
hak seseorang ataupun sekelompok orang untuk
Selanjutnya, ada pula International bebas beragama dapat digolongkan sebagai
Covenant on Civil and Political Rights 1966 pelanggaran hak asasi manusia (Tim Peneliti
yang pada Article 18-nya menegaskan bahwa: Setara Institute, 2011: 16-17).
1) Everyone shall have the right to freedom Terkait dengan konsep non-derogable
of thought, conscience and religion. This rights, dalam perkembangannya, lalu dibentuk
right shall include freedom to have or to
adopt a religion or belief of his choice, pedoman untuk mengatur hak-hak tersebut
and freedom, either individually or in dengan pertimbangan adanya kepentingan umum.
community with others and in public or Secara garis besar, pedoman itu mengandung dua
private, to manifest his religion or belief
in worship, observance, practice and macam lingkup, yaitu forum internum dan forum
teaching. externum.
Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 151
156a KUHP merupakan ketentuan yang dapat seperti itulah Putusan Nomor 69/PID.B/2012/
dengan mudah dijadikan sebagai “alat” untuk PN.SPG ini ditempatkan.
membungkam hak-hak kelompok agama dan
Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG
keyakinan minoritas di Indonesia.
menjadi menarik saat dilihat dari perspektif upaya
Jika keadaan seperti itu tetap dibiarkan, penegakan hak asasi manusia, khususnya hak
maka upaya penegakan hukum hak asasi manusia beragama dan berkeyakinan. Putusan Nomor 69/
melalui pengadilan, terutama bagi kelompok PID.B/2012/PN.SPG terkesan masih cenderung
agama dan keyakinan minoritas, menjadi berupaya memenuhi hanya aspek keadilan
semakin sulit untuk diwujudkan. Sebagaimana prosedural, dan semangat untuk mengedepankan
telah juga diingatkan oleh Perry (2007: 94-95), penegakan hak asasi manusia, khususnya hak
bahwa hak asasi manusia, termasuk hak-hak beragama dan berkeyakinan, tidak tampak dalam
kelompok minoritas agama dan keyakinan, tidak putusan tersebut. Atau, dengan kata lain, majelis
bisa secara optimal dilindungi, walaupun suatu hakim dalam perkara ini memang cenderung
negara telah menjadi demokratis, kecuali sistem belum mampu mewujudkan peran yang lebih
pengadilannya benar-benar independen dari konkret dari lembaga yudikatif sebagai salah
tekanan atau kekuasaan lainnya, pun tidak cukup satu penyedia instrumen bagi penegakan nilai-
jika hanya menyandarkan diri pada sekedar sudah nilai hak asasi manusia, terutama bagi kelompok
adanya prosedur hukum yang formalitas. agama dan keyakinan minoritas.
IV. KESIMPULAN
berkeyakinan, sudah sejak lama menjadi perhatian Abdoellah, P. (2016). Revitalisasi kewenangan
serius mulai dari para tokoh pendiri bangsa, peradilan tata usaha negara: Gagasan
sarjana, sampai ke masyarakat awam. Di dalam perluasan kompetensi peradilan tata usaha
keberagaman tersebut, tentunya terkandung negara. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
isu bagaimana hak asasi manusia berupa hak
Abdullah, Z., & Wijaya, E. (2014). Problem keadilan
untuk secara bebas (tanpa tekanan) memeluk
bermazhab di Indonesia. Jakarta: Lentera
suatu agama dan keyakinan dapat ditegakkan
Hukum Indonesia.
(diwujudkan).
Afdillah, M. (2016). Dari masjid ke panggung politik:
Jaminan terhadap hak untuk secara bebas
Melacak akar-akar kekerasan agama antara
(tanpa tekanan) memeluk suatu agama dan komunitas Sunni & Syiah di Sampang, Jawa
keyakinan secara konstitusional tentu dapat Timur. Yogyakarta: Center for Religious and
dikatakan masih jauh dari cukup. Produk hukum Cross-Cultural Studies, Sekolah Pascasarjana
lainnya masih harus ada dan diperlukan untuk Lintas Disiplin Universitas Gadjah Mada.
mendukung jaminan yang telah diberikan oleh
Ahmad, L.O.I. (2011). Relasi agama dengan negara
konstitusi tersebut, dan salah satunya ialah putusan
dalam pemikiran Islam (Studi atas konteks ke-
pengadilan. Dalam konteks pemahaman yang
Arizona, Y., Wijaya, E., & Sebastian, T. (2014). Isra, S. (2014). Peran Mahkamah Konstitusi dalam
Pancasila dalam Putusan Mahkamah penguatan hak asasi manusia di Indonesia.
Konstitusi: Kajian terhadap Putusan Jurnal Konstitusi, 11(3), 426.
Mahkamah Konstitusi dalam perkara yang
Jufri, M. (2016). Analisis Putusan Pengadilan
berkaitan dengan perlindungan hak kelompok
Negeri Sampang Nomor 69/Pid.B/2012/
marjinal. Jakarta: Epistema Institute dan
PN.Spg. Perspektif hak kebebasan beragama di
Yayasan Tifa.
Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila
Djafar, W. (2010). Menegaskan kembali komitmen dan Kewarganegaraan, 1(2), 102-110.
negara hukum: Sebuah catatan atas
Kadarudin. (2015). Legal guarantees & inconsistency
kecenderungan defisit negara hukum di
of state recognition to the right of religion/belief
Indonesia. Jurnal Konstitusi, 7(5), 170.
in Indonesia. Hasanuddin Law Review, 1(1), 8.
Eddyono, L.W. (2015). The first ten years of
Komisi Yudisial Republik Indonesia [KYRI]. (2014).
the Constitutional Court of Indonesia: the
Kualitas hakim dalam putusan: Laporan
Establishment of the principle of equality & the
penelitian putusan hakim tahun 2012. Jakarta:
prohibition of discrimination. Constitutional
Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik
Review, 1(2), 144.
Indonesia.
Ginsburg, T. (2003). Judicial review in new
Latifiani, D. (2015). Permasalahan pelaksanaan
democracies: Constitutional Courts in Asian
putusan hakim. Jurnal Adhaper, 1(1), 20.
cases. New York: Cambridge University Press.
Lestari, G. (2015). Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah
Gumbira, S.W. (2016). Problematika peninjauan
multikultural Indonesia di tengah kehidupan
kembali dalam sistem peradilan pidana pasca
SARA. Jurnal Pendidikan Pancasila dan
Putusan Mahkamah Konstitusi & Pasca SEMA
Kewarganegaraan, 28(1), 35.
RI No. 7 Tahun 2014 (Suatu analisa yuridis
& asas-asas dalam hukum peradilan pidana). Marbun, S.F. (2011). Peradilan administrasi negara &
Jurnal Hukum dan Pembangunan, 46(1), 116. upaya administratif di Indonesia. Yogyakarta:
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Herawati, A. (2014). Analisa Putusan Pengadilan
Press.
Negeri Surabaya Nomor 3320/Pid.B/2012/
Pn.Sby dengan terdakwa H. Roies Al Hukama. McGann, A. (2006). The logic of democracy:
Dimuat dalam Kompilasi hasil penelitian Reconciling equality, deliberation, & minority
putusan pengadilan & kebijakan daerah protection. Michigan: The University of
terkait hak-hak atas kebebasan beragama/ Michigan Press.
berkeyakinan. Aminah, S. (Ed). Jakarta: The
Indonesian Legal Resource Center dan Hivos Perry, M.J. (2007). Toward a theory of human rights:
People Unlimited. Religion, law, courts. New York: Cambridge
University Press.
Human Rights Watch (HRW). (2013). Atas nama
agama: Pelanggaran terhadap minoritas Setara Institute. (2017). Kondisi kebebasan beragama
agama di Indonesia. Tanpa keterangan kota: di Indonesia 2016. Diakses dari <http://
Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 153
setara-institute.org/kondisi-kebebasan- Wawancara. (2013, Juli 28). Wawancara dengan Umar
beragamaberkeyakinan-dan-minoritas- Syihab (Ketua Bidang Ukhuwah Islamiyah
keagamaan-di-indonesia-2016/>. Majelis Ulama Indonesia Pusat).