Anda di halaman 1dari 20

PROBLEM MELINDUNGI HAK BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN

BAGI KELOMPOK MINORITAS MELALUI PENGADILAN


Kajian Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG

THE PROBLEM IN PROTECTING THE RIGHT TO FREEDOM OF


RELIGION AND BELIEF FOR THE MINORITY IN COURT OF LAW
An Analysis of Court Decision Number 69/PID.B/2012/PN.SPG

Endra Wijaya
Fakultas Hukum Universitas Pancasila
Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta 12640
E-mail: endra.wijaya333@yahoo.co.id

Naskah diterima: 1 Juli 2017; revisi: 16 Agustus 2017; disetujui 16 Agustus 2017

ABSTRAK berkeyakinan bagi kelompok minoritas, tidak tampak


dalam putusan tersebut.
Jaminan terhadap hak untuk memeluk agama dan
keyakinan sudah dijamin melalui konstitusi Indonesia, Kata kunci: hak beragama dan berkeyakinan, kelompok
tapi jaminan konstitusional itu belumlah cukup. minoritas, putusan pengadilan.
Penegakan hak untuk memeluk agama dan keyakinan
masih perlu didukung dengan instrumen hukum
lainnya, dan salah satunya ialah putusan pengadilan. ABSTRACT
Dalam konteks seperti itu, maka keberadaan Putusan The rights to freedom of religion and belief has
Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG menarik untuk been guaranteed under the Indonesian Constitution,
dicermati. Putusan tersebut berkaitan erat dengan isu although it is not enough. Enforcement of the right to
penegakan hak untuk memeluk agama dan keyakinan religion and belief still needs to be supported by other
di Indonesia, terutama bagi kelompok minoritas. Fokus legal instruments, one of which is the court ruling. In
permasalahan dalam tulisan ini akan diarahkan kepada that context, Court Decision Number 69/PID.B/2012/
persoalan bagaimanakah substansi Putusan Nomor 69/ PN.SPG is interesting to study. Decision Number 69/
PID.B/2012/PN.SPG dilihat dari perspektif penegakan PID.B/2012/PN.SPG is closely related to the issue of
hak asasi manusia, khususnya hak asasi manusia untuk enforcing the right to embrace religion and belief in
secara bebas (tanpa tekanan) memilih dan memeluk Indonesia, especially for minority groups. The focus of
suatu agama dan keyakinan. Dalam melakukan analisis, the problem in this paper leads to the question of how the
penulis menggunakan metode kajian kepustakaan substance of Court Decision Number 69/PID.B/2012/
dengan bersandar pada data sekunder. Analisis akan PN.SPG is viewed from the perspective of human rights
dilakukan secara kualitatif dengan metode pendekatan enforcement, especially the rights to freedom (without
peraturan perundang-undangan dan metode pendekatan pressure) of religion and belief. The method of analysis
konseptual. Kesimpulan yang didapat dari analisis employed is literature study by relying on secondary
ialah bahwa Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG data. The analysis is conducted qualitatively by the
cenderung masih berupaya mencapai aspek keadilan legislation and conceptual approach. From the analysis
prosedural. Semangat untuk mengedepankan penegakan largely it can be concluded that Court Decision Number
hak asasi manusia, khususnya hak beragama dan 69/PID.B/2012/PN.SPG still tends to grasp the aspect of

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 135
procedural justice. The spirit to encourage human rights Keywords: the right to freedom of religion and belief,
enforcement, especially religious rights for minority minority, court decision.
groups is not evident in the decision.

I. PENDAHULUAN Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika,


dalam level yang lebih konkret telah terdapat juga
A. Latar Belakang
jaminan dalam bentuk pasal-pasal dalam UUD
Masyarakat Indonesia merupakan NRI 1945 bagi keberagaman dalam masyarakat
masyarakat yang majemuk, termasuk dalam hal Indonesia, termasuk dalam hal agama dan
agama dan keyakinan. Keberagaman agama dan keyakinan (Kadarudin, 2015: 8). UUD NRI 1945
keyakinan yang ada di masyarakat tidak selamanya melalui beberapa pasalnya telah mengupayakan
mudah untuk diharmoniskan, karena ada kalanya jaminan bagi penegakan hak asasi manusia
hal tersebut justru menjadi pemicu terjadinya secara konstitusional dalam hal kebebasan
ketegangan antaranggota masyarakat. Untuk untuk memilih dan memeluk suatu agama dan
merespons kemajemukan dalam masyarakat keyakinan tertentu. Pasal-pasal itu ialah Pasal
Indonesia, para tokoh pendiri bangsa telah 28E, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29, yang mana
menetapkan Pancasila menjadi falsafah negara keberadaannya dimaksudkan untuk menjamin
yang dianggap paling sesuai sebagai pemersatu sekaligus menjaga agar keberagaman agama dan
seluruh anggota masyarakat yang memiliki keyakinan dalam masyarakat Indonesia dapat
latar belakang yang berbeda-beda. Perumusan berjalan harmonis (Abdullah & Wijaya, 2014:
Pancasila sebagai dasar negara dilakukan oleh 67).
para tokoh pendiri bangsa yang sebagian besar
Jaminan secara konstitusional melalui
beragama Islam. Hal yang demikian secara
pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 tersebut lalu
implisit menginformasikan bahwa Pancasila itu
diterjemahkan lagi ke dalam produk hukum
pada dasarnya tidak bertentangan, tapi sejalan
(peraturan perundang-undangan) yang lebih
dengan ajaran-ajaran Islam (Ahmad, 2011: 278).
rinci, seperti melalui Undang-Undang Nomor 39
Sejalan dengan hal tersebut di atas, tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang
semboyan Bhinneka Tunggal Ika lantas dipilih Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan
sebagai spirit pedoman yang mengingatkan dua Konflik Sosial, yang juga memberikan perhatian
hal penting kepada seluruh bangsa Indonesia, terhadap kemungkinan munculnya persoalan
yaitu: pertama, bangsa Indonesia mengandung yang berkaitan dengan agama dan keyakinan.
(memiliki) keberagaman di dalamnya (poin Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tersebut
faktual sosial), dan kedua, untuk dapat menjadi memandang persoalan agama sebagai salah satu
suatu bangsa besar dan kuat, maka masyarakat potensi konflik, baik melalui perseteruan antarumat
Indonesia yang beragam itu harus mampu bersatu beragama maupun interumat beragama (Wahyudi,
serta merasa saling senasib sepenanggungan 2013: 3-4). Memang dalam praktiknya, hidup
(poin nasionalisme) (Lestari, 2015: 35; Shofa, yang harmonis dalam keberagaman merupakan
2016: 37-38; Widiatmaka, 2016: 27). Selain hal yang tidak mudah untuk diwujudkan dalam

136 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154


masyarakat Indonesia, walaupun sudah ada Putusan pengadilan bukanlah semata-
Pancasila dan UUD NRI 1945. mata hanya merupakan bagian akhir dari proses
memeriksa dan mengadili (menyelesaikan)
Kesulitan (kendala) mengelola dan
perkara hukum. Lebih dari itu, putusan
mewujudkan kehidupan harmonis dalam
pengadilan dapat pula dipahami sebagai salah
keberagaman agama dan keyakinan di masyarakat
satu wujud konkret dari upaya menegakkan
Indonesia dapat diindikasikan, antara lain, dari
hak asasi manusia, sebagaimana telah dijamin
masih adanya praktik diskriminasi (intoleransi)
oleh konstitusi, melalui tangan para aparat di
terhadap kelompok agama dan keyakinan tertentu
lingkungan kekuasaan yudikatif. Peran dari
sampai dengan saat ini. Terkait dengan hal
para aparat di lingkungan kekuasaan yudikatif,
tersebut, menurut laporan Setara Institute yang
dalam hal ini melalui putusan pengadilan yang
dirilis pada tanggal 29 Januari 2017, sepanjang
dijatuhkannya, tentunya bisa dipahami pula
tahun 2016 terjadi 208 peristiwa pelanggaran
sebagai upaya aktif yang penting untuk dilakukan
kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan
dalam rangka memperkuat komponen-komponen
270 bentuk tindakan, yang tersebar di 24 provinsi.
pembentuk bangunan negara hukum Indonesia.
Sebagian besar pelanggaran terjadi di Provinsi
Jawa Barat, yaitu dengan 41 pelanggaran, Sebagaimana diungkapkan dalam kajian
peristiwa serupa dengan angka tinggi juga terjadi Djafar mengenai negara hukum Indonesia,
di Jakarta dengan 31 pelanggaran, dan Jawa bahwa beberapa komponen pembentuk bangunan
Timur dengan 22 pelanggaran (Setara Institute, negara hukum Indonesia terindikasikan masih
2017). berada dalam keadaan yang lemah, terutama
komponen-komponen yang berkaitan dengan isu
Kesulitan tersebut di atas merupakan
hak asasi manusia. Dalam kajiannya, dipaparkan
masalah yang tentunya perlu diupayakan antisipasi
bahwa gambaran mengenai situasi negara hukum
dan solusinya oleh banyak pihak. Dalam konteks
Indonesia dapat dijelaskan keadaan komponen-
bidang hukum, pihak-pihak seperti para pembuat
komponennya sebagai berikut:
peraturan perundang-undangan (law and policy
maker) maupun para aparat penegak hukum 1. Jaminan konstitusional: kuat.
(law and policy executor) sudah melakukan
2. Pembatasan kekuasaan: sedang.
beberapa upaya untuk dijadikan sebagai solusi
bagi mengatasi masalah mewujudkan kehidupan 3. Perlindungan hak asasi manusia: lemah.
harmonis dalam keberagaman agama dan
4. Akses terhadap keadilan: lemah (Djafar,
keyakinan di masyarakat Indonesia.
2010: 170)
Salah satu upaya yang ditempuh oleh aparat
Masih menurut Djafar (2010: 170) yang
penegak hukum, sebagaimana yang akan menjadi
terjadi dalam konteks saat ini ialah negara,
fokus dalam tulisan ini, ialah upaya (tindakan)
yang salah satunya melalui cabang kekuasaan
penjatuhan putusan pengadilan oleh hakim dalam
yudikatifnya, justru melakukan kebijakan “over
perkara pidana yang kasusnya berkaitan dengan
kriminalisasi” yang telah menyeret ribuan
permasalahan karena adanya keberagaman
rakyat dari kelompok marginal (kelompok
agama dan keyakinan di masyarakat Indonesia.

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 137
rentan) tidak menikmati hak-haknya sebagai Dalam pertimbangan hukumnya, secara
warga negara, bahkan menjebloskan mereka ke umum dapat dikatakan bahwa majelis hakim
dalam penjara. Begitu pun dengan kebijakan dalam perkara ini telah “mengadili” apa yang
legislasi yang diterapkan saat ini, memiliki menjadi keyakinan terdakwa TM, hal mana
kecenderungan bahwa setiap undang-undang sebenarnya merupakan hak yang sudah dijamin
yang mengatur publik akan selalu disertai di dalam Konstitusi Indonesia. Amar dalam
dengan sanksi pidana yang samar pengaturannya, Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG ini pada
sehingga tumbuh menjadi “pasal karet,” yang akhirnya membebankan pidana penjara kepada
mudah disalahgunakan. Dengan kata lain, ada TM. Dan tentunya dengan adanya Putusan Nomor
kecenderungan bahwa hukum memang tidak 69/PID.B/2012/PN.SPG ini menjadi sinyal
diciptakan untuk melindungi mereka yang bahwa upaya penegakan hak asasi manusia dalam
termasuk sebagai kelompok rentan. beragama dan berkeyakinan, khususnya bagi
kelompok minoritas di Indonesia, masih harus
Memperhatikan bahwa sudah kuatnya
menempuh “perjalanan panjang yang berliku.”
jaminan yang diberikan melalui konstitusi,
namun belum dibarengi dengan kuatnya praktik
perlindungan hak asasi manusia serta akses B. Rumusan Masalah
terhadap keadilan, maka yang diperlukan Kajian terhadap suatu putusan pengadilan
kemudian ialah upaya untuk membuat kedua bisa diarahkan kepada beberapa hal yang ada
poin yang masih lemah tersebut menjadi lebih pada putusan tersebut. Apabila merujuk pada
kuat. Pada poin itulah perihal aktivitas hakim kajian yang dilakukan oleh Susanto (2005: 144-
memeriksa, mengadili, dan menjatuhkan putusan 145) maupun oleh Komisi Yudisial Republik
menjadi penting pula untuk diperkuat dalam Indonesia (2014: 8), maka ada tiga hal yang dapat
rangka untuk menegakkan hak asasi manusia diamati dari suatu putusan pengadilan. Ketiga hal
secara lebih maksimal. itu ialah berhubungan dengan soal efektivitas,
efisiensi, dan kejujuran yang terkandung dalam
Sehubungan dengan paparan tersebut di atas,
putusan pengadilan. Dalam tulisan ini, dengan
maka perkara pada Pengadilan Negeri Sampang
mempertimbangkan beberapa hal teknis, maka
dengan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG
yang akan menjadi fokus pembahasan lebih lanjut
menjadi menarik untuk dicermati. Latar belakang
hanya akan dibatasi pada hal-hal yang termasuk
peristiwa dari Putusan Nomor 69/PID.B/2012/
dalam lingkup soal efektivitas dari suatu putusan
PN.SPG berkaitan erat dengan peran pengadilan
pengadilan. Dan, poin efektivitasnya tersebut
yang sebenarnya juga potensial untuk mendorong
juga akan dibahas secara terbatas, yaitu hanya
tegaknya hak asasi manusia dalam beragama
dalam konteks upaya penegakan hak asasi
dan berkeyakinan. Dengan bertempat di sekitar
manusia untuk beragama dan berkeyakinan.
wilayah yang menjadi wewenang Pengadilan
Negeri Sampang, perkara ini mendudukkan TM Kajian Susanto (2005: 144-145) dan
sebagai terdakwa dari tindak pidana penodaan Komisi Yudisial Republik Indonesia (2014: 8)
agama. TM merupakan tokoh agama bermazhab memaparkan bahwa yang dimaksud dengan
Syiah, yang keyakinan mazhabnya itu termasuk persoalan efektivitas pengadilan ialah persoalan
ke dalam kategori kelompok minoritas.

138 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154


penilaian dalam segi apakah pengadilan bisa 1. Semakin diperolehnya pemahaman
mencapai tujuan untuk apa ia didirikan. Persoalan yang lebih komprehensif terhadap objek
efektivitas ini lantas berhubungan erat dengan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG,
kemampuan pengadilan untuk menjadi pilar yang untuk beberapa pihak, seperti para
hukum, yaitu kemampuannya untuk benar-benar pemerhati isu-isu hak asasi manusia,
menjawab kegelisahan masyarakat. menarik untuk dicermati. Hal tersebut
mengingat Putusan Nomor 69/PID.B/2012/
Berdasarkan pembatasan tersebut, pokok
PN.SPG berhubungan erat dengan isu
permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut
perlindungan hak untuk beragama dan
dalam kajian ini adalah:
berkeyakinan bagi kelompok minoritas di
1. Bagaimanakah substansi Putusan Nomor Indonesia.
69/PID.B/2012/PN.SPG dilihat dari
2. Melengkapi kajian yang sudah ada
perspektif penegakan hak asasi manusia,
sebelumnya yang objeknya juga berupa
khususnya hak asasi manusia untuk secara
Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG,
bebas (tanpa tekanan) memeluk suatu
sebagaimana nanti akan dijelaskan lebih
agama dan keyakinan?
lanjut dalam tulisan ini.
2. Sudahkan putusan tersebut ikut
3. Memberikan sedikit tambahan pengetahuan
berkontribusi secara positif dalam upaya
mengenai bagaimana substansi Putusan
penegakan hak asasi manusia, terutama bagi
Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG jika dilihat
kelompok agama dan keyakinan minoritas?
dari perspektif penegakan hak asasi manusia,
khususnya hak asasi manusia untuk secara
C. Tujuan dan Kegunaan bebas (tanpa tekanan) memeluk suatu agama
Jika dihubungkan dengan rumusan dan keyakinan, terutama bagi kelompok
masalah, maka tujuan yang hendak dicapai minoritas.
melalui pembahasan dalam tulisan ini ialah untuk
mendapatkan pengetahuan dan pemahaman D. Tinjauan Pustaka
mengenai substansi Putusan Nomor 69/
Dua variabel yang akan dielaborasi
PID.B/2012/PN.SPG dilihat dari perspektif
keterkaitannya dalam kajian ini ialah variabel
penegakan hak asasi manusia, terutama hak untuk
putusan pengadilan dan hak asasi manusia,
memeluk suatu agama dan keyakinan. Termasuk,
khususnya hak-hak untuk beragama dan
diharapkan pula akan diketahui apakah putusan
berkeyakinan. Oleh karena itu, kajian terdahulu
tersebut sudah atau belum berkontribusi secara
yang akan dipaparkan adalah beberapa kajian
positif terhadap upaya penegakan hak asasi
yang materinya mengenai kedua variabel
manusia, khususnya bagi kelompok agama dan
dimaksud.
keyakinan minoritas.
Putusan pengadilan sudah tidak bisa lagi
Kajian dalam tulisan ini juga diharapkan
dipahami hanya sebagai tahap akhir dari suatu
akan membawa kegunaan (manfaat), antara lain,
sengketa hukum yang terjadi. Tetapi lebih dari
berupa:

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 139
itu, putusan pengadilan sebenarnya memiliki sosial). Alur berpikir yang demikian itulah yang
banyak makna atau peran. Berikut ini akan diadopsi ke dalam bidang hukum acara peradilan
dicoba dijelaskan beberapa makna atau peran tata usaha negara dan juga Mahkamah Konstitusi
dari putusan pengadilan tersebut: melalui asas erga omnes.

Pertama, putusan pengadilan dapat Asas erga omnes dalam sistem peradilan
dipahami sebagai tahap akhir dari suatu tata usaha negara adalah asas yang menyatakan
sengketa hukum, terutama bagi putusan yang bahwa putusan pengadilan juga memiliki daya
telah berkekuatan hukum tetap (Latifiani, 2015: berlaku dan mengikat secara publik, di samping
20). Tumpa berpendapat bahwa putusan hakim mengikat para pihak yang bersengketa (Tjandra,
merupakan bagian akhir dari suatu sengketa yang 2009: 73; Marbun, 2011: 233-234; Abdoellah,
diperiksa melalui serangkaian acara di muka 2016: 115; Suwito, 2016: 87). Hal yang serupa
persidangan di pengadilan. Putusan hakim itu juga juga diterapkan dalam sistem pengujian undang-
sekaligus menjadi titik tumpu dari suatu eksekusi undang oleh Mahkamah Konstitusi, di mana
yang tujuannya akan menyudahi sengketa yang Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara
terjadi antara para pihak (Tumpa, 2010: 1 dan 6). pengujian undang-undang mengikat semua
Pengertian putusan pengadilan seperti ini dapat komponen bangsa, baik penyelenggara negara
dipahami sebagai pengertian yang “klasik” dan maupun warga negara (Gumbira, 2016: 116).
cenderung “sempit.”
Kedua, putusan pengadilan dapat pula
Salah satu alasan mengapa pengertian dipahami sebagai instrumen yang potensial
putusan pengadilan yang memosisikannya memberikan perlindungan terhadap hak
hanya sebagai hasil akhir sengketa hukum asasi manusia. Dalam penelitian yang telah
dikatakan sempit ialah karena pengertian seperti dipublikasikan dalam bentuk buku yang
itu menempatkan putusan pengadilan hanya berjudul “Pancasila dalam Putusan Mahkamah
berpengaruh terhadap para pihak yang terlibat Konstitusi: Kajian terhadap Putusan Mahkamah
langsung dengan sengketa hukum yang terjadi. Konstitusi dalam Perkara yang Berkaitan dengan
Hal seperti ini lazimnya berlaku dalam sistem Perlindungan Hak Kelompok Marjinal,” Arizona,
hukum acara pada peradilan umum untuk perkara Wijaya, & Sebastian (2014: 106) menyimpulkan
perdata (Tjandra, 2009: 79). Mengenai dampak bahwa putusan pengadilan, yang dalam penelitian
putusan pengadilan tersebut di luar para pihak mereka tertuju pada Putusan Mahkamah
yang terlibat, misalnya kepada pihak masyarakat Konstitusi, sesungguhnya memiliki peran yang
umum, yang berarti ini juga ialah berdampak sangat potensial untuk dapat melindungi hak asasi
sosial, pendapat yang pertama ini tidak manusia. Walaupun memang dalam praktiknya
memperhatikannya. Padahal, dalam praktiknya, belum bisa diwujudkan secara maksimal Jaminan
memperlihatkan pula bahwa suatu putusan hak asasi manusia yang sudah diberikan oleh
pengadilan yang awalnya hanya ditujukan konstitusi sebenarnya belumlah bisa dikatakan
langsung bagi para pihak yang bersengketa, cukup untuk dapat benar-benar melindungi hak
setelah putusan tersebut diputus justru ternyata asasi manusia setiap warga negara. Sebagaimana
membawa pengaruh (berdampak) juga kepada kajian dari McGann, ia menjelaskan bahwa
pihak lain di luar sengketa (memiliki dampak konstitusi belum bisa secara pasti dan nyata

140 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154


melindungi hak-hak asasi manusia, dan oleh Subki, Muntahaa, & Azizah (2014: 54-
karena itu, maka jaminan perlindungan hak 65) dalam kajiannya yang berjudul “Analisis
asasi manusia masih memerlukan tindakan nyata Yuridis Tindak Pidana Penodaan Agama
lainnya, seperti tindakan nyata dari lembaga- (Putusan Pengadilan Negeri Sampang Nomor:
lembaga pemerintah atau pengadilan (McGann, 69/PID.B/2012/PN.SPGg)” menyoroti perihal
2006: 104-105). Pada poin inilah kemudian peran bagaimana perkara tindak pidana penodaan
dari hakim di pengadilan akan memiliki arti yang agama dengan terdakwa TM diselesaikan secara
penting pula untuk ikut menegakkan nilai-nilai yuridis prosedural, dan dihubungkan pula dengan
hak asasi manusia yang telah dijamin melalui persoalan tujuan pemidanaan. Namun demikian,
konstitusi (Isra, 2014: 426; Eddyono, 2015: 144). analisis kajian dari para peneliti tersebut belum
menggali lebih jauh keterkaitan antara isu hak asasi
Sejalan dengan penjelasan di atas, Ginsburg
manusia dengan perkara pada Putusan Nomor 69/
(2003: 32-33) dalam kajiannya mengenai peran
PID.B/2012/PN.SPG. Celah pada pembahasan
Mahkamah Konstitusi di beberapa negara di Asia,
mengenai isu hak asasi manusia itulah yang coba
dalam salah satu bab pada kajiannya tersebut,
diangkat oleh penulis melalui tulisan kali ini.
juga menyimpulkan (mengungkapkan) bahwa
lembaga (mekanisme) judicial review benar- Kajian dari Jufri (2016: 102-110) dengan
benar dapat menjadi salah satu tumpuan kelompok judul “Analisis Putusan Pengadilan Negeri
minoritas untuk melindungi kepentingan Sampang Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG.
mereka yang sebenarnya telah dijamin secara Perspektif Hak Kebebasan Beragama di Indonesia”
konstitusional. Melalui kajian Ginsburg, secara membahas mengenai apakah Putusan Nomor
implisit, dapat dipahami bahwa melalui aktivitas 69/PID.B/2012/PN.SPG mengenyampingkan
memeriksa, mengadili, dan memutus melalui prinsip-prinsip hak kebebasan dan berkeyakinan.
putusannya, hakim di pengadilan bisa berperan Melalui kajian itu, penulis sudah mencoba
sebagai semacam aktor “penjamin (asuransi)” menghubungkan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/
hak-hak konstitusional dari minoritas. Ginsburg PN.SPG dengan persoalan mengenai hak asasi
(2003: 25) menyebut hal tersebut dengan istilah manusia, dan dengan menggunakan metode
“insurance model of judicial review.” pendekatan normatif yang merujuk kepada
UUD NRI 1945, Undang-Undang Nomor 39
Dari paparan tersebut di atas, dapat
tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang
dipahami bahwa keberadaan putusan
Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan
pengadilan selain memang mengemban fungsi
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, serta
untuk menyelesaikan sengketa, ternyata juga
metode pendekatan konseptual yang difokuskan
memiliki fungsi sebagai salah satu sarana
kepada konsep negara hukum.
untuk menegakkan (mewujudkan) secara nyata
jaminan hak-hak asasi manusia sebagaimana Hal yang belum dieksplorasi lebih jauh di
tercantum dalam konstitusi. Sudah ada beberapa dalam kajian dari Jufri tersebut ialah pembahasan
kajian yang dilakukan oleh penulis lain yang yang mendudukkan (meletakkan) putusan
objek penelitiannya berupa Putusan Nomor pengadilan, dalam hal ini Putusan Nomor
69/PID.B/2012/PN.SPG, dan berikut ini ialah 69/PID.B/2012/PN.SPG, sebagai salah satu
paparan dua kajian tersebut secara singkat: instrumen untuk menegakkan hak asasi manusia.

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 141
Pada poin itulah terdapat perbedaan antara kajian III. HASIL DAN PEMBAHASAN
yang dilakukan oleh Jufri dengan kajian yang
A. Posisi Kasus dalam Putusan Nomor 69/
dilakukan oleh penulis dalam tulisan ini.
PID.B/2012/PN.SPG

II. METODE Perkara dalam Putusan Nomor 69/


PID.B/2012/PN.SPG terjadi di Dusun
Dalam melakukan analisis, penulis Nangkrenang, Desa Karang Gayam, Kecamatan
menggunakan metode kajian kepustakaan dengan Omben, Kabupaten Sampang, Jawa Timur.
bersandar pada data sekunder. Sehubungan dengan Terdakwa dalam perkara ini ialah TM yang
data sekunder tersebut, penulis kemudian merujuk merupakan seorang tokoh agama (guru agama)
pada beberapa jenis bahan hukum, terutama bahan dan bertempat tinggal di Dusun Nangkrenang.
hukum primer, yang berupa putusan pengadilan TM mempunyai banyak pengikut atau murid
serta beberapa peraturan perundang-undangan, (santri) di lingkungan sekitar tempat ia menetap.
dan bahan sekunder, yang berupa kajian dari para Mayoritas penduduk di Dusun Nangkrenang
sarjana yang telah dipublikasikan dalam bentuk dan sekitarnya merupakan orang-orang yang
buku serta tulisan di jurnal. Untuk melengkapi memeluk agama Islam (muslim). Namun, dari
pembahasan, penulis juga akan mengungkapkan sudut mazhab, penduduk daerah tersebut secara
informasi yang sebenarnya telah penulis dapatkan garis besar dapat dibagi menjadi dua golongan,
pada tahun 2013 melalui wawancara dengan yaitu pemeluk mazhab Sunni dan mazhab Syiah.
narasumber yang relevan, yang saat diwawancarai
sedang menjabat sebagai salah seorang pengurus Terdakwa TM pada hari dan tanggal yang
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Informasi tidak dapat ditentukan dengan pasti antara tahun
tersebut belum pernah penulis publikasikan, dan 2003 sampai dengan 29 Desember 2011, atau
dalam tulisan ini, informasi itu akan penulis setidak-tidaknya pada waktu lain antara tahun
hubungkan dengan sebagian poin penjelasan pada 2003 sampai dengan tahun 2011, bertempat
bagian analisis. di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben,
Kabupaten Sampang, dan di Desa Kampung
Objek berupa Putusan Nomor 69/ Gedding Laok Desa Blu’uran, Kecamatan Karang
PID.B/2012/PN.SPG akan dianalisis secara Penang, Kabupaten Sampang atau pada tempat di
kualitatif beberapa bagiannya, terutama bagian mana Pengadilan Negeri Sampang berwenang
pertimbangan hukum dengan menghubungkannya memeriksa dan mengadili, didakwa telah dengan
pada beberapa peraturan perundang-undangan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan
dan konsep atau pendapat sarjana yang relevan. atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya
Jika dicoba dimasukkan ke dalam kategori bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
pembagian metode pendekatan dalam melakukan penodaan terhadap suatu agama yang dianut di
analisis, maka metode pendekatan yang digunakan Indonesia, dengan maksud agar supaya orang
oleh penulis dalam tulisan ini ialah termasuk tidak menganut agama apapun juga, yang
dalam kategori metode pendekatan peraturan bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
perundang-undangan (statute approach) dan
pendekatan konseptual (conceptual approach). Tindak pidana yang didakwakan kepada
TM merupakan serangkaian perbuatan yang dapat

142 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154


dijelaskan secara ringkas sebagai berikut: TM Januari 2012 yang menyatakan bahwa ajaran
yang telah lulus belajar dari Arab Saudi selama yang disebarluaskan oleh TM ialah sesat dan
enam tahun, pada tahun 2003 mulai mengajarkan menyesatkan, serta ajaran yang disebarluaskan
(menerapkan ajaran yang dipahaminya) kepada oleh TM merupakan penistaan dan penodaan
beberapa santri yang sebelumnya telah menjadi terhadap agama Islam.
santri di sebuah pondok pesantren. Ajaran yang
Perbuatan terdakwa TM tersebut sudah
diajarkan oleh TM lambat laun mulai dicurigai
dianggap memenuhi unsur-unsur delik, sehingga
oleh beberapa pihak sebagai ajaran yang
TM didakwa dengan ketentuan sebagaimana
menyimpang dari agama Islam.
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 156a
Penyampaian ajaran tersebut dilakukan TM Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
di sebuah rumah di Dusun Nangkrenang, Desa Atau, sebagai dakwaan alternatif yang kedua, TM
Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten telah didakwa dengan melawan hak memaksa
Sampang, yang digunakan untuk belajar mengaji orang lain untuk melakukan, tidak melakukan
dan sekaligus sebagai tempat TM menyampaikan atau membiarkan barang sesuatu apa dengan
ajaran-ajarannya di hadapan para pengikut atau kekerasan, dengan sesuatu perbuatan lain ataupun
santrinya. Selain itu, juga penyampaian ajaran- dengan perbuatan yang tidak menyenangkan atau
ajaran TM dilakukan di Masjid Banyuarrum Desa dengan ancaman kekerasan, ancaman dengan
Blu’uran, Kecamatan Karang Penang, Kabupaten sesuatu perbuatan lain, ataupun ancaman dengan
Sampang, pada saat ada perkumpulan dengan perbuatan yang tidak menyenangkan akan
para pengikutnya yang biasanya diadakan setiap melakukan sesuatu itu baik terhadap orang itu
malam Jumat dan malam Selasa, sedangkan untuk maupun terhadap orang lain. Perbuatan terdakwa
kegiatan di luar pondok pesantren TM, biasanya TM tersebut ialah sebagaimana diatur dan
pada acara khusus yang dilakukan tiga kali pada diancam pidana dalam Pasal 335 ayat (1) ke-1
setiap tahunnya pada bulan Syuro, Safar, dan KUHP.
Dzulhijjah.
Penuntut umum menyusun dakwaan secara
Masyarakat di sekitar tempat TM alternatif, yaitu dakwaan kesatu, terdakwa TM
menyebarkan ajaran tersebut lalu menjadi resah, didakwa melanggar Pasal 156a KUHP, atau
baik para ulama, para kiai, dan tokoh masyarakat, dalam dakwaan kedua, terdakwa TM didakwa
sehingga terjadi pertentangan (konflik) antara melanggar Pasal 335 ayat (1) KUHP. Sebagaimana
ajaran yang disampaikan TM dengan ajaran lazimnya dalam praktik, terhadap dakwaan yang
Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni) yang pada bersifat alternatif, majelis hakim dalam perkara
umumnya dianut oleh masyarakat Sampang. ini memiliki kebebasan untuk menentukan
Para ulama, para kiai dan tokoh masyarakat dakwaan mana yang akan dipertimbangkan yang
lalu menganggap bahwa TM telah melukai dipandang paling mendekati dengan fakta hukum
perasaan umat Islam karena telah mengajarkan yang terungkap di persidangan. Pada intinya,
ajaran yang menyimpang dari agama Islam, hal dalam pertimbangan hukumnya setelah melalui
mana sebagaimana dicantumkan dalam Fatwa serangkaian pemeriksaan di muka persidangan,
Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Sampang majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa TM
Nomor A-035/MUI/Spg/I/2012 tanggal 1 telah terbukti dengan sengaja di muka umum

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 143
melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat
hukum terhadap perkara ini, Pengadilan Tinggi
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Surabaya sudah menjatuhkan Putusan Nomor
Indonesia, atau dengan kata lain, terdakwa TM481/PID/2012/PT.SBY, dan Mahkamah Agung
sudah memenuhi semua unsur dalam Pasal 156a menjatuhkan Putusan Nomor 1787 K/PID/2012.
KUHP sebagaimana yang menjadi dakwaan Namun, secara garis besar, kedua tingkat upaya
kesatu dari penuntut umum. Oleh karena dakwaan
hukum tersebut menghasilkan putusan yang relatif
kesatu telah terbukti, maka dakwaan keduanya sama, yaitu tetap menjatuhkan pidana penjara
tidak perlu dipertimbangkan lagi. kepada TM. Bahkan, pada pemeriksaan tingkat
banding, majelis hakim di Pengadilan Tinggi
Berdasarkan pertimbangan hukum yang
Surabaya dalam perkara ini menjadikan pidana
telah dirumuskan, maka kemudian pada amar
penjara yang dijatuhkan kepada TM menjadi
putusannya majelis hakim menjatuhkan putusan
empat tahun penjara.
sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa TM alias H. AM B. Analisis


terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “melakukan Dari hal-hal yang sudah dipaparkan di
perbuatan yang pada pokoknya bersifat atas, terdapat beberapa hal yang menarik untuk
penodaan terhadap agama Islam.” dicermati lebih lanjut. Untuk mempermudah
pembahasan, maka analisis akan disajikan, namun
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dibatasi dan diarahkan, kepada hal-hal berikut:
dengan pidana penjara selama dua tahun.
Pertama, objek yang dikaji ialah hanya
3. Menetapkan masa penahanan yang telah Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG. Putusan
dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya pada tingkat banding dan kasasi dalam perkara
dari pidana yang dijatuhkan. ini tidak akan dibahas secara detil mengingat
substansi amar putusan dari kedua putusan
4. Menetapkan agar terdakwa tetap berada
tersebut cenderung sama dengan substansi
dalam tahanan.
Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG sebagai
5. Memerintahkan agar barang-barang bukti pengadilan tingkat pertama. Sekilas terkesan
dalam perkara ini tetap terlampir dalam bahwa Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG
berkas perkara. secara prosedural telah memenuhi syarat-syarat
yang diperlukan bagi penyelesaian suatu perkara
6. Membebankan biaya perkara kepada
pidana melalui mekanisme pemeriksaan di
terdakwa.
pengadilan (di muka persidangan). Semua syarat
Perkara yang diperiksa di Pengadilan yang harus dimuat di dalam putusan pengadilan
Negeri Sampang yang telah diputus dengan (syarat formal), sebagaimana diatur dalam Pasal
Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG itu lalu 197 jo. Pasal 199 KUHAP sudah dipenuhi.
dimintakan upaya hukum lanjutannya, yaitu upaya Sebagai bagian dari proses memeriksa dan
hukum banding di Pengadilan Tinggi Surabaya, mengadili perkara di pengadilan, pengambilan
dan kasasi di Mahkamah Agung. Dalam upaya suatu putusan pengadilan terlebih dulu harus

144 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154


melalui beberapa proses, yang meliputi pada pokoknya sebagai berikut:
pemeriksaan saksi, pemeriksaan terdakwa, dan a. Kitab suci Al Quran yang berada di
pemeriksaan barang bukti. Dalam perkara ini, tangan kaum muslimin saat ini tidak
majelis hakim telah melakukan pemeriksaan di otentik (istilahnya aqidah tahrif Al
Quran), yang otentik sedang dibawa
muka persidangan, dan sudah juga didukung oleh oleh Imam al-Mahdi al-Muntadhor
beberapa alat bukti yang sah, sebagaimana diatur yang sekarang ini ghaib;
dalam Pasal 183 jo. Pasal 185 KUHAP. b. Dua kalimat syahadat yang ditambah
dengan: “wa asyhadu anna aliyyan
Dalam pemeriksaan, ada beberapa poin waliyyullah wa asyhadu anna aliyyan
dakwaan yang memang terbukti, namun ada pula hujjatullah”;
yang tidak terbukti dengan mengingat keberadaan c. Wajib mengkafirkan sahabat-sahabat
beberapa alat bukti yang dihadirkan di muka dan para mertua serta beberapa istri
Nabi Muhammad SAW;
persidangan. Poin-poin dakwaan yang dianggap
terbukti oleh majelis hakim, antara lain, tertuju d. Wajib berbohong atau ber-taqiyah
terhadap kaum muslimin Ahli Sunnah
kepada persoalan ajaran dari TM mengenai:
Waljama’ah;
1. Rukun Iman ada lima, yaitu: tawhidullah/ e. Rukun Iman ada lima, yaitu:
ma’rifatullah, annubuwwah (kenabian), al- tawhidullah/ma’rifatullah, an-
nubuwwah (kenabian), al-imamah
imamah (ke-imamah-an), al-‘adl (keadilan (ke-imamah-an), al-‘adli (keadilan
Tuhan), al-ma’aad (hari pembalasan); Tuhan), dan al-ma’aad (hari
pembalasan);
2. Rukun Islam ada delapan, yaitu: shalat,
f. Rukun Islam ada delapan yaitu:
puasa, zakat, khumus, haji, amar ma’ruf sholat, shoum (puasa), zakat, khumus,
nahi mungkar, jihad, dan al-wilayah. haji, amar ma’ruf nahi munkar, jihad,
dan al-wilayah;
Mengenai dianggap terbuktinya poin
g. Al-fidha;
dakwaan itu agak sulit untuk ditemukan
penjelasan (analisis) dari majelis hakim yang h. Ar-roji’ah; …
mendalam terhadap hal itu di dalam Putusan Menimbang, bahwa mengenai dakwaan
Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG. Kedua poin bahwa terdakwa telah menyampaikan
ajaran: “dua kalimat syahadat yang
dakwaan yang dianggap terbukti oleh majelis ditambah dengan “waasyhaduanna aliyyan
hakim tersebut, jika dibaca dari isi Putusan waliyyullah wa asyhadu anna aliyyan
Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, merupakan hujjatullah,” wajib mengkafirkan sahabat-
sahabat dan para mertua serta beberapa istri
dua poin dakwaan dari rangkaian delapan poin Nabi Muhammad SAW, al-fidha, dan ar-
dakwaan yang menyasar ajaran yang dianggap roji’ah,” majelis hakim memandang tidak
cukup bukti, mengingat hal tersebut hanya
diyakini dan diajarkan oleh TM. Mengenai
didasarkan pada keterangan saksi RA dan
dakwaan terhadap ajaran TM itu, lengkapnya saksi tersebut tidak disumpah, sehingga
ialah berbunyi sebagai berikut (Putusan Nomor tidak memenuhi ketentuan minimum dua
alat bukti yang sah; …” (huruf italic dan
69/Pid.B/2012/PN.Spg: 89-90): bold dari penulis).
“Menimbang, bahwa dalam surat
dakwaannya penuntut umum mendakwa Jika diamati seluruh isi Putusan Nomor
terdakwa telah menyampaikan ajaran yang 69/PID.B/2012/PN.SPG, majelis hakim yang

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 145
memeriksa dan mengadili perkara memang rujukan yang memadai dalam proses mengadili
sudah mengajukan argumentasi yang dirumuskan di pengadilan.
secara, di satu sisi, “menyetujui” dakwaan, dan
Kedua, saat majelis hakim membahas
sekaligus di sisi lain, “menolak” dakwaan dari
beberapa fakta hukum yang penting untuk dapat
jaksa penuntut umum dengan mempertimbangkan
membuktikan bahwa TM memang benar telah
keberadaan alat-alat bukti yang dihadirkan di
“melakukan perbuatan yang pada pokoknya
persidangan.
bersifat penodaan terhadap agama Islam” terkesan
Argumentasi seperti itu tentunya dapat masih terdapat kelemahan pada argumentasi yang
dipahami mengingat majelis hakim sedang dibangun oleh majelis hakim. Dalam salah satu
menghadapi perkara yang cukup kompleks, bagian pertimbangan hukumnya, majelis hakim
baik dari perspektif pengetahuan bidang agama, merumuskan bahwa:
sosial, maupun dari perspektif yuridis. Bahkan “Menimbang, bahwa mengenai ajaran
sebagaimana kajian dari Jufri, ia menduga tentang Rukun Iman dan Rukun Islam,
bahwa dalam rangkaian proses persidangan majelis sependapat dengan penasihat
hukum terdakwa yang mendasarkan pada
perkara ini ada beberapa bentuk upaya untuk keterangan ahli Dr. Zaenal Abidin Bagir,
memengaruhi secara sistematis jalannya proses M.A., Dr. Umar Shahab, M.A., dan Prof.
persidangan. Jufri (2016: 108) menyebut bentuk- Dr. Zainun Kamal, M.A., serta barang bukti
dan surat bukti buku Risalah Ammandan
bentuk upaya seperti itu dengan istilah upaya buku Sunnah-Syiah, Bergandeng Tangan!
“hegemoni mayoritas.” Dapat diamati pula Mungkinkah (penulis M. Quraish Shihab)
yang pada pokoknya menyatakan bahwa
melalui isi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/
rumusan lima Rukun Iman dan delapan
PN.SPG ialah masih belum maksimalnya majelis Rukun Islam secara subtansi ada kesamaan
hakim mengeksplorasi lebih dalam informasi dengan rumusan enam Rukun Iman dan
lima Rukun Islam yang secara umum
dari beberapa alat bukti yang dihadirkan dalam dikenal oleh umat Islam Indonesia,
persidangan, misalnya yang bersumber dari perbedaan jumlah tersebut lebih pada
pendapat dari para ahli bidang agama dan literatur perbedaan pandangan dan tafsir atas Al
Quran dan Hadis Nabi;
(bahan hukum sekunder), seperti Risalah Amman
dan buku “Sunnah-Syiah, Bergandeng Tangan! Menimbang, bahwa mengenai perbuatan
terdakwa menyampaikan atau mengajarkan
Mungkinkah,” yang juga menjadi barang-barang bahwa Al Quran yang ada sekarang tidak
bukti. asli (tidak orisinil), majelis memandang
bahwa perbuatan terdakwa tersebut
Hal yang baru saja dipaparkan di atas telah jelas merendahkan, mengotori dan
merusak keagungan Al Quran, mengingat
tampak sejalan dengan pendapat dari Bredemeier,
sebagaimana menjadi pengetahuan umum,
yang dikutip dalam kajian Susanto, di mana bahwa Al Quran merupakan kitab suci bagi
ia menyayangkan banyaknya hasil penelitian umat Islam yang terjaga kemurniannya
karena sudah dijamin pemeliharaan
yang telah dihasilkan oleh para ahli namun (kemurniannya) oleh Allah SWT,
hasil penelitian tersebut “tetap saja tersimpan sebagaimana disebutkan dalam Al Quran
dan tertinggal rapat-rapat dalam tembok kamar Surat Al-Hijr [15] ayat 9;…”
fakultas-fakultas hukum dan di dalam majalah Kutipan pertimbangan hukum tersebut
hukum…” (Susanto, 2005: 148), atau dengan merupakan salah satu bagian di mana majelis
kata lain, bahan-bahan itu tidak dijadikan sebagai

146 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154


hakim berupaya untuk berargumentasi bahwa TM hakim mau kembali merujuk kepada Risalah
telah benar-benar melakukan tindak penodaan Amman dan buku “Sunnah-Syiah, Bergandeng
terhadap agama Islam. Namun demikian, jika Tangan! Mungkinkah” yang sudah diajukan
dicermati, maka sebenarnya pertimbangan sebagai alat bukti dalam persidangan perkara
hukum itu mengandung beberapa kelemahan ini, maka ketergesa-gesaan atau ketidakcermatan
sebagai berikut: Dalam Putusan Nomor 69/ dalam memahami konsep penodaan bisa dihindari.
PID.B/2012/PN.SPG ternyata majelis hakim Di dalam kedua dokumen itu dijelaskan fakta-
tidak mengelaborasi konsep penodaan, terutama fakta bahwa memang di dalam tubuh umat Islam
dalam kaitannya dengan aktivitas agama dan itu terdapat perbedaan mazhab, antara lain yaitu
keyakinan yang ada di masyarakat. Elaborasi mazhab Sunni dan Syiah (Shihab, 2014: 35-36).
terhadap konsep penodaan menjadi sangat Dan terhadap kenyataan adanya mazhab-mazhab
penting untuk dilakukan mengingat perkara yang tersebut, sedang terus diupayakan pendekatan
sedang diadili ini merupakan perkara dugaan untuk mewujudkan keadaan “saling berdialog”
tindak pidana penodaan terhadap agama Islam. di antara keduanya, bukan malah justru saling
Dan juga sebagaimana sudah menjadi fakta menyalahkan (Shihab, 2014: 264-268).
historis dan sosial, di level pemeluk agama Islam
Kelemahan selanjutnya yang dapat
terjadi (terdapat) banyak mazhab (aliran) yang
dicermati pada pertimbangan hukum yang telah
cenderung disalahpahami eksistensinya.
dikutip tersebut di atas ialah berkaitan dengan
Sehubungan dengan fakta keberagaman dakwaan bahwa TM sudah menyampaikan atau
mazhab dalam umat Islam tersebut, maka mengajarkan bahwa Al Quran yang ada sekarang
ketergesa-gesaan atau ketidakcermatan dalam tidak asli (tidak orisinil). Terkait dengan hal
memahami konsep penodaan dapat berakibat tersebut, majelis hakim kembali tidak melakukan
dengan mudahnya mazhab tertentu dianggap elaborasi mengenai poin dakwaan itu, dan
negatif (sesat). Penulis mendapat kesan bahwa langsung melompat pada simpulan bahwa TM
majelis hakim dalam perkara ini telah pula telah jelas-jelas merendahkan, mengotori, dan
melakukan simplifikasi atas konsep penodaan, merusak keagungan Al Quran.
bahkan dengan “menyamakan” makna antara
Dasar argumentasi dari majelis hakim
konsep penodaan (agama) dan konsep perbedaan
mengenai poin tersebut hanya bersandarkan
(mazhab).
pada keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh
Simplifikasi dengan “menyamakan” makna penuntut umum dan beberapa barang bukti
antara konsep penodaan (agama) dan konsep berupa surat-surat. Lantas, bagaimanakah Al
perbedaan (mazhab) tentunya dapat berakibat pada Quran “versi asli” sesuai keyakinannya TM?
menafikan fakta adanya perbedaan dalam tubuh Mengenai hal itu, baik majelis hakim maupun
umat Islam, bahkan cenderung dapat mengecap penuntut umum, tidak dapat menghadirkannya di
salah (sesat) mazhab tertentu. Putusan Nomor muka persidangan. Sehubungan dengan problem
69/PID.B/2012/PN.SPG memperlihatkan hal “keaslian” Al Quran tersebut, yang biasanya
yang demikian, di mana pada akhirnya TM yang dilekatkan kepada mereka yang bermazhab
bermazhab Syiah dinyatakan telah melakukan Syiah, kiranya menarik untuk dicermati pula
penodaan terhadap agama Islam. Jika majelis penjelasan yang penulis peroleh dari wawancara

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 147
terhadap seorang narasumber yang relevan, di melakukan tindak pidana “melakukan perbuatan
mana ia menjelaskan bahwa, “Saya pernah bawa yang pada pokoknya bersifat penodaan terhadap
asisten saya untuk pergi ke Iran dan mencari agama Islam.” Pada poin ini, dapat terkesan bahwa
semua Al Quran yang ada di tiap-tiap daerah di proses hukum yang dikenakan terhadap TM
sana. Sampai ada sepuluh Al Quran yang dibawa. merupakan proses mengadili apa yang menjadi
Dan semuanya sama dengan Al Quran kita…” keyakinan (mazhab yang dipeluk) TM. Pada
(wawancara, 2013). Oleh karena itulah, maka sisi yang lain, jaksa penuntut umum merespons
tentu akan lebih menarik lagi jika dalam Putusan (menjawab) keresahan sebagian masyarakat,
Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, majelis hakim yang apabila dicermati dalam perkara ini dapat
melakukan penggalian yang lebih mendalam dipahami bahwa mereka berpaham Ahlus Sunnah
mengenai problem “keaslian” Al Quran yang wal Jama’ah (Sunni), melalui dakwaan terhadap
didakwakan kepada terdakwa TM. TM, yang mana dakwaannya mengarah kepada
tindak pidana penodaan agama sebagaimana
Upaya pihak terdakwa TM untuk
diatur dalam Pasal 156a KUHP, dan juga tindak
menghadirkan saksi-saksi dan barang bukti
pidana yang diatur dalam Pasal 335 ayat (1)
berupa Al Quran dalam menyangkal dakwaan
KUHP.
telah merendahkan, mengotori dan merusak
keagungan Al Quran pun tidak dapat diterima oleh Dari paparan tersebut, dapat dipahami
majelis hakim. Al Quran yang diajukan sebagai pula, bahwa perkara pada Putusan Nomor
barang bukti oleh TM dianggap oleh majelis 69/PID.B/2012/PN.SPG, mau tidak mau,
hakim sebagai “tidak serta-merta dapat menjadi bersinggungan dengan problem hubungan
bukti,” sedangkan saksi-saksi yang diajukan antarmazhab yang ada di dalam tubuh umat
oleh TM juga dianggap tidak dapat dipercaya Islam, yaitu mazhab Sunni yang pemeluknya
keterangannya, karena majelis hakim langsung mayoritas dan Syiah yang pemeluknya minoritas,
mengaitkan mereka dengan ajaran taqiyah. khususnya dalam konteks tempat terjadinya
perkara di Sampang.
Ketiga, potensi dampak dikeluarkannya
Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG Alur pikiran yang terbaca pada beberapa
terhadap persoalan penegakan hak asasi bagian dari Putusan Nomor 69/PID.B/2012/
manusia, khususnya hak asasi manusia untuk PN.SPG ialah bahwa majelis hakim pun
beragama dan berkeyakinan di Indonesia. menggunakan “perspektif mayoritas minoritas”
Substansi perkara dalam Putusan Nomor 69/ saat mengadili perkara ini. Hal tersebut dapat
PID.B/2012/PN.SPG sangat berhubungan terbaca setidaknya pada rumusan yang ada di
dengan persoalan kemerdekaan untuk memeluk dalam Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG
agama dan keyakinan, sebagaimana telah diatur yang menyatakan (huruf italic dan bold dari
dalam Pasal 28E, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal penulis):
29 UUD NRI 1945. Di satu sisi, terdakwa TM “Bahwa akibat perbuatan terdakwa
yang merupakan pemeluk mazhab Syiah, karena menyampaikan ajaran yang berbeda dengan
ajaran yang ia pahami dan ia ajarkan kepada para ajaran umat Islam pada umumnya, telah
menimbulkan keresahan dan pertentangan
pengikut dan santrinya, menjadikan ia diadili dan di masyarakat, …” (Putusan Nomor 69/
dijatuhi putusan pidana karena dianggap terbukti Pid.B/2012/PN.Spg: 84).

148 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154


“Bahwa akibat perbuatan terdakwa dijatuhkan oleh majelis hakim justru malah
mengajarkan ajaran yang berbeda dengan terkesan “menjauh” dari menyelesaikan
ajaran umat Islam pada umumnya
(khususnya masyarakat sekitar Omben persoalan hubungan antara Sunni dan Syiah di
dan Karang Penang), telah menimbulkan Indonesia (Herawati, 2014: 37). Bahkan, bisa
keresahan dan pertentangan di masyarakat,
jadi, melalui putusan ini potensi yang sebenarnya
…” (Putusan Nomor 69/Pid.B/2012/
PN.Spg: 88). ada pada pengadilan, melalui putusannya, untuk
menjadi salah satu instrumen penegakan hak
“Menimbang, bahwa demikian halnya
berdasarkan fakta hukum yang telah asasi manusia, khususnya hak untuk secara
diuraikan di atas, majelis hakim memandang bebas (tanpa tekanan) memeluk suatu agama dan
bahwa terdakwa sebagai seorang guru
keyakinan, menjadi terhambat perwujudannya.
atau kiai patut kiranya mengetahui bahwa
perbuatan yang dilakukannya, yaitu
mendakwahkan atau menyampaikan ajaran Kecenderungan terhambatnya potensi
yang berbeda dengan ajaran masyarakat lembaga pengadilan, melalui putusannya, untuk
pada umumnya akan menimbulkan ikut menegakkan hak asasi manusia untuk secara
gangguan ketertiban umum atau
mengganggu kedamaian umat beragama bebas (tanpa tekanan) memeluk suatu agama
(dalam hal ini umat Islam), …” (Putusan dan keyakinan, antara lain, dapat dilihat dari
Nomor 69/Pid.B/2012/PN.Spg: 88).
penggunaan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/
“Menimbang, bahwa berdasarkan PN.SPG sebagai dasar untuk memberikan
kesesuaian antara keterangan saksi-saksi stigma negatif kepada mazhab Syiah beserta
dan bukti-bukti surat di atas, majelis hakim
memperoleh petunjuk bahwa terdakwa telah para pemeluknya di dalam beberapa media yang
menyampaikan ajaran yang tidak sesuai dipublikasikan secara umum.
dengan ajaran Islam pada umumnya; …”
(Putusan Nomor 69/Pid.B/2012/PN.Spg: Kajian dari Afdillah (2016: 70) menjelaskan
91).
bahwa gerakan-gerakan “anti-ajaran Tajul”
Penggunaan frase “pada umumnya” secara bahkan semakin menguat setelah adanya Putusan
implisit menjelaskan bahwa secara faktual, Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG. Kemudian,
memang ada kelompok mayoritas yang dalam putusan tersebut juga pada faktanya membawa
perkara ini kepentingannya merasa diganggu dampak negatif lanjutan terhadap upaya
oleh TM dengan segala ajarannya (yang berada penegakan hukum hak asasi manusia, antara
dalam posisi minoritas). Jadi, dalam perkara ini, lain, yaitu dalam bentuk: pertama, penggunaan
tampak ada hubungan ketegangan yang terjadi persoalan hukum (perkara pidana) yang dihadapi
antara kelompok Sunni mayoritas dan Syiah yang TM sebagai “barang dagangan politik” untuk
minoritas. Memang karena beberapa alasan, mencari dukungan massa saat proses pemilihan
hubungan antara kelompok Sunni mayoritas umum kepala daerah berlangsung (Afdillah,
dan Syiah yang minoritas merupakan hubungan 2016: 77).
yang kompleks, yang telah pula menghasilkan
Hal itu jelas mencerminkan adanya upaya
beragam pendekatan untuk merespons atau
untuk kembali menempatkan supremasi hukum
“menyelesaikannya.”
di posisi bawah (subordinat) dari politik. Kedua,
Perkara pada Putusan Nomor 69/ Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG pada
PID.B/2012/PN.SPG ini, putusan yang akhirnya digunakan pula sebagai “justifikasi”

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 149
bagi upaya mengurangi hak-hak asasi manusia 2) No one shall be subject to coercion which
para pemeluk Syiah di tempat kejadian perkara, would impair his freedom to have or to
adopt a religion or belief of his choice.
yang konkretnya berupa merelokasi mereka
secara paksa dari kampung halaman mereka 3) Freedom to manifest one’s religion or beliefs
may be subject only to such limitations as
sendiri (Afdillah, 2016: 91). Hal ini tentunya are prescribed by law and are necessary
sekaligus mencabut secara paksa akar sosial dan to protect public safety, order, health, or
sumber ekonomi mereka yang sudah bertahun- morals or the fundamental rights and
freedoms of others.
tahun dibina di kampung halamannya. Substansi
Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG menarik 4) The States Parties to the present Covenant
undertake to have respect for the liberty
juga untuk dicermati dengan menghubungkannya of parents and, when applicable, legal
dengan konsep forum internum dan forum guardians to ensure the religious and moral
education of their children in conformity
externum yang dikenal dalam lingkup pembahasan
with their own convictions.
hukum hak asasi manusia.
Begitu juga pada level nasional, hak
Secara prinsip, sudah jelas tidak boleh ada
beragama dan berkeyakinan sudah dijamin dan
perlakuan yang berbeda yang merugikan bagi
diatur dalam beberapa peraturan perundang-
para pemeluk agama dan keyakinan, baik bagi
undangan, antara lain, UUD NRI 1945, Undang-
mereka yang mayoritas ataupun minoritas. Pada
Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia,
level hukum internasional, sudah ada beberapa
dan bahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
pengaturan mengenai hak asasi manusia untuk
2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
beragama dan berkeyakinan. Pada Article 18 dari
Universal Declaration of Human Rights 1948, Dalam konteks hukum hak asasi manusia,
ditegaskan bahwa: hak beragama dan berkeyakinan termasuk ke
dalam kelompok non-derogable rights, yang
“Everyone has the right to freedom of
thought, conscience and religion; this right berarti merupakan hak yang bersifat mutlak
includes freedom to change his religion (absolut), dan oleh karenanya, tidak dapat
or belief, and freedom, either alone or
in community with others and in public ditangguhkan atau ditunda dalam situasi atau
or private, to manifest his religion or kondisi apapun. Dengan demikian, segala jenis
belief in teaching, practice, worship and tindakan yang dapat mengakibatkan hilangnya
observance.”
hak seseorang ataupun sekelompok orang untuk
Selanjutnya, ada pula International bebas beragama dapat digolongkan sebagai
Covenant on Civil and Political Rights 1966 pelanggaran hak asasi manusia (Tim Peneliti
yang pada Article 18-nya menegaskan bahwa: Setara Institute, 2011: 16-17).

1) Everyone shall have the right to freedom Terkait dengan konsep non-derogable
of thought, conscience and religion. This rights, dalam perkembangannya, lalu dibentuk
right shall include freedom to have or to
adopt a religion or belief of his choice, pedoman untuk mengatur hak-hak tersebut
and freedom, either individually or in dengan pertimbangan adanya kepentingan umum.
community with others and in public or Secara garis besar, pedoman itu mengandung dua
private, to manifest his religion or belief
in worship, observance, practice and macam lingkup, yaitu forum internum dan forum
teaching. externum.

150 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154


Forum internum (kebebasan internal) PN.SPG tersirat bahwa majelis hakim pada
adalah kebebasan di mana tidak ada satu pihakpun akhirnya lebih menekankan kepada pemenuhan
yang dibolehkan campur tangan (intervensi) (melindungi) forum externum daripada forum
terhadap perwujudan dan dinikmatinya hak-hak internum. Hal itu setidaknya dapat dilihat
dan kebebasan ini. Yang termasuk dalam rumpun (tercermin) dari pencantuman frase “menimbulkan
kebebasan internal ialah: hak untuk bebas gangguan ketertiban umum” di dalam salah satu
menganut serta berpindah agama, dan hak untuk bagian pertimbangan hukumnya. Tapi, yang patut
tidak dipaksa menganut atau tidak menganut dikritisi ialah, bahwa sayangnya majelis hakim
suatu agama (Tim Peneliti Setara Institute, 2011: dalam perkara ini menyandarkan pilihannya yang
17). cenderung untuk melindungi forum externum
hanya pada ketentuan Pasal 156a KUHP.
Forum externum (kebebasan eksternal)
adalah kebebasan, yang dalam situasi khusus, Pasal 156a KUHP tersebut merupakan
negara diperbolehkan membatasi atau pasal yang disisipkan melalui Penetapan Presiden
mengekang hak-hak dan kebebasan ini, tapi Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan
dengan prasyarat yang ketat dan legitimate Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama,
berdasarkan prinsip siracusa. Prinsip siracusa yang oleh beberapa sarjana dianggap cenderung
menekankan bahwa hak-hak yang dapat ditunda dapat memperlemah upaya perlindungan hak
atau ditangguhkan hanya dapat diberlakukan pada asasi manusia, khususnya hak untuk beragama
situasi atau kondisi tertentu yang dianggap dapat dan berkeyakinan bagi kelompok minoritas.
membahayakan kepentingan umum (Tim Peneliti Maria Farida Indrati bahkan pernah mengajukan
Setara Institute, 2011: 16). Contoh kebebasan dissenting opinion dalam Putusan Mahkamah
eksternal ialah: kebebasan untuk beribadah Konstitusi, dengan menyatakan bahwa
baik secara pribadi maupun bersama-sama, baik Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965
secara tertutup maupun terbuka, kebebasan untuk seharusnya inkonstitusional, karena dengan tegas
mendirikan tempat ibadah, kebebasan untuk mendiskriminasi minoritas-minoritas agama dan
menggunakan simbol-simbol agama, kebebasan akan memaksa individu-individu meninggalkan
untuk merayakan hari besar agama, kebebasan keyakinan tradisional dan kepercayaan minoritas,
untuk menetapkan pemimpin agama, hak untuk yang berarti melawan keinginan mereka sendiri
mengajarkan serta menyebarkan ajaran agama, (HRW, 2013: 31).
hak orang tua untuk mendidik agama kepada
Sehubungan paparan tersebut di atas,
anaknya, hak untuk mendirikan serta mengelola
dalam kajian yang dilakukan oleh Yonesta
organisasi atau perkumpulan keagamaan, dan
et.al., diungkapkan pula fakta-fakta bahwa
hak untuk menyampaikan kepada pribadi atau
dalam beberapa peristiwa yang berujung pada
kelompok materi-materi keagamaan (Tim
penegakan hukum terhadap Pasal 156a KUHP,
Peneliti Setara Institute, 2011: 17-18).
dalam peristiwa itu selalu didahului (disertai)
Mencari “titik keseimbangan” di antara dengan adanya tekanan dari pihak-pihak tertentu,
forum internum dan forum externum memang seperti melalui pengerahan massa, terhadap
bukanlah urusan yang mudah. Jika dicermati aparat penegak hukum (Yonesta et.al., 2012: 23).
perkara pada Putusan Nomor 69/PID.B/2012/ Hal mana bisa mengindikasikan bahwa Pasal

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 151
156a KUHP merupakan ketentuan yang dapat seperti itulah Putusan Nomor 69/PID.B/2012/
dengan mudah dijadikan sebagai “alat” untuk PN.SPG ini ditempatkan.
membungkam hak-hak kelompok agama dan
Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG
keyakinan minoritas di Indonesia.
menjadi menarik saat dilihat dari perspektif upaya
Jika keadaan seperti itu tetap dibiarkan, penegakan hak asasi manusia, khususnya hak
maka upaya penegakan hukum hak asasi manusia beragama dan berkeyakinan. Putusan Nomor 69/
melalui pengadilan, terutama bagi kelompok PID.B/2012/PN.SPG terkesan masih cenderung
agama dan keyakinan minoritas, menjadi berupaya memenuhi hanya aspek keadilan
semakin sulit untuk diwujudkan. Sebagaimana prosedural, dan semangat untuk mengedepankan
telah juga diingatkan oleh Perry (2007: 94-95), penegakan hak asasi manusia, khususnya hak
bahwa hak asasi manusia, termasuk hak-hak beragama dan berkeyakinan, tidak tampak dalam
kelompok minoritas agama dan keyakinan, tidak putusan tersebut. Atau, dengan kata lain, majelis
bisa secara optimal dilindungi, walaupun suatu hakim dalam perkara ini memang cenderung
negara telah menjadi demokratis, kecuali sistem belum mampu mewujudkan peran yang lebih
pengadilannya benar-benar independen dari konkret dari lembaga yudikatif sebagai salah
tekanan atau kekuasaan lainnya, pun tidak cukup satu penyedia instrumen bagi penegakan nilai-
jika hanya menyandarkan diri pada sekedar sudah nilai hak asasi manusia, terutama bagi kelompok
adanya prosedur hukum yang formalitas. agama dan keyakinan minoritas.

IV. KESIMPULAN

Keberagaman yang ada dalam masyarakat


Indonesia, termasuk dalam hal beragama dan DAFTAR ACUAN

berkeyakinan, sudah sejak lama menjadi perhatian Abdoellah, P. (2016). Revitalisasi kewenangan
serius mulai dari para tokoh pendiri bangsa, peradilan tata usaha negara: Gagasan
sarjana, sampai ke masyarakat awam. Di dalam perluasan kompetensi peradilan tata usaha
keberagaman tersebut, tentunya terkandung negara. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
isu bagaimana hak asasi manusia berupa hak
Abdullah, Z., & Wijaya, E. (2014). Problem keadilan
untuk secara bebas (tanpa tekanan) memeluk
bermazhab di Indonesia. Jakarta: Lentera
suatu agama dan keyakinan dapat ditegakkan
Hukum Indonesia.
(diwujudkan).
Afdillah, M. (2016). Dari masjid ke panggung politik:
Jaminan terhadap hak untuk secara bebas
Melacak akar-akar kekerasan agama antara
(tanpa tekanan) memeluk suatu agama dan komunitas Sunni & Syiah di Sampang, Jawa
keyakinan secara konstitusional tentu dapat Timur. Yogyakarta: Center for Religious and
dikatakan masih jauh dari cukup. Produk hukum Cross-Cultural Studies, Sekolah Pascasarjana
lainnya masih harus ada dan diperlukan untuk Lintas Disiplin Universitas Gadjah Mada.
mendukung jaminan yang telah diberikan oleh
Ahmad, L.O.I. (2011). Relasi agama dengan negara
konstitusi tersebut, dan salah satunya ialah putusan
dalam pemikiran Islam (Studi atas konteks ke-
pengadilan. Dalam konteks pemahaman yang

152 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154


Indonesia-an). Jurnal Millah, 10(2), 278. Human Rights Watch.

Arizona, Y., Wijaya, E., & Sebastian, T. (2014). Isra, S. (2014). Peran Mahkamah Konstitusi dalam
Pancasila dalam Putusan Mahkamah penguatan hak asasi manusia di Indonesia.
Konstitusi: Kajian terhadap Putusan Jurnal Konstitusi, 11(3), 426.
Mahkamah Konstitusi dalam perkara yang
Jufri, M. (2016). Analisis Putusan Pengadilan
berkaitan dengan perlindungan hak kelompok
Negeri Sampang Nomor 69/Pid.B/2012/
marjinal. Jakarta: Epistema Institute dan
PN.Spg. Perspektif hak kebebasan beragama di
Yayasan Tifa.
Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila
Djafar, W. (2010). Menegaskan kembali komitmen dan Kewarganegaraan, 1(2), 102-110.
negara hukum: Sebuah catatan atas
Kadarudin. (2015). Legal guarantees & inconsistency
kecenderungan defisit negara hukum di
of state recognition to the right of religion/belief
Indonesia. Jurnal Konstitusi, 7(5), 170.
in Indonesia. Hasanuddin Law Review, 1(1), 8.
Eddyono, L.W. (2015). The first ten years of
Komisi Yudisial Republik Indonesia [KYRI]. (2014).
the Constitutional Court of Indonesia: the
Kualitas hakim dalam putusan: Laporan
Establishment of the principle of equality & the
penelitian putusan hakim tahun 2012. Jakarta:
prohibition of discrimination. Constitutional
Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik
Review, 1(2), 144.
Indonesia.
Ginsburg, T. (2003). Judicial review in new
Latifiani, D. (2015). Permasalahan pelaksanaan
democracies: Constitutional Courts in Asian
putusan hakim. Jurnal Adhaper, 1(1), 20.
cases. New York: Cambridge University Press.
Lestari, G. (2015). Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah
Gumbira, S.W. (2016). Problematika peninjauan
multikultural Indonesia di tengah kehidupan
kembali dalam sistem peradilan pidana pasca
SARA. Jurnal Pendidikan Pancasila dan
Putusan Mahkamah Konstitusi & Pasca SEMA
Kewarganegaraan, 28(1), 35.
RI No. 7 Tahun 2014 (Suatu analisa yuridis
& asas-asas dalam hukum peradilan pidana). Marbun, S.F. (2011). Peradilan administrasi negara &
Jurnal Hukum dan Pembangunan, 46(1), 116. upaya administratif di Indonesia. Yogyakarta:
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Herawati, A. (2014). Analisa Putusan Pengadilan
Press.
Negeri Surabaya Nomor 3320/Pid.B/2012/
Pn.Sby dengan terdakwa H. Roies Al Hukama. McGann, A. (2006). The logic of democracy:
Dimuat dalam Kompilasi hasil penelitian Reconciling equality, deliberation, & minority
putusan pengadilan & kebijakan daerah protection. Michigan: The University of
terkait hak-hak atas kebebasan beragama/ Michigan Press.
berkeyakinan. Aminah, S. (Ed). Jakarta: The
Indonesian Legal Resource Center dan Hivos Perry, M.J. (2007). Toward a theory of human rights:
People Unlimited. Religion, law, courts. New York: Cambridge
University Press.
Human Rights Watch (HRW). (2013). Atas nama
agama: Pelanggaran terhadap minoritas Setara Institute. (2017). Kondisi kebebasan beragama
agama di Indonesia. Tanpa keterangan kota: di Indonesia 2016. Diakses dari <http://

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 153
setara-institute.org/kondisi-kebebasan- Wawancara. (2013, Juli 28). Wawancara dengan Umar
beragamaberkeyakinan-dan-minoritas- Syihab (Ketua Bidang Ukhuwah Islamiyah
keagamaan-di-indonesia-2016/>. Majelis Ulama Indonesia Pusat).

Shihab, M.Q. (2014). Sunnah-Syiah bergandengan Widiatmaka, P. (2016). Pembangunan karakter


tangan! Mungkinkah? Kajian atas konsep Nasionalisme peserta didik di sekolah
ajaran & pemikiran. Tangerang: Lentera Hati. berbasis agama Islam. Jurnal Pancasila dan
Kewarganegaraan, 1(1), 27.
Shofa, A.M.A. (2016). Memaknai kembali
multikulturalisme Indonesia dalam Yonesta, F. et.al. (2012). Agama, negara, & hak asasi
bingkai Pancasila. Jurnal Pancasila dan manusia: Proses pengujian UU 1/PNPS/1965
Kewarganegaraan, 1(1), 37-38. tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/
atau Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi.
Subki, T., Muntahaa, M., & Azizah, A. (2014). Analisis
Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan
yuridis tindak pidana penodaan agama (Putusan
Yayasan Tifa.
Pengadilan Negeri Sampang Nomor: 69/
Pid.B/2012/PN.Spg). Jurnal Lentera Hukum,
1(1), 54-65.

Susanto, A.F. (2005). Semiotika hukum: Dari


dekonstruksi teks menuju progresivitas makna.
Bandung: Refika Aditama.

Suwito, D.D.P. (2016). Perselisihan internal partai


politik dalam berbagai putusan pengadilan.
Jakarta: Adhi Sarana Nusantara.

Tim Peneliti Setara Institute. (2011). Mengatur


kehidupan beragama; Menjamin kebebasan?
Urgensi kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan. Jakarta: Pustaka
Masyarakat Setara.

Tjandra, W.R. (2009). Peradilan tata usaha negara


mendorong terwujudnya pemerintahan yang
bersih & berwibawa. Yogyakarta: Universitas
Atma Jaya Yogyakarta.

Tumpa, H.A. (2010). Memahami eksistensi uang paksa


(Dwangsom) & implementasinya di Indonesia.
Jakarta: Kencana.

Wahyudi, A. (2013). Quo vadis jaminan Konstitusi


hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan:
Menguji peran negara. Jurnal Keadilan Sosial,
III, 3-4.

154 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154

Anda mungkin juga menyukai