Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

MANAJEMEN KESEHATAN KESALAMATAN DAN KERJA

DIDALAM DAN DILUAR GEDUNG

Disusun Oleh Kelompok 6:

Amalia Islami 16.IK.456

Yumi Baida Rahmah 16.IK.501

I Putu Suparlika 16.IK.472


Irwan 16.IK.474

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SARI MULIA
BANJARMASIN
2017-2018
A. POTENSIAL BAHAYA DIDALAM GEDUNG
Potensial bahaya yang dapat ditimbulkan karena tidak menggunakan APD pada
saat melakukan tindakan keperawatan dapat merugikan perawat itu sendiri dan pihak
rumah sakit, oleh karena itu rumah sakit wajib menyediakan APD yang dibutuhkan bagi
tenaga kerja (perawat) yang dibutuhkan pada saat melakukan tindakan keperawatan.
Penyediaan APD sebagai kewajiban dari rumah sakit masih dianggap sebagai
tambahan biaya, karena selain harus membayar ( seperti Jamsostek dll ) yang menjadi
kewajiban rumah sakit juga harus menyediakan bebagai jenis APD yang dibutuhkan oleh
tenaga kerja. Sebaliknya para pekerja atau tenaga kerja pada umumnya belum terbiasa
menggunakan alat pelindung diri, sehingga enggan untuk memakainya, walaupun
disediakan.
Penyediaan APD terkait dengan pemberian pelatihan/penyuluhan bagi para
pekerja untuk memberikan informasi apa kegunaan dan bagaiman penggunaan APD
secara benar dan baik terhadap karyawan lama atau karyawan baru. Dengan kata lain
bagaimana tenaga kerja bekerja dengan aman dan APD digunakan sebagaimana
mestinya.
Menurut buku Pedoman ILO Geneva, bahwa dari seluruh kecelakaan kerja yang
diakibatkan kondisi tidak aman diperkirakan 15 %, sedangkan yang diakibatkan oleh
tindakan manusia yang tidak aman sebesar 85 %. Dengan demikian perhatian yang lebih
diperhatikan adalah pada tindakan manusia yang tidak aman sebagai penyebab terjadinya
kecelakaan. Tindakan tidak aman tersebut disebabkan karena tidak adanya pengetahuan
akan manfaat alat pelindung diri.
Berdasarkan teori , perilaku merupakan keadaan jiwa (berpendapat, berfikir,
bersikap) untuk memberikan respon tindakan dan dipengaruhi berbagai faktor antara lain
faktor predisposisi (predisposing factor), dimana terwujud dalam pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan. Faktor kedua adalah faktor pendukung (enabling factor) yaitu
terwujud dalam lingkungan fisik, tersedianya atau tidaknya fasilitas , tidak memadainya
tenaga atau sumber daya, adanya standar operasional prosedur dan ketiga adalah faktor
pendorong ( reinforsing factor) dimana terwujud dalam sikap dan perilaku seseorang
yang merupakan kelompok referensi dari perilaku penggunaanAPD.

B. PROSES MANAJEMEN K3 DIDALAM GEDUNG


Perilaku aman menurut Heinrich (1980) dalam Budiono (2003) adalah tindakan
atau perbuatan dari seseorang atau beberapa orang karyawan yang memperkecil
kemungkinan terjadinya kecelakaan terhadap karyawan. Sedangkan menurut Bird dan
Germain (1990) perilaku aman adalah perilaku yang tidak dapat menyebabkan terjadinya
kecelakaan atau insiden.
Dibawah ini adalah jenis-jenis perilaku aman, yaitu :
1. Menurut Frank E Bird dan Germain (1990) dalam teori Loss Causation Model
menyatakan bahwa jenis- jenis perilaku aman meliputi :
a. Melakukan pekerjaan sesuai wewenang yang diberikan.
b. Berhasil memberikan peringatan terhadap adanya bahaya.
c. Berhasil mengamankan area kerja dan orang-orangdisekitarnya.
d. Bekerja sesuai dengan kecepatan yang telahditentukan.
e. Menjaga alat pengaman agar tetapberfungsi.
f. Tidak menghilangkan alat pengaman keselamatan.
g. Menggunakan peralatan yangseharusnya.
h. Menggunakan peralatan yangsesuai.
i. Menggunakan APD denganbenar.
j. Pengisian alat atau mesin yang sesuai dengan aturan yangberlaku.
k. Penempatan material atau alat-alat sesuai dengan tempatnya dan cara mengangkat
yangbenar.
l. Memperbaiki peralatan dalam kondisi alat yang telahdimatikan.
m. Tidak bersenda gurau atau bercanda ketikabekerja.
2. Menurut Heinrich (1990), perilaku aman terdiri dari :

a. Mengoperasikan peralatan dengan kecepatan yangsesuai


b. Mengoperasikan peralatan yang memanghaknya
c. Menggunakan peralatan yangsesuai.
d. Menggunakan peralatan yangbenar.
e. Menjaga peralatan keselamatan tetapberfungsi.
f. Berhasil memperingatkan karyawan lain yang bekerja tidakaman.
g. Menggunakan PPE denganbenar.
h. Mengangkat dengan beban yang seharusnya dan menempatkannya di
tempat yang seharusnya.
i. Mengambil benda dengan posisi yangbenar.
j. Cara mengangkat material atau alat denganbenar.
k. Disiplin dalampekerjaan.
l. Memperbaiki perlatan dalam keadaanmati.
Geller (2001) dalam Halimah (2010) memaparkan sebuah misi dalam
mengembangkan total budaya keselamatan (Total Safety Culture) yang berperan sebagai
suatu petunjuk atau standar yang diperkenalkan dalam bukunya yang berjudul The
Psychology of Safety Hanbook. Pernyataan misi budaya keselamatan ini mencakup :

1. Mempromisukan suatu lingkungan pekerjaan yang didasarkan pada keterlibatan


karyawan, kepemilikan, kerjasama kelompok, pendidikan, pelatihan,
dankepemimpinan.
2. Membangun penghargaan pada diri sendiri, empowerment, kebanggaan, gairah,
optimis, dan dorongan inovasi.
3. Penguatan kebutuhan akan karyawan yang secara aktif memperhatikan teman
sekerjamereka.
4. Mempromosikan filosofi keselamatan yang merupakan bukanlah suatu prioritas yang
dapat disampaikan lagi, tetapi suatu nilai yang dihubungkan dengan setiapprioritas.
5. Mengenali kelompok dan prestasi individu.

Manajemen adalah pencapaian tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya, dengan


mempergunakan bantuan orang lain. Hal tersebut diharapkan dapat mengurangi dampak
kelalaian atau kesalahan ( malprektek) serta mengurangi penyebaran langsung dampak
dari kesalahan kerja.

Untuk mencapai tujuan tersebut, dimembagi kegiatan atau fungsi manajemen


tesebut menjadi :
1. Planning (Perencanaan)
Fungsi perencanaan adalah suatu usaha menentukan kegiatan yang akan
dilakukan di masa mendatang guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam
hal ini adalah keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit dan instansi
kesehatan.perencanaan ini dilakukan untuk memenuhi standarisasi kesehatan pacsa
perawatan dan merawat ( hubungan timbal balik pasien – perawat / dokter, serta
masyarakat umum lainnya ). Dalam perencanaan tersebut, kegiatan yang ditentukan
meliputi
a) Hal apa yang dikerjakan
b) Bagaimana cara mengerjakannya
c) Mengapa mengerjakan
d) Siapa yang mengerjakan
e) Kapan harus dikerjakan
f) Dimana kegiatan itu harus dikerjakan
g) Hubungan timbal balik (sebab akibat)
Kegiatan kesehatan ( rumah sakit / instansi kesehatan ) sekarang tidak lagi hanya
di bidang pelayanan, tetapi sudah mencakup kegiatan-kegiatan di bidang pendidikan
dan penelitian, juga metode-metode yang dipakai makin banyak ragamnya.
Semuanya menyebabkan risiko bahaya yang dapat terjadi dalam ( rumah sakit /
instansi kesehatan ) makin besar. Oleh karena itu usaha-usaha pengamanan kerja di
rumah sakit / instansi kesehatan harus ditangani secara serius oleh organisasi
keselamatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan.

2. Organizing (Organisasi)
Organisasi keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan dapat
dibentuk dalam beberapa jenjang, mulai dari tingkat rumah sakit / instansi kesehatan
daerah (wilayah) sampai ke tingkat pusat atau nasional. Keterlibatan pemerintah
dalam organisasi ini baik secara langsung atau tidak langsung sangat diperlukan.
Pemerintah dapat menempatkan pejabat yang terkait dalam organisasi ini di tingkat
pusat (nasional) dan tingkat daerah (wilayah), di samping memberlakukan Undang-
Undang Keselamatan Kerja. Di tingkat daerah (wilayah) dan tingkat pusat (nasional)
perlu dibentuk Komisi Keamanan Kerja rumah sakit / instansi yang tugas dan
wewenangnya dapat berupa :
a) Menyusun garis besar pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi kesehatan.
b) Memberikan bimbingan, penyuluhan, pelatihan pelaksana- an keamanan kerja
rumah sakit / instansi kesehatan
c) Memantau pelaksanaan pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi
kesehatan
d) Memberikan rekomendasi untuk bahan pertimbangan penerbitan izin rumah sakit
/ instansi kesehatan
e) Mengatasi dan mencegah meluasnya bahaya yang timbul dari suatu rumah sakit /
instansi kesehatan.

Perlu juga dipikirkan kedudukan dan peran organisasi /Cermin Dunia Kedokteran
No. 154, 2007 5/ background image Manajemen keselamatan kerja profesi (PDS-
Patklin) ataupun organisasi seminat (Patelki, HKKI) dalam kiprah organisasi
keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan ini. Anggota
organisasi profesi atau seminat yang terkait dengan kegiatan rumah sakit / instansi
kesehatan dapat diangkat menjadi anggota komisi di tingkat daerah (wilayah)
maupun tingkat pusat (nasional). Selain itu organisasi-organisasi profesi atau
seminar tersebut dapat juga membentuk badan independen yang berfungsi sebagai
lembaga penasehat atau Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah
Sakit / Instansi Kesehatan

3. Actualing (Pelaksanaan)

Fungsi pelaksanaan atau penggerakan adalah kegiatan mendorong semangat


kerja, mengerahkan aktivitas, mengkoordinasikan berbagai aktivitas yang akan
menjadi aktivitas yang kompak (sinkron), sehingga semua aktivitas sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Pelaksanaan program kesehatan dan
keselamatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan sasarannya ialah tempat kerja
yang aman dan sehat. Untuk itu setiap individu yang bekerja maupun masyarakat
dalam rumah sakit / instansi kesehatan wajib mengetahui dan memahami semua hal
yang diperkirakan akan dapat menjadi sumber kecelakaan kerja dalam rumah sakit /
instansi kesehatan, serta memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup untuk
melaksanakan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan kerja tersebut.
Kemudian mematuhi berbagai peraturan atau ketentuan dalam menangani berbagai
spesimen reagensia dan alat-alat. Jika dalam pelaksanaan fungsi penggerakan ini
timbul permasalahan, keragu-raguan atau pertentangan, maka menjadi tugas semua
untuk mengambil keputusan penyelesaiannya.

4. Controlling (Pengawasan).
Fungsi pengawasan adalah aktivitas yang mengusahakan agar pekerjaan-
pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang
dikehendaki. Untuk dapat menjalankan pengawasan, perlu diperhatikan 2 prinsip
pokok, yaitu :
a) Adanya Rencana
b) Adanya Instruksi-Instruksi dan pemberian wewenang kepada bawahan.

Dalam fungsi pengawasan tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi tentang


perlunya disiplin, mematuhi segala peraturan demi keselamatan kerja bersama di
rumah sakit / instansi kesehatan. Sosialisasi perlu dilakukan terus menerus, karena
usaha pencegahan bahaya yang bagaimanapun baiknya akan sia-sia bila peraturan
diabaikan

C. POTENSIAL BAHAYA DILUAR GEDUNG


Kecelakaan kerja sering terjadi akibat kurang dipenuhinya persyaratan dalam
pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam hal ini pemerintah sebagai
penyelenggara Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada
tenaga kerja. Hal ini direalisasikan pemerintah dengan dikeluarkannya peraturan-
peraturan seperti : UU RI No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja, Undang-
undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), dan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No: Per.05/Men/1996 mengenai sistem manajemen
K3.
Namun pada kenyataannya, pelaksana proyek sering mengabaikan persyaratan dan
peraturan-peraturan dalam K3. Hal tersebut disebabkan karena kurang menyadari
betapa besar resiko yang harus ditanggung oleh tenaga kerja dan perusahaannya.
Sebagaimana lazimnya pada pelaksanaan suatu proyek pasti akan berusaha
menghindari economic cost. Disamping itu adanya peraturan mengenai K3 tidak
diimbangi oleh upaya hukum yang tegas dan sanksi yang berat, sehingga banyak
pelaksana proyek yang melalaikan keselamatan dan kesehatan tenaga kerjanya.
Kegiatan jasa konstruksi telah terbukti memberikan kontribusi penting dalam per-
kembangan dan pertumbuhan ekonomi disemua negara di dunia, termasuk Indonesia,
baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Keselamatan dan
Kesehatan Kerja merupakan suatu permasalahan yang banyak menyita perhatian
berbagai organisasi saat ini karena mencakup permasalahan segi perikemanusiaan,
biaya dan manfaat ekonomi, aspek hukum, pertanggungjawaban serta citra organisasi
itu sendiri. Semua hal tersebut mempunyai tingkat kepentingan yang sama besarnya
walaupun di sana sini memang terjadi perubahan perilaku, baik di dalam lingkungan
sendiri maupun faktor lain yang masuk dari unsur eksternal industri Ervianto (2005).
Proses pembangunan proyek kontruksi gedung pada umumnya merupakan kegiatan
yang banyak mengandung unsur bahaya. Situasi dalam lokasi proyek mencerminkan
karakter yang keras dan kegiatannya terlihat sangat kompleks dan sulit dilaksanakan
sehingga dibutuhkan stamina yang prima dari pekerja yang melaksanakannya. Namun
tidak dapat dipungkiri bahwa pekerjaan konstruksi ini merupakan penyumbang angka
kecelakaan yang cukup tinggi. Banyaknya kasus kecelakaan kerja serta penyakit akibat
kerja sangat merugikan banyak pihak terutama tenaga kerja bersangkutan Ervianto
(2005).

Menurut sumber-sumber penyebabnya, risiko dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Risiko Internal, yaitu risiko yang berasal dari dalam perusahaan itu sendiri.

2. Risiko Eksternal, yaitu risiko yang berasal dari luar perusahaan atau lingkungan luar
perusahaan.

3. Risiko Keuangan, adalah risiko yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi dan
keuangan, seperti perubahan harga, tingkat bunga, dan mata uang.
4. Risiko Operasional, adalah semua risiko yang tidak termasuk risiko keuangan.
Risiko operasional disebabkan oleh faktor-faktor manusia, alam, dan teknologi.

D. MANAJEMEN RESIKO DILUAR GEDUNG


Dalam manajemen proyek, yang dimaksud dengan manajemen risiko proyek adalah seni
dan ilmu untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan merespon risiko selam umur proyek
dan tetap menjamin tercapainya tujuan proyek.

Proses yang dilalui dalam manajemen risiko adalah:

1. Perencanaan Manajemen Risiko, perencanaan meliputi langkah memutuskan


bagaimana mendekati dan merencanakan aktivitas manajemen risiko untuk proyek.

2. Identifikasi Risiko, tahapan selanjutnya dari proses identifikasi risiko adalah


mengenali jenis-jenis risiko yang mungkin (dan umumnya) dihadapi oleh setiap pelaku
bisnis.

3. Analisis Risiko Kualitatif, analisis kualitatif dalam manajemen risiko adalah proses
menilai (assessment) impak dan kemungkinan dari risiko yang sudah diidentifikasi.
Proses ini dilakukandengan menyusun risiko berdasarkan efeknya terhadap tujuan
proyek. Skala pengukuran yang digunakan dalam analisa kualitatifadalah
Australian Standard/New Zealand Standard (AS/NZS) 4360:2004.

4. Analisis Risiko Kuantitatif adalah proses identifikasi secara numeric probabilitas dari
setiap risiko dan konsekuensinya terhadap tujuan proyek.

5. Perencanaan Respon Risiko, Risk response planning adalah proses yang dilakukan
untuk meminimalisasi tingkat risiko yang dihadapi sampai batas yang dapat diterima.

6. Pengendalian dan Monitoring Risiko, langkah ini adalah proses mengawasi risiko yang
sudah diidentifikasi, memonitor risiko yang tersisa, dan mengidentifikasikan risiko
baru, memastikan pelaksanaan risk management plan dan mengevaluasi
keefektifannya dalam mengurangi risiko.

Anda mungkin juga menyukai