Laporan Kasus Tetanus
Laporan Kasus Tetanus
TETANUS
DISUSUN OLEH :
DOKTER PEMBIMBING:
dr. Tut Wuri Handayani, Sp.S
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga tugas ini dapat terselesaikan dengan baik.
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas laporan kasus yang berjudul “Tetanus” pada
stase Ilmu Penyakit Saraf RSUD R. Syamsudin Sukabumi. Terima kasih kepada dr. Tut Wuri
Handayani, Sp.S selaku pembimbing yang telah membantu dalam penyelesaian tugas ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................21
3
BAB I
PENDAHULUAN
Tetanus adalah suatu keadaan toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani yang ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat.
Di seluruh dunia, insidens tetanus cukup rendah begitu juga di Indonesia. Namun demikian,
tetap saja penyakit ini belum dapat disingkirkan dari dunia, meskipun sebenarnya dapat
dicegah dengan pemberian imunisasi. Pada tetanus derajat berat, angka kematiannya masih
cukup tinggi. Hal tersebut tentu saja patut disayangkan. Saat ini, penatalaksanaan tetanus
meliputi pemberian imunoglobulin tetanus untuk menetralisir toksin, obat-obatan untuk
mengontrol spasme, antibiotik untuk mematikan kuman serta pengobatan untuk mengatasi
komplikasi dan perawatan suportif yang tepat. Dengan penatalaksanaan yang cepat, efektif
dan efisien diharapkan penanganan pasien tetanus dapat menjadi lebih optimal sehingga
angka kematian dapat diturunkan.1
Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Hipocrates. Pada abad II Areanus
the Cappadocian melaporkan gambaran klinis tetanus, kemudian selama berabad– abad
penyakit ini jarang disebutkan. Pada tahun 1884, Carle dan Rattone menggambarkan
transmisi tetanus pada kelinci Percobaan. Kitasato (1889) pertama kali mengisolasi
Clostridium Tetani. Setahun kemudian bersama dengan von Behring melaporkan adanya
anti–toksin spesifik pada serum binatang yang telah disuntikkan dengan toksin tetanus. Pada
tahun1926, mulai dikembangkan toksoid yang dapat merangsang pembentukan imunitas.2
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh dunia.
Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas
yang berkisar dari 6% hingga 60%. Selama 30 tahun terakhir, hanya terdapat sembilan
penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai pencegahan dan tata laksana tetanus.
Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO. Sekitar 76 negara,
termasuk didalamnya negara yang berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak
memiliki informasi yang lengkap. Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus
neonatorum yang dilaporkan. Berdasarkan data dari WHO, penelitian yang dilakukan oleh
Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan insidens tetanus di seluruh dunia
adalah sekitar 700.000 – 1.000.000 kasus per tahun.3
4
Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring dengan peningkatan
cakupan imunisasi. Namun demikian, hampir semua negara tidak memiliki kebijakan bagi
orang yang telah divaksinasi yang lahir sebelum program imunisasi diberlakukan ataupun
penyediaan booster yang diperlukan untuk perlindungan jangka lama, serta pada orang-orang
yang lupa melakukan jadwal imunisasi saat infrastruktur pelayanan kesehatan rusak—
misalnya akibat perang dan kerusuhan. Akibatnya anak yang lebih besar serta orang dewasa
menjadi lebih berisiko mengalami tetanus. Meskipun demikian, di negara dengan program
imunisasi yang sudah baik sekalipun, orang tua masih rentan, karena vaksinasi primer yang
tidak lengkap ataupun karena kadar antibodinya yang telah menurun seiring berjalannya
waktu.4,5
5
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien mengeluh sulit untuk membuka mulut.
6
Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat keluhan serupa disangkal.
- Riwayat kejang disangkal.
- Riwayat hipertensi, DM disangkal.
Riwayat Pengobatan
- Pasien belum minum obat apapun selama mengalami keluhan saat ini.
- Pasien baru pertama kali berobat untuk keluhan yang dialami.
Riwayat Imunisasi
- Pasien tidak mengetahui tentang riwayat imunisasi tetanus yang pernah dimilikinya.
Riwayat Alergi
- Riwayat alergi obat disangkal.
- Riwayat alergi terhadap makanan dan minuman tertentu disangkal.
Riwayat Psikososial
- Pola makan pasien teratur 3x sehari.
- Pasien merokok.
- Pasien tidak memelihara hewan peliharaan bergigi taring.
7
- BB : 65 kg.
- TB : 165 cm.
- IMT : 23,8 kg/m2.
Status Generalis
Kepala : normocephal, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut.
Wajah Rhisus sardonikus (+)
Mata : edema palpebra -/-, conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil
bulat, isokor, Ø ODS 3 mm, refleks cahaya (+/+),
Telinga : bentuk normal, simetris, lubang lapang, serumen -/-
Hidung : normonasi, tidak ada septum deviasi, epistaksis -/-, sekret -/-
Mulut : bibir kering, trismus (+), lidah sulit keluar, faring sulit dinilai
Leher : simetris, kuduk kaku (+) tidak teraba pembesaran KGB
Thoraks :
Pulmo :
Inspeksi : Normochest, dinding dada simetris
Palpasi : Vocal Fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-
Cor :
Inspeksi : Tidak tampak iktus cordis
Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS V linea midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan ICS V linea sternalis dextra, batas jantung kiri ICS
VI linea midclavicula sinistra, batas atas ICS III linea parasternal sinistra
Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (–) gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : datar, scar (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal,
Palpasi : dinding perut keras, spasme otot abdomen (+)
Hepar dan lien sulit dinilai, nyeri tekan epigastrium (+)
Perkusi : timpani di seluruh kuadran abdomen
Status Neurologik
Kesadaran
Compos mentis
GCS
E4M6V5 (15)
Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk : (-)
Kernig : tidak dapat dinilai
Laseque : tidak dapat dinilai
Bruinski I/II/III/IV : (-/-/-/-)
Saraf Kranial
N.I (Olfaktorius) Kiri Kanan
Daya Pembau : Tidak dinilai Tidak dinilai
10
N.XI (Asesorius) Kiri Kanan
Memalingkan Kepala : Sulit dinilai
Mengangkat Bahu : Sulit dinilai
Motorik
Tonus
Spastik Spastik
Spastik Spastik
Atropi
- -
- -
Sensorik
- Nyeri
Ekstremitas Atas : Normogesia
Ekstremitas Bawah : Normogesia
- Raba
Ekstremitas Atas : Normostesia
Ekstremitas Bawah : Normostesia
- Suhu
Ekstremitas Atas : Tidak dilakukan
Ekstremitas Bawah : Tidak dilakukan
Refleks Fisiologis
- Refleks Bisep (BPR) : +++/+++
11
- Refleks Trisep (TPR) : +++/+++
- Refleks Patella (KPR) : +++/+++
- Refleks Achilles (APR) : +++/+++
Refleks Patologis
- Babinski : -/-
- Chaddock : -/-
- Oppenheim : -/-
- Gardon : -/-
Fungsi Vegetatif
- Miksi : Baik
- Defekasi : Baik
Fungsi Luhur
Tidak dilakukan
2.4 Resume
Pasien laki-laki, usia 47 tahun, datang dengan mulut sulit membuka sejak 3 hari
SMRS. Os merasakan kaku seluruh badan, perut keras seperti papan serta punggung
melengkung, tangan dan kaki sulit untuk digerakkan, bagian tubuh yang kaku terasa
pegal. Terdapat luka akibat tertusuk bambu 1 minggu SMRS, demam (+). Dari
pemeriksaan fisik risus sardonikus (+), trismus (+), kuduk kaku (+).
TD : 130/90 mmHg
Nadi : 92 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu badan : 38 oC
2.5 Diagnosis
Diagnosis Klinis : Tetanus
Diagnosis Topis : Neuromuscular junction
Diagnosis Etiologi:Tetanus toksin
Diferensial Diagnosis
Nonmedikamentosa:
Isolasi pada ruangan yang tenang dan bebas dari rangsangan luar
Pasang NGT
13
punggung yang melengkung ke atas dan kepala tertenggak ke belakang. Pasien juga
mempunyai riwayat trauma yakni terkena bambu pada telapak kaki kiri dan tidak
mendapatkan perawatan yang baik. Kondisi ini memberikan kesempatan bagi kuman C.
Tetanii untuk masuk serta bereplikasi di dalam tubuh (port d’entree).
Pada pemeriksaan Fisik didapatkan gejala yang medukung untuk ditegakkanya diagnosis
tetanus yaitu adanya kaku kuduk (+), trismus (+), dan Perut tegang dan keras seperti papan,
punggung yang melengkung (opistotonus).
Dasar Pengobatan :
• Serum anti tetanus dosis 20.000 IU/hari selama 3-5 hari sebagai anti toksin
pada toksin tetanus yang masih beredar dalam darah
• Diazepam dosis awal 10 mg i.v/ drips dalam dextrose selama kejang sebagai
antikonvulsi dan menekan semua tingkatan saraf pusat dan meningkatkan GABA
yang berperan sbagi neuromtransmitter inhibitor
Pada kasus ini pasien telah diberikan ATS 20.000 U/IM yang bertujuan untuk mencegah
penyebaran toksin dan manifestasi klinis yang lebih lanjut.
14
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
a. Definisi
b. Etiologi
c. Pathogenesis
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif
bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah.
Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia
adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps
16
ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka
menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara
intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang,
akhirnya menyebar ke SSP. Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh
eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan
terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu
GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai
pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke
sumsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris
pada dada, perut dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri,
penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem
saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme,
hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame
larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan
penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang dilaporkan karena penderita
sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan
pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali
dan dikelola dengan teliti
17
Web of Caution (Hubungan Sebab Akibat)
Eksotoksin
Ganglion
Otak Saraf
Sumsum Tulang
Tonus otot Menempel pada Cerebral Mengenai Saraf Simpatis
Gangliosides
O2 di otak
Sistem Sistem
Kesadaran
d. Gejala Klinis
Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau
hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak dari tempat
masuknya kuman C. tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum
18
semakin besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama.
Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian.
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka bervariasi,
mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang terkontaminasi. Masa inkubasi
sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya
memiliki pola yang desendens. Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan
kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama
berupa trismus terjadi sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter
bedah mulut. Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia
dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Manifestasi dini ini
merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh akson pendek.
Spasme dapat terjadi berulang kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat
berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa
bulan.
Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi serta memiliki
derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum dan memiliki
prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu sebelum akhirnya
menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus umum tetapi dengan
derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus yang menyebabkan kematian.
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah infeksi
telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik (seringkali pada saraf
fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki
masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya buruk.
19
4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada negara yang
belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus. Penyebab yang
sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu
yang belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel,
sulit minum ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.
Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus dapat dibagi
menjadi empat (4) tingkatan.
e. Diagnosis
Langkah Diagnosis
Anamnesis
· Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan perawatan tali pusat
yang tidak steril, riwayat menderita otitis media supurativa kronik (OMSK), atau gangren
gigi.
· Riwayat anak tidak diimunisasi/ tidak lengkap imunisasi tetanus/ BUMIL/ WUS.
Pemeriksaan fisik
· Adanya kekakuan lokal atau trismus.
· Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opisthotonus, perut papan.
· Kekakuan extremitas yang khas : flexi tangan, extensi kaki dan adanya penyulit
20
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus. Namun
demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak mengalami tetanus,
dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus. Biakan kuman memerlukan
prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa
gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan
pada luka dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.
Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai imunisasi dan
bukan tetanus.
Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit. Beberapa
system scoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Philips, Dakar, Ablett, dan
Udwada. System scoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai penentu prognosis.
Parameter Nilai
< 48 jam 5
2-5 hari 4
Masa inkubasi 6-10 hari 3
11-14 hari 2
>14 hari 1
Internal dan umbilical 5
Leher, kepala dan dinding tubuh 4
Lokasi infeksi Ekstremitas atas 3
Ekstremitas bawah 2
Tidak diketahui 1
Tidak ada 10
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada neonates) 8
Status imunisasi > 10 tahun yang lalu 4
< 10 tahun yang lalu 2
21
Imunisasi lengkap 0
Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa 10
Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa 8
Factor Pemberat Keadaan yang tidak mengancam nyawa 4
Trauma atau penyakit ringan 2
ASA derajat I 1
Sumber : Farrar, el al, 2000
System scoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan didasarkan pada
empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi, dan factor pemberat.
Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan interpretasikan sebagai berikut:
Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada
distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade III A (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang
memanjang, distres pernapasan dengan takipnea ≥ 40
kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia ≥ 120
kali/menit.
Grade III B (sangat berat) Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom
berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi
berat dan takikardia bergantian dengan hipotensi relatif dan
bradikardia, salah satunya dapat menjadi persisten.
Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan menurut beberapa
literatur merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan Udwadia (1992) kemudian
sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett dan dikenal sebagai skor Udwadia.
22
Table 3. Sistem scoring Tetanus menurut Udwadia
Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada
distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade III A (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang
memanjang, distres pernapasan dengan takipnea ≥ 40
kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia ≥ 120
kali/menit, keringat berlebih, dan peningkatan salivasi.
Grade III B (sangat berat) Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom
berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler: hipertensi
menetap (> 160/100 mmHg), hipotensi menetap (tekanan
darah sistolik < 90 mmHg), atau hipertensi episodik yang
sering diikuti hipotensi.
Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di Dakar, Senegal pada
tahun 1975 dan dikenal sebagai skor Dakar. Skor Dakar dapat diukur tiga hari setelah muncul
gejala klinis pertama.
f. Diagnosis Banding
Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit. Diagnosis
bandingnya adalah sebagai berikut :
1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak
dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan terdapat
kelainan likuor serebrospinal.
2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme
karpopedal.
3. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).
4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada
anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.
5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis media supuratif
kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.
g. Tatalaksana
a. Secara Umum
1. Merawat dan memebersihkan luka sebaik-baiknya.
2. Diet TKTP pemberian tergantung kemampuan menelan bila trismus makanan diberi
pada sonde parenteral.
3. Isolasi pada ruang yang tenang bebas dari rangsangan luar.
4. Oksigen pernafasan dan trakeotomi bila perlu.
5. Mengatur cairan dan elektrolit.
b. Obat – obatan
1. Antitoksin
Antitoksin 20.000 IU/I.M/5 hari. Pemberian baru dilaksanakan setelah dipastikan
tidak ada reaksi hipersensitivitas.
24
2. Anti kejang/Antikonvulsan
- Fenobarbital (luminal) 3 x 100 mg/I.M. untuk anak diberikan mula-mula 60-
100 mg/I.M lalu dilanjutkan 6 x 30 mg hari (max. 200 mg/hari).
- Klorpromasin 3 x 25 mg/I.M/hari untuk anak-anak mula-mula 4-6 mg/kg BB.
- Diazepam 0,5-1,0 mg/kg BB/1.M/4 jam.
3. Antibiotik
Penizilin prokain 1, juta IU/hari atau tetrasiflin 1 gr/hari/I.V Dapat
memusnakan oleh tetani tetapi tidak mempengaruhi proses neurologiknya.
Penisilin G 100.000 – 200.000 IU/kgBB/hari dibagi 2-4 dosis.
Metronidazole 500 mg/6 jam/I.V
h. Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas
dapat diturunkan hingga 10-30% dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak
faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi,
masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa
inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin
buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran
dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus
neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai
prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian
antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi
tetanus
DAFTAR PUSTAKA
Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005.
Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M, et al. Management
and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term Effects of Medical Implants. 2003
25
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-kiking2.pdf
26