Anda di halaman 1dari 4

TAK KENAL MAKA TAK SAYANG

OLEH : DEDE ROSTIANA

Semua yang terjaring dalam pelatihan ini menurutku adalah para pelajar pintar dan
luar biasa sedangkan aku hanya faktor keberuntungan saja. Lusi yang seharusnya pergi
sebagai perwakilan dari daerahku. Tapi dia sakit typus sehingga aku sebagai gantinya yang
menempati posisi kedua waktu seleksi pelajar berprestasi.

Rencana apa yang Tuhan berikan sehingga menjadi kandidat dari daerahku untuk
bergabung dengan para pelajar super dan diberangkatkan ke negeri Jepang. Program ini
lamanya 20 hari. Padahal keluargaku sudah merencanakan pergi ke pantai. Sebenarnya lebih
menarik berlibur ke pantai daripada harus menguras otakku lagi dan dalam sebulan harus
memperdalam bahasa Jepang. Bahasa yang sulit apalagi harus belajar huruf kanji.

Kini aku berkumpul di bandara dengan mereka yang bernasib sama untuk
diberangkatkan ke negeri Sakura.

“Prambudi,” teriak pembimbing sambil membagikan pasport dan boardingpass-ku


dan atribut lain yang mesti aku pegang. Sungguh ribet pergi ke luar negeri dengan sederet
pemeriksaan. Pembimbing itu memanggil nama para peserta satu persatu dengan muka
masam. Itu membuat rasa mual dan juga tegang. Beruntunglah pembimbing lainnya selain
cantik, juga lembut dan sabar. Ia selalu memberi pengarahan dengan senyum lebar namanya
Bu Cicih.

“Cantik tapi namanya ndeso yah,” bisik teman di sampingku.

“Huss, yang penting dia ramah apalah artinya nama,” kata teman satunya lagi.

Dengan beriringan kami 20 orang melalui proses pemeriksaan. Satu-satu tas bawaan
kami diperiksa dengan ketat dan ditimbang. Berkumpul di area sebelum keberangkatan ke
pesawat, aku lihat semua menunjukkan para pelajar pintar dan penuh percaya diri. Dari cerita
mereka menunjukkan bahwa mereka rata-rata pernah go abroad. Mungkin cuma aku yang
belum pernah. Perasaan minderku menebal.

Rasanya tak banyak yang mendekatiku sejak awal pertemuan dengan mereka, atau
karena aku yang merasa rendah diri. Mereka berswafoto dengan aneka gaya, aku hanya
disuruh jadi juru foto. Sesekali ada yang ikhlas menawarkan berfoto bersama setelah berjasa
mengambil banyak gambar mereka, begitu juga sudah untung. Kadang aku merasa jadi
jajahan mereka, jadi penunggu tas, dan bahkan ada yang berani minta tolong dibawakan
tasnya. Anehnya aku menurut saja, hanya itu mungkin yang bisa aku lakukan untuk diakui
sebagai teman.

Aku yang terlalu minder atau mereka yang terlalu egois tak punya rasa solider atau
perhatian sedikitpun sama temannya. Gaya kelakar mereka dahsyat ala-ala orang kota, tak
terbaca olehku yang orang dusun asli, sehingga sulit berkomunikasi. Hampir semua sudah
mengakrabkan diri dan saling melontarkan canda hanya aku saja tak bisa demikian, minderku
lebih berat daripada rasa percaya diriku dan aku lebih baik menonton dan jadi pendengar
yang baik sambil memperhatikan karakter mereka masing-masing.

“Terus terang aku baru kali ini berangkat ke Jepang, ini pengalaman pertamaku naik
kapal terbang. Bagaimana denganmu?” tanyaku pada teman sebelahku yang kelihatannya
pendiam tidak seperti yang lain.

“Tenang saja, aku juga baru pertama kali ke Jepang,” jawabnya

Ada sedikit lega, aku punya teman yang senasib pikirku, aku pun memutuskan untuk
mendekati dia. Kulihat penampilannya sederhana, jeans belel dan hanya kaos oblong tak
bermerk, tidak seperti kebanyakan dari mereka. Ketika masuk dalam antrian pun aku di
belakangnya. Tak salah pikirku lebih baik berdekatan dengan orang yang senasib daripada
merasa minder dengan yang lainnya.

Aku merasakan mereka juga tak mau berdekatan denganku yang orang desa,
penampilanku biasa dan otakku pas-pasan. Aku terpanggil hanya faktor keberuntungan,
sekali lagi keberuntungan!

“Is it your seat?” kata pramugari cantik tersenyum ramah sekali.

“Yes, that’s right,” jawabku gugup sambil menunjukkan nomor dudukku.

“Oh, your seat is over there, in the right row,” katanya sambil menunjuk ke sebelah
kanan.Terlihat teman pendiamku sudah duduk disana.

“Thank you,” kataku dengan sedikit malu

“You are welcome.” Jawab pramugari itu sambil menunjukkan keramahannya dan
berlalu melayani para penumpang lain.

Tak lama kemudian ada pengumuman dengan bahasa Inggris dan Jepang, aku
perhatikan dengan seksama. Rupanya cara-cara menyelamatkan diri kalau terjadi sesuatu dan
hal penting lainnya berupa aturan-aturan yang harus di patuhi selama dalam kapal terbang.
Terasa sedikit tenang, apalagi duduk berdekatan lagi dengan Sang Pendiam. Aku tak berani
bertanya-tanya, kelihatannya dia tertutup. Mungkin pemalu seperti diriku. Ataukah lebih
bodoh daripada aku. Segudang pertanyaan tentang temanku ini. Aku lihat dia mulai
memasangkan headset yang masih terbungkus plastik yang tersedia di depan tempat duduk
dalam sebuah kantung. Lalu dia menghidupkan televisi kecil yang ada di depannya. Dengan
tenang dia mengambil selimut dan ditaruh di pangkuannya.

Aku berfikir dia sangat cerdas karena dengan tenang dia melakukan semuanya, tidak
seperti diriku. Baru saja masuk kapal terbang salah memasuki barisan sedang dia langsung
menemukan tempat duduk dengan tepat.
Ada pramugara dan pramugari membagi-bagikan kertas dan aku mengikuti yang lain
menerimanya. Setelah kubaca ini seperti menu makanan. Tak lama kemudian pramugari
cantik mendekati teman pendiamku.

“What kind of food do you like?” tanya pramugari sambil tersenyum manis.

“Rice and beef,” jawab temanku

“How about the beverage?” Pramugari bertanya lagi

“Orange juice please, thank you,” jawabnya mantap.

“How about you?” dia kini bertanya ke arahku.

“The same.” Jawabku singkat. Sebenarnya aku bingung dengan deretan menu yang
aneh-aneh kupilih sama saja dengan dia. Kulihat dia sedikit melirikku tanpa senyum.

Akhirnya tiba di kota Tokyo. Di sana kami disambut dengan ibu paruh baya yang
akrab disebut Bunda. Bunda menyambut kami dengan sangat ramah, kami disuguhi makanan
khas Indonesia dan dipersilahkan makan dengan sekenyang-kenyangnya karena besok dan
selanjutnya kami harus terbiasa dengan makanan Jepang.

“Ok, students, selamat datang di kota Tokyo, kalian di sini untuk belajar, dan kalian
dari berbagai pelosok tanah air harus saling bekerja sama demi nama baik bangsa dan
negara.” Ujar Bunda dengan suara yang lantang dan tegas menunjukkan wanita yang
berkharisma. Kemudian Bunda memperkenalkan orang Jepang yang akan membimbing kami.
Kami pun diperkenalkan dengan lebih detail kepada mereka dengan latar belakang kami
masing-masing.

“Perkenalan pertama, silahkan Shinta maju ke depan, pelajar cantik dan energik ini
Shinta, dia ini sudah pergi ke beberapa negara dan beberapa kali juara dalam lomba karya
ilmiah. Cuma kalau Jepang ini adalah kali pertama, betul kan Shinta?” tanya Bunda kepada
gadis pendiam yang duduk disampingku dalam kapal terbang.

”Ouhhh, pantas saja!” Gumamku setelah tahu siapa gadis sebenarnya yang di
sampingku dalam kapal waktu berangkat. Ternyata dia gadis istimewa.

Kulihat Shinta sekarang memasang wajahnya dengan penuh percaya diri. Degup
jantungku ketika Bunda memanggilku.

“Ouh, dear, pelajar ini Prambudi yang pendiam tapi prestasinya segudang, karya
lukisannya luar biasa, dia ini pandai berbahasa Inggris, dan juga Arab betul kan Pram?”
tanya Bunda dan aku hanya tersenyum sambil menunduk. Tak dinyana orang Jepang bertanya
dengan gencar tentang karya-karyaku, membuat keringatku bercucuran. Entah tenaga dari
mana aku bisa lancar berbahasa Jepang yang hanya kupelajari dalam satu bulan.
Setelah itu, mereka temanku seperti mengenaliku, berwajah ramah dan lebih sopan.
Bahkan mereka sekarang yang ingin berfoto denganku, menawari makanan dan menawarkan
berbagai kebaikan. Oh, rupanya inikah yang disebut tak kenal maka tak sayang. ***

Anda mungkin juga menyukai