Kusta adalah penyakit infeksi dengan spektrum klinis bervariasi yang sangat
dipengaruhi oleh respon imunitas penderita untuk melawan M. leprae. Sistem
imunitas alamiah yang terutama diperankan oleh makrofag dapat melawan invasi
patogen melalui produksi antimikrobial katelisidin. Penelitian terakhir
menemukan peranan vitamin D pada proses transkripsi gen peptida antimikroba
katelisidin, dan terdapat hambatan pada jalur antimikrobial tergantung vitamin D
pada kusta tipe lepromatosa, sehingga didapatkan indeks bakteri yang lebih tinggi
dibandingkan kusta tipe tuberkuloid. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara kadar 25-hydroxyvitamin D plasma dengan indeks bakteri pada
penderita kusta.
Penelitian ini adalah penelitian cross sectional analitik, melibatkan 55 orang
penderita kusta yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pada penelitian ini
subjek pasien kusta dikelompokkan berdasarkan klasifikasi Ridley dan Jopling
yang dikorelasikan dengan klasifikasi kusta menurut WHO menjadi 18 subjek
kusta tipe pausibasilar dan 37 subjek kusta tipe multibasilar. Seluruh subjek
dilakukan pemeriksaan indeks bakteri dan kadar 25-hydroxyvitamin D plasma
dengan metode ELISA.
Pada penelitian ini didapatkan perbedaan bermakna rerata kadar 25-
hydroxyvitamin D plasma antara subjek kusta tipe multibasilar (19,48 ± 3,17
ng/mL dan median 18,36 ng/mL) dengan subjek kusta tipe pausibasilar (24,44 ±
1,98 ng/mL dan median 25,57 ng/mL), dengan nilai p < 0,001. Didapatkan pula
korelasi negatif yang kuat antara kadar 25-hydroxyvitamin D plasma dengan
indeks bakteri (r = -0,860; p < 0,001).
Simpulan dari hasil penelitian ini adalah kadar 25-hydroxyvitamin D plasma
berkorelasi negatif dengan indeks bakteri pada penderita kusta. Semakin rendah
kadar 25-hydroxyvitamin D plasma maka indeks bakteri semakin tinggi.
ABSTRACT
BAB I
PENDAHULUAN
perhatian khusus dari Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization
penyakit kusta dengan mutly drug therapy (MDT) yang direkomendasikan oleh
WHO telah mampu menurunkan kasus kusta secara bermakna, namun kasus kusta
baru tetap ada. Pasien kusta yang sudah sembuh dapat mengalami kecacatan fisik
akibat kerusakan saraf yang progresif dan menetap, dapat mengalami relaps, atau
mengalami reaksi kusta yang merusak jaringan. Stigma sosial yang beranggapan
kusta sebagai penyakit menular yang tidak bisa diobati, penyakit keturunan, atau
sekitarnya. Permasalahan ini juga menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh
para klinisi.
MDT. Kasus kusta pada pertengahan tahun 1980 didapatkan sejumlah lebih dari
lima juta kasus, kemudian mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2015
menjadi kurang dari 200.000 kasus, tetapi kasus baru masih terus muncul
walaupun dalam skala kecil. Indonesia pada tahun 2014 menempati peringkat
ketiga untuk temuan kasus kusta baru di seluruh dunia setelah Brazil dan India
1
4
sejumlah 17.025 kasus. Indonesia juga merupakan penyumbang kasus kusta baru
tipe multi basilar (MB) tertinggi di Asia Tenggara sejumlah 14.213 kusta tipe MB
atau sekitar 83,4% (WHO, 2015). Jumlah kasus baru tertinggi di Indonesia
Prevalensi penyakit kusta di Bali pada tahun 2014 berdasarkan data dari Dinas
Kesehatan Provinsi Bali sejumlah 0,21 per 10.000 penduduk dengan jumlah kasus
baru 89 orang. Jumlah total pasien kusta yang melakukan rawat jalan di Poliklinik
Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum (RSUP) Sanglah Denpasar per Januari
spektrum penyakit kusta. Ridley dan Jopling pada tahun 1966 mengklasifikasikan
indeks bakteri (IB), menjadi kusta tipe lepromatosa polar dan tuberkuloid polar.
Diantara kusta tipe tuberkuloid polar dan lepromatosa polar didapatkan kusta tipe
borderline yang terdiri atas kusta borderline tuberkuloid (BT), mid borderline
memudahkan pemberian pengobatan. Jumlah lesi satu atau dua hingga lima
diklasifikasikan menjadi tipe PB, sedangkan jumlah lesi lebih dari lima menjadi
tipe MB. Apabila didapatkan IB yang positif pada pemeriksaan slit-skin smear,
5
bakteri yang bersifat obligat intraseluler dengan tingkat virulensi yang rendah.
Virulensi yang rendah diperankan oleh komponen kapsul M. lepra yaitu phenolic
yang lemah, namun bersifat stabil dalam jangka waktu lama dalam tubuh host
host. Sistem imunitas seluler tinggi akan menghasilkan spektrum penyakit kusta
yang ditandai dengan IB yang tinggi. Sistem imunitas alamiah host merupakan
pada makrofag. Empat jalur tersebut melibatkan interaksi molekuler yaitu pertama
melalui jalur aktivasi toll-like receptor 2 dan 1 (TLR2/1) oleh antigen M. leprae,
kedua melalui jalur tumor growth factor (TGF-), ketiga melalui jalur tumor
necrosis factor (TNF-), dan keempat adalah jalur yang diperantarai reseptor
oleh VDR (Goulart et al., 2008; Bartley et al., 2013). Vitamin D telah diketahui
terlebih dahulu memiliki peran klasik (peran skeletal) dalam menjaga homeostasis
wide genome analysis berdampak pada terungkapnya peranan non klasik (peran
1,25-(OH)2 D. Reseptor vitamin D diekspresikan oleh sekitar 60 tipe sel, dan
epidermis, pankreas, kolon, dan plasenta (Chun et al, 2014). Kondisi defisiensi
vitamin D saat ini juga dihubungkan dengan berbagai penyakit autoimun seperti
psoriasis, vitiligo, arthritis reum atoid, diabetes melitus tergantung insulin, dan
multipel sklerosis (Gupta, 2012). Tuberkulosis adalah salah satu penyakit infeksi
risiko tuberkulosis aktif pada kelompok dengan kadar vitamin D yang lebih tinggi
yang diperoleh melalui minyak hati ikan kod dan paparan sinar matahari sudah
mikobakteri hingga saat ini masih dalam penelitian, namun beberapa mekanisme
telah diketahui (Gupta, 2012; Luong et al, 2012). Pada infeksi oleh mikobakteri
vitamin D berperan sebagai imunomodulator pada jalur anti bakteri melalui VDR
Vitamin 25-OHD dalam plasma memiliki waktu paruh yang lebih panjang
imunitas seluler host. Pada kusta tipe tuberkuloid, sistem vitamin D intrakrin tidak
pada makrofag dapat berfungsi optimal, ditandai dengan rendahnya nilai IB. Hal
ini berlaku sebaliknya pada kusta lepromatosa dengan sistem vitamin D intrakrin
mikobakteri, ditandai dengan IB yang tinggi (Montoya et al, 2009; Chun et al,
2014). Penelitian kadar vitamin D pada penderita kusta sudah pernah dilakukan
8
(2015), ditemukan kadar 25-OHD plasma yang lebih rendah pada penderita kusta
yaitu sebesar 27,47±4,17 ng/ml, sedangkan pada individu normal sebesar 33±3,76
dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara kadar 25-
Sanglah Denpasar?
dengan nilai indeks bakteri pada penderita kusta di RSUP Sanglah Denpasar?
Denpasar.
pada patogenesis penyakit kusta, serta hubungan vitamin D dengan indeks bakteri
plasma penderita kusta dapat berperan sebagai salah satu faktor risiko
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kusta
Gerald Hansen, kusta juga disebut dengan Morbus Hansen. Infeksi oleh M. leprae
berlangsung secara perlahan dan progresif, secara primer menyerang saraf tepi,
dan secara sekunder menyerang kulit. Konsentrasi kuman yang tinggi dalam tubuh
dapat melibatkan organ dalam lainnya seperti otot, mukosa saluran pernafasan
negara yang dikelompokkan dalam 5 wilayah sejumlah 213.899 kasus pada tahun
2014, mengalami peningkatan dari 215.656 kasus pada tahun 2013. Sejumlah
154.834 kasus terdapat di wilayah Asia Tenggara, India menempati posisi kasus
kusta terbanyak sejumlah 125.785 kasus, disusul oleh Brazil sejumlah 31.064
kasus, dan Indonesia menempati posisi ketiga (WHO, 2015). Departemen Keseha
tan Republik Indonesia pada tahun 2013 melaporkan jumlah penderita kusta di
Indonesia meningkat dari tahun 2013 sejumlah 16.856 kasus menjadi 17.025
8
11
kasus. Jawa Timur menempati posisi dengan jumlah kasus kusta baru terbanyak
sejumlah 4.132 kasus dari total 16.856 kasus pada tahun 2013 (Infodatin, 2015).
kusta tipe MB terbanyak yaitu sebesar 83,4% diantara kasus baru yang terdeteksi,
serta jumlah kasus kusta baru pada anak yang terbanyak yaitu sebesar 11,3%
(Depkes, 2013). Keadaan ini memberi kesan bahwa MDT berhasil menurunkan
hanya membasmi kusta yang sudah bermanifestasi, namun kusta subklinis sebagai
semua usia, namun yang terbanyak pada usia muda dan produktif. Berdasarkan
jenis kelamin penyakit kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan, namun
laporan di beberapa negara menemukan angka kejadian yang lebih sering pada
ekonomi, dimana penyakit kusta lebih jarang ditemukan pada tingkat sosial
asam, gram positif, tidak dapat dikultur pada media buatan, bersifat non motil,
aerob, dan obligat intraseluler. Bakteri ini memiliki ukuran panjang 1 mikron
hingga 8 mikron, diameter 0,3 mikron dengan sisi paralel dan ujung yang
Tropisme dari bakteri ini adalah sel histiosit dan sel Schwann, namun dapat pula
pada sel otot dan sel vaskuler endotel. Pembelahan terjadi setiap 11 hari hingga
13 hari, dan tumbuh maksimal pada suhu 30o C hingga 33o C. Pemeriksaan
imunitas selular maupun humoral yang ditemukan pada membran sel bagian luar.
respon imun host, dan PGL-1, merupakan glikolipid spesifik untuk M. leprae
60% kusta tipe TT dan 90% kusta tipe LL (Mahapatra et al, 2008).
dilakukan karena biologi M. leprae yang bersifat unik dan periode inkubasi yang
panjang. Sumber infeksi kusta pada manusia adalah kasus kusta yang tidak
dibandingkan tipe pausi basiler (PB), namun semua kasus kusta aktif harus
lama (nara kontak) serta penduduk yang padat merupakan salah satu faktor risiko
Faktor genetik yaitu gen human leucocyte antigen (HLA-DR2) dan gen
non HLA diduga berperan pada kerentanan genetik baik pada kusta secara umum
maupun tipe kusta. Lokus pada kromosom 6q25 tampaknya berperan dalam
lokus pada kromosom 10p13 berkaitan dengan peningkatan risiko kusta tipe PB
Penularan kusta dapat melalui kulit secara langsung dan fomit. Metode
transmisi lain yang masih belum terbukti adalah transmisi in utero dan melalui air
susu ibu (ASI). Transmisi in utero dicurigai berperan pada penularan karena
adanya kasus kusta yang dilaporkan pada bayi usia 3 minggu, sedangkan transmisi
melalui ASI dicurigai karena ditemukannya basil M. leprae pada ASI, namun
dipengaruhi oleh IB dan tipe kusta pada kontak (Thorat et al, 2010).
patogen (M. leprae), faktor host (usia, jenis kelamin, migrasi, imunitas, genetik),
pendidikan rendah, kebersihan diri rendah, dan ventilasi yang kurang). Faktor
14
patogen adalah M. leprae yang bersifat obligat intraseluler dengan afinitas tinggi
terutama pada sel Schwann, dan sel dalam sistem retikuloendothelial. Kondisi
jaringan yang dingin merupakan tempat pertumbuhan paling baik untuk M. leprae
seperti saraf tepi, kulit, saluran pernafasan atas, dan testis (Sekar, 2010).
imun humoral, dan protein yang menginduksi baik respon humoral maupun imun
seluler. Komponen imunogen M. leprae ini berasal dari antigen sitoplasma dan
Penyakit kusta ditandai dengan spektrum klinis luas yang didasarkan atas
adanya respon imunitas seluler yang dimediasi oleh sel Thelper 1 (Th1) pada kulit
antigen M. leprae. Hal ini mengakibatkan gambaran klinis adanya gangguan saraf
tepi yang jelas namun jumlah basil serta lesi yang sedikit. Sebaliknya kusta tipe
lepromatosa dihubungkan dengan respon imun yang dimediasi oleh sel Th2 yang
patogen menembus barier fisik mukosa hidung, kemudian menuju ke kulit dan
saraf tepi melalui sirkulasi. Keberhasilan invasi M. leprae menembus barier fisik,
kemudian direspon oleh sistem seluler yang diperankan oleh makrofag, sehingga
(Modlin, 2010).
15
melibatkan aktivasi TRLs, TGF-, jalur regulasi TNF-, dan jalur yang
diperantarai oleh VDR seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.1 (Lastoria,
2014). Fagositosis M. leprae oleh makrofag dimediasi oleh PGL-1 pada dinding
sel M. leprae yang dikenali oleh complement receptor atau CR1(CD35), CR3
pada permukaan makrofag. Interaksi makrofag dengan PGL-1 melalui TLRs ini
menimbulkan aktivasi sel Tnaive melalui sekresi interleukin-12 (IL-12) dan IL-10.
Sitokin-sitokin ini menginduksi perubahan sel Tnaive menjadi sel Th1 maupun sel
Th2. Masing-masing sel limfosit T teraktivasi ini akan mempromosikan sel respon
Aktivasi TLRs makrofag juga meningkatkan regulasi VDR dan gen 1--
transkripsi berbagai gen pada respon imun (Lastoria, 2014; Spierings et al, 2000).
16
Gambar 2.1
Jalur metabolik respon imun pada kusta (Lastoria, 2014)
inisiasi dan resolusi respon inflamasi tanpa mempengaruhi respon imun terhadap
koaktivator VDR atau faktor transkripsi pada inti (Lastoria, 2014). Makrofag
teraktivasi akibat stimulus patogen mensekresi sitokin seperti TNF- yang dapat
menginduksi inducible nitric oxide species (iNOS) dan nitric oxide (NO) yang
dan didukung dengan pemeriksaan slit skin smear. Diagnosis kusta ditegakkan
bila memenuhi satu atau lebih dari tanda kardinal sebagai berikut: (WHO,1997).
Lesi kulit dapat berupa makula, atau plak eritema berwarna seperti tembaga,
permukaan lesi tampak kering, kasar, berkeringat atau berkilap. Folikel rambut
terhadap rasa raba, nyeri, dan suhu dapat ditemukan pada lesi dan area yang
dipersarafi oleh saraf perifer. Pada kusta tipe lepromatosa dapat juga mengenai
Pembesaran saraf tepi biasanya baru ditemukan setelah adanya lesi kulit, paling
sering mengenai nervus ulnaris dan nervus peroneus komunis. Pembesaran saraf
multipel umumnya lebih sering ditemukan pada kusta tipe MB. Pemeriksaan saraf
Pemeriksaan slit skin smear memiliki spesifisitas 100% dengan sensitivitas lebih
rendah sekitar 10-50%. Hapusan kulit dapat diambil dari kedua lobus telinga, lesi
18
kulit, bagian dorsum interfalang digiti III manus, dan bagian dorsum digiti I pedis.
slit skin smear dapat ditentukan IB dan indeks morfologis (IM) yang membantu
dalam menentukan tipe kusta dan evaluasi terapi. Indeks bakteriologi merupakan
ukuran semi kuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus yang dihitung
yang kemungkinan besar akan menderita cacat. Klasifikasi kusta yang sering
digunakan adalah klasifikasi berdasarkan atas Ridley dan Jopling (1966) yang
2.1. Lima spektrum kusta tersebut yaitu kusta tipe tuberkuloid atau tuberculoid
tuberculoid (TT), kusta tipe lepromatosa atau lepromatous lepromatous (LL), dan
kusta tipe borderline. Kusta tipe borderline terdiri atas tiga tipe yaitu kusta
lepromatous atau BL. Pada fase awal perjalanan alamiah penyakit kusta dapat
Tabel 2.1
Klasifikasi kusta Ridley dan Jopling (Suzuki et al, 2012)
Lesi TT BT BB BL LL
lesi kulit yaitu kusta tipe MB terdiri atas lebih dari 5 lesi kulit, dan PB lesi tunggal
(single lession paucibacillary atau SLPB), dan PB dua hingga lima lesi kulit.
memandang jumlah lesi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.2 (Northern
Tabel 2.2
Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan WHO
(Northern Territory Government, 2010)
penggunaan MDT yang terdiri dari rifampisin, dapson dan klofasimin untuk
mengklasifikasi penderita kusta menjadi tiga kelompok yaitu kusta PB dengan lesi
tunggal, kusta PB dengan lesi kulit dua hingga lima, dan kusta MB dengan lesi
kulit lebih dari lima, atau semua pasien dengan BTA positif. Regimen PB dengan
lesi kulit dua hingga lima terdiri atas rifampisin 600mg sebulan sekali ditambah
dapson 100mg/hari selama enam bulan. Regimen MB dengan lesi kulit lebih dari
21
ditambah dengan ofloksasin 400mg dan minosiklin 100mg (ROM) dosis tunggal.
Regimen PB 2-5 lesi terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali, dapson 100
2.2 Vitamin D
hormon sekosteroid yaitu hormon steroid dengan cincin B yang hilang. Terdapat
dua bentuk vitamin D yang belum aktif yaitu vitamin D2 (ergokalsiferol), dan
bantuan sinar matahari dan dikonsumsi dari diet makanan berbahan hewan seperti
ikan salmon, tuna, makarel, sarden, kuning telur, hati, keju. Kedua jenis vitamin
dapat disintesis secara komersial dan didapatkan dalam suplemen diet dan
makanan yang difortifikasi. Struktur vitamin D2 dan D3 hanya berbeda pada rantai
Sumber utama vitamin D adalah produksi endogen oleh kulit saat terpapar
radiasi sinar ultraviolet B (UVB) dengan panjang gelombang 290-315 nm. Pada
tubuh dari sinar matahari langsung bersifat terbatas, sehingga suplai tergantung
22
juga pada asupan vitamin D yang akan diolah menjadi vitamin D yang
vitamin D, tanpa paparan sinar matahari tidak akan cukup memenuhi kebutuhan
tubuh terhadap vitamin D. Sehingga paparan sinar matahari yang terbatas, tanpa
disertai asupan vitamin D dengan dosis 800-1000 IU atau 20-25 mcg per hari,
dari Inggris pada tahun 1914 mengamati tingginya insiden riketsia di Inggris,
berpendapat vitamin A dalam minyak dari hati ikan kod yang berhasil
Johns Hopkins pada tahun 1922 menguji kembali hipotesis apakah vitamin A
yaitu vitamin D. Sementara itu Huldsshinky seorang fisikawan dari Vienna, Chick
et al menemukan bahwa paparan sinar matahari selama musim panas atau sinar
kambing yang berada di luar kandang saat musim panas memiliki kalsium yang
dingin. Steenbock menyimpulkan bahwa lemak yang belum aktif dalam diet dan
pada kulit diubah oleh sinar ultraviolet menjadi substansi aktif sebagai anti
produk aktif akhir dari regulasi kompleks produksi ginjal dan berperan sebagai
lipoprotein, albumin, dan vitamin D binding protein (DBP), sedangkan intra sel
nukleus yang mengatur sejumlah gen target. Hal ini menegaskan bahwa 1,25-
berbagai gen yang tidak terlibat pada metabolisme kalsium (DeLuca, 2013).
bioaktivasi melalui jalur klasik yang melibatkan renal dan jalur non klasik atau
dari intestin ditarik oleh DBP ke dalam plasma, kemudian ke dalam sistem
limfatik, memasuki darah vena, diikat oleh DBP dan lipoprotein, yang akhirnya
diangkut menuju hepar. Proses hidroksilasi vitamin D2/D3 di hepar pada rantai C-
Vitamin 25-OHD ditransport oleh DBP dan disimpan dalam lemak. Kadarnya
waktu paruh sekitar tiga minggu, sehingga kadar 25-OHD merupakan marker
yang baik untuk mengukur kandungan vitamin D dalam tubuh (Bilke, 2014).
pada posisi C1 rantai A menjadi 1,25-(OH)2D. Regulasi di ginjal ini sangat ketat,
dan dilakukan oleh hormon paratiroid. Penurunan kadar kalsium atau peningkatan
kadar fosfat akan segera memicu produksi hormon paratiroid oleh kelenjar
kalsium intestinal.
Aktivitas biologi 1,25-(OH)2D 500 kali hingga 1000 kali lebih tinggi
100 kali lebih tinggi dibandingkan 1,25-(OH)2D. Setelah beberapa kali proses
hidroksilasi dan oksidasi, dihasilkan produk degradasi yaitu asam kalsitroik yang
intra hepatik, dan sebagian dari simpanan vitamin D menghilang melalui saluran
genome wide analysis, telah dibuktikan bahwa enzim ini juga dieskpresikan pada
berbagai sel atau jaringan ekstra renal seperti sel imunitas alamiah
(monosit/makrofag, sel dendritik, dan sel T), sel beta pankreas, plasenta, sel
paratiroid, kolon, payudara, dan paru. Enzim CYP27B1 dan VDR akan berperan
sintesis di renal sesuai dengan target sel yang spesifik. Hal ini mengungkapkan
berbagai fungsi vitamin D ekstra skeletal seperti peran pada sistem imun,
beberapa tahun yang lalu, namun baru sejak 5 tahun terakhir diketahui peranan
penting vitamin D pada fungsi imunitas normal manusia. Hal ini merupakan
26
imunitas alamiah dan adaptif. Berawal dari penelitian seorang ilmuwan peraih
nobel, Dr. Finsen pada tahun 1903 yang mampu menyembuhkan epidermis dari
dapat memicu sintesis vitamin D epidermis dan mendorong penelitian lebih lanjut
lupus vulgaris dan infeksi mikroba seperti kusta. Pada tahun 2006, wide genome
seperti ikatan 1,25-(OH)2D dengan sel dalam sistem imunitas adaptif (sel limfosit
T dan B), dan ikatan spesifik 1,25-(OH)2D dengan sel-sel dalam sistem imunitas
seluler (monosit, makrofag, sel dendritik, neutrofil, dan derivat sel monositik).
imunitas. Berdasarkan dua pengamatan ini disimpulkan bahwa sel imun yang
27
mengekspresikan VDR ini dapat merespon vitamin D aktif sirkulasi sama halnya
dengan jaringan target vitamin D klasik seperti intestinal, renal dan tulang (Chun
et al, 2014). Secara garis besar vitamin D berperan penting pada imunoregulasi
sistem imunitas alamiah seperti induksi peptida anti mikroba katelisidin dan
defensin 2 pada berbagai jenis sel, sedangkan pada sistem imunitas adaptif seperti
supresi aktivasi sel T, induksi sel T regulator, regulasi pola sekresi sitokin,
sistem intrakrin akan mengubah 25-OHD menjadi vitamin D bentuk aktif 1,25-
transkripsi gen dari sel target. Respon penting dari aktivasi vitamin D intrakrin
umpan balik regulasi ekspresi TLR2/1 yang pada akhirnya akan meningkatkan
asesoris seperti ikatan muramyl dipeptide (MDP) yang berikatan dengan NOD2,
dan respon interleukin-1 (IL-1) melalui NK, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.2
Mekanisme induksi respon anti bakteri yang diperantarai oleh vitamin D
pada makrofag (Chun et al, 2014)
mekanisme utama yang memicu sistem vitamin D intrakrin dan respon imunitas
menggunakan baik sel imun yang diisolasi secara langsung dari subyek penelitian
diinduksi oleh patogen. Bagaimana respon ini berfungsi pada penyakit imun yang
sebenarnya seperti halnya pada kusta, belum sepenuhnya jelas (Chun et al, 2014).
sebagai terapi putatif pada kusta. Berbeda dengan tuberkulosis, penyakit kusta
dibedakan menjadi dua tipe, yaitu kusta tipe lerpomatosa dan kusta tipe
tuberkuloid. Kedua tipe kusta ini memiliki profil imunitas serta prognosis yang
29
berbeda. Berdasarkan hasil analisis DNA, didapatkan profil ekspresi gen pada
CYP24A1, dan VDR yang signifikan, sebaliknya pada kusta tipe lepromatosa
didapatkan ekspresi yang lebih rendah (Montoya et al, 2009). Disimpulkan dari
penelitian ini bahwa sistem vitamin D intrakrin pada kusta tipe tuberkuloid masih
intak atau tidak terganggu, sehingga mampu untuk membantu respon anti bakteri
dari vitamin D. Berbeda halnya sistem vitamin D intrakrin pada kusta lepromatosa
yang terganggu, khas ditandai oleh tingginya makrofag yang terinfeksi M. leprae
intrakrin terganggu pada kusta lepromatosa seperti yang ditunjukkan pada Gambar
2.3.
Gambar 2.3
Mekanisme sistem vitamin D yang terganggu pada makrofag
(Chun et al, 2014)
30
diinduksi TLR2/1 oleh adanya peningkatan IL4, IL-10, IFN/. Sitokin IFN
vitamin D yang diinduksi TLR2/1 (Edelfelt et al, 2010; Fabri et al, 2011).
31
BAB III
serta kontrol sistem hormonal lainnya. Pada sistem imun alamiah terutama yang
meningkatkan fungsi makrofag dalam melawan patogen melalui jalur anti bakteri
merupakan indikator status vitamin D dalam darah karena memiliki waktu paruh
host. Sistem imunitas alamiah yang diperankan oleh sistem fagositosis makrofag
intrakrin terjadi induksi toll-like receptor 2/1 oleh M. leprae yang akan
25-OHD menjadi bentuk aktif 1,25-(OH)2D. Metabolit aktif vitamin D ini akan
29
32
sistem vitamin D intrakrin pada kusta dipengaruhi oleh respon imunitas seluler
host. Pada kusta tuberkuloid, sitokin IFNγ memicu bioaktivasi vitamin D yang
plasma dengan IB pada penderita kusta, yang ditunjukkan pada Gambar 3.1
Tidak dianalisis
Gambar 3.1
Bagan kerangka konsep penelitian
33
BAB IV
METODE PENELITIAN
sectional study adalah rancangan penelitian yang dipilih untuk mengetahui adanya
korelasi antara kadar 25-OHD plasma dengan IB pada penderita kusta. Rancangan
penelitian ini dapat dilihat secara skematis pada Gambar 4.1 di bawah ini:
Populasi
Sampel
Gambar 4.1
Rancangan penelitian cross-sectional
Denpasar selama satu setengah bulan, dimulai pada pertengahan bulan Mei 2016
sampai dengan Juni 2016. Pemeriksaan BTA untuk menghitung indeks bakteri
32
35
1. Populasi target adalah seluruh pasien kusta di Bali yang berusia antara 5
diagnosis penyakit kusta secara klinis dan dilakukan pemeriksaan BTA untuk
logaritme Ridley.
consent.
a. Semua pasien kusta yang sudah selesai pengobatan MDT atau release
b. Semua pasien kusta yang sedang mengalami reaksi kusta baik reaksi kusta
pernafasan atas.
Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunkan rumus untuk
uji korelasi sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mencari korelasi antara kadar
25-OHD plasma dengan IB pada pasien kusta. Rumus yang digunakan adalah
dkk, 2010).
yaitu α = 0,05
dkk, 2010):
n = Zα + Zβ 2 +3
0,5 ln[ (1+r)/(1-r)]
penelitian ini juga ditetapkan α = 0,05 sehingga besarnya Zα = 1,96 dan koefisien
menggunakan rumus diatas, maka jumlah sampel minimal (n) yang diperlukan
38
untuk rancangan ini adalah 47 orang. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 55
orang.
diukur, baik secara numerik maupun kategorikal. Variabel pada penelitian ini
adalah:
numerik.
numerik.
Indeks bakteri
39
Variabel Kendali
, Gambar 4.2
Hubungan antar variabel
1. Kusta adalah penyakit infeksi granulomotosa kronis yang ditandai tiga tanda
kardinal yaitu adanya lesi kulit berupa bercak putih atau bercak merah yang
mati rasa, pembesaran saraf, dan didapatkan adanya basil tahan asam (BTA)
pada hapusan sayatan kulit. Diagnosis ditegakkan berdasarkan satu atau lebih
dan Jopling menjadi kusta tipe TT, BT, BB, BL, dan LL. Kusta menurut
2. Kusta relaps adalah munculnya gejala dan tanda baru penyakit kusta pada
periode pengamatan 2 tahun untuk kusta tipe PB dan lima tahun untuk kusta
3. Reaksi kusta adalah reaksi yang terjadi selama perjalanan alami penyakit,
selama pengobatan atau setelah pengobatan. Terdapat dua tipe reaksi kusta
yaitu reaksi kusta tipe satu yang juga disebut reaksi reversal (RR) dan reaksi
kusta tipe dua yang disebut juga eritema nodusum leprosum (ENL).
4. Indeks bakteri adalah jumlah rata-rata basil M. leprae pada kulit yang didapat
dari hasil pemeriksaan hapusan sayatan kulit dan pengecatan Ziehl Nielzen.
mencari BTA yang solid, fragmentasi dan granuler pada 100 lapangan
sampai +6.
dengan satuan ng/mL dalam plasma pasien kusta dari darah vena di fossa
kubiti dengan nilai defisiensi <10 ng/mL; insufisiensi 10-30 ng/mL; sufisiensi
30-100 ng/mL, dan toksisitas >100 ng/mL, yang diperiksa dengan teknik the
sampai saat datang ke rumah sakit yang dapat ditentukan dengan melihat data
41
kelahiran pada kartu tanda penduduk, surat ijin mengemudi atau kartu
keluarga.
lesi kulit 2-5 buah, terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali ditambah
dapson 100 mg/hari selama 6 bulan. Regimen MB dengan lesi kulit lebih dari
300 mg/bulan dan 50 mg/hari, dapson 100 mg/hari dengan lama pengobatan
10. Menstruasi adalah perdarahan periodik dari uterus yang dimulai sekitar 14
11. Kehamilan adalah keadaan terkandungnya janin dalam rahim seorang wanita
12. Menyusui adalah proses pemberian susu kepada bayi atau anak kecil dengan
air susu ibu (ASI) dari payudara ibu yang diperoleh melalui tekhnik
wawancara
13. Tumor ovarium adalah neoplasma yang berasal dari jaringan ovarium, yang
14. Penyakit tiroid merupakan penyakit akibat adanya gangguan pada kelenjar
wawancara.
16. Sistemik lupus eritematosus adalah riwayat penyakit lupus yang diderita oleh
17. Multipel sklerosis adalah penyakit pada sistem saraf pusat ditandai dengan
defisit neurologis yang pernah atau sedang dialami, diketahui melalui teknik
wawancara.
18. Psoriasis adalah suatu penyakit kulit autoimun bersifat kronis yang ditandai
tetesan lilin, Auspitz, dan Koebner, yang diketahui melalui teknik wawancara.
19. Vitiligo adalah suatu kelainan didapat yang mengenai kulit dan mukosa yang
wawancara.
43
20. Penyakit kardiovaskuler adalah riwayat penyakit jantung yang pernah atau
21. Diabetes melitus adalah kelainan metabolik yang disebabkan oleh banyak
faktor seperti kurangnya insulin atau resistensi insulin yang ditandai dengan
wawancara.
23. Infeksi saluran pernafasan atas adalah infeksi salauran pernafasan atas yang
disebabkan oleh infeksi virus maupun bakteri, ditandai dengan nyeri menelan,
batuk dan atau pilek, ditanyakan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.
24. Gagal ginjal kronis adalah seseorang yang menjalani hemodialisis atau
25. Penyakit hati kronis adalah riwayat menderita gangguan fungsi hati kronis
wawancara.
wawancara.
29. Riwayat konsumsi obat anti kejang adalah riwayat konsumsi obat-obatan
30. Status gizi adalah keadaan kecukupan gizi seseorang yang diukur berdasarkan
nilai indeks massa tubuh (IMT), dihitung dengan rumus perbandingan berat
badan (BB) dalam killogram dengan kuadrat tinggi badan dalam sentimeter,
apabila IMT antara 18,5-22,9, BB lebih apabila IMT > 23, dan obesitas
Bahan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel darah
yang diambil dari pembuluh darah vena fossa kubiti dari subjek penelitian.
4.5.1 Instrumen
torniket, antiseptik, jarum serta spuit sekali pakai 5 ml, kasa verban, plester.
sarung tangan, tourniket, spuit, tabung yang telah berisi koagulan, HVD3 (25-
6. Ice box dan centrifuge dengan pendingin 40C untuk memisahkan sel darah
dengan plasma.
4.5.2 Reagen
kulit.
2. Diagnosis penyakit kusta ditegakkan berdasarkan adanya satu atau lebih tanda
kardinal kusta dengan kriteria tanda kardinal sebagai berikut: bercak kulit
putih atau merah yang mati rasa, penebalan saraf, dan didapatkan adanya
basil tahan asam (BTA) pada hapusan sayatan kulit. Kusta kemudian
menandatangani informed consent sebagai bukti telah setuju untuk ikut serta
dalam penelitian.
dan kanan, lesi kulit yang paling aktif pada bagian tubuh kanan dan kiri,
ruas kedua dorsum interfalang digiti III manus dan dorsum digiti I
pedis).
c. Membersihkan tepi lobus telinga dan lesi dengan kapas alkohol 70%
sampai mengering.
d. Menjepit lobus telinga dengan kuat menggunakan ibu jari dan telunjuk
90°, arah sayatan dari atas ke bawah sampai didapat bubur jaringan.
f. Serum atau bubur jaringan pada scalpel dioleskan pada object glass
pada sisi yang sama dengan letak identitas, hapuskan serum berbentuk
suhu ruangan.
dengan kapas alkohol dan lewatkan di atas nyala api bunsen selama 3-4
sebagai berikut:
dikeringkan.
pengeringan.
menghadap ke atas.
solid (utuh), atau tidak rata akibat dinding sel terputus sebagian
secara terpisah.
darah vena di fossa kubiti sebanyak 1 cc dan ditampung dalam tabung dengan
koagulan.
selama 1 jam pada suhu 370 C lalu aspirasi dan wash tiga kali. Tambahkan
100µL HRP conjugate, inkubasi 30 menit pada suhu 370C lalu aspirasi dan
50
wash lima kali. Tambahkan 90µL substrate reagent dan diinkubasi selama 15
menit pada suhu 370C lalu tambahkan stop solution. Baca pada 450nm
penelitian, maka dibuat alur penelitian dalam bentuk bagan alur penelitian pada
Gambar 4.3.
Populasi target
Semua pasien kusta berumur 5 tahun hingga 65 tahun
Populasi terjangkau
Pasien kusta, berumur 5 tahun hingga 65 tahun, yang berobat ke Poliklinik
Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah selama periode Mei 2016-Juni 2016
Informed Consent
Sampel Sampel
Kusta tipe PB Kusta tipe PB
Data penelitian
Kadar 25-OHD plasma
Indeks bakteri
Analisis data
Gambar 4.3
Alur penelitian
51
Data yang dicatat dalam lembar pengumpulan data yang telah tersusun,
SPSS 17 maupun secara manual, kemudian dianalisis dengan uji statistik yang
sesuai.
riwayat terapi MDT, tipe kusta menurut WHO, dan tipe kusta menurut
Smirnov karena jumlah sampel lebih dari 50. Pada uji normalitas, data
memiliki distribusi normal apabila nilai kemaknaan atau nilai p > 0,05 dan
3. Analisis komparasi
kusta tipe PB, dan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar 25-
OHD antara penderita kusta yang belum dengan yang sudah mendapat
perbedaan kadar 25-OHD plasma karena data pada penelitian ini memiliki
uji Spearman’s rho karena data berdistribusi tidak normal dengan tingkat
kepercayaan α=0,05 .
dalam penelitian apabila tidak bersedia untuk ikut serta dalam penelitian ini.
Seluruh biaya penelitian dan biaya lainnya yang dibutuhkan akibat penelitian ini
BAB V
HASIL PENELITIAN
dengan Juni 2016 di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah dengan
Karakteristik jenis kelamin, umur, indeks bakteri, riwayat kontak, tipe kusta, dan
9 tahun, dan tertua adalah 65 tahun. Rerata umur subjek kusta adalah 38,71 ±
14,237 tahun dengan median 37,00 tahun. Kelompok umur terbanyak pada
rentang umur 26 – 35 tahun sebesar 30,9%. Kelompok umur yang paling sedikit
yang kontak dengan keluarga yang menderita kusta sebesar 25,5%, kontak dengan
teman sebesar 18,2%, dan sebesar 7,3% yang kontak dengan teman kerja.
Tabel 5.1
Karakteristik subjek penelitian
54
1. Jenis kelamin
Laki-laki 34 61,8
Perempuan 21 38,2
2. Umur (tahun)
06 – 15 2 3,6
16 – 25 8 14,5
26 – 35 17 30,9
36 – 45 11 12,0
46 – 55 7 12,7
56 – 65 10 18,2
3. Indeks bakteri
0 14 25,5
+1 12 21,8
+2 6 10,9
+3 15 27,3
+4 8 14,5
4. Riwayat kontak
Tidak ada kontak 27 49,1
Kontak serumah 14 25,5
Kontak tetangga 10 18,2
Kontak teman kerja/dll 4 7,3
5. Riwayat terapi MDT
Belum diterapi 13 23,6
Sudah diterapi 42 76,4
6. Riwayat kusta (WHO)
Kusta tipe PB 18 32,7
Kusta tipe MB 37 67,3
7. Riwayat kusta (Ridley-Jopling)
TT 2 3,6
BT 16 29,1
BB 9 16,4
BL 20 36,4
LL 8 14,5
(32,7%) kasus. Berdasarkan klasifikasi Ridley dan Jopling didapatkan tipe kusta
merupakan tipe kusta yang paling sedikit yaitu sejumlah 2 (3,6%) kasus. Dari
MDT.
karena jumlah subjek sebanyak 55 orang. Hasil uji normalitas disajikan pada
Tabel 5.2, didapatkan bahwa data kadar 25-OHD plasma dan indeks bakteri pada
< 0,05.
Tabel 5.2
Hasil uji normalitas data
No Variabel P
1. Kadar 25-OHD plasma 0,003
2. Indeks bakteri < 0,001
Signifikansi nilai p > 0,05
5.3 Komparasi Kadar 25-OHD Plasma pada Subjek Kusta Tipe Pausibasilar
Pada penelitian ini didapatkan bahwa rerata kadar 25-OHD plasma pada
kelompok subjek kusta tipe PB adalah 24,44 ± 1,98 ng/mL, dan nilai median
56
25,57 ng/mL dengan nilai minimum 20,86 ng/mL, nilai maksimum 26,59 ng/mL.
Pada kelompok subjek kusta tipe MB didapatkan rerata kadar 25-OHD plasma
adalah 19,48 ± 3,17 ng/mL, dan nilai median 18,36 ng/mL dengan nilai minimum
adalah 14,73 ng/mL, nilai maksimum adalah 26,58 ng/mL. Uji non parametrik
Mann-Whitney pada data kadar 25-OHD plasma menurut tipe kusta menunjukkan
bahwa kadar 25-OHD plasma pada subjek kusta tipe MB lebih rendah secara
signifikan dibandingkan pada subjek kusta tipe PB dengan nilai p < 0,001, seperti
Tabel 5.3
Hasil analisis perbandingan kadar 25-OHD plasma
antara kusta tipe pausibasilar dengan kusta tipe multibasilar
pada kelompok subjek kusta tipe MB lebih rendah dibandingkan kelompok subjek
Tipe Kusta
WHO
Gambar 5.1
Grafik boxplot perbandingan kadar 25-OHD plasma antara
kelompok subjek kusta tipe PB dengan tipe MB
variabel perancu pada penelitian ini. Sejumlah 42 subjek kusta (76,4%) sudah
kadar 25-OHD plasma antara subjek kusta yang sudah mendapatkan pengobatan
MDT dengan yang belum pengobatan. Rerata kadar 25-OHD plasma pada
kelompok subjek kusta yang sudah mendapatkan pengobatan MDT adalah 21,23 ±
3,66 ng/mL, dan nilai median 21,23 ng/mL, dan nilai minimum 14,73 ng/mL,
serta nilai maksimum 26,59 ng/mL. Rerata kadar 25-OHD plasma pada kelompok
subjek kusta yang belum mendapatkan pengobatan MDT adalah 20,69 ± 3,83
ng/mL, dan nilai median 21,74 ng/mL, dan nilai minimum 15,62 ng/mL, serta
nilai maksimum 26,58 ng/mL. Perbedaan kadar 25-OHD pada kelompok kusta
58
yang tidak signifikan antara kadar 25-OHD plasma pada kelompok subjek kusta
pengobatan MDT dengan nilai p = 0,663 (p > 0,05), seperti yang disajikan pada
Tabel 5.4.
Tabel 5.4
Hasil analisis perbandingan kadar 25-OHD plasma
antara subjek kusta yang sudah mendapat pengobatan
MDT dengan yang belum mendapatkan pengobatan MDT
antara nilai kadar 25-OHD plasma pada kelompok subjek kusta yang sudah
Gambar 5.2
Grafik boxplot perbandingan kadar 25-OHD plasma antara
kelompok subjek kusta yang sudah mendapat pengobatan MDT
dengan yang belum mendapat pengobatan MDT
pada subjek kusta, dilakukan uji korelasi Spearman’s rho karena data kadar 25-
OHD plasma dan indeks bakteri berdistribusi tidak normal. Dari uji ini didapatkan
bahwa terdapat korelasi negatif antara kadar 25-OHD plasma dan indeks bakteri
dengan nilai r = -0,860; p < 0,001, seperti yang disajikan pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5
Korelasi antara kadar 25-OHD plasma dengan indeks bakteri
pada Gambar 5.3. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa semakin tinggi kadar
Indeks bakteri
Gambar 5.3
Grafik boxplot kadar 25-OHD dengan indeks bakteri
indeks bakteri pada subjek kusta. Artinya setiap penurunan kadar 25-OHD plasma
sebesar 1 ng/mL, akan diikuti oleh peningkatan indeks bakteri sebesar 0,341
bakteri dipengaruhi oleh kadar 25-OHD plasma, dan sisanya sebesar 25,7%
dipengaruhi oleh faktor lain, yang dapat dilihat pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6
61
BAB VI
PEMBAHASAN
sampling yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Tidak ada subjek yang
hilang dalam penelitian ini. Keseluruhan subjek kusta diperlakukan sama yaitu
perempuan adalah 1,6:1. Studi oleh Teixeira et al. (2010) melaporkan jumlah
Studi oleh Maria (2008) mendapatkan laki-laki memiliki risiko 2,9 kali menderita
mobilitas laki-laki yang lebih tinggi sehingga kemungkinan terpapar lebih besar
dibandingkan perempuan.
Pada penelitian ini didapatkan pada subjek kusta umur termuda adalah 9
tahun dan tertua adalah 65 tahun dengan rerata umur 38,71 ± 14,237 tahun.
Kelompok umur terbanyak pada penelitian ini adalah pada kelompok umur 26 –
35 tahun sebesar 30,9%. Kelompok umur paling sedikit adalah pada rentang umur
Makasar menemukan hal yang serupa dimana kasus kusta terbanyak ditemukan
pada kelompok usia produktif yaitu 15-44 tahun (59,6%), terkait dengan mobilitas
yang tinggi dan risiko mendapatkan paparan yang lebih besar. Kasus kusta pada
anak lebih jarang ditemukan. Hal ini disebabkan karena masa inkubasi yang
panjang hingga puluhan tahun. Namun kasus kusta pada anak sering ditemukan di
berusia 5-14 tahun sebesar 5,9%, sedangkan Bakker et al. (2006), menemukan
kusta lebih banyak dibanding tanpa kontak yaitu 51% dan 49%. Riwayat kontak
paling besar adalah kontak subjek dengan keluarga atau kontak serumah yaitu
sebanyak 25,5% Hal ini sesuai dengan mekanisme penularan pada penyakit kusta
yang memerlukan kontak erat dan lama. Penelitian yang dilakukan oleh Goulart et
al. (2008) menemukan bahwa kontak keluarga terutama penderita kusta tipe MB
memiliki risiko 5-10 kali lebih besar untuk menderita kusta dibandingkan populasi
umum. Sales et al. (2011), melaporkan risiko menderita kusta sebesar 1,96 kali
lebih tinggi pada penderita dengan kontak serumah dibandingkan tanpa kontak,
terbanyak pada subjek kusta adalah +3 (27,3%.). Hal ini sesuai dengan jumlah
kasus kusta tipe MB yang ditemukan lebih dominan pada penelitian ini. Pada
penelitian ini tidak mengekslusi subjek kusta dengan riwayat pengobatan MDT,
64
perlahan (Mahajan, 2015). Nilai IB 0 juga banyak didapatkan pada penelitian ini
karena sesuai dengan jumlah kusta tipe PB. Berdasarkan tipe kusta WHO, pada
(32,7%). Hasil pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
2015, tercatat kasus MB sebesar 83,4% dari total kaus kusta baru. Lebih tingginya
paling banyak yaitu sebesar 36,4%, diikuti oleh tipe BT sebanyak 29,1%, tipe BB
sebanyak 16,4%, tipe LL sebanyak 14,5% dan yang paling sedikit adalah tipe TT
sebanyak 3,6%. Penelitian dengan hasil serupa dilaporkan oleh Mattos et al.
(2015), mendapatkan kusta tipe lepromatosa (BL dan LL) lebih dominan, masing–
masing sebesar 34,39% dan 35,93%. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Thakkar dan Patel (2014) di India, yang mendapatkan jumlah
kasus terbanyak adalah tipe TT. Perbedaan jumlah tipe kusta terbanyak pada
Penelitian di rumah sakit rujukan pada umumnya mendapatkan kusta yang lebih
65
berat karena keterlambatan pasien berobat sehingga kasus yang terbanyak adalah
6.2 Komparasi Kadar 25-OHD Plasma pada Subjek Kusta Tipe Pausibasilar
Pada penelitian ini didapatkan bahwa rerata kadar 25-OHD plasma pada
kelompok kusta tipe PB adalah 24,44 ± 1,98 ng/mL, nilai median 25,57 ng/mL
sedangkan pada kelompok kusta tipe MB didapatkan 19,48 ± 3,17 ng/mL, dan
nilai median 18,36 ng/mL. Hasil uji non parametrik Mann-Whitney, didapatkan
rerata kadar 25-OHD plasma pada kelompok kusta tipe MB lebih rendah secara
bermakna dibandingkan dengan kelompok kusta tipe PB dengan nilai p < 0,001.
Pemeriksaan kadar 25-OHD plasma pada penelitian ini dilakukan baik pada
subjek kusta yang belum maupun yang sudah mendapat pengobatan, karena
variabel pengobatan MDT bukan sebagai variabel perancu. Hal ini dibuktikan
dengan analisis data menggunakan uji Mann-Withney pada kadar 25-OHD plasma
dari subjek kusta yang belum mendapat pengobatan MDT dibandingkan dengan
Talat et al. (2010), melaporkan bahwa kadar vitamin D yang rendah berhubungan
populasi normal. Penelitian oleh Mandal et al. (2015), ditemukan kadar 25-OHD
plasma yang lebih rendah pada penderita kusta yaitu sebesar 27,47±4,17 ng/ml,
pernah dilakukan.
invasi kuman M. leprae. Sistem TLR2/1 yang diaktivasi oleh M. leprae akan
25-OHD menjadi 1,25-(OH)2 D. Vitamin D aktif dan reseptor akan bekerja pada
intrakrin pada kusta tipe lepromatosa. Sistem vitamin D intrakrin pada kusta tipe
terganggu, khas ditandai oleh tingginya makrofag yang terinfeksi M. leprae. Hal
ini menyebabkan kadar vitamin D pada kusta tipe PB lebih tinggi dibandingkan
6.3 Korelasi Kadar 25-OHD Plasma dengan Indeks Bakteri pada Subjek
Kusta
Pada penelitian ini didapatkan korelasi negatif antara kadar 25-OHD plasma
dan indeks bakteri dengan nilai r = -0,860 dan nilai p < 0,001, seperti yang
disajikan pada Tabel 5.6. Hal ini berarti terdapat hubungan bermakna antara kadar
25-OHD plasma dengan nilai indeks bakteri, yaitu semakin rendah kadar 25-OHD
67
maka semakin tinggi nilai indeks bakteri. Tingkat korelasi pada hasil penelitian ini
vitamin D intrakrin pada kusta. Teles et al. (2013), melaporkan bahwa pada kusta
intrakrin oleh sitokin IL-10 dan IFNα/β akibat sistem imunitas seluler yang
rendah. Edfeldt, et al. (2010), juga melaporkan IL-4 yang ditemukan tinggi pada
kusta tipe lepromatosa berperan memicu aktivasi enzim CYP27A1, yaitu enzim
sehingga tidak tercapai transkripsi gen target katelisidin. Hal ini menyebabkan
tingginya indeks bakteri. Hal ini terjadi sebaliknya pada kusta tipe tuberkuloid,
Hormon vitamin D ini mengaktifkan reseptor selular VDR di berbagai sel, yang
mengubah tingkat transkripsi gen target yang bertanggung jawab atas respon
68
biologis, salah satunya adalah target gen katelisidin (Dusso et al, 2005). Kadar 25-
OHD meningkat secara proporsional dengan asupan vitamin D, dan dengan alasan
ini kadar plasma 25-OHD biasanya digunakan sebagai indikator status vitamin D
(Dusso et al, 2005). Penelitian ini dirancang menggunakan metode cross sectional
multibasilar maka penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi penelitian selanjutnya
BAB VII
7.1 Simpulan
ng/mL).
7.2 Saran
berikut:
kusta.
71
DAFTAR PUSTAKA
Bakker, I.M., Hatta, M., Kwenang, A., Mosseveld, P.V., Faber, W.R., Klatser,
P.R., Oskam, L. 2006. Risk Factor for Developing Leproy-a Population-
Based Cohort Study in Indonesia. Lepr Rev;77:48-61.
Bryceson, A., Pfaltzgraff. R.E. 1990. Bryceson, A., Pfaltzgraff. R.E. Immunology.
In: Leprosy. 3rd ed. London: Churchill Livingstone. p. 93-114.
Chun, R.F., Liu, P.T., Modlin, R.L., Adams, J.S., Hewison, M. 2014. Impact of
Vitamin D on Immune Function: Lessons Learned from Genom-Wide
Analysis. Frontiers in Physiology. (serial online), [cited 2015 Jul. 10].
Available from: doi:10.3389/fphys.2014.00151.
Christakos, S., Ajibade, D.V., Dhawan, P., Fechner, A.J., Mady, L.J. 2010.
Vitamin D: Metabolism. Endocrinol Metab Clin North Am; 39(2): 243-53.
Dahlan, M.S. 2013. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel Dalam
Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta: Salemba
Medika.p.35-48.
DeLuca, H.F. 2013. History of the Discovery of Vitamin D and Its Active
Metabolits. BoneKey Reports 3; 479. Doi:10.1038/bonekey.2013.213.
Depkes RI. 2014. Profil Kesehatan Indonesia. Pusat Data dan Informasi. [cited
2015 Aug. 10]. Available from: depkes.go.id.
69
72
Desikan, K.V. 2003. Multy Drug Regimen in Leprosy and Its Impact on
Prevalence of the Disease. MJAFI; 59: 2-4.
Dinas Kesehatan Propinsi Bali. 2015. Profil Kesehatan Propinsi Bali. Diakses
dari:www.depkes.go.id/PROPINSI_2015/17_Profil_Kes.Prov.Bali_2015.p
df (diakses tanggal 12 Februari 2016).
Edfelt, K., Liu, P.T., Chun R., Fabri, M., Schenk, M., Wheelwright, M. 2010. T-
cell cytokines differentially controlhuman monocyte antimicrobial
adaptations. Proc. Natl.Acad. Sci. USA 107, 22593-98. Cited on: [2015
Aug. 15]. Available from: doi:10.1073/pnas.1011624108.
Fabri, M., Stenger, S., Shin, D., Yuk, J.M., Liu, P.T., Realegeno, S. 2011. Vitamin
D is Required for IFN-gamma-mediated antimycrobial activity of human
macrophages. Sci.Transl. Med. 3, 104ra102. Cited on: [2016 April. 15].
Available from: doi: 10.1126/sci-translamed.3003045.
Goulart, M.B., Souza, D.O.B., Marquez, C.R., Pimenta, V. L., Goncalves, M.A.,
Goulart, L.R. 2008. Risk and Protective Factors for Leprosy Development
Determined by Epidemiological Surveillance of Household Contacts.
Clinical and Vaccine Immunnology;15(1):101-05.
Handog, E.B., Gabriel, T.G., Co, C.C. 2011. Leprosy in the Philippines: a Review.
Int. J. Dermatol; 50: 573–81.
Jo, E.K., Shin, D.M., Modlin, R. L. 2013.Vitamin D and Human Innate Immunity.
In: Gombart, A. F. Vitamin D, Oxidative Stress, Immunity, and Aging.
New York: CRC Press. p. 223-39.
73
Kumar, B., Dogra, S. 2010. Case Definition and Clinical Type. In: Kar H.K.,
Kumar, B. IAL Texbook of Leprosy. India: Jaypee. p.152-66.
Liu, P.T., Stenger S., Li H., Wenzel, I., Tan, B.H., Krutzik, S.R., Ochoa, M.T.,
Schauber, J., Wu, K., editors. Toll-like Receptors Triggering of a Vitamin
D Mediated Anti-Microbial Response. Science.2006;311:1770-3.
Luong, K.V.Q., Nguyen, L.T.H. 2012. The Role of Vitamin D ini Leprosy. The
American Journal of the Medical Sciences; 343(6): 471-82.
Mahapatra, S., Crick, D.C., McNeil, M. R., Brennan, P. J. 2008. Unique Structural
Features of the Peptidoglycan of Mycobacterium leprae. Jurnal of
Bacteriology; 190(2): 655-61.
Mandal, D., Reja, A.H.H., Biswas, N., Bhattacharyya, P., Patra, P.K.,
Bhattacharyya, B.2015. Vitamin D Receptor Expression Levels Determine
the Severity and Complexity of Disease Progression among Leprosy
Reaction Patients.New Microbe and New Infect;6:35-9.
Maria C., 2008. “Analisis Faktor Risiko Kejadian Kusta (Studi Kasus di Rumah
Sakit Kusta Donorejo Jepara)” (Skripsi). Semarang: Universitas Negeri
Semarang.
Modlin. R.L. 2010. The Innate Immune Response in Leprosy. Curr Opin
Immunol; 22(1): 48-54.
Montoya, D., Cruz, D., Teles, R.S.M., Lee, D. J., Ochoa, M.T., Kritzik, S. R.,
Chun, R., Schenk, M., Zhang, X., Ferguson, B.G., Burdick, A.E., Sarno,
E.N., Rea, T.H., Hewison, M., Adams, J.S., Cheng, G., Modlin, R. 2009.
Divergence of Macrophage Phagocytic and Antimicrobial Programs in
Leprosy. Cell Host Microbe;6(4):343-53.
Northern Territory Goverment. 2010. Guidelines for the Control of Leprosy in the
Northern Territory. Department of Health and Family.p.1-55.
Rees, R.J.W., Young, D.B. 1994.The Mycrobiology of Leprosy. In: Hasting, R.C.,
Opromolla, D.V.A. Leprosy. 2nd ed. London: Churchill Livingstone. p. 49-
86.
Sales, A.M., Ponce de Leon, A., Duppre, N.C., Hacker, M., Nery, J.A.C., Sarno,
E.N., Penna, M.L.F. 2011.Ploss Neglected Tropical Diseases:5(3) e1013
[2016 July. 04]. Available at: doi:10.1371/journal.pntd.0001013.t002.
Santos, V.S., Teles de Mendonca Neto. P., Raposo, O. F. F., Fakhouri, R., Reis, F.
P., Feitosa, V.L.C. 2013. Evaluation of Agreement Between Clinical and
Histopathological Data for Classifying Leprosy. International Journal of
Infectious Diseases, 17:e189-92.
Sekar, B. 2010. Bacteriological Aspect. In: Kar H.K., Kumar, B. IAL Texbook of
Leprosy. India: Jaypee. p.87-99.
Shuler, F.D., Wingate, M.K., Moore, G.H., Giangarra, C. 2012. Sports Health
Benefits of Vitamin D. Sports Health: 496-501
Spierings, E., De Boer, T., Zulianello, L., Ottenhoff, T. H. 2000. The Role of
Schwann Cells, T Cells, and Mycobacterium leprae in the
Immnunopathogenesis of Nerve Damage in Leprosy. Lepr Rev; 7: s121-9.
Suzuki, K., Akama, T., Kawashima, A., Yoshihara, A., Yotsu, R.R., Ishii, N.
2012. Current Status of Leprosy: Epidemiology, Basic Science and
Clinical Perspectives. J of Dermatol; 39: 121–29.
Talat, N., Perry, S., Parsonnet, J., Dawood, G., Hussain, R. 2010.Vitamin D
Deficiency and Tuberculosis Progression. Emerg Infect Dis. 2010 May;
16(5): 853–55.
Teles, R.M., Graeber, T.G., Krutzik, S.R., Montoya, D., Schenk,M., Lee, D.J.
2013. Type I Interferon Suppresses Type II Interferon-Triggered
75
Thakkar, S., Patel, S.V. 2014. Clinical Profile of Leprosy Patients: A Prospective
study. Indian J Dermatol;59(2):158-62.
Thorat, D.M., Sharma, P. 2010. Epidemiology. In: Kar H. K., Kumar, B. IAL
Texbook of Leprosy. India: Jaypee. p. 24-31.