Anda di halaman 1dari 27

KEPERAWATAN DASAR PROFESI

“PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK”

Disusun Oleh :

AYU WINDASARI 20200305006

ANNY HESTIYANA 20200305008

SUN DEVI LIANTI 20200302405

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
JAKARTA
2020
1. Latar belakang
Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah suatu penyakit yang ditandai
dengan adanya obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh bronkitis kronis atau
empisema. Obstruksi aliran udara pada umumnya progresif kadang diikuti oleh
hiperaktivitas jalan nafas dan kadangkala parsial reversibel, sekalipun empisema
dan bronkitis kronis harus didiagnosa dan dirawat sebagai penyakit khusus,
sebagian besar pasien PPOK mempunyai tanda dan gejala kedua penyakit tersebut.(
Amin, Hardhi, 2013).
2.
Sekitar 14 juta orang Amerika terserang PPOK dan Asma sekarang menjadi
penyebab kematian keempat di Amerika Serikat. Lebih dari 90.000 kematian
dilaporkan setiap tahunnya. Rata-rata kematian akibat PPOK meningkat cepat,
terutama pada penderita laki-laki lanjut usia. Angka penderita PPOK di Indonesia
sangat tinggi.
3.
Banyak penderita PPOK datang ke dokter saat penyakit itu sudah lanjut. Padahal,
sampai saat ini belum ditemukan cara yang efisien dan efektif untuk mendeteksi
PPOK. Menurut Dr Suradi, penyakit PPOK di Indonesia menempati urutan ke-5
sebagai penyakit yang menyebabkan kematian. Sementara data dari Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pada tahun 2010 diperkirakan penyakit ini
akan menempati urutan ke-4 sebagai penyebab kematian. "Pada dekade mendatang
akan meningkat ke peringkat ketiga. Dan kondisi ini tanpa disadari, angka
kematian akibat PPOK ini makin meningkat.

2. Konsep Penyakit Paru Obstruktif Kronik


A. Definisi
Secara definisi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat disebut sebagai
penyakit kronis progresif pada paru yang ditandai oleh adanya hambatan atau
sumbatan aliran udara yang bersifat irreversible atau reversible sebagian dan
menimbulkan konsekuensi ekstrapulmoner bermakna yang berkontribusi terhadap
tingkat keparahan pasien. PPOK biasanya berhubungan dengan respons inflamasi
abnormal paru terhadap partikel berbahaya dalam udara. PPOK merupakan suatu
penyakit multikomponen yang dicirikan oleh terjadinya hipersekresi mukus,
penyempitan jalan napas, dan kerusakan alveoli paru-paru (Lindayani, 2017).
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD) tahun
2014 mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai penyakit
respirasi kronis yang dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya hambatan
aliran udara yang persisten dan biasanya bersifat progresif serta berhubungan
dengan peningkatan respons inflamasi Data prevalensi PPOK yang ada saat ini
bervariasi berdasarkan metode survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis
yang dilakukan pada setiap studi. Berdasarkan data dari studi PLATINO, sebuah
penelitian yang dilakukan terhadap lima negara di Amerika Latin (Brasil,
Meksiko, Uruguay, Chili, dan Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar
14,3%, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan 11.3%.
Pada studi BOLD, penelitian serupa yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi
prevalensi PPOK adalah 10,1%, prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8%
dan 8,5% pada perempuan. Data di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
2013 (RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian
penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki
(4,2%) dibanding perempuan(3,3%) (Yuwono, 2013).

B. Faktor Risiko
PPOK mempunyai progresivitas yang lambat, diselingi dengan fase eksaserbasi
akut yang timbul secara periodik. Pada fase eksaserbasi akut terjadi perburukan
yang mendadak dari perjalanan penyakitnya yang disebabkan oleh suatu faktor
pencetus dan ditandai dengan suatu manifestasi klinis yang memberat. Secara
umum resiko terjadinya PPOK terkait dengan jumlah partikel gas yang dihirup
oleh seorang individu selama hidupnya serta berbagai faktor dalam individu itu
sendiri.
1. Asap Rokok
Dari berbagai partikel gas yang noxius atau berbahaya, asap rokok merupakan
salah satu penyebab utama, kebiasaan merokok merupakan faktor resiko utama
dalam terjadinya PPOK. 3 Asap rokok yang dihirup serta merokok saat
kehamilan juga berpengaruh pada kejadian PPOK karena mempengaruhi
tumbuh kembang paru janin dalam uterus. Sejak lama telah disimpulkan
bahwa asap rokok merupakan faktor risiko utama dari bronkitis kronis dan
emfisema. Serangkaian penelitian telah menunjukkan terjadinya percepatan
penurunan volume udara yang dihembuskan dalam detik pertama dari
manuver ekspirasi paksa (FEV1) dalam hubungan reaksi dan dosis terhadap
intensitas merokok, yang ditunjukkan secara spesifik dalam bungkus-tahun
(rata-rata jumlah bungkus rokok yang dihisap per hari dikalikan dengan
jumlah total tahun merokok). Walaupun hubungan sebab akibat antara
merokok dan perkembangan PPOK telah benar-benar terbukti, namun reaksi
dari merokok ini masih sangat bervariasi. Merokok merupakan prediktor
signifikan yang paling besar pada FEV1, hanya 15% dari variasi FEV1 yang
dapat dijelaskan dalam hubungan bungkus-tahun. Temuan ini mendukung
bahwa terdapat faktor tambahan dan atau faktor genetik sebagai kontributor
terhadap dampak merokok pada perkembangan obstruksi jalan nafas.
2. Paparan pekerjaan
Meningkatnya gejala-gejala respirasi dan obstruksi aliran udara dapat
diakibatkan oleh paparan debu di tempat kerja. Beberapa paparan pekerjaan
yang khas termasuk penambangan batu bara, panambangan emas, dan debu
kapas tekstil telah diketahui sebagai faktor risiko obstruksi aliran udara kronis.
3. Polusi udara
Beberapa peneliti melaporkan meningkatnya gejala respirasi pada orang-orang
yang tinggal di daerah padat perkotaan dibandingkan dengan mereka yang
tinggal di daerah pedesaan, yang berhubungan dengan meningkatnya polusi di
daerah padat perkotaan. Pada wanita bukan perokok di banyak negara
berkembang, adanya polusi udara di dalam ruangan yang biasanya
dihubungkan dengan memasak, telah dikatakan sebagai kontributor yang
potensial.
4. Infeksi Berulang Saluran Respirasi
Infeksi saluran respirasi telah diteliti sebagai faktor risiko potensial dalam
perkembangan dan progresivitas PPOK pada orang dewasa, terutama infeksi
saluran nafas bawah berulang. Infeksi saluran respirasi pada masa anak-anak
juga telah dinyatakan sebagai faktor predisposisi potensial pada perkembangan
akhir PPOK.
5. Kepekaan Jalan Nafas dan PPOK
Kecenderungan meningkatnya bronkontriksi sebagai reaksi terhadap berbagai
stimulus eksogen, termasuk methakolin dan histamin, adalah salah satu ciriciri
dari asma. Bagaimanapun juga, banyak pasien PPOK juga memiliki ciriciri
jalan nafas yang hiperesponsif. Pertimbangan akan tumpang tindihnya
seseorang dengan asma dan PPOK dalam kepekaan jalan nafas, obstruksi
aliran udara, dan gejala pulmonal mengarahkan kepada perumusan hipotesis
Dutch yang menegaskan bahwa asma, bronkitis kronis, dan emfisema
merupakan variasi dari dasar penyakit yang sama, yang dimodulasi oleh faktor
lingkungan dan genetik untuk menghasilkan gambaran patologis yang nyata.
6. Defisiensi α1 Antitrypsin (α1AT)
Defisiensi α1AT yang berat merupakan faktor risiko genetik terjadinya PPOK.
Walaupun hanya 1-2% dari pasien-pasien PPOK yang mewarisi defisiensi
α1AT, pasien-pasien ini menunjukkan bahwa faktor genetik memiliki
pengaruh terhadap kecenderungan untuk berkembangnya PPOK. α1AT adalah
suatu anti-protease yang diperkirakan sangat penting untuk perlindungan
terhadap protease yang terbentuk secara alami oleh bakteri, leukosit PMN, dan
monosit.

C. Kelompok penyakit yang masuk dalam jenis PPOK Klasifikasi


penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) antara lain :
a. Bronkitis kronis
Bronkitis kronis merupakan suatu keadaan adanya batuk produktif lebih
dari 250 ml sputum perhari selama minimal 3 bulan pertahun selama 2
tahun berturut-turut, tanpa ada penyebab medis lain (Patricia, et.al, 2011).
Sedangkan menurut GOLD (2017) bronkitis kronis merupakan batuk
produktif dan menetap minimal 3 bulan secara berturut-turut dalam kurun
waktu sedikitnya 2 tahun.
b. Emfisema
Emfisema adalah suatu penyakit yang dimana terjadi kehilangan elastisitas
paru dan pembesaran abnormal dan permanen pada ruang udara yang jauh
dari bronkiolus terminal termasuk destruksi dinding alveolar dan bantalan
kapiler tanpa fibrosis yang nyata.

c. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah gangguan pada saluran pernapasan yang terjadi
akibat adanya pelebaran bronkus dan bronkiolus akibat kerusakan otot dan
jaringan elastik penunjang, yang disebabkan oleh atau berkaitan dengan
infeksi nekrotikan kronis. Sekali terbentuk, bronkiektasis menimbulkan
kompleks gejala yang didominasi oleh batuk dan pengeluaran sputum
purulen dalam jumlah besar (Robins, et.al ,2010)
D. Patofisiologi

Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan perubahan fisiologi


utama pada PPOK yang disebabkan perubahan saluran nafas secara anatomi di
bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru dikarenakan adanya
suatu proses peradangan atau inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada
paru. Dalam keadaan normal, radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan
dan jumlah yang seimbang, sehingga bila terjadi perubahan pada kondisi dan
jumlah ini maka akan menyebabkan kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai
peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam
penyakit paru. Pajanan terhadap faktor pencetus PPOK yaitu partikel noxius yang
terhirup bersama dengan udara akan memasuki saluran pernapasan dan
mengendap hingga terakumulasi. Partikel tersebut mengendap pada lapisan mukus
yang melapisi mukosa bronkus sehingga menghambat aktivitas silia. Akibatnya
pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang dan menimbulkan iritasi pada
sel mukosa sehingga merangsang kelenjar mukosa, kelenjar mukosa akan melebar
dan terjadi hiperplasia sel goblet sampai produksi mukus berlebih. Produksi
mukus yang berlebihan menimbulkan infeksi serta menghambat proses
penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu siklus yang menyebabkan terjadinya
hipersekresi mukus. Manifestasi klinis yang terjadi adalah batuk kronis yang
produktif Dampak lain yang ditimbulkan partikel tersebut dapat berupa rusaknya
dinding alveolus. Kerusakan yang terjadi berupa perforasi alveolus yang kemudian
mengakibatkan bersatunya alveoulus satu dan yang lain membentuk abnormal
largeairspace. Selain itu terjadinya modifikasi fungsi anti-protease pada saluran
pernafasan yang berfungsi untuk menghambat neutrofil, menyebabkan timbulnya
kerusakan jaringan interstitial alveolus. Seiring terus berlangsungnya iritasi di
saluran pernafasan maka akan terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan
parut. Akan timbul juga metaplasia skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa
yang menimbulkan stenosis dan obstruksi ireversibel dari saluran nafas. Walaupun
tidak menonjol seperti pada asma, pada PPOK juga dapat terjadi hipertrofi otot
polos dan hiperaktivitas bronkus yang menyebabkan gangguan sirkulasi udara.
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia
sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis.
Pada emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,
disertai kerusakan dinding alveoli yang menyebabkan berkurangnya daya regang
elastis paru. Terdapat dua jenis emfisema yang relevan terhadap PPOK, yaitu
emfisema pan-asinar dan emfisema sentri-asinar. Pada jenis pan-asinar kerusakan
asinar bersifat difus dan dihubungkan dengan proses penuaan serta pengurangan
luas permukaan alveolus. Pada jenis sentri-asinar kelainan terjadi pada bronkiolus
dan daerah perifer asinar, yang erat hubungannya dengan asap rokok.

E. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien PPOK dapat bervariasi dari tidak ditemukan kelainan
sampai kelainan jelas dan tanda inflasi paru.
1. Inspeksi
a. Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu) Sikap seseorang
yang bernafas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Ini
diakibatkan oleh mekanisme tubuh yang berusaha mengeluarkan CO2
yang tertahan di dalam paru akibat gagal nafas kronis.
b. Penggunaan alat bantu napas Penggunaan otot bantu napas terlihat dari
retraksi dinding dada, hipertropi otot bantu nafas, serta pelebaran sela iga.
c. Barrel chest Barrel chest merupakan penurunan perbandingan diameter
antero-posterior dan transversal pada rongga dada akibat usaha
memperbesar volume paru. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat
denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai.
d. Pink puffer Pink puffer adalah gambaran yang khas pada emfisema, yaitu
kulit kemerahan pasien kurus, dan pernafasan pursed-lips breating.
e. Blue bloater Blue bloater adalah gambaran khas pada bronkitis kronis,
yaitu pasien tampak sianosis sentral serta perifer, gemuk, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru.
2. Palpasi
Pada palpasi dada didapatkan vokal fremitus melemah dan sela iga melebar.
Terutama dijumpai pada pasien dengan emfisema dominan.
3. Perkusi
Hipersonor akibat peningkatan jumlah udara yang terperangkap, batas jantung
mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah terutama pada
emfisema.
4. Auskultasi
Suara nafas vesikuler normal atau melemah, terdapat ronki dan atau mengi
pada waktu bernafas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang,
bunyi jantung terdengar jauh.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Uji Faal Paru dengan Spirometri dan Bronkodilator (post-bronchodilator) Uji
faal paru berguna untuk menegakkan diagnosis, melihat perkembangan
penyakit, dan menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk
memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas dalam
berbagai tingkat. Spirometri digunakan untuk mengukur volume maksimal
udara yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital
capacity (FVC). Spirometri juga mengukur volume udara yang dikeluarkan
pada satu detik pertama pada saat melakukan manuver tersebut, atau disebut
dengan Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1). Rasio dari kedua
pengukuran inilah (FEV1/FVC) yang sering digunakan untuk menilai fungsi
paru. Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1
dan FVC serta nilai FEV1/FVC < 70%. Pemeriksaan post-bronchodilator
dilakukan dengan memberikan bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan
15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1. Bila perubahan nilai
FEVI <20%, maka ini menunjukan pembatasan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversible. Ujian ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil
(diluar eksaserbi akut) dari hasil pemeriksaan spirometry setelah pemberian
bronkodilator dapat digunakan untuk menentukan klasifikasi penyakit PPOK
berdasarkan derajat obstruksinya. Klasifikasi berdasarkan GOLD kriteria
adalah :
a. Stage I : Ringan Pemeriksaan spirometri post-bronchodilator menunjukan
hasil rasio FEV1/FVC < 70% dan nilai FEV1 ≥ 80% dari nilai prediksi.
b. Stage II : Sedang Rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1
diantara 50-80% dari nilai prediksi.
c. Stage III : Berat Rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan FEV1
diantara 30-50% dari nilai prediksi.
d. Stage IV : Sangat Berat Rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1 diperkirakan
kurang dari 30% ataupun kurang dari 50% dengan kegagalan respirasi
kronik.

2. Foto Torak PA dan Lateral Foto torak PA dan lateral berguna untuk
menyingkirkan kemungkinan penyakit paru lain. Pada penderita emfisema
dominan didapatkan gambaran hiperinflasi, yaitu diafragma rendah dan rata,
hiperlusensi, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, dan jantung
yang menggantung/penduler (memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada
penderita bronkitis kronis dominan hasil foto thoraks dapat menunjukkan hasil
yang normal ataupun dapat terlihat corakan bronkovaskuler yang meningkat
disertai sebagian bagian yang hiperlusen.
3. Analisa Gas Darah (AGD) Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas
darah sangat penting dilakukan dan wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada
penderita menunjukkan nilai < 40% dari nilai prediksi dan secara klinis
tampak tandatanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan seperti
sianosis sentral, pembengkakan ekstrimitas, dan peningkatan jugular venous
pressure. Analisa gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda pada
pasien dengan emfisema dominan dibandingkan dengan bronkitis kronis
dominan. Pada bronkitis kronis analisis gas darah menunjukkan hipoksemi
yang sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%. Dapat juga
menunjukkan hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar,
serta asidosis respiratorik kronik yang terkompensasi. Gambaran seperti ini
disebabkan karena pada bronkitis kronis terjadi gangguan rasio
ventilasi/perfusi (V/Q ratio) yang nyata. Sedangkan pada emfisema, rasio V/Q
tidak begitu terganggu oleh karena baik ventilasi maupun perfusi, keduanya
menurun disebabkan berkurangnya jumlah unit ventilasi dan capillary bed.
Oleh karena itu pada emfisema gambaran analisa gas darah arteri akan
memperlihatkan normoksia atau hipoksia ringan, dan normokapnia. Analisa
gas darah berguna untuk menilai cukup tidaknya ventilasi dan oksigenasi, dan
untuk memantau keseimbangan asam basa.
4. Pemeriksaan sputum Pemeriksaan bakteriologi Gram pada sputum diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan memilih antibiotik yang tepat. Infeksi
saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada
penderita PPOK di Indonesia.
5. Pemeriksaan Darah rutin Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui
adanya faktor pencetus seperti leukositosis akibat infeksi pada eksaserbasi
akut, polisitemia pada hipoksemia kronik.
6. Pemeriksaan penunjang lainnya Pemeriksaan Electrocardiogram (EKG)
digunakan untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh kor
pulmonale atau hipertensi pulmonal. Pemeriksaan lain yang dapat namun
jarang dilakukan antara lain uji latih kardiopulmoner, uji provokasi bronkus,
CT-scan resolusi tinggi, ekokardiografi, dan pemeriksaan kadar alpha-1
antitryipsin.

G. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah mengurangi gejala dan risiko eksaserbasi
akut. Indikator penurunan gejala adalah gejala membaik, memperbaiki toleransi
terhadap aktivitas, dan memperbaiki status kesehatan. Sedangkan indikator
penurunan risiko adalah mencegah perburukan penyakit, mencegah dan mengobati
eksaserbasi, menurunkan mortalitas. Secara umum, pengobatan PPOK
menggunakan beberapa golongan obat, seperti:
1. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan pengobatan yang dapat meningkatkan FEV1 dan
atau mengubah variabel spirometri. Obat ini bekerja dengan mengubah tonus
otot polos pada saluran pernafasan dan meningkatkan refleks bronkodilatasi
pada aliran ekspirasi dibandingkan dengan mengubah elastisitas paru.
Bronkodilator bekerja dengan menurunkan hiperventilasi dinamis saat istirahat
dan beraktivitas, serta memperbaiki toleransi terhadap akivitas. Pada kasus
PPOK ketegori berat atau sangat sangat berat sulit untuk memprediksi
perbaikan FEV1 yang diukur saat istirahat. Bronchodilator dose-respone
(perubahan FEV1) kurang memberikan respon relatif pada setiap kelas
bronkodilator. Peningkatan dosis beta2-agonist atau antikolinergik, khususnya
yang diberikan dengan nebulizer, menunjukkan efek positif pada episode akut,
namun tidak terlalu membantu pada kondisi stabil. Bronkodilator pada PPOK
diberikan sebagai dasar untuk mencegah atau menurunkan gejala. Tidak
direkomendasikan penggunaan bronkodilator dengan kerja pendek.
2. Beta2-agonist
Prinsip kerja obat ini adalah relaksasi otot polos pada saluran pernafasan
dengan menstimulasi reseptor beta2-adrenergik, dimana akan meningkatkan
siklus AMP dan memproduksi efek fungsional yang berlawanan dengan
bronkokonstriksi. Terdapat beta2-agonist dengan kerja pendek (SABA) dan
kerja panjang (LABA), dimana efek SABA biasanya muncul dalam 4-6 jam.
Penggunaan SABA secara regular dapat meningkatkan FEV1 dan
memperbaiki gejala. Untuk dosis tunggal, khususnya pada kasus PPOK, tidak
terdapat keuntungan apabila digunakan secara rutin, contohnya levalbuterol
dibandingkan konvensional bronkodilator. LABA menunjukkan durasi kerja
12 jam atau lebih dan tidak dimasukkan sebagai efek tambahan pada terapi
SABA.
Folmetrol dan salmeterol merupakan LABA yang diberikan 2 kali dalam
sehari, dimana secara signifikan memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak,
laju eksaserbasi serta jumlah kejadian masuk rumah sakit, namun tidak
terdapat efek pada perbaikan mortalitas atau fungsi paru. Indacaterol atau
LABA yang dikonsumsi 1 kali sehari dapat memperbaiki sesak, status
kesehatan, dan laju eksaserbasi. Beberapa pasien dengan riwayat batuk akan
diikuti dengan pemberian indacaterol inhalasi. Oladaterol dan vilanterol
merupakan tambahan LABA yang dapat dikonsumsi 1 kali sehari dan dapat
memperbaiki gejala dan fungsi paru. Stimulasi reseptor beta2-adrenergik dapat
memproduksi sinus takikardia dan memiliki potensi untuk menjadi gangguan
ritme jantung. Tremor dapat dirasakan pada pasien tua dengan dosis tinggi.
Apabila terapi dikombinasi dengan diuretik thiazide, dapat menimbulkan
hipokalemia dan peningkatan konsumsi oksigen pada pasien gagal ginjal
kronis, dimana terjadi efek penurunan metabolik.
3. Antimuskarinik
Prinsip kerjanya dengan mem-blok efek bronkokonstriksi asetikolin pada
reseptor muskarinik M3 pada otot polos saluran pernafasan. Short-acting
antimuscarinic (SAMAS) seperti ipratropium dan oxitroprium juga mem-blok
reseptor neuronal M2, yang secara potensial dapat memicu bronkokonstriksi.
Long acting muscarinic antagonist (LAMAS) seperti tiotropium, aclidinium,
glycopyrronium bromide dan umeclidinium, mempunyai ikatan dengan
reseptor muskarinik M3 dengan disosiasi yang lebih cepat dibandingkan
reseptor muskarinik M2 yang memperpanjang durasi efek bronkodilator.
Ipratropiun sebagai muskarinik antagonis kerja pendek memiliki efek yang
kecil dibandingkan beta2-agonist kerja pendek dalam hal perbaikan fungsi
paru, status kesehatan dan kebutuhan terhadap oral steroid. Beberapa jenis
LAMAs seperti titropiun dan umeclidinium dikonsumsi 1 kali sehari,
aclidinium untuk 2 kali sehari, dan glycopyrronium, dimana beberapa negara
memberikan 1 kali sehari dan negara lain memberikan 2 kali sehari.
Pengobatan dengan tiotripium dapat memperbaiki gejala dan status kesehatan,
memperbaiki efektivitas rehabilitasi paru dan mengurangi eksaserbasi terkait
hospitalisasi. Beberapa penelitian menunjukkan efek eksaserbasi yang lebih
besar pada golongan obat LAMAs (tiotropium) dibandingkan LABA. Efek
samping yang dapat muncul berupa mulut kering, gangguan buang air kecil,
dan pada penggunaan ipratropium menunjukkan gejala mulut terasa pahit dan
gangguan pengecapan serta sebagian kecil peningkatan kejadian
kardiovaskuler.
4. Methylxanthines
Theophylline merupakan jenis methylxantine yang paling sering digunakan,
dimana dimetabolisme oleh cytochrome P450 dengan fungsi oksidase. Efek
yang ditimbulkan berupa peningkatan fungsi otot skeletal respirasi.
Penambahan theophylline dengan salmeterol memberikan efek perbaikan pada
FEV1 dan gejala sesak dibandingan hanya pemberian salmeterol saja.
Toksisitas methylxanthine tergantung pada dosis yang diberikan, dimana efek
yang ditimbulkan berupa palpitasi akibat atrium dan ventrikel aritmia. Efek
lain termasuk sakit kepala, insomnia, mual, terasa panas di dada. Pengobatan
ini juga memiliki interaksi yang signifikan dengan beberapa obat seperti
digitalis dan Coumadin.
5. Kombinasi terapi bronkodilator
Kombinasi bronkodilator SABAs dan SAMAs memberikan efek perbaikan
FEV1 dan gejala dibandingkan diberikan secara tunggal. Pengobatan dengan
formoterol dan tiotropium inhaler memberikan efek yang lebih besar terhadap
FEV1, memperbaiki fungsi paru dan status kesehatan pada pasien PPOK.
Beberapa penelitian menunjukkan pemberian kombinasi LABA/LAMA,
memeberikan efek terhadap laju eksaserbasi. Kombinasi ini juga dikatakan
lebih baik dibandingkan kombinasi antara LABA dan ICS (inhaled
corticosteroid).
6. Anti-inflamasi
- Inhaled corticosteroid (ICS) Pada pasien PPOK, pengobatan dengan ICS
menunjukkan respon yang terbatas. Beberapa obat termasuk beta2-agonist,
theophylline atau macrolide dapat mempengaruhi sensitivitas kortikosteroid
pada PPOK. Pengobatan dengan ICS saja, tidak dapat memodifikasi
penurunan FEV1. Pada pasien dengan PPOK kategori sedang-berat, kombinasi
ICS dengan LABA lebih efektif dalam memperbaiki fungsi paru, status
kesehatan dan menurunkan eksaserbasi. Selain itu, pengobatan dengan
LABA/ICS fixed dose combination (FDC) memberikan efek yang signifikan
dibandingkan dengan LABA saja, pada pasien dengan eksaserbasi maksimal 1
kali dalam setahun. Efek samping yang ditimbulkan yaitu, candidiasis mulut,
suara parau, kulit memar, dan pneumonia. Peningkatan risiko tersebut telah
dikonfirmasi pada ICS dengan menggunakan fluticasone furoate, walaupun
pada dosis rendah. Pasien yang memiliki risiko tinggi pneumonia apabila
memeiliki riwayat merokok, umur ≥ 55 tahun, memiliki riwayat eksaserbasi
pneumonia, BMI < 25 kg/m2 , dan sesak berat. Pada penggunaan ICS
independent, peningkatan.
- Terapi inhaler triple Terapi inhaler triple berupa penambahan LABA,
LAMA, dan ICS, dimana efek yang diberikan berupa perbaikan fungsi paru,
pada risiko eksaserbasi.
- Oral glukokortikoid Efek yang diberikan berupa steroid miopati yang
berhubungan dengan kelemahan otot, penurunan fungsional, dan kegagalan
pernapasan pada pasien dengan PPOK berat. Sistemik glukokortikoid pada
akut eksaserbasi menunjukkan laju kegagalan terapi, laju kekambuhan, serta
memperbaiki fungsi paru dan sesak. Oral glukokortikoid memberikan efek
terapi pada akut eksaserbasi, namun tidak berperan pada kondisi kronis karena
memiliki komplikasi sistemik yang tinggi.
- Phosphodiesterase-4 (PDE-4) inhibitors Prinsip kerjanya adalah dengan
menurunkan inflamasi dengan menghambat pemecahan siklus intraseluler
AMP. Roflumilast merupakan obat oral yang dikonsumsi 1 kali sehari tanpa
aktivitas bronkodilator. Efeknya adalah menurunkan eksaserbasi sedang dan
berat yang telah diobati dengan kortikosteroid sistemik pada pasien bronchitis
kronis, PPOK berat sampai sangat berat, dan riwayat eksaserbasi. Efek pada
fungsi paru dapat juga dilihat ketika roflumilast ditambahkan pada
bronkodilator kerja panjang dan pada pasien yang tidak terkontrol pada
kombinasi fixed-dose LABA/ICS. Efek samping yang dapat ditimbulkan lebih
banyak jika dibandingkan dengan pengobatan inhaler untuk PPOK. Efek
tersering yaitu diare, mual, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan (2
kg), nyeri perut, gangguan tidur, dan sakit kepala. Pemberian roflumilast perlu
diperhatikan khususnya pada pasien underweight dan depresi.
7. Antibiotik
Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan antibiotik secara regular dapat
menurunkan laju eksaserbasi. Azithromycin (250 mg/hari atau 500 mg 3 kali
per minggu) atau eritromycin (500 mg 2 kali per hari) dalam satu tahun dapat
menurunkan risiko eksaserbasi. Azithromycin berhubungan dengan
peningkatan insiden resistensi bakteri dan gangguan pendengaran.
8. Mukolitik
(mukokinetik, mukoregulator) dan agen antioksidan Pada pasien PPOK yang
tidak mendapatkan kortikosteroid inhaler, terapi regular dengan mukolitik
seperti carbocystein dan N-acetylcystein dapat menurunkan eksaserbasi dan
memperbaiki status kesehatan.

H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat tejadi pada PPOK adalah:
1. Gagal nafas
a. Gagal nafas kronis Dapat diatasi dengan menjaga keseimbangan PO2 dan
PCO2, bronkodilator adekuat, terapi oksigen yang adekuat terutama waktu
aktivitas atau waktu tidur, antioksidan, latihan pernapasan dengan pursed
lips breathing.
b. Gagal nafas akut pada gagal nafas kronis, ditandai oleh sesak nafas dengan
atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam, kesadaran
menurun.
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang. Pada kondisi
kronis ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar
limfosit darah.
3. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai gagal
jantung kanan.
I. Pencegahan
1. Mencegah terjadinya PPOK dengan menghindari asap rokok, hindari polusi
udara, hindari infeksi saluran pernapasan berulang.
2. Mencegah perburukan PPOK dengan berhenti merokok, gunakan obat-obatan
adekuat, mencegah eksaserbasi berulang. Strategi yang dianjurkan oleh Public
Health Service Report USA adalah: ask, lakukan identifikasi perokok pada
setiap kunjungan; advice, terangkan tentang keburukan/dampak merokok
sehingga pasien didesak mau berhenti merokok; assess, yakinkan pasien untuk
berhenti merokok; assist, bantu pasien dalam berhenti merokok; dan arrange,
jadwalkan kontak usaha berikutnya yang lebih intesif, bila usaha pertama
masih belum memuaskan.
LAPORAN KASUS
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PPOK

Pasien laki-laki usia 57 tahun, datang ke IGD RSUD Bangkinang pada


tanggal 12 Januari 2015. Pada kasus ini diambil beberapa pembahasan:

Diagnosis pada kasus ini adalah: PPOK eksaserbasi akut dengan dispepsia. Dari
anamnesis diketahui pasien dengan keluhan sesak nafas semakin meningkat sejak 1
hari SMRS. Sesak semakin meningkat saat beraktivitas. Riwayat sesak sejak 2 tahun
yang lalu. Batuk berdahak kehijauan ± 2 minggu, riwayat batuk sejak 2 tahun. Dari
pemeriksaan fisik paru didapatkan ekspirasi memanjang, wheezing (+/+). Dari
pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis, pemeriksaan foto thorax didapatkan
kesan hiperinflasi. Pada PPOK eksaserbasi akut ditemukan gejala berupa sesak
bertambah, produksi sputum meningkat, perubahan warna sputum (sputum menjadi
purulen). Pada kasus ditemukan 3 gejala tersebut, sehingga tergolong eksaserbasi
berat (tipe I). Pasien memiliki riwayat merokok sejak 39 tahun sebanyak 1
bungkus/hari. Pada kasus didapatkan indeks Brinkman 1920, sehingga pasien ini
tergolong perokok berat.pasieng mengatakan tidak selerasa makan dan merasakan
berat badan menurun

Diagnosis dispepsia pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan


pemeriksaan fisik. Dari anamnesis diketahui bahwa pasien mengeluh nyeri ulu hati
sejak 1 minggu, dirasakan seperti ditusuk-tusuk sampai kepunggung, nyeri
bertambah saat perut kosong dan berkurang setelah makan. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan nyeri tekan epigastrium.

1. Identitas pasien
Nama : Tn.S
Umur : 57 tahun
Jenis
kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jl.Prof M.Yamin
No.MR : 026690
Masuk RS : 12 Januari 2015
2. Anamnesis
1) Keluhan utama :
Sesak napas yang semakin meningkat sejak 1 hari SMRS
2) Riwayat penyakit sekarang :
Sesak napas yang semakin meningkat sejak 1 hari yang lalu, sesak
menciut, sesak dirasakan terus-menerus, sesak semakin meningkat saat
beraktivitas, berkurang dengan posisi duduk, sesak tidak dipengaruhi oleh
emosi, cuaca maupun makanan. Riwayat sesak sejak ± 2 tahun yang lalu,
sesak dirasakan hilang timbul, sesak berkurang setelah minum obat
salbutamol dan teosal, namun 1 hari yang lalu keluhan sesak tidak
berkurang setelah minum obat. Batuk sejak 2 minggu yang lalu, batuk
berdahak warna putih kehijauan. Riwayat batuk sejak ± 2 tahun, batuk
berdahak warna putih. Batuk darah tidak ada, riwayat batuk ada tidak ada.
Nyeri dada tidak ada, riwayat nyeri dada tidak ada. Demam sejak 2 minggu
yang lalu, demam dirasakan naik turun, tidak mengigil ataupun berkeringat
malam hari. Nyeri ulu hati sejak 1 minggu yang lalu, nyeri dirasakan
seperti ditusuk-tusuk sampai ke punggung, nyeri bertambah saat perut
kosong dan berkurang setelah makan. Riwayat mual dan muntah tidak ada.

2
3) Riwayat penyakit dahulu :

 Riwayat sesak ± 2 tahun

 Riwayat alergi hidung (+)

 Riwayat TB paru (-)

 Riwayat hipertensi (-)

 Riwayat DM (-)

4) Riwayat penyakit keluarga :

 Riwayat asma (-)

 Riwayat alergi obat atau makanan (-)

 Riwayat TB paru (-)

5) Riwayat sosial dan ekonomi :

Pasien seorang pekerja trayek di jalan. Pasien merokok sejak umur 18 tahun
dan berhenti merokok saat umur 50 tahun, pasien merokok ± 3 bungkus/hari.

Indeks Brinkman: 32 tahun x 60 batang/hari = 1920 (berat)

3. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan umum

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : composmnetis cooperatif


Tanda vital
Tekanan darah : 140/90 mmHg Keadaan gizi : baik
Nadi : 88x/menit TB : 156 cm
Pernafasan : 26x/menit BB : 46 kg
Suhu : 37,7oC BMI : 18,9

2) Status generalisata
Kepala : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : tidak ada pembesaran KGB, JVP 5-2 cmH2O
Thorax :
Paru, anterior : inspeksi : statis simetris kanan-kiri

Dinamis simetris kanan-kiri


Palpasi : vocal fremitus simetris kanan-kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskutas
i : ekspirasi memanjang, wheezing +/+, rhonki -/-

Posterior :
inspeksi : statis simetris kanan-kiri
Dinamis simetris kanan-kiri
Palpasi : vocal fremitus simetris kanan-kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskult
asi : ekspirasi memanjang, wheezing +/+, rhonki -/-

Jantung inspeksi : ictus cordis tidak terlihat


Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 1 jari medial linea
midclavicularis sinistra
Perkusi : batas jantung:
Atas : SIC II
Kanan : linea parasternalis
Kiri : 1 jari medial linea
Bawah :SICV
Auskult
asi : bunyi jantung I dan II reguler, bising jantung
:
Abdomen inspeksi : perut tampak datar, tidak ada scar
Palpasi : supel, nyeri tekan (+) epigastrium, hepar dan lien
tidak teraba
Perkusi : timpani seluruh kuadran abdomen
Auskult
asi : bising usus (+) normal

: akral
Ekstremitas hangat, CRT < 2 detik, edema -/-

4. Pemeriksaan penunjang
1) Darah rutin
 Hb : 13,9%
 Ht : 41%
 Leukosit : 13.000/mm3
 Trombosit : 249.000/mm3
 Kesan : Leukositosis

2) Rontgen thorax
 Paru: corakan bronkovaskuler meningkat, infiltrat di paru kiri
 Jantung: CTR < 50%
 Diafragma: sudut costofrenikus lancip
 Kesan: bronkitis kronik
5. Resume
Tn.S 57 tahun datang dengan keluhan sesak napas yang semakin meningkat sejak 1
hari yang lalu, sesak meningkat saat beraktivitas. Batuk berdahak sejak ± 2 tahun.
Demam, nyeri ulu hati. Pasien pekerja trayek dan memiliki kebiasaan merokok ±
32 tahun sebanyak 1 bungkus/hari. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ekspirasi
memanjang, wheezing (+/+). Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan
leukositosis.

6. Diagnosis
1) Diagnosa utama: PPOK eksaserbasi akut
2) Diagnosa tambahan: Dispepsia

7. Diagnosis banding
1) Asma
2) TB Paru

8. Rencana Pemeriksaan
1) Spirometri
2) Analisis gas darah
3) Sputum BTA

9. Penatalaksanaan

1) O2 nasal kanul 2 liter/menit

2) Drip aminophylin 7,6 cc dalam D5% 16 tetes/menit

3) Inj ceftriaxone 1 gram/12 jam/iv

4) Inj metilprednisolon 125 mg/12 jam/iv

5) Inj ranitidin 50 mg/12 jam/iv

6) Nebulizer: Farbivent 2,5 ml 6 x 1

7) Oral:
 propepsa syr 3 x 1 sdm
 Azitromisin 1 x 500 mg
 Paracetamol 3 x 500 mg
A. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

No Dx Keperawatan Noc Nic


1. Ketidak efektifan Setelah dilakukan Manajemen Jalan Napas
bersihan jalan nafas tindakan keperawatan 1. Monitor pola napas (frekuensi,
berhubungan dengan selama 1x24 jam, kedalaman, usaha bernapas)
lingkungan diharapkan 2. Monitor bunyi napas tambahan
DS : ketidakefektifan (mis., gurgling, mengi, ronchi,
 Pasien bersihan jalan napas wheezing)
mengatkan Batuk teratasi dengan di 3. Monitor sputum (warna, aroma,
berdahak kehijauan tandai dengan: jumlah)
± 2 minggu 4. Pertahankan kepatenan jalan
1. Batuk efektif
 Pasien napas dengan head-tilt dan chin-
meningkat
mengatakan sesak lift (jaw-thrust jika curiga
2. Produksi
semakin trauma servikal)
sputum
bertamabah 5. Posisikan semi fowler atau
menurun
 riwayat fowler
3. Mengi tidak ada
merokok sejak 39 6. Berikan minum hangat
4. Wheezing tidak
tahun sebanyak 1 7. Lakukan fisioterapi dada, jika
ada
bungkus/hari perlu
5. Dipsnea tidak
DO : 8. Lakukan penghisapan lendir
ada
 didapatkan kurang dari 10 detik
6. Ortopnea tidak
suara bunyi 9. Lakukan hiperoksigenasi
ada
wheezing sebelum penghisapan
7. Sulit bicara
 produksi endotrakeal
menurun
sputum 10. Keluarkan sumbatan benda
8. Sianosis tidak
meningkat padat dengan forsep McGill
ada
TD : 140/80 mmhg 11. Berikan oksigen
9. Gelisah tidak
RR : 26 ×/menit 12. Anjurkan asupan cairn 200
ada
ml/hari, jika tidak ada
S : 36,8 ˚c Pola napas membaik kontraindikasi
N : 88 ×/menit 13. Ajarkan teknik batuk efektif
kolaborasi dalam pemberian
Kreteria Hasil: bronkodilator
 Adanya suara nafas
tambahan
 Dyspnea
 Perubahan pola
nafas
 Penurunan bunyi
nafas
 Batuk yang tidak
efektif

2. Ketidak efektifan pola Pola Napas


nafas berhubungan Setelah dilakukan Pemantauan Respirasi
dengan Hiperventilasi tindakan keperawatan 1. Monitor frekuensi, irama,
DS : selama 1x24 jam, kedalaman dan upaya napas
 Pasiennya diharapkan 2. Monitor pola napas (seperti
mengatakan ketidakefektifan pola bradipnea, takipnea,
sesak nafas napas teratasi dengan hiperventilasi, kussmaul,
semakin kriteria hasil : cheyne-stokes, biot, ataksik)
meningkat 1) Kapasitas vital 3. Monitor kemampuan batuk
 dirasakan meningkat efektif
seperti 2) Tekanan ekspirasi 4. Monitor adanya produksi
ditusuk-tusuk meningkat sputum
sampai 3) Tekanan inspirasi 5. Monitor adanya sumbatan jalan
kepunggung meningkat napas
 Sesak semakin 4) Dipsnea tidak ada 6. Palpasi kesimetrisan ekspansi
meningkat saat 5) Penggunaan otot paru
beraktivitas bantu napas tidak 7. Auskultasi bunyi napas
DO : ada 8. Monitor saturasi oksigen
 pemeriksaan 6) Pemanjangan fase 9. Monitor nilai AGD
fisik paru ekspirasi menurun 10. Monitor hasil x-ray thoraks
didapatkan 7) Otropnea tidak ada 11. Atur interval pemantauan
ekspirasi 8) Pernapasan respirasi sesuai kondisi pasien
memanjang pursed-tip 12. Dokumentasi hasil pemantauan
 pemeriksaan menurun 13. Jelaskan tujuan dan prosedur
foto thorax 9) Pernapasan cuping pemantauan
didapatkan hidung menurun Informasikan hasil pemantauan
kesan 10) Kedalaman napas
hiperinflasi membaik
11) Ekskursi dada
TD : 140/80 mmhg membaik
RR : 26 ×/menit RR : 16-24x/i
S : 36,8 ˚c
N : 88×/menit

Kreteria Hasil:
 Pola nafas abnormal
 Penurunan tekanan
ekspirasi
 Oenurunan tekanan
insprirasi
 Penggunaan otot
bantu pernafasan
 Penurunan
kapasitas vital
3. Ketidak seimbangan Status Nutrisi Manajemen nutrisi
nutrisi kurang dari Setelah dilakukan 1. Identifikasi status nutrisi
kebutuhan tubuh tindakan keperawatan 2. Identifikasi alergi dan
selama 1x24 jam, intoleransi makanan
DS : diharapkan 3. Identifikasi makanan yang
 Pasien ketidakseimbangan disukai
mengatakan nutrisi: kurang dari 4. Identifikasi kebutuhan kalori
selama skait kebutuhan tubuh dan jenis nutrient
berat badan teratasi dengan kriteria 5. Identifikasi perlunya
menurun hasil : penggunaan selang nasogastrik
 Pasien 1) Porsi makanan 6. Monitor asupan makanan
mengatakan yang dihabiskan 7. Monitor berat badan
tidak selera meningkat 8. Monitor hasil pemeriksaan
makan 2) Kekuatan otot laboratorium
DO : pengunyah 9. Lakukan oral hygiene sebelum
TD : 140/80 mmhg meningkat makan
RR : 24 ×/menit 3) Perasaan cepat 10. Fasilitasi menentukan
S : 36,8 ˚c kenyang pedoman diet (mis. piramida
N : 89 ×/menit menurun makanan)
4) Nyeri abdomen 11. Sajikan makanan secara
Batasan Karateristik: tidak ada menarik dan suhu yang sesuai
 Enggan makan 5) Sariawan tidak 12. Berikan makanan tinggi serat

 Berat badan 20% ada untuk mencegah konstipasi

atau lebih di bawah 6) Diare tidak ada 13. Berikan makanan tinggi kalori

berat badan ideal 7) Berat badan dan tinggi protein

 Kurang informasi meningkat 14. Berikan suplemen makanan


8) Indeks masa 15. Hentikan pemberian makan
 Ketidak
tubuh (IMT) melalui selang nasogastrik jika
mampuan memakan
meningkat asupan oral dapat ditoleransi
makanan
9) Frekuensi makan 16. Anjurkan posisi duduk, jika
meningkat mampu
10) Nafsu makan 17. Ajarkan diet yang
meningkat diprogramkan
11) Bising usus 12- 18. Kolaborasi pemberian medikasi
16x/i sebelum makan (mis. Pereda
Membrane mukosa nyeri, antimetik)
lembab Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan

Anda mungkin juga menyukai