Anda di halaman 1dari 10

STRATEGI PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN PETANI

Farmer’s Institutional Empowerment Strategy


Kedi Suradisastra

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian


Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRACT

Decision making process among farmers is a community-based action which is viewed as an entry point
of technology dissemination. Institutional empowerment has strong ties with farmer’s techno-social condition.
Success in an empowerment program is a result of interaction among empowerment elements and the applied
empowerment strategy. Empowerment effort and strategy is an overlapping pendulum of evolution-revolution
paradigms in a proportion relevant to the farmer’s institutional condition and needs.

Key words : community, institution, empowerment

ABSTRAK

Proses pengambilan keputusan dalam masyarakat petani merupakan suatu tindakan berbasis kondisi
komunitas (community-based action) yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu celah masuk (entry-point)
upaya diseminasi teknologi. Dengan demikian setiap upaya pemberdayaan kelembagaan petani memiliki
keterkaitan kuat dengan kondisi tekno-sosial komunitas petani. Keberhasilan suatu program pemberdayaan
merupakan resultan interaksi elemen-elemen pemberdayaan dengan strategi pemberdayaan yang diterapkan.
Upaya dan strategi pemberdayaan merupakan suatu pendulum antara paradigma evolusi dan paradigma revolusi
yang saling mengisi (overlap) dalam proporsi yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan kelembagaan petani.

Kata kunci : komunitas, kelembagaan, pemberdayaan

PENDAHULUAN suatu tindakan berbasis kondisi komunitas


(community-based action) yang dapat diman-
faatkan sebagai salah satu celah masuk
Dalam kehidupan komunitas petani, (entry-point) upaya diseminasi teknologi.
posisi dan fungsi kelembagaan petani meru- Upaya pemberdayaan kelembagaan
pakan bagian pranata sosial yang memfasili- petani memerlukan reorientasi pemahaman
tasi interaksi sosial atau social interplay dalam dan tindakan bagi para fasilitator perubahan
suatu komunitas. Upaya pemberdayaan ke- selaku agen perubahan (change agent) dalam
lembagaan petani guna meningkatkan perha- pelaksanaan program pembangunan pertani-
tian dan motivasi berusahatani akan lebih an. Keterlibatan fasilitator pembangunan yang
memberikan hasil bila memanfaatkan makna memiliki kemampuan komunikasi yang sepa-
dan potensi 3 (tiga) kata kunci utama dalam dan merupakan salah satu kunci keberhasilan
konteks kelembagaan, yaitu: norma, perilaku proses diseminasi dan alih teknologi pertanian.
serta kondisi dan hubungan sosial. Signifikansi Proses diseminasi teknologi akan berjalan
ketiga kata kunci tersebut dicerminkan dalam lebih mulus bila disertai dengan pemahaman
perilaku dan tindakan petani, baik dalam dan pemanfaatan potensi elemen-elemen
tindakan individu, maupun dalam tindakan kelembagaan dan status petani dalam suatu
kolektif dan komunal. Setiap keputusan yang proses alilh teknologi atau diseminasi teknologi
diambil selalu akan terkait atau dibatasi oleh baru.
norma dan pranata sosial masyarakat petani di
lingkungannya. Vice-versa, kondisi demikian Tulisan ini merinci fungsi dan peran
menunjukkan bahwa proses pengambilan ke- elemen-elemen kelembagaan terkait pemba-
putusan dalam masyarakat petani merupakan ngunan sektor pertanian serta pengaruhnya
terhadap proses perkembangan lembaga dan

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 26 No. 2, Desember 2008 : 82 - 91

82
organisasi petani di beberapa lokasi yang bagian budaya masyarakat Bali. Subak
berbeda. Tulisan ini mengkaji interaksi antar merupakan suatu lembaga terstruktur lintas-
elemen pembangunan pertanian guna mem- aspek yang berbentuk organisasi formal di
bantu upaya pemberdayaan kelembagaan berbagai hierarki administrasi dari tingkat
petani dan pertanian. Lebih jauh lagi tulisan ini tempek (kelompok tani) sampai ke tingkat
diharapkan dapat membantu para penyusun organisasi pemerintah kabupaten (sedahan
kebijakan pembangunan sektor pertanian da- agung) dengan melibatkan norma adat dan
lam menuntun arah pemberdayaan kelemba- keagamaan. Subak merupakan suatu gam-
gaan pembangunan sektor pertanian di baran lengkap interaksi positif antara aspek
Indonesia berdasarkan karakteristik tekno- politis pemerintahan, norma, adat, keagamaan
sosial masyarakat petani. serta aspek teknis dan teknologi pertanian
(Suradisastra et al., 2002). Kegiatan bertani
yang melibatkan berbagai aspek inter-sektor
ELEMEN PEMBERDAYAAN seperti demikian meningkatkan kohesi sosial di
KELEMBAGAAN lingkungan masyarakat petani Bali sehingga
upaya diseminasi inovasi dapat dilaksanakan
Pemahaman dan Potensi Pemberdayaan secara lebih lancar. Setiap segmen kegiatan
Kelembagaan usahatani padi sawah di Bali selalu disertai
ritual tertentu sebagai bagian dari norma sosial
Pemahaman terhadap konsep lemba- dan rambu-rambu keagamaan sekaligus di-
ga atau kelembagaan (institusi) sejauh ini lebih dukung oleh kebijakan politik pembangunan
terpaku pada organisasi, baik organisasi for- pemerintah.
mal maupun organisasi nonformal. Konvensi
Uphoff (1992) dan Fowler (1992) menyatakan Potensi kelembagaan masyarakat lo-
bahwa suatu lembaga dapat berbentuk organi- kal (indigenous community institution), terma-
sasi, atau sebaliknya. Suatu lembaga dapat suk di dalamnya kelembagaan komunitas
berbentuk organisasi seperti pemerintah, bank, petani, dicirikan oleh keberadaan sikap ke-
partai, perusahaan dan lain-lain. Institusi dapat pemimpinan (leadership), tata-peraturan dan
juga berupa tata peraturan seperti hukum atau norma sosial, serta struktur dan peran kelem-
undang-undang, sistem perpajakan, tata ke- bagaan serta toleransi sosial masyarakat dan
sopanan, adat-istiadat, dan lain-lain. kelembagaan dalam tatanan sosial setempat.
Bila suatu kelembagaan, baik dalam bentuk
Dalam konteks kelembagaan pertani- organisasi maupun dalam bentuk norma dan
an, pemahaman terminologi “lokal” diinter- pranata sosial lainnya, dinilai tidak mampu
pretasikan sebagai sesuatu yang memiliki melayani kebutuhan masyarakat, kelembaga-
karakteristik tersendiri yang berkaitan dengan an tersebut akan kehilangan posisinya dalam
kondisi setempat. Terminologi “lokal” meliputi pranata sosial setempat, perlahan-lahan mati,
dasar-dasar untuk melakukan tindak kolektif, berangsur-angsur menyesuaikan diri dengan
energi untuk melakukan konsensus, koordinasi dinamika masyarakat, atau digantikan oleh
tanggung jawab; serta menghimpun, meng- kelembagaan baru yang sesuai dengan dina-
analisis dan mengkaji informasi. Hal-hal ini mika masyarakat.
tidak terjadi secara otomatis, namun memer-
lukan kehadiran institusi yang bersifat spesifik
lokasi. Sebagai contoh adalah lembaga Struktur Kelembagaan
candoli di wilayah Priangan Timur (Jawa Secara alami, suatu kelembagaan tra-
Barat) yang berfungsi sebagai penentu waktu disional senantiasa berevolusi menyesuaikan
panen komunal. Lembaga candoli bersifat diri ke bentuk dan tingkat yang sejalan dengan
lokal (Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Sumedang) proses dan tingkat evolusi sosial masyarakat
dan eksistensinya (pernah) dibutuhkan karena lingkungannya. Kelembagaan yang tidak mam-
penguasaannya akan informasi terkait per- pu beradaptasi terhadap perubahan ling-
kembangan fisik padi di lahan sawah di lokasi- kungannya akan kehilangan perannya dan
lokasi tersebut (Suradisastra, 1999). akhirnya mati digantikan oleh kelembagaan
Dalam konteks sektor, fungsi lembaga baru yang lebih sesuai dengan tuntutan
dan kelembagaan lokal yang sangat signifikan kebutuhan masyarakat. Contoh kelembagaan
ditunjukkan oleh lembaga subak sebagai yang mampu beradaptasi dan berubah ke

STRATEGI PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN PETANI Kedi Suradisastra

83
dalam bentuk lebih modern antara lain adalah diperlukan. Contoh kelembagaan organisasi
kapunduhan di Jawa Barat. Kapunduhan me- seperti ini antara lain terlihat dalam fenomena
rupakan suatu lingkup kehidupan bertetangga plong dan sonor di lokasi pemukiman transmig-
(neighborhood) yang meliputi areal fisik dan rasi pasang-surut Sumatra Selatan. Plong ada-
populasi dibawah desa. Kapunduhan diketuai lah kelembagaan normatif gotong-royong yang
oleh seorang punduh yang berfungsi sebagai menyediakan pelayanan pengolahan lahan (pra-
penyalur informasi dan sebagai mediator de- tanam) secara bergilir antar anggotanya. Sonor
ngan punduh-punduh lain dan dengan kepala adalah lembaga gotong royong penanaman padi
desa setempat (Suradisastra, 1999). Di sisi pada lahan kosong yang dikuasai keluarga
lain, lembaga otini-tabenak atau dewan adat di petani transmigran dan hanya dilakukan saat
wilayah pegunungan tengah Papua masih kemarau panjang yang terjadi 5 tahun sekali
bertahan dan memainkan fungsinya sebagai (Suradisastra, 1999).
penyaring dan penyalur informasi dari dunia Struktur kelembagaan petani dilengkapi
luar (Dimyati et al., 1991). pula dengan lembaga-lembaga kegiatan
Kelembagaan organisasi petani peng- produksi yang disesuaikan dengan kebutuhan
guna air di Bali (subak) mampu beradaptasi kegiatan produktif pertanian dalam tiap musim.
dan berintegrasi dengan lembaga eksternal. Contoh terlengkap kelembagaan petani yang
Subak merupakan organisasi tradisional unik memiliki keterkaitan lintas-sektor adalah lem-
yang berbentuk organisasi formal di hierarki baga subak. Kegiatan produksi pertanian dalam
pemerintah daerah tingkat kabupaten, namun konteks subak merupakan suatu kegiatan sosio-
di tingkat lapang (daerah aliran sungai) tetap tekno-religius daripada sebagai kegiatan tekno-
berbentuk organisasi nonformal. Struktur ekonomi (Suradisastra et al., 2002). Berbagai
organisasi subak terdiri atas Sedahan Agung kegiatan yang dijalankan oleh subak dijabarkan
yang merupakan posisi kepemimpinan formal pada Tabel 1.
(official position) tingkat pemerintah daerah
(kabupaten) yang dikepalai oleh pejabat yang
mendapat gaji sebagai pegawai negeri. Fungsi Kepemimpinan (leadership)
Sedahan Agung membawahi seluruh pekaseh Kepemimpinan merupakan salah satu
(ketua) subak gde yang berada di lingkup celah-masuk (entry-point) penting dalam mem-
kabupaten tersebut. Subak gde berupa organi- berdayakan, menata dan mempertahankan
sasi nonformal dengan seorang pekaseh kelangsungan hidup kelembagaan petani. Pe-
(ketua) yang tidak mendapat gaji atau imbalan mimpin atau ketua kelembagaan berfungsi
dari pemerintah (Suradisastra et al., 2002). sebagai mobilisator, penyaring dan penyalur
Perkembangan organisasi lokal selalu informasi eksternal, penasehat sosial kemasya-
dikaitkan dengan tujuan tertentu sehingga rakatan, dan berbagai fungsi sosial lainnya
terdapat perpaduan (intermingling) bentuk sekaligus sebagai enforcer (penegak) pelak-
organisasi dengan fungsinya sebagai suatu sanaan nilai dan norma sosial komunitas petani
kelembagaan. Contoh perpaduan fungsi dan setempat. Seorang pemimpin pada sebuah
struktur kelembagaan ditunjukkan oleh kelem- kelembagaan juga menentukan apa sanksi so-
bagaan mayorat sebagai suatu lembaga sial yang diberikan terhadap anggota komunitas
pengelolaan air guna memenuhi kebutuhan yang melanggarnya.
kelompok petani setempat. Mayorat yang ter- Dalam kaitannya dengan introduksi
dapat di beberapa lokasi di Jawa Barat adalah nilai-nilai eksternal, seorang pemimpin kelem-
organisasi nonformal yang bertugas mengelola bagaan bahkan mampu menghentikan proses
dan mengatur pembagian air bagi anggotanya. dan progres perubahan sosial di wilayahnya.
Mayorat diketuai seorang mayor atau ulu-ulu Dalam kelompok masyarakat yang berada
dan bertugas mengatur penggunaan air dari dalam tahap awal evolusi organisasi, lembaga
sumber air komunal di lokasi desa atau kam- kepemimpinan umumnya berupa seorang
pung. Eksistensi mayorat kini telah dievolusi- individu sebagai kepala suku dengan berbagai
kan menjadi organisasi formal Kelompok Pe- nama: keret (Arfak, Papua), ondoafie (Sarmi,
tani Pengguna Air (Suradisastra, 1997; 1999). Papua), pah-tuaf (Tetun), raja-soa (Maluku) dan
Kelembagaan kemasyarakatan dapat lain-lain (Suradisastra, 2006). Para pemuka
bersifat temporer dan hanya aktif pada saat-saat masyarakat tersebut juga memegang peran

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 26 No. 2, Desember 2008 : 82 - 91

84
Tabel 1. Kelembagaan Kegiatan Organisasi Subak di Bali

Lembaga
Kegiatan Ritual agama Tujuan ritual
pelaksana
Pembagian air Seke jelinjingan Mapag toya Mohon restu kepada dewa dan penguasa
air dan sungai.
Pengolahan Seke numbeg Ngendag, ngendag Mohon izin memulai bekerjka kepada
tanah mamacul Bhatari Sri (dewi padi).
Sebar benih Seke gebros Mawinih muang ngurit Mohon izin menebar benih kepada Bhatari
pari, ngurip memulih Sri.
Menaman Seke tandur Pidartan nandur pari, Mohon izin menanam padi kepada Bhatari
nandur, mamula, matur Sri.
piuning
Seke tandur Mabuwihin Bhatari Sri (mohon berkah membersihkan
lahan), Brahma dan Wisnu (izin menanam)
dan Iswara (restu pertumbuhan).
Menyiang Seke mejukut Kekambuhan Bhatari Sri (izin menyiang)
Seke mejukut Wusan mejukut Bhatari Sri (menyingkirkan gulma).
Pemeliharaan Seke merana Pengatapan pari, Mohon perlindungan kepada Bhatari Sri,
mepinunas dewa penyakit dan penjaga air.
Seke merana Makukungan pari, Mohon restu Bhatara Surya di Gunung
biyukukung, ngusaba Agung dan Bedugul.
Persiapan panen Seke manyi Caru, ngadegang Dewa Mohon keselamatan selama panen kepada
Nini, nyaopin Bhuta Kala Dengen.
Panen Seke manyi Nyangket pari Maha Dewi Sri (restu panen).
Pengangkutan Tenaga keluarga Pamendakan, Bhatari Nini (ibu padi), mohon restu dan
mantenin, mot emping izin mengangkut padi dari sawah.
Penyimpanan Tenaga keluarga Ngunggahang pari Bhatari Sri (mohon perlindungan padi yang
(sementara) baru dipanen).
Pengeringan Tenaga keluarga Nedunang pari Bhatari Sri (izin prosesing).
Sumber: dikutip dari Suradisastra et al. (2002). Seke, seka, sekaa: kelompok.

penting dalam kaitannya dengan kegiatan Norma dan Adat-istiadat


bertani dan kehidupan petani di lingkungan Norma, adat istiadat dan tata penga-
etnisnya. turan sosial lain memainkan peran penting
Pemimpin atau ketua kelembagaan dalam proses produksi pertanian. Kelembaga-
sering dibantu oleh kelembagaan sesepuh lokal an tersebut dimanifestasikan dalam bentuk
seperti dewan adat, lembaga ketahanan desa, pranata dan interaksi sosial verbal (terucap-
dan lain-lain. Contoh kondisi seperti ini adalah kan) dan interaksi nonverbal (tidak terucap-
kasus etnis Dani di wilayah pegunungan tengah kan). Pada etnis Minang dikenal kelembagaan
Papua yang memiliki lembaga pengambil kepu- Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang berbentuk
tusan kolektif otini-tabenak yang memainkan organisasi semi-struktur, berfungsi menata dan
peran penting dalam mengalirkan informasi dari mengawasi kehidupan sosial masyarakat, ter-
atas ke bawah (top-down). Lembaga ini me- masuk kehidupan petani dan praktek berusa-
mainkan peran signifikan dalam proses hatani. Etnis Sunda mengenal kelembagaan
pengambilan keputusan secara kolektif sebelum pengaturan pamali, parancah, dan uga serta
kepala suku sebagai pimpinan lembaga menya- manajemen kolektif aktif melalui babasan "silih
lurkan informasi tersebut kepada masyarakat asih, silih asah, silih asuh" dan gugur gunung
yang dipimpinnya. (gotong royong) serta manajemen top-down

STRATEGI PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN PETANI Kedi Suradisastra

85
"saur ratu sabda raja" (Suradisastra, 1997). intervensi secara total (social resilience rendah),
Babasan atau motto "silih asih, silih asah, silih (b) mengembangkan konsensus nilai dan norma
asuh" dimanifestasikan dalam bentuk sikap sa- lokal dengan nilai dan norma eksternal (social
ling menyayangi atau memperhatikan masalah resilience sedang) yang berakhir pada proses
dan kebutuhan rekan petani (silih asih), evolusi dan metamorfosis kelembagaan ke
melakukan diskusi guna meningkatkan penge- bentuk baru, dan (c) menerima seutuhnya nor-
tahuan pertanian (silih asah), dan saling mendo- ma dan kelembagaan introduksi (social
rong meningkatkan kegiatan bertani (silih asuh). resilience tinggi) dan berakhir pada matinya
Motto “saur ratu sabda raja” bermakna bahwa kelembagaan lama dan digantikan dengan
norma atau peraturan yang disusun oleh peme- kelembagaan introduksi.
rintah yang harus diikuti oleh seluruh komunitas Upaya introduksi kelembagaan baru
petani dan masyarakat. Di sisi lain, norma dan memerlukan pengkondisian masyarakat dan
tata aturan lokal secara psikologis berfungsi kelembagaan lokal guna memaksimalkan daya-
sebagai rem sosial atau sebagai pelancar lenting sosial ke posisi yang paling mengun-
tindakan kolektif dan individual masyarakat tungkan kedua belah pihak serta mengidenti-
anggotanya. fikasi entry-point yang tepat. Kelemahan yang
Dalam sektor pertanian terdapat kelem- sering dijumpai dalam introduksi gagasan, tek-
bagaan pengaturan waktu tanam di berbagai nologi atau kelembagaan baru adalah pende-
etnis Indonesia. Kelembagaan pengatur waktu katan yang kaku dan terburu-buru sebagai
tanam di Bali disebut dewase, etnis Jawa akibat pola pendekatan top-down yang kurang
menyebutnya pranata mangsa, dan etnis Marind didasarkan pada pertimbangan yang berakar
di Papua Selatan menyebutnya sambanim dan pada kebutuhan masyarakat lokal. Introduksi
pakasanim (Suradisastra et al., 1990; Sura- gagasan, teknologi atau kelembagaan introduksi
disastra, 1992). Norma yang berkaitan dengan umumnya menerapkan strategi pengelompokan
proses produksi merupakan produk aktivitas petani dalam suatu wadah bersama seperti
kelembagaan organisasi lokal yang berkembang kelompok tani, gabungan kelompok tani atau
di lokasi yang bersangkutan. Otini-tabenak pada koperasi. Tindakan ini seringkali mengabaikan
etnis Dani di pegunungan tengah Papua eksistensi dan peran kelembagaan petani yang
merupakan kelembagaan tata pengaturan tengah berjalan. Upaya pengelompokan sering-
norma dan perilaku sosial masyarakat dan kali mengabaikan fakta bahwa petani pedesaan
merupakan filter sosial bagi informasi baru yang pada umumnya hanya memiliki pengalaman
dimasukkan kedalam tatanan sosial setempat pada kegiatan produksi atau bahkan hanya
(Dimyati et al., 1991). pada subsistem produksi. Akibatnya adalah
sering terjadi introduksi gagasan, teknologi, atau
kelembagaan eksternal ditolak atau program
Toleransi Sosial introduksi tersebut tidak berjalan seperti yang
Kelembagaan petani memiliki ragam diharapkan. Pendekatan yang diterapkan hen-
toleransi yang disebut daya-lenting sosial (social daknya terlebih dahulu mempertimbangkan dan
resilience) dalam menghadapi intervensi dan mengkaji fakta bahwa suatu norma sosial atau
penetrasi gagasan eksternal. Social resilience kelembagaan masyarakat umumnya mencer-
mencerminkan upaya kelompok atau kelemba- minkan dan bermula dari dinamika masyarakat
gaan masyarakat dalam mempertahankan dan kelembagaan lokal yang beroperasi dalam
kelembagaan nilai sosial dan norma lokal dalam komunitas mereka.
proses intervensi atau introduksi nilai dan norma
eksternal. Kelenturan sosial dicerminkan oleh
proses dan perubahan sikap dan bentuk PELUANG DAN STRATEGI
kelembagaan dalam konteks waktu. Semakin PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN
tinggi daya lenting sosial, semakin besar tole-
ransi masyarakat dan kelembagaan sosialnya Peluang Pemberdayaan
dalam menghadapi proses perubahan yang
disebabkan oleh lembaga eksternal. Hasil akhir Peluang pemberdayaan kelembagaan
proses introduksi gagasan eksternal memiliki 3 terletak pada potensi kelima elemen di atas
kemungkinan: (a) sikap komunitas atau kelem- melalui perannya sebagai alat mobilisasi massa,
bagaan lokal tidak berubah dengan menolak penyaring dan penyalur informasi eksternal.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 26 No. 2, Desember 2008 : 82 - 91

86
Pemanfaatan elemen-elemen kelembagaan se- Kekurangpedulian terhadap penting-
bagai entry-points bagi introduksi informasi baru nya menemukan entry-point kelembagaan
akan memberikan hasil yang lebih baik bila sering menimbulkan kebingungan dalam reka-
terjadi interaksi positif antara nilai dan norma yasa kelembagaan yang sesuai dengan tujuan
lokal dengan kondisi biofisik dan sifat teknologi produksi pertanian. Keadaan ini diperparah
atau informasi yang diintroduksikan. lagi dengan upaya mengejar waktu agar suatu
program dapat menunjukkan hasilnya dalam
Sesuai dengan teori perkembangan
waktu singkat. Evolusi kelembagaan memerlu-
negara-negara di daerah tropis dari Huntington
kan waktu lama sehingga dibutuhkan suatu
(1980) dimana kebudayaan bertani di negara
program pembangunan sektor yang bersifat
tropis bersifat intrusif, yaitu lebih merupakan
longitudinal (multi years) dan konsisten dalam
budaya yang diintroduksikan dengan peru-
upaya mencapai tujuannya. Sebagai gam-
bahan minor dalam aspek tertentu. Secara baran adalah kasus upaya evolusi kelemba-
implisit teori ini mengemukakan bahwa ke- gaan produksi pertanian melalui program SUP
giatan pertanian modern bukan merupakan (Sistem Usaha Pertanian), SUTPA (Sistem
usaha asli petani setempat, namun lebih Usaha Pertanian Berbasis Padi), Corporate
berupa kegiatan hasil penyesuaian dengan Farming, Sistem dan Usahatani Agribisnis,
tradisi lokal yang telah berlangsung berabad- P3T (Program Pengembangan Pertanian
abad. Sejalan dengan budaya bertani tradisio- Terpadu), dan akhirnya program Prima Tani.
nal Indonesia yang bersifat survival agriculture Perubahan program ini terjadi hanya dalam
atau land-to-mouth agriculture, perkembangan kurun waktu kurang dari 15 tahun, sedangkan
kelembagaan lokal juga berjalan ke arah social perubahan norma dan kelembagaan memerlu-
survivability dan social stability yang mendu- kan waktu beberapa dekade sebelum
kung tujuan dan kegiatan produktif masyarakat stakeholder pembangunan pertanian benar-
petani. Sejauh ini hampir tidak terdapat kelem- benar memahaminya (Suradisastra, 2006).
bagaan tradisional petani yang mengembang-
kan orientasi komersil dalam kegiatan produktif
untuk bertahan hidup. Dalam paradigma land- Pendekatan Berbasis Komunitas
to-mouth existence, kegiatan pertanian senan- (Community-based Approach)
tiasa didukung oleh lembaga-lembaga penga- Kelima elemen pemberdayaan di atas
turan bercocok tanam, lembaga mobilisasi yang berakar pada budaya masyarakat setem-
tenaga dan massa, serta lembaga pengatur pat merupakan entry-points pemberdayaan
norma dan perilaku sosial sesuai dengan yang bila dimanfaatkan secara baik mampu
tingkat evolusi sosial setempat. memberikan hasil positif bagi pemberdayaan
Introduksi lembaga baru yang ber- dan revitalisasi kelembagaan petani. Secara
orientasi ekonomi seperti lembaga pasar dan teknis pendekatan berbasis komunitas sangat
pemasaran, koperasi, lembaga perkreditan bergantung kepada dinamika dan perubahan
dan lembaga lainnya harus mencari celah dan sosial dan kelembagaan yang melibatkan
waktu yang tepat agar bisa diterima oleh seluruh stakeholder kelembagaan petani dan
masyarakat dan norma setempat. Introduksi di seluruh hierarki struktural pemerintahan dan
lembaga-lembaga terkait.
inovasi (baik berupa teknologi maupun
introduksi kelembagaan baru) yang dilakukan Langkah-langkah pemberdayaan ke-
tanpa mempertimbangkan fungsi kelembagaan lembagaan petani sebagai suatu upaya
lokal, norma dan budaya masyarakat, sering- perubahan sosial diawali dengan tahap
kali mengalami kegagalan, atau memerlukan diagnostik. Dalam fase ini dilakukan diagnosa
waktu lama untuk diadopsi. Inovasi cangkul atau analisis situasi lintas-sektor, lintas-
pada masyarakat etnis Dani di lembah Baliem disiplin, dan lintas-aspek elemen-elemen peru-
memerlukan waktu bertahun-tahun untuk bahan sosial di suatu wilayah pembangunan.
menggantikan budaya mengolah lahan dengan Dalam tahap ini kelompok perekayasa model
tugal. Contoh lain adalah upaya introduksi pemberdayaan (ilmuwan dari berbagai disiplin
pupuk pada awal intensifikasi padi awal tahun keilmuan) merupakan aktor utama dalam
1960-an yang memperoleh sambutan dingin proses identifikasi dan diagnosa masalah
dari petani dan kelembagaan lokal di Jawa. lapangan. Dalam fase ini, lembaga riset dan
perguruan tinggi diposisikan sebagai think-tank

STRATEGI PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN PETANI Kedi Suradisastra

87
dan lembaga pembinaan (penyuluhan) se- ngunan setempat, termasuk pejabat struktural
dangkan lembaga perancangan pembangunan dan kelompok penyusun kebijakan daerah
daerah berperan sebagai pemberi input. otonom. Hasil uji coba juga merupakan dasar

Diagram 1. Tahap Perekayasaan Model Pemberdayaan Kelembagaan

Perekayasa/ilmuwan

Penyuluh
Input stakeholder dan proses penggalian entry-points
Diagnosa masalah Rancang- Uji-coba model Pemilihan Verifikasi
dan potensi bangun model pemberdayaan strategi dan
pemberdayaan implementasi implementasi
model
Sumber: Dikembangkan dari Knipscheer dan Suradisastra (1986).

Tahap diagnostik dilanjutkan dengan untuk menyusun rekomendasi oleh lembaga


tahap rancang-bangun dimana peran lembaga teknis daerah dan rekomendasi politis oleh
pembinaan dan penyuluhan meningkat secara kepala daerah. Tahap berikutnya adalah
proporsional. Lembaga perancangan pemba- mengidentifikasi dan mengembangkan strategi
ngunan secara politis mulai berperan dalam implementasi model pemberdayaan sesuai
kegiatan koordinasi dan administratif kewila- dengan karakteristik sosial kelembagaan
yahan. Petugas dan penyuluh lapang sebagai masyarakat. Fase verifikasi dan implementasi
ujung tombak pemberdayaan memegang merupakan tahap terahir dimana lembaga
posisi kunci dalam menghimpun, merangkum, pembinaan masyarakat beserta aparatnya
menyaring dan menganalisis situasi sosio- memikul tanggung jawab terbesar dalam
teknis petani setempat. Dalam saat yang sosialisasi dan penerapan model pember-
sama, lembaga-lembaga sektor merancang dayaan dan norma sosial yang baru.
model dan kegiatan pemberdayaan di lokasi-
lokasi percontohan. Dalam tahap ini terjadi Paradigma Perubahan
proses penyempurnaan rancangan model
pemberdayaan dengan input dari seluruh Setiap upaya dan tahap perekayasaan
stakeholder. Fase ini juga memberikan kesem- kelembagaan senantiasa dihadapkan pada pi-
patan untuk menggali lebih dalam peluang lihan paradigma penerapan yang bersifat
pemanfaatan entry-point dalam memperlancar evolutif atau revolutif. Paradigma evolusi dicer-
proses pemberdayaan kelembagaan baru. minkan dalam proses yang lambat dan teratur
dengan sesedikit mungkin korbanan yang
Dalam tahap uji coba dilakukan eva- diberikan kelembagaan sebagai suatu sistem
luasi dinamika komponen pemberdayaan ke- yang memiliki tatanan dan hierarki strtuktural.
lembagaan yang disesuaikan dengan kondisi Pendekatan evolutif disesuaikan dengan proses
sosial petani sekaligus dilakukan pula peman- evolusi sosial secara alami dimana perubahan
tauan proses perubahan sosial sebagai resul- dan penerapan model pemberdayaan dilakukan
tan interaksi introduksi model pemberdayaan secara bertahap tanpa melakukan perubahan
dengan kondisi sosial masyarakat setempat. drastis terhadap pola kegiatan yang tengah
Tahap uji coba juga merupakan fase dimana berlangsung. Strategi ini memakan waktu relatif
strategi pemberdayaan kelembagaan dipilih lama dan proses adopsi terjadi secara bertahap
dan disepakati. Entry-point strategi introduksi karena kelompok stakeholder memiliki cukup
model pemberdayaan dikaji dan disepakati waktu untuk memahami, mengevaluasi, dan
dalam fase ini setelah hasilnya dianalisis melakukan eksperimentasi penerapan teknik
secara lintas keilmuan. Dalam fase ini dilaku- pemberdayaan secara gradual.
kan sosialisasi rancangan strategis penye-
baran model pemberdayaan baru kepada lem- Paradigma revolusi dalam proses peru-
baga dan aparat terkait program pemba- bahan sosial kelembagaan dimanifestasikan

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 26 No. 2, Desember 2008 : 82 - 91

88
dalam bentuk pendekatan dan proses secara informasi, kearifan dan moral yang dibutuhkan
cepat. Model dan strategi pemberdayaan yang untuk mencapai tujuan pembangunan. Masya-
tengah berjalan digantikan secara total dengan rakat hendaknya berterima kasih karena
model dan struktur yang disesuaikan dengan mereka merupakan kelompok yang akan me-
tuntutan kebutuhan. Pada umumnya paradigma nikmati hasil pembangunan tersebut. Penyim-
ini dapat disejajarkan dengan pola pendekatan pangan pemahaman pendekatan bottom-up
top-down dengan parameter pemberdayaan percaya bahwa masyarakat memiliki semua
subyektif. materi yang dibutuhkan untuk pembangunan
Kedua paradigma di atas selalu terda- yang mereka inginkan tanpa campur tangan
pat dalam setiap langkah pemberdayaan dalam para birokrat dan teknokrat.
proporsi yang sejalan dengan kondisi dan status Pengalaman menunjukkan bahwa ma-
pemberdayaan kelembagaan yang bersangkut- syarakat hendaknya diikutsertakan dalam
an. Berkaitan dengan kondisi ini, Suradisastra upaya pengentasan kemiskinan dengan ban-
(1999) mengemukakan bahwa langkah pertama tuan dan tuntunan pelaksana kebijaksanaan.
yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi Dalam kondisi ini harapan dan energi sosial
katalis atau fasilitator pemberdayaan kelemba- berpadu dengan bimbingan untuk mencapai
gaan petani. Para katalis ini kemudian bekerja tujuan. Sikap ini menempatkan masyarakat
secara sitematis dan melakukan langkah- sebagai mitra pembangunan dan bukan se-
langkah identifikasi situasi sebagai berikut: (a) mata-mata sebagai “penikmat hasil pemba-
Memulai kegiatan pengenalan kelembagaan ngunan”. Upaya pemberdayaan ekonomi ke-
dalam kelompok kecil. Upaya ini membuka rakyatan hendaknya menganut pola kombinasi
kemungkinan bagi anggota kelompok atau pendekatan populis bottom-up dan pende-
organisasi untuk memahami sifat permasalahan katan paternalistik top-down dalam konteks
kelembagaan dan teknik untuk mengantisi- tertentu.
pasinya; (b) Memulai kegiatan secara informal. Sumberdaya yang tersedia di masya-
Perekayasa kelembagaan dan para katalis ber- rakat petani, baik sumberdaya finansial mau-
peran sebagai fasilitator; (c) Memecahkan pun sumberdaya nonfinansial dapat dimanfaat-
masalah bersama (problem-solving oriented). kan secara lokal dan disesuaikan dengan
Dalam arahan ini peran katalis adalah mena- kebutuhan setempat (locally and finely tuned).
namkan sikap bahwa membuat kesalahan da- Hal ini dimungkinkan karena kebutuhan pem-
lam proses pengambilan keputusan bukanlah bangunan dapat diprioritaskan sesuai dengan
sesuatu yang memalukan dan patut ditekankan kebutuhan riil. Masyarakat yang diikutsertakan
bahwa hal tersebut dapat diperbaiki; dan (d) dalam proses pengambilan keputusan dan
Memperkuat hubungan horisontal. Hubungan implementasinya akan lebih responsif untuk
horisontal antar anggota kelembagaan yang turut memikul tanggung jawab pengelolaan
akan dievolusikan ditujukan untuk melakukan pelaksanaan kegiatan. Hal ini akan membantu
proses difusi informasi. Hubungan ini memung- mengurangi biaya yang disediakan pihak
kinkan anggota kelompok untuk berkomunikasi pemerintah. Disamping itu pengetahuan dan
secara lebih luwes dan terbuka. keterampilan lokal (indigenous technical know-
Evolusi kelembagaan dari tahap non- how) mampu diadaptasikan untuk membantu
formal dan non-struktur ke tingkat formal ter- penghematan biaya dan peningkatan keun-
struktur dilakukan setelah langkah-langkah tungan.
diatas berjalan lancar dan pola komunikasi telah Pemikiran di atas secara eksplisit
terbentuk. Namun pada era reformasi yang menggambarkan keikutsertaan masyarakat
menggebu-gebu akhir-akhir ini suara perom- sebagai mitra pembangunan, dan bukan lagi
bakan pendekatan dari atas ke bawah (top- sebagai kelompok sasaran. Dalam keadaan ini
down) ke pola pendekatan pembangunan dari partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan, ter-
bawah ke atas (bottom-up) semakin lantang. utama dalam bentuk partisipasi yang bersifat
Kedua pola pendekatan ini pada hakekatnya mobilisasi spontan yang diartikan secara posi-
memiliki penyimpangan dalam pemahaman tif. Partisipasi merupakan unsur perekat dimana
dan penerapannya. Pola pendekatan top-down masyarakat merupakan faktor sentral dalam
menganut paham bahwa perencana, teknokrat proses pembangunan. Partisipasi menempatkan
dan pakar memiliki seluruh pengetahuan dan masyarakat sekaligus sebagai mitra pemba-

STRATEGI PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN PETANI Kedi Suradisastra

89
ngunan, pemegang risiko (stakeholders) serta Fowler, A. 1992. Prioritizing Institutional
pembuat dan pengambil keputusan yang Development: A New Role for NGO
menyangkut masa depan mereka. Centres for Study and Development.
Sustainable Agricultrure Programme
Gatekeeper Series SA35. IIED, London.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Huntington, E. 1980. Huntington’s Climatic Theory of
Underdevelopment. In I. Vogeler and A. de
Souza (eds.) Dialectics of Third World
Bahwa setiap upaya dan strategi pem- Development, pp. 55-65. Allanheld Osmun,
berdayaan kelembagaan petani memiliki Montclair.
keterkaitan kuat dengan kondisi sosio-teknis Knipscheer, H., and Kedi Suradisastra. 1986. Farmer
komunitas petani. Pencapaian suatu program Participation in Indonesian Livestock
pemberdayaan merupakan resultan interaksi Farming Systems by Regular Research
elemen-elemen pemberdayaan sebagai celah- Field Hearings (RRFH). Agricultural
masuk dengan strategi pemberdayaan yang Administration 22(4): 205-209.
diterapkan. Upaya dan strategi pemberdayaan Pretty J. 1994. Regenerating Agriculture. Earthscan
merupakan suatu pendulum antara paradigma Publications Ltd, London.
evolusi dan paradigma revolusi, namun tidak Rhoades R. 1987. Farmers and Experimentation.
berarti bahwa setiap paradigma akan muncul Agricultural Administration (R and E)
secara total (atau mutlak). Kedua paradigma Network Paper 21. ODI, London.
tersebut merupakan suatu gradasi dengan Suradisastra, K., W.K. Sejati, Y. Supriatna, dan D.
proporsi yang sesuai dengan kebutuhan Hidayat. 2002. Institutional Description of
kelembagaan petani. Pengembangan model the Balinese Subak. Jurnal Penelitian dan
pemberdayaan akan selalu berada di antara Pengembangan Pertanian, Vol. 21 No.1,
kedua paradigma tersebut dengan proporsi 2002. Badan Penelitian dan Pengem-
yang sejalan dengan tuntutan kebutuhan bangan Pertanian, Departemen Pertanian.
komunitas petani. Suradisastra, Kedi 1997. Alternatif Model Sistem
Manajemen Sumberdaya Lahan Gunung
Implikasi kebijakan pembahasan fung-
Halimun. Lokakarya Penyempurnaan Model
si dan peran kelembagaan dalam penyusunan Sistem Manajemen Sumberdaya Lahan
kebijakan pemberdayaan kelembagaan petani Gunung Halimun, UPT-INRIK Unpad, 20
dan pertanian adalah bahwa kebijakan pem- Pebruari 1997
berdayaan kelembagaan petani dan pertanian Suradisastra, Kedi 1997. Alternatif Model Sistem
hendaknya mencakup seluruh elemen sosio- Manajemen Sumberdaya Lahan Gunung
teknis yang terdapat dalam setiap kelompok Halimun. Lokakarya Penyempurnaan Model
masyarakat atau etnis yang berbeda. Konse- Sistem Manajamen Sumberdaya Lahan
kuensi lebih jauh adalah bahwa penerapan Gunung Halimun, UPT-INRIK Unpad, 20
kebijakan pemberdayaan memerlukan strategi Pebruari 1997
pendekatan yang mampu memfasilitasi aspi- Suradisastra, Kedi. 1992. Comparison and Conflict
rasi sosial-budaya dan aspirasi teknis petani Between Agriculturalist and Semi Nomadic
dan kelembagaan petani serta lembaga pem- Society in Irian Jaya. The Research Group
bangunan pertanian setempat. Penerapan on Agro-ecosystems. Agency for Agricultural
paradigma evolusi dan revolusi hendaknya Research and Development, Bogor.
disesuaikan dengan kondisi dan situasi sosio- Suradisastra, Kedi. 1999. Pengembangan Sumber-
teknis stakeholder pembangunan sektor. daya Manusia dan Pengokohan Kelem-
bagaan Dalam Proses Alih Teknologi.
Disajikan dalam Pelatihan Alih Teknologi,
DAFTAR PUSTAKA UPT Balai Pengembangan Teknologi
Tepat-Guna, Subang 1-10 Februari 1999.
Suradisastra, Kedi. 2006. Revitalisasi Kelembagaan
Dimyati, A., K. Suradisastra, A. Taher. 1991. Untuk Percepatan Pembangunan Sektor
Sumbangan Pemikiran Bagi Pembangunan Pertanian Dalam Otonomi daerah. Orasi
Pertanian di Irian Jaya. Badan Penelitian Pengukuhan Peneliti Utama Sebagai
dan Pengembangan Pertanian. Depar- Profesor Riset Bidang Sosiologi Pertanian.
temen Pertanian. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 26 No. 2, Desember 2008 : 82 - 91

90
Pertanian, Departemen Pertanian. Desem- Suradisastra, Kedi; Muchamad Yusron; Asep
ber 2006. Saefudin, dan Ruly Hardianto (eds). 1990.
Suradisastra, Kedi; Muchamad Yusron dan Asep Analisis Agro-ekosistem Kabupaten
Saefudin (eds). 1990. Pendekatan Agro- Manokwari, Irian Jaya. Kelompok Penelitian
ekosistem untuk Pengembangan Pedesaan Agro-ekosistem. Badan Penelitian dan
Nusa Tenggara Timur. Kelompok Penelitian Pengembangan Pertanian, Pusat Studi
Agro-ekosistem. Badan Penelitian dan Lingkungan Hidup Universitas Cendera-
Pengembangan Pertanian, Universitas Nusa wasih, dan The Ford Foundation.
Cendana, dan The Ford Foundation. Uphoff, N. 1992. Local Institutions and Participation
Suradisastra, Kedi; Muchamad Yusron, dan M. for Sustainable Development. Gatekeeper
Husein Sawit (eds). 1990. Analisis Agro- Series SA31. IIED, London.
ekosistem untuk Pembangunan Masyarakat Warren D. 1991. The Role of Indigenous Knowledge
Pedesaan Irian Jaya. Kelompok Penelitian in Facilitating a Participatory Approach to
Agro-ekosistem. Badan Penelitian dan Agricultural Extension. Paper Presented at
Pengembangan Pertanian, Pusat Studi the International Workshop on Agricultural
Lingkungan Hidup Universitas Cendera- Knowledge Systems and the Role of
wasih, dan The Ford Foundation. Extension. Bad Boll, Germany. 21-24 May.

STRATEGI PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN PETANI Kedi Suradisastra

91

Anda mungkin juga menyukai