TINJAUAN PUSTAKA
telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Tinjauan pustaka tersebut meliputi kajian
Dalam memahami tektonisme Pulau Jawa secara umum dan Jawa Timur
Jurassic Atas (~ 160 juta tahun lampau), dimana lempeng-lempeng mikro Paparan
Sunda (Sundaland) mulai terpisah dari kontinen induk Gondwana. Dalam hal ini,
acuan utama yang dipergunakan adalah publikasi terakhir dari Hall (2012). Dalam
batuan alas (basement faults) yang sebelumnya aktif sebagai sesar normal saat
periode rifting di Eosen Tengah menjadi sesar geser. Rotasi Oligo-Miosen ini
yang terinversi naik akibat penyesaran geser mengiringi naiknya genang laut saat
45
itu. Di Pegunungan Selatan, rotasi Sundaland tersebut mempengaruhi karakter
bersifat lebih basaltik dibandingkan Formasi Semilir yang juga diendapkan saat
itu. Selain itu, rotasi ini diduga menyebabkan kelanjutan penurunan tektonis Zona
Gambar 3.1 Tatanan lempeng tektonik di Oligosen Akhir (kiri), dan akhir Miosen
Bawah (kanan) (Hall, 2012).
telah habis dikonsumsi Palung Sunda (Gambar 3.3). Akibatnya slab tersebut
terputus dan segmen slab yang baru kemudian tertarik memasuki Palung Sunda
dalam sudut penunjaman yang lebih landai. Meskipun slab kerak samudera
46
ketidakselarasan yang dihasilkan peristiwa tektonik ini dikenal dengan nama
secara masif dan luas. Di Zona Kendeng meski tidak sedramatik di Zona
Formasi Pelang.
Palung Sunda secara merata (Gambar 3.4). Karena slab tersebut lebih tua,
sehingga lebih berat, maka kemudian secara regional terjadi reaktivasi penurunan
dengan naiknya genang laut saat awal Pliosen. Peristiwa penyesaran bongkah ini
di Jawa Timur utara dikenal dengan nama Rembang Event. Memasuki awal
Pleistosen kolisi Timor dengan Busur Volkanik Sunda mulai terjadi (Gambar 3.4).
47
Pegunungan Selatan ini kemudian diimbangi secara isostatis oleh pembentukan
Zona Depresi Solo. Zona Kendeng mengalami pengangkatan tidak merata, dimana
bagian barat mengalami inversi dengan kuat, sedangkan bagian timur justru tetap
melanjutkan penurunannya.
Gambar 3.2 Tataan lempeng tektonik di Miosen Akhir (kiri), dan akhir Pleistosen
(kanan) (Hall, 2012).
Oxfordian-Albian, yang semakin curam ke arah timur karena usia kerak yang
semakin tua. Perbedaan sudut subduksi antara bagian timur dan barat ini juga
(basement faults). Pengangkatan Zona Kendeng bagian barat dan Zona Rembang
Selatan), yaitu menempati Zona Solo. Beban deretan tubuh gunungapi Kuarter
48
gunungapi Pleistosen Awal muncul di cekungan belakang busur (Zona Kendeng),
yaitu Ungaran dan Pandan, bersamaan dengan inversi Zona Kendeng. Seluruh
peristiwa tektonik tersebut di atas terekam dalam kompleksnya pola struktur yang
posisi tektonik yang cukup kompleks dimulai dari transisi fase regangan dengan
fase kompresional pada Eosen Atas. Pada fase ini terbentuklah Zona Kendeng
sebagai sebuah cekungan belakang busur. Kemudian pada fase rotasional Oligo-
mengendapkan batuan sedimen laut dalam pada fase ini. Pengangkatan Zona
Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Timur menjadi beberapa zona dan
Terdiri dari Gunung Muria yang tersusun atas batuan leucite, Gunung
Lasem dan Gunung Butak dengan batuan penyusun andesitik. Gunung Muria
pada Kala Holosen merupakan gunung yang berdiri sendiri tetapi sekarang
49
Kedua antiklinorium ini dipisahkan oleh Depresi Blora-Kening.
Antiklinorium ini merupakan hasil gejala tektonik Tersier Akhir yang dapat
ditelusuri hingga Selat Madura. Zona ini sejajar dengan Zona Kendeng dan
Gading (535 m). Zona ini tersusun atas endapan pasir dan kerikil.
antara Zona Kendeng dan Rembang. Depresi initerbentuk pada Kala Plistosen
lebih 20 kilometer, dan ketinggiannya kurang lebih 500 meter. Zona ini
Mojokerto, bahkan dapat ditelusuri hingga Madura. Di dekat Ngawi zona ini
terpotong oleh Sungai Solo yang mengalir dari selatan ke utara. Di bagian
Pegunungan Kendeng merupakan tulang punggung dari zona ini. Mulai dari
50
Kendeng Tengah mencakup daerah Purwodadi hingga Gunung Pandan, dan
dengan Zona Bandung Jawa Barat. Zona ini tersusun oleh beberapa
gunungapi muda dan dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: - Sub Zona
Kendeng di sisi selatan. Batuan alluvial mengisi zona ini mulai dari Delta
Brantas sampai Sragen dan Ngawi hingga Jombang. Subzona Solo terbentuk
Merupakan suatu blok yang telah terangkat dan tererosi dengan lebar 55
terisi oleh sedimen volkanik. Dilihat dari letaknya, maka secara fisiografi
dalam Zona Kendeng (Gambar 3.1) merupakan antiklinorium dengan panjang 250
kilometer, lebar kurang lebih 20 kilometer, dan ketinggiannya kurang lebih 500
meter. Zona ini membentang dari Gunung Ungaran ke arah timur sampai ke
Bemmelen, 1949); (de Genevraye, 1973) membagi zona kendeng kedalam tiga
bagian yaitu:
51
1. Kendeng Barat
2. Kendeng Tengah
dengan batuan tertua berumur Miosen Tengah. Daerah ini terdiri dari sedimen
bersifat turbidit (laut dalam) yang diwakili oleh Formasi Kerek dan Formasi
menurun kearah Utara, dengan pola struktur geologi yang tidak terlalu rumit.
3. Kendeng Timur
Berdasarkan letak geografis dan umur dari batuan dari daerah penelitian,
Kendeng Timur. Zona Kendeng sering disebut dengan Pegunungan Kendeng dan
ada pula yang menyebutnya dengan Kendeng Deep, adalah antiklinorium berarah
Barat – Timur. Pegunungan ini tersusun oleh batuan sedimen laut dalam yang
52
Pegunungan ini mempunyai panjang 250 km dan lebar maksimum 40 km (de
kelanjutan zona ini masih dapat diikuti hingga di bawah Selatan Madura.
Jajaran yang berarah Barat – Timur ini mencerminkan adanya perlipatan dan sesar
naik yang berarah Barat – Timur pula. Intensitas perlipatan dan anjakan yang
berangsur melemah di bagian Timur. Akibat adanya anjakan tersebut, batas dari
satuan batuan yang bersebelahan sering merupakan batas sesar. Lipatan dan
rekahan, sesar dan zona lemah yang lain pada arah Tenggara – Barat Laut, Barat
53
Pringgoprawiro dan Sukido (1992) daerah penelitian tersusun atas Satuan Formasi
Terdiri dari napal abuabu kehijauan kaya fosil dengan sisipan tuf berlapis
tipis. Sedimen ini diendapkan pada lingkungan bathyal. Bagian atas dari
tufaan berukuran halus – kasar, tuf putih, dan breksi volkanik. Sedimen ini
Pliosen.
3. Formasi Pucangan
dan lempung hitam yang mengandung moluska air tawar. Di Zona Kendeng
Pleistosen Awal.
4. Formasi Kabuh
54
fosil vertebrata, lensa konglomerat, dan tuf. Di Zona Kendeng bagian Barat
pantai.
5. Formasi Selorejo
(A) (B)
Gambar 3.4 Peta geologi regional (A) dan Kolom stratigrafi regional Bojonegoro
(B) (Pringgoprawiro dan Sukido,1992).
3.4 Struktur Geologi
suatu pengangkatan yang terjadi selama Kala Miosen dan pada Kala Plio-
55
Pleistosen (van Bemmelen, 1949). Pulunggono dan Martodjojo (1994)
menyatakan bahwa terdapat tiga pola struktur dominan yang berkembang pada
Pulau Jawa, meliputi Pola Meratus, Sunda, dan Jawa (Gambar 3.4).
a. Pola Meratus, berarah timur laut – barat daya terbentuk pada 80 - 53 juta tahun
yang lalu (Kapur Akhir hingga Eosen Awal). Pola ini ditunjukkan dengan
arah barat daya ke daerah antara Luk Ulo (Jawa Tengah) sampai Sesar
b. Pola Sunda, berarah utara-selatan terbentuk 53 - 32 juta tahun yang lalu (Eosen
Awal hingga Oligosen Awal). Pola kelurusan struktur ini adalah yang paling
dominan di daerah Jawa Barat. Pola Sunda ini merupakan sesar-sesar yang
dalam dan menerus sampai Sumatera. Pola ini merupakan pola yang berumur
c. Pola Jawa, berarah barat - timur terbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu hingga
56
Gambar 3.4. Pola struktur Jawa (Martodjojo dan Pulunggono, 1994) (RMKS
Rembang – Madura – Kangean – Sakala).
utamanya merupakan daerah yang unik karena wilayah ini merupakan tempat
perpotongan dua struktur utama, yaitu antara struktur arah Meratus yang berarah
timurlaut – baratdaya dan struktur arah Sakala yang berarah timur – barat. Arah
57