Anda di halaman 1dari 13

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka adalah kajian terhadap hasil penelitian-penelitian yang

telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Tinjauan pustaka tersebut meliputi kajian

geologi regional seperti tataan tektonik, geomorfologi, stratigrafi, dan struktur

geologi daerah penelitian dan sekitarnya.

3.1. Tataan Tektonik

Dalam memahami tektonisme Pulau Jawa secara umum dan Jawa Timur

khususnya membutuhkan rekonstruksi tektonik lempeng regional semenjak awal

Jurassic Atas (~ 160 juta tahun lampau), dimana lempeng-lempeng mikro Paparan

Sunda (Sundaland) mulai terpisah dari kontinen induk Gondwana. Dalam hal ini,

acuan utama yang dipergunakan adalah publikasi terakhir dari Hall (2012). Dalam

perjalanan selanjutnya, lempeng-lempeng mikro asal Gondwana tersebut

bertumbukan dan bergabung (amalgamasi) dengan inti Sundaland pada akhir

Kapur Bawah - awal Kapur Atas (Albian - Turonian ~ 110 - 90 jtl).

Saat Oligosen Akhir, kolisi Benua Australia dan Sundaland dimulai

(Gambar 3.3). Akibatnya Sundaland mulai mengalami rotasi berlawanan arah

jarum jam (anti-clockwise rotation), yang dapat mengaktifkan patahan-patahan

batuan alas (basement faults) yang sebelumnya aktif sebagai sesar normal saat

periode rifting di Eosen Tengah menjadi sesar geser. Rotasi Oligo-Miosen ini

terekam dengan baik di Zona Rembang, dimana sedimentasi batugamping Prupuh

di lingkungan terumbu menempati tinggian-tinggian batuan alas (basement horst)

yang terinversi naik akibat penyesaran geser mengiringi naiknya genang laut saat

45
itu. Di Pegunungan Selatan, rotasi Sundaland tersebut mempengaruhi karakter

vulkanisme yang terjadi, ditandai dengan munculnya Formasi Nglanggran yang

bersifat lebih basaltik dibandingkan Formasi Semilir yang juga diendapkan saat

itu. Selain itu, rotasi ini diduga menyebabkan kelanjutan penurunan tektonis Zona

Kendeng, yang kemudian memicu munculnya kompleks batuan alas (basement

core complex) Bayat di tepian cekungan akibat peluncuran gaya-berat

(gravitational gliding) (Husein, 2013).

Gambar 3.1 Tatanan lempeng tektonik di Oligosen Akhir (kiri), dan akhir Miosen
Bawah (kanan) (Hall, 2012).

Memasuki akhir Miosen Awal, slab kerak samudera Albian-Turonian

telah habis dikonsumsi Palung Sunda (Gambar 3.3). Akibatnya slab tersebut

terputus dan segmen slab yang baru kemudian tertarik memasuki Palung Sunda

dalam sudut penunjaman yang lebih landai. Meskipun slab kerak samudera

tersebut berumur Oxfordian-Albian, lebih tua daripada slab sebelumnya, namun

ujungnya lebih pendek hingga mampu mengungkit segmen lempeng Sundaland

diatasnya. Peristiwa ini menyebabkan berakhirnya periode puncak volkanisme

Pegunungan Selatan. Pengangkatan terjadi merata. Di Pegunungan Selatan

ditandai dengan sedimentasi batupasir kuarsa Formasi Jaten. Di Zona Rembang,

46
ketidakselarasan yang dihasilkan peristiwa tektonik ini dikenal dengan nama

Tuban Event, yang memicu sedimentasi batupasir kuarsa Formasi Ngrayong

secara masif dan luas. Di Zona Kendeng meski tidak sedramatik di Zona

Rembang maupun Pegunungan Selatan, ditandai dengan sedimentasi Formasi

Kerek yang diendapkan pada lingkungan yang lebih dangkal dibandingkan

Formasi Pelang.

Pada pertengahan Miosen Akhir, slab Oxfordian-Albian telah masuk ke

Palung Sunda secara merata (Gambar 3.4). Karena slab tersebut lebih tua,

sehingga lebih berat, maka kemudian secara regional terjadi reaktivasi penurunan

cekungan belakang busur (back-arc basin subsidence) Zona Kendeng. Peristiwa

ini secara stratigrafis ditandai dengan sedimentasi Formasi Kalibeng yang

diendapkan pada lingkungan lebih dalam dibandingkan Formasi Kerek di

bawahnya. Penurunan Zona Kendeng memicu kesetimbangan isostatis baru,

dengan reaktifasi patahan blok (block-faulting) di Pegunungan Selatan dan Zona

Rembang. Di Pegunungan Selatan, penyesaran bongkah yang memicu turunnya

batuan alas (basement grabens) mengontrol sedimentasi Formasi Kepek.

Demikian juga di Zona Rembang, dimana penurunan sebagian bongkah-bongkah

batuan alas mengontrol pengendapan sikuen Ledok - Mundu - Selorejo bersamaan

dengan naiknya genang laut saat awal Pliosen. Peristiwa penyesaran bongkah ini

di Jawa Timur utara dikenal dengan nama Rembang Event. Memasuki awal

Pleistosen kolisi Timor dengan Busur Volkanik Sunda mulai terjadi (Gambar 3.4).

Hal ini memicu pengangkatan regional di Pulau Jawa. Pegunungan Selatan

mengalami pengangkatan paling intensif, yang ditunjang dengan tingginya tingkat

denudasional pada singkapan batuan gunungapi Oligo- Miosennya. Pengangkatan

47
Pegunungan Selatan ini kemudian diimbangi secara isostatis oleh pembentukan

Zona Depresi Solo. Zona Kendeng mengalami pengangkatan tidak merata, dimana

bagian barat mengalami inversi dengan kuat, sedangkan bagian timur justru tetap

melanjutkan penurunannya.

Gambar 3.2 Tataan lempeng tektonik di Miosen Akhir (kiri), dan akhir Pleistosen
(kanan) (Hall, 2012).

Hal ini dikontrol oleh perbedaan sudut kemiringan subduksi slab

Oxfordian-Albian, yang semakin curam ke arah timur karena usia kerak yang

semakin tua. Perbedaan sudut subduksi antara bagian timur dan barat ini juga

mengaktifkan tektonisme sesar geser (wrench tectonic) di Zona Rembang,

menghasilkan Antiklinorium Rembang yang terkontrol pola patahan batuan alas

(basement faults). Pengangkatan Zona Kendeng bagian barat dan Zona Rembang

tersebut pun diimbangi secara isostatis dengan pembentukan Zona Depresi

Randublatung. Periode vulkanisme baru Jawa Timur teridentifikasi hadir pada

kala tersebut, kemungkinan berasal dari slab Oxfordian-Albian yang telah

memasuki zona pelelehan sebagian (partial melting window). Busur gunungapi

baru muncul di sebelah utara busur gunungapi Oligo-Miosen (Pegunungan

Selatan), yaitu menempati Zona Solo. Beban deretan tubuh gunungapi Kuarter

Awal tersebut memperkuat proses penurunan Depresi Solo. Sejumlah kecil

48
gunungapi Pleistosen Awal muncul di cekungan belakang busur (Zona Kendeng),

yaitu Ungaran dan Pandan, bersamaan dengan inversi Zona Kendeng. Seluruh

peristiwa tektonik tersebut di atas terekam dalam kompleksnya pola struktur yang

dijumpai di Jawa Timur, baik di permukaan maupun pada batuan dasarnya.

Berdasarkan kajian tataan tektonik diatas, daerah penelitian menempati

posisi tektonik yang cukup kompleks dimulai dari transisi fase regangan dengan

fase kompresional pada Eosen Atas. Pada fase ini terbentuklah Zona Kendeng

sebagai sebuah cekungan belakang busur. Kemudian pada fase rotasional Oligo-

Miosen memicu adanya penurunan cekungan yang lebih lanjut sehingga

mengendapkan batuan sedimen laut dalam pada fase ini. Pengangkatan Zona

Kendeng berlangsung mulai dari awal Pleistosen yang menyebabkan terbentuknya

sesar-sesar sentuh yang dijumpai pada daerah penelitian.

3.2 Fisiografi Regional

Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Timur menjadi beberapa zona dan

subzona fisiografi, yaitu :

3.2.1 Zona Pegunungan Utara,

Terdiri dari Gunung Muria yang tersusun atas batuan leucite, Gunung

Lasem dan Gunung Butak dengan batuan penyusun andesitik. Gunung Muria

pada Kala Holosen merupakan gunung yang berdiri sendiri tetapi sekarang

dihubungkan dengan Pulau Jawa oleh dataran alluvial Semarang – Demak –

Kedu – Pati – Rembang.

3.2.2 Zona Perbukitan Rembang-Madura,

Merupakan sebuah daerah antiklinorium Rembang Utara dan Cepu yang

berada di bagian selatannya, dengan arah memanjang dari barat ke timur.

49
Kedua antiklinorium ini dipisahkan oleh Depresi Blora-Kening.

Antiklinorium ini merupakan hasil gejala tektonik Tersier Akhir yang dapat

ditelusuri hingga Selat Madura. Zona ini sejajar dengan Zona Kendeng dan

dipisahkan oleh Depresi Randublatung. Puncak tertinggi yaitu Gunung

Gading (535 m). Zona ini tersusun atas endapan pasir dan kerikil.

3.2.3 Zona Depresi Randublatung,

Merupakan zona depresi fisiografi maupun tektonik yang membentang

antara Zona Kendeng dan Rembang. Depresi initerbentuk pada Kala Plistosen

dengan arah barat-timur. Bagian tersempitnya berada di sekitar Cepu yang

melebar kearah timur hingga Selat Madura.Zona ini juga merupakan

sinklinisasi yang tersusun atas berbagai batuansedimen tebal.

3.2.4 Zona Kendeng,

Merupakan antiklinorium dengan panjang 250 kilometer, lebar kurang

lebih 20 kilometer, dan ketinggiannya kurang lebih 500 meter. Zona ini

membentang dari Gunung Ungaran ke arah timur sampai ke daerah

Mojokerto, bahkan dapat ditelusuri hingga Madura. Di dekat Ngawi zona ini

terpotong oleh Sungai Solo yang mengalir dari selatan ke utara. Di bagian

timur terdapat Gunung Pandan yang menembus lapisan berumur Tersier.

Pegunungan Kendeng merupakan tulang punggung dari zona ini. Mulai dari

daerah ini, lebar dan ketinggiannya berangsur-angsur menurun dan

antiklinnya menghilang di bawah endapan delta Brantas di sekitar Mojokerto.

Berdasarkan intensitas vulkanik dan variasi stratigrafinya, Zona Kendeng

dibagi beberapa wilayah: Kendeng Barat mencakup daerah yang berbatasan

dengan Gunung Ungaran disebelah barat hingga daerah sekitar Purwodadi,

50
Kendeng Tengah mencakup daerah Purwodadi hingga Gunung Pandan, dan

Kendeng Timur mencakup daerah Gunung Pandan hingga Mojokerto.

3.2.5 Zona Solo,

Merupakan suatu depresi yang secara tektonik dan fisiografi serupa

dengan Zona Bandung Jawa Barat. Zona ini tersusun oleh beberapa

gunungapi muda dan dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: - Sub Zona

Ngawi-merupakan sebuah depresi sinklin yang berbatasandengan Zona

Kendeng di sisi selatan. Batuan alluvial mengisi zona ini mulai dari Delta

Brantas sampai Sragen dan Ngawi hingga Jombang. Subzona Solo terbentuk

oleh gunungapi-gunungapi kuarter dan dataran intermotan.- Subzona Blitar-

berbatasan dengan zona pegunungan selatan di selatan Jawa Timur.

3.2.6 Zona Pegunungan Selatan Jawa Timur,

Merupakan suatu blok yang telah terangkat dan tererosi dengan lebar 55

kilometer. Bagian timur terisi oleh batugamping, sedangkan bagian utara

terisi oleh sedimen volkanik. Dilihat dari letaknya, maka secara fisiografi

daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Kendeng bagian timur.

Berdasarkan pembagian fisiografi di atas, daerah penelitian termasuk ke

dalam Zona Kendeng (Gambar 3.1) merupakan antiklinorium dengan panjang 250

kilometer, lebar kurang lebih 20 kilometer, dan ketinggiannya kurang lebih 500

meter. Zona ini membentang dari Gunung Ungaran ke arah timur sampai ke

daerah Mojokerto, bahkan dapat ditelusuri hingga Madura.

Perbedaan intensitas stratigrafi dan perbedaan tektoniknya (Van

Bemmelen, 1949); (de Genevraye, 1973) membagi zona kendeng kedalam tiga

bagian yaitu:

51
1. Kendeng Barat

Kendeng barat meliputi daerah yang terbatas antara Gunung Ungaran

hingga daerah sekitar Purwodadi dengan singkapan batuan tertua berumur

Oligo – Miosen Bawah yang diwakili oleh Formasi Pelang. Batuannya

mengandung bahan vulkanis. Daerah ini memiliki struktur geologi yaitu

banyak sesar-sesar sungkup.

2. Kendeng Tengah

Kendeng Tengah mencakup daerah Purwodadi hingga Gunug Pandan

dengan batuan tertua berumur Miosen Tengah. Daerah ini terdiri dari sedimen

bersifat turbidit (laut dalam) yang diwakili oleh Formasi Kerek dan Formasi

Kalibeng, prosentase kandungan bahan piroklastik dalam batuan sedimen

menurun kearah Utara, dengan pola struktur geologi yang tidak terlalu rumit.

3. Kendeng Timur

Kendeng Timur terdiri dari endapan-endapan Kenozoikum Akhir yang

tersingkap diantara Gunug Pandan dan Mojokerto berumur Pliosen dan

Plistosen. Struktur geologinya adalah lipatan dengan sumbu-sumbu lipatan

yang mengeser ke Utara dan menunjam ke arah Timur.

Berdasarkan letak geografis dan umur dari batuan dari daerah penelitian,

jika dimasukan ke dalam zona Kendeng menurut pembagian Van Bemmelen,

(1949); de Genevraye (1973) daerah penelitian termasuk ke dalam daerah

Kendeng Timur. Zona Kendeng sering disebut dengan Pegunungan Kendeng dan

ada pula yang menyebutnya dengan Kendeng Deep, adalah antiklinorium berarah

Barat – Timur. Pegunungan ini tersusun oleh batuan sedimen laut dalam yang

telah mengalami deformasi secara intensif membentuk suatu antiklinorium.

52
Pegunungan ini mempunyai panjang 250 km dan lebar maksimum 40 km (de

Genevraye & Samuel, 1972) membentang dari gunungapi Ungaran di bagian

Barat ke Timur melalui Ngawi hingga daerah Mojokerto. Di bawah permukaan,

kelanjutan zona ini masih dapat diikuti hingga di bawah Selatan Madura.

Morfologi Zona Kendeng dicirikan oleh jajaran perbukitan rendah dengan

morfologi bergelombang, dengan ketinggian berkisar antara 50 hingga 200 meter.

Jajaran yang berarah Barat – Timur ini mencerminkan adanya perlipatan dan sesar

naik yang berarah Barat – Timur pula. Intensitas perlipatan dan anjakan yang

mengikutinya mempunyai intensitas yang sangat besar di bagian Barat dan

berangsur melemah di bagian Timur. Akibat adanya anjakan tersebut, batas dari

satuan batuan yang bersebelahan sering merupakan batas sesar. Lipatan dan

anjakan yang disebabkan oleh gaya kompresi juga berakibat terbentuknya

rekahan, sesar dan zona lemah yang lain pada arah Tenggara – Barat Laut, Barat

Daya – Timur Laut dan Utara – Selatan.

: Fisiografi daerah penelitian


Gambar 3.3 Peta fisiografi Daerah Jawa Tengah – Jawa Timur (modifikasi dari
Van Bummelen, 1949 dalam Hartono, 2010).

3.3. Stratigrafi Regional

Berdasarkan Peta Geologi Regional Bojonegoro (Gambar 3.4) oleh

53
Pringgoprawiro dan Sukido (1992) daerah penelitian tersusun atas Satuan Formasi

Kalibeng , Formasi Sonde, Formasi pucangan, Formasi Kabuh, dan Formasi

Selorejo. Dari formasi-formasi akan di jelaskan sebagai berikut ;

1. Formasi Kalibeng (Kalibeng Bawah)

Terdiri dari napal abuabu kehijauan kaya fosil dengan sisipan tuf berlapis

tipis. Sedimen ini diendapkan pada lingkungan bathyal. Bagian atas dari

Formasi Kalibeng (Anggota Atasangin) terdiri atas perlapisan batupasir

tufaan berukuran halus – kasar, tuf putih, dan breksi volkanik. Sedimen ini

diendapkan oleh mekanisme turbidit. Formasi ini berumur Miosen Akhir –

Pliosen.

2. Formasi Sonde (Kalibeng Atas)

Bagian bawah dari formasi ini (Anggota Klitik) didominasi oleh

perlapisan napal pasiran, batupasir gampingan, dan tuf. Sedangkan bagian

atasnya terdiri atas batugamping mengandung Balanus dan grainstone.

Formasi ini diendapkan di lingkungan laut dangkal dan berumur Pliosen.

3. Formasi Pucangan

Terdiri atas batupasir kasar – konglomeratan, batupasir, batupasir tufaan,

dan lempung hitam yang mengandung moluska air tawar. Di Zona Kendeng

bagian Barat dan Tengah, Formasi Pucangan berkembang sebagai fasies

daratan. Sedangkan di bagian Timur Zona Kendeng, Formasi Pucangan

merupakan endapan laut dangkal. Formasi ini berumur Pliosen Akhir –

Pleistosen Awal.

4. Formasi Kabuh

Terdiri dari perlapisan batupasir kasar dengan perlapisan silang – siur,

54
fosil vertebrata, lensa konglomerat, dan tuf. Di Zona Kendeng bagian Barat

dan Tengah, Formasi Kabuh diendapkan pada lingkungan darat, sedangkan di

Zona Kendeng bagian Timur Formasi Kabuh mempunyai fasies yang

berbeda-beda, fasies darat berangsur-angsur berubah menjadi fasies laut yang

makin keatas berubah ke batuan volkanik yang diendapkan pada lingkungan

pantai.

5. Formasi Selorejo

Terdiri dari perselingan batugamping pasiran dan batupasir gampingan

berumur Pliosen tengah yang diendapkan pada lingkungan laut dalam

berubah menjadi laut dangkal terangkat karena tektonik.

(A) (B)

Gambar 3.4 Peta geologi regional (A) dan Kolom stratigrafi regional Bojonegoro
(B) (Pringgoprawiro dan Sukido,1992).
3.4 Struktur Geologi

Struktur-struktur yang berkembang di Pulau Jawa diakibatkan oleh adanya

suatu pengangkatan yang terjadi selama Kala Miosen dan pada Kala Plio-

55
Pleistosen (van Bemmelen, 1949). Pulunggono dan Martodjojo (1994)

menyatakan bahwa terdapat tiga pola struktur dominan yang berkembang pada

Pulau Jawa, meliputi Pola Meratus, Sunda, dan Jawa (Gambar 3.4).

a. Pola Meratus, berarah timur laut – barat daya terbentuk pada 80 - 53 juta tahun

yang lalu (Kapur Akhir hingga Eosen Awal). Pola ini ditunjukkan dengan

tinggian Karimunjawa pada kawasan Laut Jawa yang diperkirakan menerus ke

arah barat daya ke daerah antara Luk Ulo (Jawa Tengah) sampai Sesar

Cimandiri (Jawa Barat).

b. Pola Sunda, berarah utara-selatan terbentuk 53 - 32 juta tahun yang lalu (Eosen

Awal hingga Oligosen Awal). Pola kelurusan struktur ini adalah yang paling

dominan di daerah Jawa Barat. Pola Sunda ini merupakan sesar-sesar yang

dalam dan menerus sampai Sumatera. Pola ini merupakan pola yang berumur

lebih muda sehingga keberadaannya mengaktifkan kembali Pola Meratus.

c. Pola Jawa, berarah barat - timur terbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu hingga

sekarang (Oligosen Akhir-Resen). Pola ini merupakan pola termuda yang

mengaktifkan kembali seluruh pola yang ada sebelumnya

56
Gambar 3.4. Pola struktur Jawa (Martodjojo dan Pulunggono, 1994) (RMKS
Rembang – Madura – Kangean – Sakala).

Menurut Prasetyadi (2007) Jawa bagian timur berdasarkan pola struktur

utamanya merupakan daerah yang unik karena wilayah ini merupakan tempat

perpotongan dua struktur utama, yaitu antara struktur arah Meratus yang berarah

timurlaut – baratdaya dan struktur arah Sakala yang berarah timur – barat. Arah

Meratus lebih berkembang di daerah lepas pantai Cekungan Jawa Timur,

sedangkan arah Sakala berkembang sampai ke daratan Jawa bagian timur.

57

Anda mungkin juga menyukai