Pertahanan Negara Indonesia
Pertahanan Negara Indonesia
Pertahanan negara adalah tanggung jawab setiap warga negara. Dan sesungguhnya
dengan sumber daya yang besar yang dimiliki, Indonesia dapat membentuk kekuatan
pertahanan yang besar pula. Untuk membentuk kekuatan pertahanan yang baik tentu harus
terlebih dahulu dibentuk sistem pertahanan yang komprehensif, agar dapat mencakup seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat menangkal segala bentuk ancaman,
baik dari dalam maupun luar negara. Dan untuk menjalankan sistem pertahanan tersebut
perlu dibentuk doktrin pertahanan negara sebagai acuan bagi komponen-komponen
pertahanan yang terlibat.
1
UU No.3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara
2
Andi Widjajanto, Evolusi Doktrin Pertahanan Indonesia, Jurnal Pro Patria, 2005, hal. 1
militer akan digunakan untuk menghadapi ancaman. Penggunaan kekuatan militer ini
dapat saja mengakomodasi kebutuhan untuk melakukan strategi pencegahan dini agar
perang-perang berskala kecil tidak meluas.3
Tentara reguler baru dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945 dengan nama
Tentara Keamanan Rakyat (TKR). TKR kemudian berganti nama menjadi Tentara
Nasional Indonesia (TNI) pada tanggal 7 Juni 1947. Transformasi angkatan bersenjata
3
Op.Cit
4
Kementerian Pertahanan RI, Doktrin Pertahanan Negara
5
UU No. 3 Thaun 2002 Tentang Pertahanan Negara
6
Andi Widjajanto, Evolusi Doktrin Pertahanan Indonesia, Jurnal Pro Patria, 2005, hal. 2
ini menunjukkan bahwa pembentukan organisasi militer moderen sangat dipengaruhi
oleh kebijakan politik pemerintah untuk menjalankan diplomasi perjuangan.7
Di masa ini, dikenal pula sistem ‘Wehrkreise’ yang dikembangkan oleh militer
Indonesia. Sistem ini pada intinya membagi daerah pertempuran dalam lingkaran-
lingkaran (kreise) yang memungkinkan satuan-satuan militer secara mandiri
mempertahankan (wehr) lingkaran pertahanannya. Kemandirian pertahanan melingkar
ini dilakukan dengan melakukan mobilisasi kekuatan rakyat dan sumber daya yang
berada di lingkaran pertahanan tertentu. Sistem Wehrkreise ini kemudian dilengkapi
dengan dalil-dalil perang gerilya10 sebagai bentuk operasional taktik militer di medan
pertempuran.8
Pada tahun 1946, dibentuk pula Barisan Cadangan sebagai pendukung TNI.
Barisan cadangan ini masuk dalam strategi ‘Pertahanan Bulat (Total) Lagi Teratur’.
Fungsi barisan cadangan ini diperkuat dalam Ketetapan Dewan Hanneg No.85/1947
tentang Pertahanan Rakyat. Ketetapan ini menjabarkan konsepsi “Pertahanan Rakyat
Total” yang didefinisikan sebagai “Segala lapisan rakyat, baik pegawai negeri,
maupun orang, atau badan partikelir di seluruh daerah Indonesia harus turut serta di
dalam perlawanan dengan sehebat-hebatnya, dan masing-masing dalam pekerjaan dan
kewajibannya”. Konsep pertahanan total ini kemudian diikuti dengan militerisasi
instansi-instansi pemerintahan.9
7
Ibid
8
Ibid, hal. 4
9
Ibid
10
Ibid, hal. 5
3. Masa Perang Internal (1950-1959)
Masa ini juga diwarnai dengan perintah Trikora (Tri Komando Rakyat) oleh
Presiden Soekarno untuk operasi pembebasan Irian Barat. Selain Trikora, ditetapkan
juga pengaturan tentang Mobilisasi 1959-1962, yang sberisi tentang wajib militer
darurat, militerisasi kepolisian negara, pembentukan organisasi pertahanan sipil,
memperluas ketangkasan keprajuritan, pembentukan dan penyusunan satuan-satuan
tugas khusus sipil, mobilisasi umum untuk kepentingan hankamneg, dan pembebasan
Irian Barat.14
11
Ibid, hal. 6
12
Ibid
13
Ibid, hal. 7-8
14
Ibid
Presiden soekarno kemudian juga mengumumkan Komando Operasi Malaysia
yang terangkum dalam Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Pembentukan operasi ini
didasari atas dasar Sikap pertahanan negara yang anti-kolonialisme dan anti-
imperialisme. Tujuan dari operasi militer ini adalah untuk melindungi daerah
perbatasan dan melindungi pasukan gerilya yang akan masuk ke wilayah lawan.15
Pada periode ini dilaksanakan operasi tempur, operasi intelijen, dan operasi
teritorial. Tiga pola dasar operasi militer tersebut dibakukan dalam doktrin Tri Ubaya
Çakti yang dirumuskan ulang oleh TNI AD dalam Seminar AD II di Seskoad,
Bandung (25-31 Agustus 1966). Di dalam Doktrin Tri Ubaya Çakti terdapat tiga
doktrin dasar, yaitu Doktrin Pertahanan Darat Nasional (Hanratnas), Doktrin
Kekaryaan, dan Doktrin Pembinaan.16
15
Ibid, hal. 10
16
Ibid, hal. 11
17
Ibid
18
Ibid, hal. 12
penyelenggaraan pertahanan keamanan negara dilakukan dengan mengembangan
suatu kemampuan pertahanan keamanan negara yang diwujudkan dalam suatu
sishankamrata. Sishankamrata dikembangkan dengan mendayagunakan segenap
sumber daya nasional dan prasarana nasional secara menyeluruh, terpadu, dan terarah.
Doktrin CADEK 1988 juga menetapkan bahwa politik pertahanan keamanan negara
adalah “defensif-aktif serta preventif aktif yang diarahkan untuk menjamin keamanan
dalam negeri, turut serta memelihara perdamaian dunia pada umumnya dan keamanan
di kawasan Asia Tenggara…”.19
Laut Indonesia memiliki arti yang sangat penting bagi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yaitu, laut sebagai media pemersatu bangsa, laut sebagai media
perhubungan, laut sebagai media sumber daya, laut sebagai media pertahanan dan
keamanan, serta laut sebagai media diplomasi. Konsep pemikiran tersebut sangat
diperlukan bangsa Indonesia agar tidak menjadikan dan menganggap laut sebagai
rintangan, kendala atau hambatan sebagaimana dihembuskan oleh pihak-pihak asing yang
tidak menginginkan kemajuan bagi bangsa dan negara Indonesia.
19
Ibid, hal. 16
menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan
tidak memandang luas dan lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan
Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan
pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik
Indonesia.20
Gagasan Negara Maritim Indonesia adalah aktualisasi dari wawasan nusantara dan
berguna untuk memberi gerak pada pola pikir, pola sikap dan pola tindak bangsa
Indonesia secara bulat dalam aktualisasi wawasan nusantara. Pengembangan konsepsi
negara maritim Indoensia sejalan dengan upaya peningkatan kemampuan bangsa kita
menjadi bangsa yang modern dan mandiri dalam teknologi kelautan dan kedirgantaraan
bagi kesejahteraan bangsa dan negara.
20
Pusat Kajian Maritim Seskoal, “Konsep Negara Maritim dan Ketahanan Nasional,” hal. 2
21
Ibid
22
Ibid, hal. 5-6
a. Dimensi ekonomi
Penggunaan laut sebagai media perhubungan, transportasi dan perdagangan telah
dimanfaatkan sejak dahulu hinga sekarang, dan hampir 99,5 % pergerakan roda
perekonomian di dunia adalah melewati jalur laut, volume muatan meningkat
delapan kali sejak tahun 1945 dan kecenderungan semakin meningkat sampai
sekarang.
b. Dimensi Politik
Perubahan dimensi politik dari lingkungan maritim berkembang sangat tajam
semenjak tahun 1970-an. Bagi sejumlah besar Negara pantai, khususnya bagi dunia
ketiga, perairan yang berbatasan dengan pantai memberikan prospek satu-satunya
untuk perluasan wilayah negara. Selain itu, seringkali terjadi perselisihan atas
perbatasan laut, dan hal ini dimotivasi oleh kepentingan politik dan kalkulasi biaya
dan manfaat yang didapat bila menguasai wilayah laut.
c. Dimensi Hukum
Basis dimensi hukum dalam lingkungan maritim adalah Konvensi PBB tentang
Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982). Dimensi hukum sekarang difokuskan
pada masalah perikanan ilegal dan perdagangan narkoba secara ilegal melalui jalur
laut.
d. Dimensi Militer
Di laut dimensi militer selalu berkembang mengikuti perkembangan teknologi,
sehingga profesionalisme Angkatan Laut suatu Negara selalu dikaitkan dengan
penguasaan dan penggunaan teknologi yang mutakhir.
e. Dimensi Fisik
Pemahaman terhadap lingkungan fisik adalah kekuatan maritim akan berfungsi
sangat penting tergantung pada kondisi geografi, dan hidroseanografi. Daerah
Operasi kekuatan maritim mulai dari perairan dalam laut bebas (Blue Waters) ke
perairan yang lebih dangkal (Green Waters) sampai ke perairan pedalaman, muara
dan sungai (Brown Waters). Ada juga wilayah laut strategis yang berbatasan atau
dimiliki oleh negara-negara pantai yang berdekatan. Seperti selat Malaka, dimiliki
oleh Indonesia, Malaysia dan Singapura. Oleh karena itu konsep "Joint Security"
akan mudah diterima dan diterapkan di antara negara-negara pantai tersebut.
Kembali pada konsepsi pertahanan negara dalam UU no. 3 tahun 2002, yaitu
keikutsertaan bangsa Indonesia dalam mempertahankan negaranya, serta pemanfaatan
seluruh sumber daya nasional, dan seluruh wilayah negara dalam usaha pertahanan
negara. Mencermati amanat undang-undang tersebut, maka sudah sewajarnya Indonesia
sebagai suatu negara kepulauan menempatkan kekuatan laut dan udaranya sebagai
tulang punggung pertahanannya, sehingga proyeksi kekuatan pertahanan, jika
diperlukan, akan secara cepat dilaksanakan.
Selain harus memiliki doktrin pertahanan yang komprehensif, sebuah negara harus
memiliki sumber daya manusia (SDM) pertahanan yang tangguh. Untuk menciptakan
SDM pertahanan yang demikian, harus diterapkan satu kebijakan pertahanan untuk
pembinaan SDM. Pembinaan SDM ini dilakukan untuk meningkatkan potensi SDM yang
dapat dilaksanakan melalui: pembinaan kesadaran bela negara dalam rangka penyiapan
komponen cadangan dan komponen pendukung sebagai bentuk model/embrio untuk
dikembangkan di masa depan, mengintensifkan pendataan potensi sumber daya nasional
sebagai langkah awal penyiapan komponen cadangan dan komponen pendukung,
membina koordinasi dan kerja sama dengan pemerintah pusat (Departemen/LPND) dan
pemerintah daerah serta instansi terkait lainnya, menyusun RUU Komponen Cadangan,
RUU Komponen Pendukung (RUU Komcad saat ini telah masuk proses legislasi di
DPR), dan menyiapkan RUU Pengabdian sesuai profesi yang masuk sebagai unsur lain
kekuatan bangsa untuk menghadapi ancaman non militer.23
(2) Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara
Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan
dan komponen pendukung.
23
“Sumber Daya Manusia Pertahanan Memiliki Peranan Penting Dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara”,
http://dmc.kemhan.go.id/post-sumber-daya-manusia-pertahanan-memiliki-peranan-penting-dalam-
penyelenggaraan-pertahanan-negara.html , diakses pada 6 Desember 2013
24
UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
(3) Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan
lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk
dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan
bangsa.
Dengan melihat pada pasal 7 ini jelas terlihat bahwa sistem pertahanan negara
tidak hanya dilaksanakan oleh TNI sebagai komponen utama tetapi juga oleh komponen
lain yaitu cadangan dan pendukung. Pasal 8 UU no. 3 tahun 2002 menjelaskan tentang
komponen pertahanan ini yaitu:25
(1) Komponen cadangan, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya
buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan
melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama.
(2) Komponen pendukung, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumberdaya
buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang secara langsung atau tidak langsung
dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen
cadangan.
Komponen Utama
TNI sebagai komponen utama sistem pertahanan negara menjadi garda terdepan
dalam menghadapi ancaman terhadap keamanan nasional. Pasal 10 UU no.3 tahun 2002
menjelaskan tentang fungsi dan tugas TNI secara umum dalam sistem pertahanan negara
yaitu:26
(1) Tentara Nasional Indonesia berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
(2) Tentara Nasional Indonesia, terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Angkatan Udara.
(3) Tentara Nasional Indonesia bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara
untuk :
a. mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah;
b. melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa;
c. melaksanakan Operasi Militer Selain Perang; dan
25
Ibid
26
Ibid
d. ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan
internasional.
Komponen Cadangan
Komponen Cadangan adalah warga negara republik Indonesia, sumber daya alam,
sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk
dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat Komponen Utama.
Komponen Cadangan di tiap-tiap daerah disiapkan secara dini dan berkesinambungan
untuk menjamin ketersediaan kekuatan pengganda bagi Komponen Utama, serta
dilaksanakan oleh Kementerian Pertahanan yang berkoordinasi dengan Pemerintah
Daerah serta Lembaga Fungsional terkait, sesuai kebutuhan dan ketersediaan anggaran
pertahanan. Kebutuhan mendesak saat ini bagi pembangunan Komponen Cadangan yaitu
meliputi : penyusunan perangkat hukum dan perundang-undangan RUU Komponen
Cadangan; serta membentuk Komponen Cadangan dan membinanya secara
berkesinambungan.28
Komponen Pendukung
27
“Sumber Daya Manusia Pertahanan Memiliki Peranan Penting Dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara”,
http://dmc.kemhan.go.id/post-sumber-daya-manusia-pertahanan-memiliki-peranan-penting-dalam-
penyelenggaraan-pertahanan-negara.html , diakses pada 6 Desember 2013
28
Ibid
29
Ibid
Analisa
Sumber daya manusia memang menjadi faktor yang paling penting dalam
pertahanan suatu negara, demikian juga di Indonesia. Dan dengan populasi terbesar
keempat di dunia Indonesia jelas diuntungkan karena memiliki SDM yang melimpah.
Namun, jumlah SDM tidak selamanya menjamin terciptanya sistem pertahanan yang baik
dan efisien, tanpa memiliki skill pertahanan dan dukungan alutsista yang mumpuni.
Sejauh ini, SDM pertahanan Indonesia masih lemah untuk menghadapi perubahan di
dunia internasional. SDM pertahanan Indonesia kurang mendapat kesempatan dan
pelatihan.
Selain lemahnya SDM, alutsista yang buruk menjadi cerminan lain dari kondisi
sistem pertahanan Indonesia saat ini. Menilik pada kondisi alutsista Indonesia saat ini,
jelas bahwa alutsista Indonesia masih jauh dari kata ‘mumpuni’ untuk mendukung SDM
Indonesia, baik bagi Komponen Utama, Komponen Cadangan, maupun Komponen
Pendukung. Terutama bagi komponen utama atau satuan tempur (TNI), mereka sudah
berikrar untuk membela bangsa dan negara dengan mengorbankan jiwa raganya. Tentu
jauh lebih baik apabila para prajurit ini diberikan alat perlindungan yang selain dapat
memberi keselamatannya juga mampu meningkatkan kemampuan dan semangat
bertempur mereka.
Dengan demikian, yang menjadi masalah dari anggaran pertahanan adalah alokasi
atau penggunaannya. Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa kebanyakan alutsista
yang dibeli Indonesia sudah dalam kondisi bekas, atau sekalipun baru kualitasnya tidak
bisa disebut baik. Baru-baru ini misalnya, Indonesia yang semula ingin membeli enam
pesawat F16 dari AS, tiba-tiba merubah tujuan pembelian saat negosiasi berjalan.
Anggaran yang semula akan digunakan untuk membeli pesawat F16 justru dialihkan
untuk mengupgrade 24 pesawat F16 bekas hibah dari AS.31
30
“APBN 2014, Kementerian Pertahanan Dapat Anggaran Terbesar”, www.tempo.co , diakses pada 6
Desember 2013
31
“TNI AU Akan Sambut 24 Pesawat F16 Bekas Amerika”, www.tempo.co, diakses pada 6 Desember 2013
Dalam penggunaan anggaran pertahanan misalnya, dapat dikatakan bahwa
kebijakan pertahanan Indonesia memiliki pergeseran yang cukup drastis sjak mengalami
kekosongan pembelanjaan militer selama 10 tahun, karena negara berfokus pada
pertumbuhan ekonomi dan perkembangan usaha. Perlu diketahui bahwa anggaran
pertahanan Indonesia saat ini mengalami peningkatan yang signifikan, dimana pada tahun
2006, anggaran pertahanan Indonesia hanya berjumlah 3 persen dari total APBN.
Bukti dari perkembangan kebijakan pertahanan ini diantaranya, pada tahun 2013
ini Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mencanangkan modernisasi militer dengan
penyerapan anggaran sebesar 16,7 miliar dolar AS. Modernisasi ini difokuskan pada
pembelian kapal penghancur berpeluru kendali, tank, sistem peluncuran roket majemuk,
jet tempur, kapal selam, dan beberapa persenjataan militer lainnya. Adapun perincian
anggarannya adalah 2,5 milyar dolar AS untuk 10 frigat ringan yang dikembangkan oleh
produsen kapal negara PAL, 2 milyar dolar AS untuk empat kapal selam, dan 6 milyar
dolar AS untuk tambahan pesawat jet tempur Sukhoi dan F16.32
Pembelanjaan militer pun akan difokuskan pada produk dalam negeri dan jika
harus membeli keluar akan diterapkan metode produksi gabungan. Selain itu produk asing
juga akan terus dipantau manfaatnya bagi pertahanan Indonesia. Selain itu Komite
Tingkat Tinggi (HLC) yang diketuai oleh wakil menteri pertahanan akan memantau laju
perluasan sektor pertahanan sampai tahun 2014. HLC ini terdiri atas beberapa divisi
pemerintah, termasuk keuangan, audit, dan badan khusus yang bertanggung jawab untuk
pembelian barang dan jasa.33
32
Asia Pacific Defence Forum, “Militer Indonesia berencana untuk membelanjakan 16,7 milyar dolar AS
sampai tahun 2015”, http://apdforum.com/id/article/rmiap/articles/online/features/2012/10/22/indonesia-
military-spends, diakses pada 6 Desember 2013
33
Ibid
didapat tidak terlalu banyak, paling tidak ada langkah awal untuk membantu
pengembangan industri pertahanan nasional.
D. Keamanan Nasional
Konsep pertahanan negara tidak akan terlepas dari konsep keamanan nasional
yang merupakan tujuan utama dari pertahanan negara. Adapun konsep keamanan nasional
itu sendiri memiliki perbedaan definisi, yakni definisi strategis (strategic definition) dan
definisi non-strategis ekonomi (economic non-strategic definition). Definisi yang pertama
umumnya menempatkan “keamanan” sebagai nilai abstrak, terfokus pada upaya
mempertahankan independensi dan kedaulatan negara, dan umumnya berdimensi
militer. Sementara, definisi kedua terfokus pada penjagaan terhadap sumber-sumber
ekonomi dan aspek non-militer dari fungsi negara.34
Bangsa Indonesia sendiri sejak awal memahami bahwa dalam konsep keamanan
nasional ada keterkaitan antar aspek kehidupan, yang tidak hanya didominasi oleh aspek
militer. Namun, konsepsi keamanan nasional di Indonesia menjadi semakin kabur sejak
terjadinya pemisahan kelembagaan antara TNI dan Polri. Dengan kata lain, ada
pemisahan konsep ‘keamanan’ dari konsep ‘pertahanan’. Kekaburan ini jelas tampak
sejak dikeluarkannya TAP MPR VI dan VII. Dalam hal ini, Polri ditetapkan sebagai
34
Rizal Sukma, ”Konsep Keamanan Nasional”, CSIS Jakarta (FGD ProPatria, Jakarta 28 November 2002), hal.
1
35
Ibid, hal. 2
institusi yang bertanggung jawab terhadap “keamanan” sementara TNI bertanggungjawab
di bidang “pertahanan.” Pemilihan itu kemudian melahirkan Perbedaan persepsi bahwa
ruang lingkup Polri adalah untuk dalam negeri (keamanan) dan TNI untuk luar negeri
(pertahanan).36
Memang pemisahan TNI dan Polri dilakukan dalam rangka reformasi sektor
keamanan (security sector reform), namun faktanya pemisahan ini justru menimbulkan
banyak persoalan dan mempersulit proses reformasi itu sendiri. Dampak dari kekaburan
konsep keamanan nasional ini diantaranya:37
a. Dampak yang mungkin ditimbulkan dari tindakan yang ditempuh dalam merespon
ancaman terhadap keamanan nasional
36
Ibid, hal. 1
37
Ibid
38
ELSAM, “Catatan ELSAM atas RUU Keamanan Nasional 2011: Rancangan Undang-Undang (RUU)
Keamanan Nasional, Jauh dari Ideal’, (Jakarta: 2011), hal. 1
b. Memberikan kewenanangan tertentu pada badan-badan negara yang terkait atau
lembaga yang dibentuk berdasarkan UU ini dalam menentukan atau merespon
keamanan nasional
c. Perumusan pengertian dan tindakan yang ditempuh dalam merespon ancaman
keamanan nasional tidak jarang membatasi atau berpotensi melanggar jaminan hak
asasi manusia warga negara
Terkait dengan dampak di atas, Isi RUU keamanan nasional dianggap memiliki
banyak kejanggalan. Dalam artikel yang dipublikasi oleh Elsham, disebutkan secara jelas
kejanggalan-kejanggalan di dalam RUU kamnas. Diantara kejanggalan-kejanggalan
tersebut adalah:
a. Dalam konsideran mengingat, jelas bahwa RUU kamnas hanya menekankan pada
pertahanan dan kemanan negara, serta kewajiban bagi setiap warganegara untuk turut
serta dalam pembelaan negara. Padahal materi RUU juga menyinggung tentang
keamanan manusia yang terkait juga dengan pemenuhan HAM. Oleh karena itu, di
dalam konsideran mengingat, selain menyantumkan ketentuan di dalam Undang-
Undang Dasar 1945, yang terkait dengan pertahanan dan keamanan, serta kewajiban
pembelaan negara bagi setiap warganegara, sudah seharusnya dicantumkan pula
ketentuan-ketentuan yang terkait dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia
wargangera. Beberapa ketentuan terkait jaminan perlindungan hak asasi manusia di
dalam konstitusi, yang seharusnya dicantumkan antara lain ketentuan Pasal 28 A,
Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 E, Pasal 28 F, Pasal 28 G, Pasal 28 I
ayat (1) dan ayat (5).39
Selain ketentuan-ketentuan tersebut, penting juga untuk menyantumkan
beberapa peraturan perundang-undangan terkait, di luar UU Pertahanan Negara, UU
POLRI, dan UU TNI. Beberapa peraturan perundang-undangan tersebut ialah: (1) UU
No. 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya sebagaimana telah diubah dua kali
terakhir dengan UU No. 52 Prp Tahun 1960; (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia; (3) UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.40
39
Ibid, hal. 3
40
Ibid
b. Dalam Ketentuan Umum, kejanggalan terdapat pada:
- Poin 8: Ada kejanggalan ketika di dalam ketentuan umum dicantumkan secara
khusus perihal intelijen, sebagai salah satu unsur utama keamanan nasional, yang
sejajar dengan unsur utama lainnya, sementara unsur yang lain tersebut, yaitu TNI
dan Polri, tidak dicantumkan.41
- Poin 13: Longgarnya pengertian mengenai ancaman tidak bersenjata dipastikan
akan membuka celah bagi lahirnya keluasan tafsir atas terminologi ini, sehingga
dikhawatirkan ketentuan ini justru akan menjadi pengertian yang sifatnya karet,
yang dapat mengganggu jalannya demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia,
dengan alasan keamanan nasional.42
41
Ibid
42
Ibid, hal. 4
43
Ibid, hal. 4-6
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertugas mengembangkan sistem peringatan
dini, sistem informasi, dan sistem analisis. (3) Pengembangan sistem peringatan
dini, sistem informasi, dan sistem analisis. Munculnya pasal ini terkesan
mengada-ada dan tidak runtut dengan ketentuan di atasnya. Sebaiknya ketentuan
Pasal 22 ditiadakan, karena sudah terakomodasi di dalam Pasal 21, sebagaimana
nantinya akan diatur di dalam UU Intelijen Negara. Selain itu, di dalam bagian
unsur dan peran ini, juga ada penegasan peran unsur keamanan nasional lainnya,
di luar intelijen.
- Pasal 23 yang berisi: (1) Penyelenggara intelijen nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 terdiri atas BIN, Badan Intelijen Strategis Pertahanan, Badan
Intelijen TNI, Badan Intelijen Kepolisian, dan institusi intelijen pemerintah
lainnya. (2) Kepala BIN sebagai unsur utama penyelenggara sistem intelijen
nasional. (3) Penyelenggara intelijen sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat
melakukan kerja sama dengan negara lain melalui wadah formal atau informal
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebaiknya ketentuan
Pasal 23 juga dihapus, karena sudah terakomodasi oleh ketentuan Pasal 21. Selain
itu, penegasan peran intelijen negara juga sudah dimunculkan di dalam Pasal 30
ayat (3).
- Pasal 39 yang berisi: (1) Penindakan dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf c terhadap berbagai jenis ancaman keamanan nasional dilaksanakan oleh
unsur keamanan nasional yang terkait langsung sebagai unsur utama didukung dan
diperkuat oleh unsur keamanan nasional yang tidak terkait langsung sebagai
unsur pendukung. (2) Penindakan dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk:
a. mencegah meningkat dan meluasnya intensitas ancaman yang diperkirakan
dapat mengakibatkan terjadinya korban dan kerugian yang lebih besar;
b. mencegah campur tangan pihak asing yang dapat merugikan keamanan
nasional; dan
c. mengembalikan kondisi keadaan menjadi tertib sipil dan stabil dengan
melaksanakan tindakan represif dan kuratif secara terukur.
Merujuk pada ketentuan Pasal 4 huruf (c) dan penjelasannya, pengertian yang
dibangun di dalam ketentuan sifatnya sangat luas dan lentur, sehingga
memungkinkan tafsir yang beragam, dan dapat digunakan oleh pemerintah
berkuasa untuk melakukan tindakan represif terhadap aktivitas tertentu
warganegara. Oleh karena itu, harus ada pembatasan-pembatasan yang jelas,
mengenai pengertian dari peristilahan penindakan dini.
Isu lainnya yang tidak dapat dipisahkan dari masalah keamanan nasional adalah
peran Polri dalam keamanan nasional Indonesia. Sudah disebutkan dalam paparan
sebelumnya bahwa sejak era reformasi tepatnya sejak tanggal 1 April 1999 secara
kelembagaan Polri terpisah dari TNI. Dengan demikian, Polri bukan lagi bagian dari
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), tetapi berubah menjadi alat negara,
penegak hukum, pelindung dan pengayom serta pelayan masyarakat.45
Kedudukan Polri sendiri disebutkan dalam Pasal 2 ayat 1 Keppres RI No. 89 tahun
2000 tentang kedudukan Kepolisian Negara RI adalah berada di bawah Presiden RI.
Keppres ini juga menyatakan bahwa di masa depan tidak ada lagi hubungan struktural
antara Polri dan TNI, Polri akan dipimpin oleh Kapolri dan harus berkoordinasi dengan
Kejaksaan Agung dan Departemen Dalam Negeri. Sementara itu dalam Pasal 1 Tap MPR
No. VI/MPR/2000 ditegaskan bahwa TNI dan Polri secara kelembagaan terpisah sesuai
dengan peran dan fungsi masing-masing. Dalam Pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa Tentara
Nasional Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara, sedangkan
44
Rizal Sukma, ”Konsep Keamanan Nasional”, CSIS Jakarta (FGD ProPatria, Jakarta 28 November 2002), hal.
3
45
Indria Samego, “Peran Polri dalam Kerangka Kerja Sistem Keamanan Nasional”, Jurnal Pro Patria, hal. 1
dalam pasal 2 ayat 2 dijelaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat
negara yang berperan dalam memelihara keamanan.46
Fungsi Polri kemudian dijelaskan dalam UU No. 2 tahun 2002, yaitu: “Fungsi
Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat.” Sementara itu, tugas pokok kepolisian dijelaskan dalam
pasal 13 UU No. 2 tahun 2002, yang berbunyi: “Tugas pokok Kepolisian Negara
Republik Indonesia adalah: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, b.
Menegakkan hukum, dan c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.47
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa Polri dalam kerangka keamanan nasional
memiliki peran yang tidak terbantahkan. Polri dalam hal ini memiliki fungsi preventif,
yakni menjalankan kewenangannya untuk mencegah timbulnya ancaman-ancaman
terhadap keamanan nasional Indonesia. Namun demikian, fungsi ini memang belum
terlaksana dengan baik, sebab saat ini Polri masih dalam proses reformasi menjadi
lembaga negara yang berdiri sendiri. Dan proses reformasi ini juga tidak berlangsung
dengan lancar. Maka, peran dan fungsi Polri dalam kerangka keamanan nasional masih
harus dipertanyakan.
Studi kasus ini akan menjelaskan perbedaan dan persamaan doktrin pertahanan
negara Indonesia dengan negara lain, yaitu Republik Islam Iran. Persamaan dan
perbedaan antara doktrin pertahanan negara Indonesia dengan doktrin pertahanan negara
Iran adalah, pertama, baik Indonesia maupun Iran sama-sama mendasarkan doktrin
pertahanannya pada kondisi geografis negara. Namun, perbedaanya adalah Indonesia
melihat wilayahnya yang 80 persen berupa lautan sebagai potensi datangnya ancaman
seperti penyelundupan narkoba misalnya. Sedangkan Iran melihat posisi geografisnya
yang berada di antara negara-negara teluk akan mendatangkan ancaman seperti konflik
perbatasan dan terorisme.48
46
Ibid, hal. 2
47
Ibid
48
Shmuel Bar, “Iranian Defense Doctrine and Decision Making,” (IDC Herzliya: 2004), hal. 34
Persamaan lainnya adalah, doktrin pertahanan negara di Indonesia dan Iran sama-
sama dibuat sebagai acuan dalam menjalankan pertahanan negara yang bertujuan
mencapai keamanan nasional. Jika keamanan nasional Indonesia difokuskan pada
penciptaan stabilitas internal dan pemulihan ekonomi, maka keamanan nasional Iran
difokuskan pada penjagaan perbatasan dan mempertahankan rezim Islam di Iran.49
Persamaan yang ketiga adalah, baik Indonesia maupun Iran sama-sama membagi
komponen utamanya menjadi angkatan darat, laut dan udara. Namun, dalam hal ini Iran
lebih fokus pada pertahanan udara dan lautnya, terutama karena Iran mengkhawatirkan
serangan udara dari Amerika Serikat. Sama seperti Indonesia, doktrin pertahanan Iran
juga mengalami evolusi sesuai dengan rezim yang berkuasa, misalnya di era Shah, Iran
mendasarkan doktrin pertahanannya pada prinsip nasionalisme Iran, sedangkan di masa
republik Islam, Iran menambahkan partikularisme syiah sebagai landasan doktrin
pertahanannya.50
Kemudian lebih jauh, bila kita membandingkan Indonesia dengan Iran dalam hal
sistem pertahanan negara, Indonesia harus banyak belajar dari sistem pertahanan negara
Iran. Dalam pertahanan udara misalnya, baik Indonesia maupun Iran, seperti sama-sama
menggantungkan pertahanannya di wilayah udara. Lalu, mengapa Iran mampu
membangun kekuatan pertahanan udara yang sangat baik sementara Indonesia tidak? Bila
dibandingkan Indonesia dan Iran berada dalam tingkat ekonomi yang tidak jauh berbeda,
bahkan SDM dan SDA Indonesia jauh lebih banyak dari pada Iran, dan Iran menghadapi
berbagai embargo ekonomi. Tetapi, lagi-lagi jumlah tidak menjamin apapun dalam
pembentukan sistem pertahanan yang baik.
Iran, selalu merasa tencam oleh Israel dan AS. Dan Iran pun menyadari bahwa
negara-negara Teluk lain tidak akan ada yang membantu dirinya menghadapi serangan
yang mungkin dilancarkan oleh AS maupun Israel. Dengan demikian, Iran terpacu untuk
terus membangun kekuatan pertahanan udaranya dengan mengembangkan industri
pertahanan dalam negerinya, sampai berhasil membuat pesawat tanpa awaknya sendiri.
Keinginan untuk mandiri dan percaya akan kemampuan industri pertahanan dalam negeri
menjadi kunci mengapa Iran mampu berkembang sebagai negara yang memiliki sistem
pertahanan yang baik.
49
Ibid
50
Ibid
Selain itu komitmen pemerintah juga dibutuhkan untuk membangun sistem
pertahanan yang baik. Pemerintah Iran sangat berkomitmen mengejar ketertinggalan Iran
dalam teknologi pertahanan dari negara-negara maju. Pemerintah Iran mengutamakan
pengembangan produksi pesawat tanpa awak dan bahkan mampu mengambil alih kendali
dan menjatuhkan pesawat tanpa awak AS. Kontras dengan Iran, pemerintah Indonesia
seperti sudah disinggung sebelumnya, kurang berkomitmen untuk modernisasi dan
pembangunan pertahanannya. Pemerintah selama ini lebih fokus pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan aliran dana dari APBN untuk industri pertahanan nasional
yang masih sangat minim.
F. Kesimpulan
Pertahanan negara sekali lagi menjadi elemen terpenting bagi kelangsungan suatu
negara, termasuk Indonesia. Untuk menciptakan pertahanan negara yang baik, dibutuhkan
suatu sistem yang komprehensif dan efisien. Sistem ini dapat tercipta bila negara
memiliki doktrin pertahanan yang tepat dan fleksibel sebagai panduan pertahanan negara
yang mampu menghadapi perkembangan dan perubahan zaman. Namun, doktrin
pertahanan tidak cukup tanpa ada implementasi yang benar dalam bentuk aturan dan
kebijakan pertahanan.
Namun demikian, perubahan menuju pertahanan negara Indonesia yang kuat dan
lebih baik tetap ada. Diantaranya, pengalokasian dana APBN yang lebih besar untuk
angaran pertahanan, pengembangan produk dalam negeri dari industri pertahanan, serta
reformasi di tubuh Kemhan, TNI, dan Polri agar dapat saling bahu membahu membentuk
sistem pertahanan negara yang baik juga terus berjalan.