Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

OTONOMI DAERAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah PPKn

Dosen Pembimbing:
Dr. Asep Sulaeman, M.Pd.

Disusun Oleh:
Wafa Nur Afifah Az Zahra
NIM: 1205010194

SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM (SPI)


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2020 M/1442 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta


Alam karena atas izin dan kehendakNya makalah ini dapat kami rampungkan
tepat pada waktunya.

Penulisan dan pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas


mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Adapun yang kami bahas dalam
makalah sederhana ini mengenai Otonomi Daerah.

Dalam penulisan makalah ini kami menemui berbagai hambatan yang


dikarenakan terbatasnya Ilmu Pengetahuan kami mengenai hal yang
berkenan dengan penulisan makalah ini. Oleh karena itu sudah sepatutnya
kami berterima kasih kepada pihak yang telah memberikan limpahan ilmu
berguna kepada kami.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Tapi,
kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Oleh karena itu kami
mengharapkan saran dan kritikan yang sifatnya membangun agar lebih maju
di masa yang akan datang.

Harapan kami, semoga makalah ini dapat menjadi track record dan
menjadi referensi bagi kami dalam mengarungi masa depan. Kami juga
berharap agar makalah ini dapat berguna bagi orang lain yang membacanya.

Bandung, 07 Januari 2020


Penyusun
DAFTAR ISI

COVER .........................................................................................................

KATA PENGANTAR .................................................................................

DAFTAR ISI ................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..............................................................................


B. Tujuan Penulisan ...........................................................................
C. Rumusan Masalah .........................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Otonomi Daerah .............................................................

B. Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia ......................

C. Otonomi Daerah sebelum Reformasi

D. Landasan Hukum dan Landasan Teori Otonomi Daerah ................

E. Pemeran Penting Dalam Otonomi Daerah........................................

F. Dampak Otonomi Daerah .................................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................................

B. Saran .................................................................................................

REFERENSI ..........................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia para

founding fathers telah menjatuhkan pilihannya pada prinsip pemencaran

kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara.

Cita desentralisasi ini senantiasa menjadi bagian dalam praktek

pemerintahan Negara sejak berlakunya UUD 1945, terus memasuki era

Konstitusi RIS, UUDS 1950 sampai pada era kembali ke UUD 1945 yang

dikukuhkan lewat Dekrit Presiden 5 juli 1959.

Garis perkembangan sejarah tersebut membuktikan bahwa cita

desentralisasi senantiasa dipegang teguh oleh Negara Republik Indonesia,

sekalipun dari satu periode ke periode lainnya terlihat adanya perbedaan

dalam intensitasnya.

Sebagai perwujudan dari cita desentralisasi tersebut, maka

langkahlangkah penting sudah dilakukan oleh pemerintah. Lahirnya berbagai

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah

membuktikan bahwa keinginan untuk mewujudkan cita-cita ini terus


berlanjut. Sekalipun demikian, kenyataan membuktikan bahwa cita tersebut

masih jauh dalam realisasinya. Otonomi daerah masih lebih sebagai harapan

ketimbang sebagai kenyataan yang telah terjadi. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa otonomi daerah belumlah terwujud sebagaimana yang

diharapkan. Kita nampaknya baru menuju ke arah otonomi daerah yang

sebenarnya.

Beberapa faktor-faktor yang menetukan prospek otonomi daerah,

diantaranya, yaitu:

Faktor Pertama adalah faktor manusia sebagai subyek penggerak

(faktor dinamis) dalam peenyelenggaraan otonomi daerah. Faktor manusia

ini haruslah baik, dalam pengertian moral maupun kapasitasnya. Faktor ini

mencakup unsur pemerintah daerah yang terdiri dari Kepala Daerah dan

DPRD, aparatur daerah maupun masyarakat daerah yang merupakan

lingkungan tempat aktivitas pemerintahan daerah tersebut.

Faktor kedua adalah faktor keuangan yang merupakan tulang

punggung bagi terselenggaranya aktivitas pemerintahan Daerah. Salah satu

ciri daerah otonom adalah terletak pada kemampuan self supportingnya atau

mandiri dalam bidang keuangan. Karena itu, kemampuan keuangan ini akan

sangat memberikan pengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan

daerah.

Sumber keuangan daerah yang asli, misalnya pajak dan retribusi

daerah, hasil perusahaan daerah dan dinas daerah, serta hasil daerah lainnya

yang sah, haruslah mampu memberikan kontribusinya bagi keuangan daerah.

Faktor ketiga adalah faktor peralatan yang merupakan sarana

pendukung bagi terselenggaranya aktivitas pemerintahan daerah. Peralatan

yang ada haruslah cukup dari segi jumlahnya, memadai dari segi kualitasnya
dan praktis dari segi penggunaannya. Syarat-syarat peralatan semacam inilah

yang akan sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan

daerah.

Faktor keempat adalah faktor organisasi dan manajemen. Tanpa

kemampuan organisasi dan manajemen yang memadai penyelenggaraan

pemerintahan tidak dapat dilakukan dengan baik, efisien, dan efektif.oleh

sebab itu perhatian yang sungguh-sunggguh terhadap masalah ini dituntut

dari para penyelenggara pemerintahan daerah.

Sejarah perkembangan otonomi daerah membuktikan bahwa keempat

faktor tersebut di atas masih jauh dari yang diharapkan. Karenanya otonomi

daerah masih menunjukkan sosoknya yang kurang menggembirakan.oleh

sebab itu apabila kita berkeinginan untuk merealisasi cita-cita otonomi

daerah maka pembenahan dan perhatian yang sungguh-sungguh perlu

diberikan kepada empat faktor di atas.


B. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui Pengertian Otonomi Daerah.

2. Untuk mengetahui Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia.

3. Untuk mengetahui Dasar Hukum dan Landasan Teori Otonomi Daerah.

4. Untuk mengetahui Yang Paling Berperan di dalam Otonomi Daerah.

5. Untuk mengetahui Dampak Yang di timbulkan oleh Otonomi Daerah.

6. Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.

C. Rumusan Masalah Makalah ini di buat dengan rumusan masalah:

Makalah ini dibuat dengan rumusan masalah:

1. Apa itu Otonomi Daerah?

2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia?

3. Apa Dasar Hukum dan Landasan Teori Otonomi Daerah?

4. Apa salah satu yang paling berperan di dalam Otonomi Daerah?

5. Apa dampak yang di timbulkan oleh Otonomi Daerah?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi berasal dari 2 kata yaitu, auto berarti sendiri, nomos berarti

rumah tangga atau urusan pemerintahan. Otonomi dengan demikian berarti

mengurus rumah tangga sendiri.Dengan mendampingkan kata ekonomi

dengan kata daerah, maka istilah “mengurus rumah tangga sendiri”

mengandung makna memperoleh kekuasaan dari pusat dan mengatur atau

menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah sendiri.

Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewajiban yang diberikan

kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi

masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan

pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan

pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah kesatuan

masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat.Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan

hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus


diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas,

lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan

dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.

Ada juga berbagai pengertian yang berdasarkan pada aturan yang di

tetapkan oleh Pemerintahan Daerah. Pengertian yang memliki kaitan dan

hubungan dengan otonomi daerah yang terdapat di dalam Undang-Undang,

yaitu sebagai berikut:

 Pemerintah daerah yaitu penyelenggaraan urusan di dalam suatu

daerah.

 Penyelenggaran urusan pemerintah daerah tersebut harus menurut

asas otonomi seluas-luasya dalam prinsip dan sistem NKRI

sebagaimana yang dimaksudkan di dalam UUD 1945.

 Pemerintah Daerah itu meliputi Bupati atau Walikota, perangkat

daerah seperti Lurah, Camat serta Gubernur sebagai pemimpin

pemerintahan daerah tertinggi.

 DPRD adalah lembaga pemerintahan daerah di mana di dalam DPRD

duduk para wakil rakyat yang menjadi penyalur aspirasi rakyat.

Selain itu DPRD adalah suatu unsur penyelenggara pemerintahan

daerah.

 Otonomi daerah adalah wewenang, hak dan kewajiban suatu daerah

otonom untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan pemerintahan

dan mengurus berbagai kepentingan masyarakat yang berada dan

menetap di dalam daerah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

 Daerah otonom adalah suatu kesatuan masyarakat yang berada di

dalam batas-batas wilayah dan wewenang dari pemerintahan daerah


di mana prngaturan nya berdasarkan prakarsa sendiri namum sesuai

dengan sistem NKRI.

 Di dalam otonomi daerah di jelaskan bahwa pemerintah pusat adalah

Presiden Republik Indonesia sebagaiman tertulis di dalam

UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

B. Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia

a) Warisan Kolonial

Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No.

329 yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang

mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan

Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah

kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan

ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente, dan

groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu

juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat

setempat (zelfbestuurende landschappen).

Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial

dengan sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek).

Dengan demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat

dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.

b) Masa Pendudukan Jepang

Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia

Timur mulai Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra.
Negara ini berhasil menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma

dan Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda.

Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar tiga setengah tahun berhasil

melakukan perubahan-perubahan yang cukup fundamental dalam urusan

penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas Hindia

Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang

(Osamu Seire) No. 27/1942 yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan

daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki

kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada

masa tersebut bersifat misleading.

c) Masa Kemerdekaan

1. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada

asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND (komite Nasional

Daerah) di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah

yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua

macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:

a) Provinsi.

b) Kabupaten/kota besar.

c) Desa/kota kecil.

UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat

darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6

pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.

2. Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948


Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di

Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai

berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan bahwa

daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:

a) Propinsi.

b) Kabupaten/kota besar.

c) Desa/kota kecil.

d) Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.

3. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957

Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan

istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan

kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat,

yaitu:

a) Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya.

b) Daerah swatantra tingkat II.

c) Daerah swatantra tingkat III.

UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi

daerah seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.

4. Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959

Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7

November 1959 menitikberatkan pada kestabilan dan efisiensi

pemerintahan daerah, dengan memasukkan elemen-elemen baru.


Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri

dikenal dangan daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III.

Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah

pada masa ini, bahwa kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat,

terutama dari kalangan pamong praja.

5. Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965

Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga

tingkatan yakni:

a) Provinsi (tingkat I).

b) Kabupaten (tingkat II).

c) Kecamatan (tingkat III).

Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas

memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya,

menyelenggarakan koordinasi antarjabatan pemerintah pusat di daerah,

melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang

diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah

daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan

kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan

dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di

dalam dan di luar pengadilan.

6. Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974

UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan

mengatur rumah tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini


dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat

II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya menjadi:

a) Provinsi/ibu kota Negara.

b) Kabupaten/kotamadya.

c) Kecamatan.

Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II

karena daerah tingkat II berhubungan langsung dengan masyarakat

sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip

otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan bertanggung

jawab.

7. Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan

daerah yang lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam

penyusunan UU No. 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut:

a) Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip

pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam

kerangka NKRI.

b) Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan

dekonsentrasi adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang

dibentuk.

c) Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.

d) Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.

Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa

kemajuan bagi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat daerah, ternyata UU


ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan

bagi masyarakat.

8. Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004

tentang pemerintah Daerah yang dalam pasal 239 dengan tegas

menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru

ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten

dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas

kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak

melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di

bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di

samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan

DPRD semakin di pertegas dan di perjelas.

C. Otonomi Daerah sebelum Reformasi

Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia,

pemerintah telah mengambil langkah-langkah penting dalam rangka

perujudan cita desentralisasi. Langkah-langkah penting yang diambil

pemerintah itu terlihat dari lahirnya berbagai peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah, yang masing

masing dengan sistemnya sendiri. Undang-Undang No. 1/1945

merupakan undang-undang pertama yang mengatur mengenai

pemerintahan daerah. Dalam UU ini antara lain ditetapkan :


(a) Komite Nasional Daerah diadakan, kecuali di Daerah Surakarta dan

Yogyakarta, di Kresidenan, di Kota berotonomi, Kabupaten dan

lainlain Daerah yang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri

( Pasal 1).

(b) Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah

yang bersamasama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah

menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga Daerahnya, asal

tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah yang lebih luas dari padanya (Pasal 2)

(c) Oleh Komite Nasional dipilih beberapa orang, sebanyakbanyaknya

5 orang sebagai Badan Executive, yang bersamasama dengan dan

pimpinan oleh Kepala Daerah menjalankan pemerintahan seharihari

dalam Daerah itu (Pasal 3).

Berdasarkan UU No. 1/1945 inilah Komite Nasional Daerah

berubah atau menjelma menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah,

dan diketuai oleh Kepala Daerah, serta mempunyai tugas mengatur

dan mengurus rumah tangga Daerahnya dengan syarat tidak boleh

bertentangan dengan peraturan pemerintah Pusat dan peraturan

Pemerintah Daerah yang lebih tinggi kedudukannya.Meskipun

Badan Perwakilan Rakyat Daerah diketuai Kepala Daerah, tetapi

Kepala Daerah bukanlah merupakan anggota Badan Perwakilan

Rakyat Daerah, dan karenanya tidak mempunyai hak suara.

Dalam prakteknya pelaksanaan UU No. 1/1945

menimbulkan berbagai persoalan, karena UU ini tidak diberi

Penjelasan. Sehingga terjadi kesimpang siuran dalam menafsirkan

ketentuan-ketentuan yang termuat dalam UU tersebut. Akhirnya


kementerian dalam negeri memberikan penjelasan tertulis terhadap

UU No. 1/1945.Penjelasan tertulis Kementerian Dalam Negeri itu

memuat keterangan-keterangan mengenai tujuan diadakannya UU

No. 1/1945. Tujuan yang pertama bagi diadakannya UU ini adalah

untuk menarik kekuasaan pemerintahan dari tangan Komite

Nasional Daerah (KND) dengan pertimbangan-pertimbangan

sebagai berikut:

(a) Semua KND dibentuk sebagai pembantu pemerintah daerah

dimasa kekuasaan sipil, pangrehpraja dan polisi dan alat-alat

pemerintahan lainnya masih ditangan Jepang.

(b) Setelah kekuasaan sipil dapat direbut dari tangan Jepang, KND

dalam prakteknya mengganti Pangrehpraja dan polisi di

samping Pangrehpraja dan polisi sebenarnya yang menjadi

pegawai Republik Indonesia.

(c) Dualisme yang demikian itu sangat melemahkan kedudukan dan

kekuasaan Pangrehpraja dan polisi sebagai alat-alat

pemerintahan yang resmi. (The Liang Gie)

Selanjutnya disebutkan bahwa sebagai badan legislatif

Badan Perwakilan Rakyat Daerah, wewenangnya adalah :

(a) Kemerdekaan untuk mengadakan peraturanperaturan untuk

kepentingan daerahnya (otonomi);

(b) Pertolongan kepada Pemerintah atasan untuk menjalankan

peraturanperaturan yang ditetapkan oleh Pemerintah itu

(medebewind dan selfgovernment = sertantra dan pemerintahan

sendiri);
(c) Membuat peraturan mengenai suatu hal yang diperintahkan oleh

undangundang umum, dengan ketentuan bahwa peraturan itu

harus disyahkan lebih dahulu oleh pemerintah atasan

(wewenang antara otonomi dan selfgovernment).

Pada masa berlakunya UU No.1/1945, otonomi yang

diberikan kepada Daerah adalah otonomi Indonesia yang lebih luas

dibandingkan pada masa Hindia Belanda. Pembatasan terhadap

otonomi itu hanyalah agar tidak bertentangan dengan peraturan

Pusat dan Daerah yang lebih tinggi.(CST Kansil;1979;37}.

Sedangkan alat kelengkapan (organ) Pemerintahan Daerah

ada tiga (meskipun tidak dinyatakan secara tegas), yakni :

(1) KNID sebagai DPRD Sementara yang bersamasama dan dipimpin

Kepala Daerah menjalankan fungsi legislatif.

(2) Badan (terdiri dari sebanyak-banyaknya 5 orang) yang dipilih dari

dan oleh anggota KNID sebagai "Badan Eksekutif" bersamasama

dan dipim-pin oleh Kepala Daerah menjalankan pemerintahan

seharihari (dibidang otonomi dan tugas pembantuan).

(3) Kepala Daerah yang diangkat oleh Pemerintah Pusat menjalankan

urusan pemerintahan Pusat di daerah, kecuali urusan-urusan yang

dijalankan oleh kantorkantor Departemen di daerah.

D. Otonomi Daerah Pasca Reformasi

Bergulirnya era reformasi di tahun 1998, dimana soal otonomi

daerah menjadi salah satu tuntutan pokok dari reformasi. Alhasil dari

tuntutan reformasi itu lahirlah UU No.22 Tahun 1999 dan sekaligus

mengakhiri orde otonomi daerah model UU No.5 Tahun 1974 yang sangat
sentralistik .Perubahan akan otonomi daerah terlihat jelas dari

petimbangan UU No.22 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa UU

Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah tidak

sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan Otonomi Daerah dan

perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti. Mengenai ketidak

sesuaian dari UU No.5 Tahun 1974 itu dengan prinsip-prinsip

penyelenggaraan otonomi daerah diuraikan atau tergambar secara panjang

lebar dalam penjelasan UU No.22/1999.Apabila dicermati UU No.22/1999

terdapat banyak perbedaan yang sangat prinsip serta sekaligus sebagai

perbedaan yang fundamental dibanding dengan UU No.5/1975. Hal ini

antara lain;

Pertama, dipisahkannya dengan tegas antara Kepala Daerah dengan

DPRD. Artinya, bila dalam UU No.5/1974 keberadaan DPRD tercakup

dalam lingkup pengertian “Pemerintah Daerah”, dalam UU No 22/1999

ditegaskan bahwa Pemerintah Daerah itu hanya Kepala Daerah dengan

perangkar daerah lainnya dan disebut dengan eksekutif daerah. Dalam

konteks “Pemerintah Daerah”, dirumuskan terdiri dari Kepala Daerah dan

DPRD, sedangkan sebelumnya antara Kepala Daerah dan DPRD berada

dalam lingkup “Pemerintah Daerah”, sehingga ada kerancuan DPRD

ditempatkan sebagai bagian dari eksekutif daerah.

Kedua, ditempatkannya Otonomi Daerah secara utuh pada Daerah

Kabupaten dan Daerah Kota. Artinya tidak ada lagi daerah administrative

atau yang sebelumnnya disebut dengan pemerintahan wilayah pada tingkat

Kabupaten/Kota sebagaimana adanya pada UU No.5/174.

Ketiga, dijadikan Daerah Propinsi dengan kedudukan sebagai

Daerah Otonom dan sekaligus Wilayah Administrasi, yang melaksanakan


kewenangan Pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Gubernur.

Daerah Propinsi bukan merupakan Pemerintah atasan dari Daerah

Kabupaten dan Daerah Kota.

Keempat, Daerah Otonom Propinsi dan Daerah Kabupaten dan

Daerah Kota tidak mempunyai hubungan hierarki.

Kelima, berdasarkan UU No.22/1999 pemberian kewenangan

otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada

asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan

bertanggung jawab. Artinya penyelenggaraan urusan pemerintahan

berdasarkan asas dekonsentrasi hanya padatingkat Propinsi.

Keenam, Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD dan

DPRD dapat memberhentikan Kepala Daerah apabila DPRD menolak

pertantanggungjawaban Kepala Daerah.

Ketujuh, adanya pembagian kewenangan yang tegas antara Propinsi

dengan Kabupaten Kota.

Kedelapan, Kepala Daerah baik gubernur maupun bupati/walikota

dipilih oleh DPRD, sedangkan sebelumnya Kepala Daerah diangkat oleh

Presiden atas usul DPRD.

F. Dasar Hukum Dan Landasan Teori Otonomi Daerah

1. Dasar Hukum

Tidak hanya pengertian tentang otonomi daerah saja yang perlu kita

bahas. Namun ada dasar-dasar yang bisa menjadi landasan. Ada beberapa

peraturan dasar tentang pelaksanaan otonomi daerah, yaitu sebagai

berikut:

a) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat 1 hingga ayat 7.


b) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 yang mengatur tentang

pemerintahan daerah.

c) Undang-Undang No.33 Tahun 2004 yang mengatur tentang sumber

keuangan negara.

Selain berbagai dasar hukum yang mengatur tentang otonomi

daerah, kami juga menulis apa saja yang menjadi tujuan pelaksana

otonomi daerah, yaitu otonomi daerah harus bertujuan untuk

meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat yang berada di wilayah

otonomi tersebut serta meningkatkan pula sumber daya yang di miliki oleh

daerah agar dapat bersain dengan daerah otonom lainnya.

2. Landasan Teori

Berikut ini ada beberapa yang menjadi landasan teori dalam otonomi

daerah.

a. Asas Otonomi

Berikut ini ada beberapa asas otonomi daerah yang saya tuliskan

di sini. Asas-asas tersebut sebagai berikut:

 Asas tertib penyelenggara Negara

 Asas Kepentingan umum

 Asas Kepastian Hukum

 Asas keterbukaan

 Asas Profesionalitas

 Asas efisiensi

 Asas proporsionalitas

 Asas efektifitas
b. Desentralisasi

Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah

tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya

dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya

desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan

daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian

yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan.

Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi

akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena

dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan

pardigma pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga dapat

diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan

sumbersumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke

pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah

keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih

dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan

pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini

akan meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan

kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar

tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan

nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan

perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial

ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber

daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan

lokal.
c. Sentralisasi

Sentralisasi dan desentralisasi sebagai bentuk penyelenggaraan

negara adalah persoalan pembagian sumber daya dan wewenang.

Pembahasan masalah ini sebelum tahun 1980-an terbatas pada titik

perimbangan sumber daya dan wewenang yang ada pada pemerintah

pusat dan pemerintahan di bawahnya. Dan tujuan “baik” dari

perimbangan ini adalah pelayanan negara terhadap masyarakat.

Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini, pandangan

politik yang dianggap tepat dalam wacana publik adalah bahwa

desentralisasi merupakan jalan yang meyakinkan, yang akan

menguntungkan daerah. Pandangan ini diciptakan oleh pengalaman

sejarah selama masa Orde Baru di mana sentralisme membawa banyak

akibat merugikan bagi daerah. Sayang, situasi ini mengecilkan

kesempatan dikembangkannya suatu diskusi yang sehat bagaimana

sebaiknya desentralisasi dikembangkan di Indonesia. Jiwa

desentralisasi di Indonesia adalah “melepaskan diri sebesarnya dari

pusat” bukan “membagi tanggung jawab kesejahteraan daerah”.

Sentralisasi dan desentralisasi tidak boleh ditetapkan sebagai

suatu proses satu arah dengan tujuan pasti. Pertama- tama, kedua

“sasi” itu adalah masalah perimbangan. Artinya, peran pemerintah

pusat dan pemerintah daerah akan selalu merupakan dua hal yang

dibutuhkan. Tak ada rumusan ideal perimbangan. Selain proses politik

yang sukar ditentukan, seharusnya ukuran yang paling sah adalah

argumen mana yang terbaik bagi masyarakat.


G. Pemeran Penting Dalam Otonomi Daerah

APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Di dalam

Otonomi daerah selalu identik dengan yang namanya Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah atau yang sering disebut APBd.Di sini saya akan

membahas sedikit mengenai APBD.

Keberhasilan otonomi daerah tidak lepas dari kemampuan bidang

keuangan yang merupakan salah satu indikator penting dalam menghadapi

otonomi daerah. Kedudukan faktor keuangan dalam penyelenggaraan suatu

pemerintah sangat penting, karena pemerintahan daerah tidak akan dapat

melaksanan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup

untuk memberikan pelayanan pembangunan dan keuangan inilah yang

mrupakan salah satu dasar kriteria untukmengetahui secara nyata

kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya

sendiri. Suatu daerah otonom diharapkan mampu atau mandiri di dalam

membiayai kegiatan pemerintah daerahnya dengan tingkat ketergantungan

kepada pemerintah pusat mempunyai proposal yang lebih kecil dan

Pendapatan Asli Daerah harus menjadi bagian yang terbesar dalam

memobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah. Oleh karena itu,

sudah sewajarnya apabila PAD dijadikan tolak ukur dalam pelaksanaan

otonomi daerah demi mewujudkan tingkat kemandirian dalam menghadapi

otonomi daerah.

Mardiasmo mendefinisikan anggaran sebagai pernyataan mengenai

estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang

dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses

atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran. Mardiasmo


mendefinisikannya sebagai berikut, anggaran publik merupakan suatu

dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi

yang meliputi informasi mengenai pendapatan belanja dan aktifitas secara

singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran publik merupakan suatu rencana

finansial yang menyatakan:

1) Berapa biaya atas rencana yang di buat (pengeluaran/belanja), dan

2) Berapa banyak dan bagaimana cara uang untuk mendanai rencana

tersebut (pendapatan).

Sedangkan menurut UU No.17 tahun 2003 tentang keuangan Negara

disebutkan bahwa APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah

daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lebih lanjut

dijelaskan dalam PP No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolahan Keuangan

Daerah disebutkan bahwa APBD adalah rencana keuangan tahunan

Pemerintah daerah yang di bahas dan disetujui bersama oleh pemerintah

daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.

Ekonomi Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan

keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin

digunakannya sumbersumber daya pemerintah secara efektif dan efisien

untuk memenuhi kebutuhan lokal.

H. Dampak Otonomi Daerah

1. Dampak Positif

Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi

daerah maka pemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk

menampilkan identitas local yang ada di masyarakat. Berkurangnya

wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari


pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya

sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang

didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut

memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta

membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata.

2. Dampak Negatif

Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan

bagioknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang

dapat merugika Negara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.

Selain itu terkadang ada kebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai

dengan konstitusi Negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar

daerah satu dengan daerah tetangganya, atau bahkan daerah dengan

Negara, seperti contoh pelaksanaan Undang-undang Anti Pornografi

ditingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan system otonomi daerah

maka pemerintah pusat akan lebih susah mengawasi jalannya pemerintahan

di daerah, selain itu karena memang dengan sistem.otonomi daerah

membuat peranan pemeritah pusat tidak begitu berarti.

Beberapa modus pejabat nakal dalam melakukan korupsi dengan

APBD:

a. Korupsi Pengadaan Barang

Modus:

Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar.

Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.

b. Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah)


Modus:

Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.

Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.

c. Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, kenaikkan pangkat,

pengurusan pensiun dan sebagainya.

Modus: Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.

d. Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah,

panti asuhan dan jompo)

Modus: Pemotongan dana bantuan social. Biasanya dilakukan secara

bertingkat (setiap meja).

e. Bantuan fiktif

Modus: Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari

pemerintah ke pihak luar.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas dapat dipahami dengan adanya

otonomi daerah, maka setiap daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun
program dan mengajukannya kepada pemerintahan pusat. Hal ini sangat akan

berdampak positif dan bisa memajukan daerah tersebut apabila orang/badan

yang menyusun memiliki kemampuan yang baik dalam merencanan suatu

program serta memiliki analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi

dikemudia hari. Tetapi sebaliknya akan berdamapak kurang baik apabila

orang/badan yang menyusun program tersebut kurang memahami atau

kurang mengetahui mengenai bagaimana cara menyusun perencanaan yang

baik serta analisis dampak yang akan terjadi.

B. Saran

Analisis Langkah-Langkah Yang Harus Diambil Pemerintah Dalam

Mengontrol Otonomi Daerah:

1. Merumuskan kerangka hukum yang memenuhi aspirasi untuk otonomi di

tingkat propinsi dan sejalan dengan strategi desentralisasi secara bertahap.

2. Menyusun sebuah rencana implementasi desentralisasi dengan

memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut penjaminan

kesinambungan pelayanan pada masyarakat, perlakuan perimbangan

antara daerah-daerah, dan menjamin kebijakan fiskal yang berkelanjutan.

3. Untuk mempertahankan momentum desentralisasi, pemerintah pusat perlu

menjalankan segera langkah desentralisasi, akan tetapi terbatas pada

sektor-sektor yang jelas merupakan kewenangan Kabupaten dan Kota dan

dapat segera diserahkan.

4. Proses otonomi tidak dapat dilihat sebagai semata-mata tugas dan

tanggung jawab dari menteri negara otonomi atau menteri dalam negeri,

akan tetapi menuntut koordinasi dan kerjasama dari seluruh bidang dalam

kabinet (Ekuin, Kesra & Taskin, dan Polkam).


Upaya Yang Menurut Kami harus Dilakukan Pejabat Daerah Untuk

Mengatasi Ketimpangan Yang Terjadi:

1. Pejabat harus dapat melakukan kebijakan tertentu sehingga SDM yang

berada di pusat dapat terdistribusi ke daerah.

2. Pejabat harus melakukan pemberdayaan politik warga masyarakat

dilakukan melalui pendidikan politik dan keberadaan organisasi swadaya

masyarakat, media massa dan lainnya.

3. Pejabat daerah harus bisa bertanggung jawab dan jujur.

4. Adanya kerjasama antara pejabat dan masyarakat.

5. Dan yang paling penting pejabat harus tahu prinsip-prinsip otonomi.

REFERENSI

[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah. [2]

http://aenicomdev.blogspot.co.id/2015/02/sejarah-otonomi-daerah-

diindonesia.html. [3] http://bowandy.blogspot.co.id/2012/04/makalah-

otonomi-daerah.html. [4]

http://merinaastuti.blogspot.co.id/2013/09/mengetahui-dampak-positif-
dannegatif.html. [5] http://dilihatya.blogspot.co.id/2014/05/ini-dia-contoh-

makalah-otonomidaerah.html.

Anda mungkin juga menyukai