Anda di halaman 1dari 5

 Sufism : the old and the new

Kehadiran Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. diyakini dapat menjamin
terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat petunjuk
tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan agar lebih bermakna
dalam artian yang luas. Petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana
terdapat di dalam sumber ajarannya, al-Quran dan al-hadits, tampak ideal dan agung. Islam
mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan
material dan spritual, mengembangkan kepedulian sosial, mengutamakan persaudaraan,
berakhlak mulia, dan sikap positif lainnya. Namun kenyataannya umat Islam jauh dari cita ideal
tersebut.

Dalam perjalanan sejarahnya, antara kedua dimensi penghayatan keagamaan tersebut


sempat menimbulkan konflik antara ahli tasawuf dan ahli fikih, konflik antara ahli hakikat dan
ahli syariat, konflik antara penganut ajaran esoterik dan penganjur ajaran eksoterik atau antara
golongan Islam ortodoks dengan golongan Islam heterodoks. Hal ini terjadi terutama pada abad
III H.1 Selanjutnya dengan semakin berkembangnya tasawuf pada saat itu, lahirlah dua corak
pemikiran tasawuf, yaitu corak tasawuf yang materi dasarnya bersandar pada al-Quran dan al-
Sunnah, dengan ide gagasan pada pembentukan moralitas.

Sementara corak yang lain adalah tasawuf yang materi dasarnya banyak bersumber dari
filsafat. Melihat kondisi seperti ini, tokoh sufi terkenal yaitu, al-Ghazali mencoba
memformulasikan tasawufnya yang sengaja dirancang guna rekonsiliasi sufistik antara berbagai
disiplin keislaman dan lembaga tasawuf yang semakin senjang. Namun usaha ini belum mampu
mengembalikan misi dan pesan dasar tasawuf secara total sebagai pendorong gerakan moral dan
ruh Islam yang berkarakter damai dan harmonis. Hegemoni lembaga-lembaga tasawuf justru
banyak mengubah dimensi spiritual-moral-sosial kepada dimensi spiritual-mistik-individual,
selalu mempraktekkan sikap ‘uzlah yang bertujuan melakukan pembersihan jiwa dengan cara
menjauhi kehidupan dunia. Hal ini secara tidak langsung dapat menyebabkan umat Islam
menjadi apatis terhadap kehidupan dunia, lupa akan tugas sebagai khalifah di bumi dan
menghindar dari tanggung jawabnya sebagai makhluk sosial. Maka terjadilah ketimpangan, yang
mana penekanan pada aspek esoteris semata membuatnya menjauhi hal-hal yang bersifat
keduniaan dan cenderung lebih mementingkan urusan akhirat, yang didapat hanya kesalehan
individual semata, bukan kesalehan sosial. Menurut Hamka, hal ini menyebabkan umat Islam
menjadi lemah dikarenakan cukup lama menjauhi dunia, ketika hendak berkurban, tidak ada
yang hendak dikurbankan, berzakat juga tidak mampu karena tidak ada harta untuk dizakatkan.
Ketika manusia lainnya telah maju dalam bidang kehidupan dunia, umat Islam statis karena telah
mengambil sikap menjauhi kehidupan dunia.
Menghadapi realitas ini, pada awal abad XX, lahir pemikiran baru yang menginginkan
tasawuf tidak berpola seperti yang telah diuraikan di atas, dalam pandangan mereka tasawuf
harus positif dalam memandang kehidupan dunia, tidak boleh menjauhinya dan justru harus
berperan aktif di dalamnya. Pemikiran ini terinspiratif dari ulama besar Abad Pertengahan Ibnu
Taimiyah yang telah secara intens memberikan perhatian terhadap permasalahan umat dan
agama, termasuk di dalamnya masalah tasawuf. Lalu dipopulerkan Rahman dengan istilah Neo-
Sufisme. Gejala ini juga bisa dikatakan sebagai pembaruan dalam dunia sufisme, menurut Azra
hal ini terjadi akibat berbagai permasalahan agama, sosial, politik, ekonomi dan budaya yang
kompleks. Selain itu keadaan ekonomi yang mapan mendorong umat Islam tidak hanya
beribadah namun mengeksplorasi pengalaman keagamaan dan spritualitas yang intens dan hanya
didapat dari sufisme yang tidak selalu sesuai dengan paradigma dan bentuk tasawuf
konvensional.4 Dengan demikian perlu diketengahkan dalam tulisan ini mengenai konsep Neo-
Sufisme, sebab ide terpenting dari Neo-Sufisme adalah tawazun atau keseimbangan, yaitu
keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, antara kesalihan individu dan
kesalihan sosial.

In Islamic culture, there is one aspect that has been commonly used in revisionist
histories of eighteenth century called neo sufism. Neo sufism is a kind of characterised by the
tendency to emphasise Muhammad or it called the orthodox religion stated by Fazlur Rahman.
Istilah neo-sufism terdiri dri 2 kata yaitu neo dan sufisme. Neo artinya sesuatu yang baru
atau yang diperbarui sedangkan sufisme artinya nama dari berbagai aliran sufi dalam agama
islam. Dengan ini neo-sufism dapat diartikan bentuk baru sufism atau pembarun sufism. Sufisme
yang telah diperbarui dapat dikatkan sebagai upaya penegasan kembali nili nilai islam yang utuh,
yaitu kehidupan yng berkesinambungan dalam segala aspek kehidupan dan dalam segi
kemanusiaan.

As well as the inovation of sufism to thrive in all of its varieties in both popular and elite
circles in this period, but there were not radical departures from older patterns of sufi thinking
and practice.

konsep neo-sufisme oleh Fazlur Rahman sesungguhnya menghendaki agar umat Islam
mampu melakukan tawazun (keseimbangan) antara pemenuhan kepentingan akhirat dan
kepentingan dunia, serta umat Islam harus mampu memformulasikan ajaran Islam dalam
kehidupan sosial. Kebangkitan kembali tasawuf di dunia Islam dengan istilah baru yaitu Neo-
Sufisme nampaknya tidak boleh dipisahkan dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama.
Kebangkitan ini juga adalah lanjutan dari penolakan terhadap kepercayaan yang berlebihan
kepada sains dan teknologi yang merupakan produk dari era modernisme. Modernisme dinilai
telah gagal memberikan kehidupan yang bermakna kepada manusia. Oleh karena itu, banyak
orang yang ingin kembali kepada nilai-nilai keagamaan, sebab salah satu fungsi agama adalah
memberikan makna bagi kehidupan.

Kalau pada era kecemerlangan sufisme terdahulu aspek yang paling dominan adalah sifat
ekstasik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini hal itu digantikan dengan
prinsip-prinsip Islam ortodoks. Neo-Sufisme mengalihkan pusat pengamatan kepada pembinaan
pada sosio-moral masyarakat Muslim, sedangkan sufisme terdahulu didapati lebih bersifat
individu dan hampir tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu,
karakter keseluruhan Neo-Sufisme adalah “puritanis dan aktivis”.

Ada dua hal yang menjadi ciri utama Neo-Sufisme yang dikehendaki Ibnu Taymiyah,
Pertama, Tauhid, dalam arti paham ketuhanan yang semurni-murninya, yang tidak mengizinkan
adanya mitologi terhadap alam dan sesama manusia, termasuk juga faham kultus yang
dipraktekkan oleh banyak kalangan. Kedua, tanggung jawab pribadi dalam memahami agama.
Tidak boleh “pasrah” kepada otoritas orang lain-betapa pun tinggi ilmu dan kedekatannya
dengan Tuhan- dalam bentuk taqlid buta. Berdasarkan beberapa pandangan dan komentar di atas
jelas menunjukkan bahwa Neo-Sufisme berupaya untuk kembali kepada nilai-nilai Islam yang
utuh, yaitu kehidupan yang seimbang dalam segala aspek kehidupan dan dalam segala aspek
ekspresi kemanusiaan.
 The regional character of eighteenth-century reform

Berdasarkan sejarawan revisionis abad kedelapan belas yaitu adanya kesinambungan


antara abad kedelapan belas dan sembilan belas juga abad 20. Seseorang mengatakan bahwa
reformasi abd ke delapan belas itu terkait dengan car fundamentalis islam . beberapa gerakan
reformasi sosial moral islam aktif pada abad ke delapan belas.

Gerakan dan pemikiran pembaruan keagamaan senantiasa menjadi bagian penting dari
tradisi Islam sepanjang sejarah perkembangannya. Para pelopor pembaruan hadir untuk
merenovasi kepercayaan, pengetahuan, maupun praktek keberagamaan masyarakat Muslim.
Sekalipun kaum ortodoks tidak mengakui hadirnya figur profetik pasca Nabi Muhammad SAW,
mayoritas masyarakat Muslim meyakini, bahwa pada setiap episode sejarah dan kawasan dunia
Islam yang berbeda, para pembaharu tampil untuk melawan status quo dan menginisiasi
perubahan. Misalnya, pada abad 17-19 M, muncul beberapa tokoh dan gerakan pembaruan di
dunia Islam, yang berdasarkan setting kemunculan dan orientasi gerakannya dapat dibedakan ke
dalam tiga episode.

Pertama, Shah Waliullah di India, Ahmad bin Abdul Wahhab di Saudi Arabia, dan
Muhammad bin Ali al Sanusi di Afrika Utara. Pada masa ini, para tokoh dan gerakan pembaruan
mengemuka berkaitan dengan tekanan atau lingkungan internal (Khalid, 2009: 240), dan sedikit
bersentuhan dengan dampak dari perkembangan peradaban Barat.

Kedua, seiring dengan meningkatnya penetrasi koloni Eropa ke dunia Islam, muncul
beberapa gerakan jihad (jihadiy movements) pada abad ke-19, sebagai aspek kunci dari
pembaruan Islam.

Ketiga, bersamaan dengan kedatangan era modern (abad ke-19 dan seterusnya), tradisi
pembaruan keagamaan berlanjut secara lebih intensif dari pada era sebelumnya. Suatu era yang
mengumumkan konfrontasi militer dan politik dari kekuatan-kekuatan Barat dengan dunia Islam,
dimana masyarakat Muslim mengalami kekalahan (Boyd, 2001: 7-22).

 The ruptures of the nineteenth century: Islamic reform in the shadow of the West

Pada awal abad ke-20 lahir dan munculnya reformasi dan modernisasi (perubahan) dalam
dunia Islam, yang bermula dari reaksi terhadap ekspansi dan kejayaan Eropa. Sebenarnya
langkah ini dimulai sejak abad ke-18 dan ke-19 oleh sejumlah gerakan Islam, gerakan Islam
temasuk juga dalam kategori gerakan sosial. Perubahan suatu peradaban ke peradaban lainnya
tidaklah selalu melalui jalan “damai” bahkan sejarah telah membuktikan perubahanperubahan
peradaban masyarakat kerap terjadi melalui gerakan-gerakan kolektif atau yang lebih dikenal
dengan istilah gerakan sosial sekarang ini (Sitomorang, 2013, p. 55).

Modernisme (modernis) biasanya diartikan sebagai cara berpikir dengan peradaban Barat,
dengan merujuk upaya mengejar ketertinggalan melalui pencarian mendasar etik kepada Islam
untuk kebangkitan politik dan budaya. Sementara untuk reformasi (reformis) diartikan sebagai
pembaruan melalui pemurnian agama. Dalam hal ini kemudian reformasi islam dimaknai sebagai
gerakan pembaruan dalam pola pikir dan cara hidup yang murni menurut islam itu sendiri.

Gerakan Islam yang menyerukan kepada umat muslim untuk mengatasi keadaan yang
terbelenggu dalam kejumudan dan keterbelakangan. Sejumlah gerakan, misalnya berusaha
mewujudkan pemurnian Islam dari segala aspek dengan mengembalikannya kepada Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Selama awal abad ke-20, dunia Islam mengalami perubahan yang cepat dan
mendasar. Di satu sisi disebabkan bentuk persatuan lama sudah runtuh, dengan ditandainya
kekhalifahan yang sudah dihapuskan, dan umat muslim sudah mulai terpecah-pecah menjadi
sekian banyak Negara-bangsa, penduduk muslim menjadi mayoritas ataupun minoritas, dan
berbagai tradisi kenegaraan, budaya, serta keagamaan pun berubah. Namun di sisilain, persatuan
Islam justru semakin intensif, karena adanya sarana komunikasi dan transportasi yang semakin
canggih. Demikianlah yang terjadi di dunia Islam, apakah ini dikarenakan dunia Islam
dipengaruhi oleh Barat, ataupun karena berperan semakin menonjol sehingga diperhitungkan
dalam kerangka global. Ini adalah tantangan baru islam dalam kaitannya dengan arus
modernisasi di awal abad 20. Islam tengah memainkan perannya dengan mencari wajah baru di
era globalisasi dengan mengusung jargon reformasi dan modernisasi.

 Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Gerakan Pembaharuan Islam

Organisasi-organisasi keagamaan ataupun organisasi gerakan sosial yang berdiri sejak


munculnya gerakan kebangkitan nasional (1908) memberikan dampak yang sangat luar biasa
terhadap dinamika di dalam gerakan pembaharuan, termasuk di dalamnya gerakan-gerakan yang
memunculkan organisasi keagamaan, seperti organisasi Islam Persatuan Sarekat Islam Indonesia,
Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, Al-jamiatul Washliyah dan Alittihadiyah, dan juga Nahdaltul
Ulama yang turut aktif bergerak dalam gerakan pembaharuan Islam di ranah teoritis maupun
praktis.

Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang sudah mendapatkan anggapan sebagai


gerakan Islam yang reformis-modernis, Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan yang reformis-
modernis di dalam paradigma pembaharuan Islam. Gerakan reformis-modernis harus percaya
terhadap situasi keberagaman, kesempurnaan, dan menyeluruhnya ajaran-ajaran yang ada, tetapi
aktualisasinya tidak terpaku pada struktur legalformal apalagi dengan adanya pemisahan, tetapi
lebih menekankan pada aktualisasi terhadap nilai Islam secara objektif dalam kehidupan social
kemasyarakatan.

Nahdaltul Ulama sebagai sebuah organisasi Islam yang bergerak di bidang agama,
pendidikan, sosial budaya, ekonomi, dan politik. Dinamika yang terjadi dalam tubuh organisasi
NU tentu tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sosial-politik.

Anda mungkin juga menyukai