Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum wr.wb

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat-
NYA sehingga makalah yang kami susun ini dapat selesai.salawat dan salam mudah-
mudahan tercurahkan kepada na Muhammad SAW.

Terima kasih kami ucapkan kepada dosen mata kuliah Filsafat Pendidikan
bapak Edy Kurniawan, S.Pd, M.Pd, selaku dosen pengampuh dari mata kuliah
Filsafat Pendidikan, serta teman kelompok yang telah ikut membantu menyusun
makalah ini

Kami sadari bahwa makalah yang kami susun belum mencapai


kesempurnaan,untuk itu kami harapkan kritikan dan saran yang membangun, kepada
pembaca jika ada dalam makalah ini rangkaian kata yang salah dalam
penyusunan,sehingga kedepannya dapat kami perbaiki

Demikianlah sepatah kata dari kami dan kami ucapkan terima kasih

Assalamu a’laikum wr.wb

Makassar, 25 Oktober 2018

Penyusun

Daftar Isi

ii
KATA PENGANTAR...................................................................................................ii

Daftar Isi.......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

A. Latar Belakang....................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...............................................................................................1

C. Tujuan.................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................3

A. Sejarah Aliran Filsafat Pragmatisme..................................................................3

B. Konsep Dasar Filsafat Pragmatisme...................................................................4

C. Implikasi Filsafat Pragmatisme Dalam Pendidikan............................................6

D. Sejarah Aliran Filsafat Eksistensialisme...........................................................8

E. Konsep Dasar Filsafat Eksistensialisme...........................................................10

F. Implikasi Filsafat Eksistensialisme Dalam Pendidikan...................................11

BAB III PENUTUP....................................................................................................15

A. Kesimpulan.......................................................................................................15

Daftar Pustaka..............................................................................................................17

BAB I

PENDAHULUAN

iii
A. Latar Belakang
Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat umum. Maka, pada
dasarnya filsafat pendidikan menggunakan cara kerja filsafat dan akan
menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia
tentang realitas, pengetahuan, dan nilai-nilai.
Di dalam filsafat terdapat beraneka ragam aliran, maka dalam filsafat
pendidikan pun kita akan temukan berbagai macam aliran. Seperti
Naturalisme, idealisme, pragmatisme, eksistensialisme, progresivisme,
esensialisme, perenialisme, dan lain sebagainya. Masing-masing aliran
tersebut mempunyai pandangan tersendiri terhadap pendidikan. Dan di dalam
makalah ini akan dibahas mengenai pandangan aliran eksistensialisme
terhadap pendidikan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah lahirnya aliran filsafat pragmatisme?
2. Bagaimana konsep dasar filsafat pragmatisme?
3. Bagaimana implikasi filsafat pragmatisme dalam pendidikan?
4. Bagaimana sejarah lahirnya aliran filsafat eksistensialisme?
5. Bagaimana konsep dasar filsafat eksistensialisme?
6. Bagaimana implikasi filsafat eksistensialisme dalam pendidikan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah lahirnya aliran filsafat pragmatisme
2. Untuk mengetahui konsep d nbasar filsafat pragmatism.
3. Untuk mengetahui implikasi filsafat pragmatisme dalam pendidikan.
4. Untuk mengetahui sejarah lahirnya aliran filsafat eksistensialisme.
5. Untuk mengetahui konsep dasar filsafat eksistensialisme
6. Untuk mengetahui implikasi filsafat eksistensialisme dalam pendidikan.

iv
v
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Aliran Filsafat Pragmatisme


Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragma
berasal dari bahasa Yunani yang berarti tindakan atau action. Sedangkan
pengertian isme sama dengan pengertian isme-isme yang lainnya yang
merujuk pada cara berpikir atau suatu aliran berpikir. Dengan demikian
filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan.
Aliran ini pertama kali tumbuh di Amerika sekitar abad 19 hingga awal 20.
Aliran ini melahirkan beberapa nama yang cukup berpengaruh mulai Charles
Sanders Pierce (1839-1914), William James (1842-1910), John Dewey, dan
seorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama George Herbert Mead
(1863-1931).
William James mengatakan bahwa secara ringkas prgamatisme adalah
realitas sebagaimana yang kita ketahui. Charles S. Pierce-lah yang
membiasakan istilah ini dengan ungkapannya, “Tentukan apa akibatnya,
apakah dapat dipahami secara praktis atau tidak. Kita akan mendapat
pengertian tentang objek itu, kemudian konsep kita tentang akibat itu, itulah
keseluruhan konsep objek tersebut.” Ia juga menambahkan, untuk mengukur
kebenaran suatu konsep, kita harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis
penerapan konsep tersebut. Keseluruhan konsekuensi itulah yang merupakan
pengertian konsep tersebut. Jadi, pengertian suatu konsep ialah konsekuensi
logis itu. Bila suatu konsep yang dipraktekkan tidak mempunyai akibat apa-
apa, maka konsep itu tidak mempunyai pengertian apa-apa bagi kita.

vi
nSebagian penganut pragmatisme yang lain mengatakan bahwa, suatu ide atau
tanggapan dianggap benar, jika ide atau tanggapan tersebut menghasilkan
sesuatu, yakni jalan yang dapat membawa manusia ke arah penyelesaian
masalah secara tepat (berhasil). Seseorang yang ingin membuat hari depan, ia
harus membuat kebenaran, karena masa depan bukanlah sesuatu yang
sepenuhnya ditentukan oleh masa lalu (Kattsoff, 1992:130).
Segala sesuatu dianggap benar jika ada konsekuensi yang bersifat
manfaat bagi hidup manusia. Sebuah tindakan akan memiliki makna jika ada
konsekuensi praktis atau hasil nyata yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Masa lalu dan masa depan adalah sesuatu yang telah dan belum
terjadi. Sementara itu, masa sekarang adalah fakta, maka hadapilah kenyataan
sekarang dengan penuh perjuangan.

B. Konsep Dasar Filsafat Pragmatisme


Konsep dasar filsafat pragmatisme di antaranya :
1. Realitas
Manusia dan lingkungannya berdampingan, dan memiliki tanggung
jawab yang sama terhadap realitas. Perubahan merupakan esensi realitas, dan
manusia harus siap mengubah cara-cara yang akan dikerjakannya. Menurut
Dewey, manusia secara langsung mencari dan menghadapi suatu realita
disini dan sekarang sebagai lingkungan hidup.
Hakekat realita adalah perubahan yang terjadi secara terus-menerus
dalam kehidupan di jagat raya ini. Teori ini didasari pandangan yang disebut
“panta rei”, artinya mengalir secara terus-menerus. Bagi pragmatisme tidak
dikenal istilah metafisika, karena mereka tidak pernah memikirkan hakikat
dibalik realitas yang dialami dan diamati oleh pancaindera manusia.
Pengalaman manusia tentang penderittaan, kesedihan, kegembiraan,
keindahan, kekacauan, kebodohan, kegagalan hidup dan sebagainya
merupakan realita yang dihadapi manusia sampai ia mati. Pengalaman

vii
merupakan suatu perjuangan, karena hidup sebenarnya adalah perubahan-
perubahan itu sendiri.
2. Pengetahuan

Pragmatisme yakin bahwa akal manusia aktif dan selalu ingin


meneliti. Pengetahuan sebagai transaksi antara manusia dengan
lingkungannya, dan kebenaran merupakan bagian dari pengetahuan. Inti dari
pengalaman adalah berupa masalah-masalah yang dihadapi oleh individu atau
sekelompok individu. Pengalaman pada dasarnya selalu berubah, maka unuk
memecahkan masalah tersebut adalah dengan pengetahuan-pengetahuan atau
hipotesis-hipotesis. Pragmatisme mengajarkan bahwa tujuan semua berpikir
adalah kemajuan hidup. Nilai pengetahuan manusia harus dinilai dan diukur
dengan kehidupan praktis.

Teori kebenaran merupakan alat yang kita pergunakan untuk


memecahkan masalah dalam pengalaman kita. Oleh karena itu, pengetahuan
harus dinilai menurut dalam pengertian mengenai keberhasilannya
menjalankan fungsinya.

3. Nilai

Pragmatisme mngemukakan pandangan tentang nilai, bahwa nilai itu


relatif. Pragmatisme menyarankan untuk menguji kualitas nilai dengan cara
yang sama seperti kita menguji kebenaran pengetahuan. Kita harus
mempertimbangkan perbuatan manusia dengan tidak tidak memihak,
dansecara ilmiah memiliki nilai-nilai yang tampaknya memungkinkan untuk
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia.nilai-nilai itu tidak
akan dipaksakan dan akan disetujui setelah diadakan diskusi secara
terbuka.nilai lahir dari keinginan, dorongan, dan perasaan serta kebiasaan
manusia, sesuai dengan watak sebagai kesatuan antara faktor biologis dan
sosial dalam diri dan kepribadiannya. Nilai merupakan suatu realitas dalam

viii
kehidupan, yang dapat dimengerti sebagai suatu wujud dalam perilaku
manusia, sebagai suatu pengetahuan dan sebagai suatu ide.  

C. Implikasi Filsafat Pragmatisme Dalam Pendidikan


a. Konsep pendidikan
Filsafat Pragmatisme telah memberikan suatu sumbangan yang sangat
besar terhadap teori pendidikan. John dewey merupakan okoh pragmatisme
yang membahas pendidikan dan secara sistematis menyusun teori pendidikan
yang didasarkan atas filsafat pragmatisme.
Menurut Dewey, terdapat dua teori pendidikan yang saling bertentangan.
Kedua teori tersebut adalah paham konservatif dan “unfolding theory” (teori
pemerkahan). Menurut teori konservatif, pendidikan adalah suatu
pembentukan terhadap pribadi anak tanpa memperhatikan potensi yang ada
pada anak. Jelasnya pendidikan merupakan proses pembentukan jiwa dari
luar, dimana siswa tinggal menerima pelajaran saja, materinya sudah
ditentukan pendidik.
Sedangakan “unfolding theory” berpandangan bahwa anak akan
berkembang dengan sendirinya, karena kekuatan laten yang dimilikinya. 
Menurut pragmatisme, pendidikan bukan merupakan suatu proses
pembentukan dari luar, tetapi merupakan suatu proses reorganisasi dan
rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu dapat dikatakan baik anak
maupun dewasa selalu belajar dari pengalaman. Selanjutnya John Dewey
mengemukakan perlunya atau pentingnya pendidikan berdasarkan atas tiga
pokok pemikiran, yaitu ;
1). Pendidikan merupakan kebutuhan hidup

            Karena adanya anggapan baahwa pendidikan selain sebagai alat, juga
berfungsi sebagai pembaharuan hidup, “a renewal of life”. Hidup itu selalu

ix
berubah, selalu menuju pada pembaharuan.hidup merupakan keseluruhan
tingkatan pengalaman individu dengan kelompok.

Untuk kelangsungan hidup diperlikan usaha untuk mendidik anggota


masyarakat, mereka akan berusaha memenuhi kebutuhan sebagai minat
pribadi (personal interest). Bahwa pembaharuan hidup tidak otomatis,
melainkan banyak tergantung pada teknologi, seni, ilmu pengetahuan, dan
perwujudan moral kemanusiaan. Untuk itulah semuanya membutuhkan
pendidikan.

2). Pendidikan sebagai pertumbuhan

Menurut Dewey, pertumbuhan merupakan perubahan yang


berlangsung terus untuk mencapai suatu hasil selanjutnya. Pertumbuhan itu
terjadi karena kebelum matangan. Disitu anak memiliki kapasitas
pertumbuhan potensi, yaitu kapasitas yang dapat tumbuh menjadi sesuatu
yang berlainan, karena pengaruh yang datang dari luar. Ciri dari
kebelummatangan adalah adanya ketergantungan dan plastisitas anak. Kalau
diterapkan pada pendidikan, bahwa kekuatan untuk tumbuh tergantung pada
kebutuhan atau ketergantungan terhadap orang lain dan plastisitas yang
dimiliki anak. Yang dimaksud plastisitas adalah kemampuan belajar dari
pengalaman, yang merupakan pembentukan kebiasaan. Kebiasaan yang
mengambil “habituation” , yaitu keseimbangan dan kebutuhan yang ada pada
aktivitas dengan lingkungan dan kapasitas yang aktif untuk mengadakan
penyesuaian kembali.

3). Pendidikan sebagai fungsi sosial

Menurut Dewey, kelangsungan hidup terjadi karena self renewal.


Kelangsungan ini terjadi karena pertumbuhan , karena pendidikan yang

x
diberikan pada anak-anak dan pemuda di masyarakat. Dalam hal ini,
lingkungan merupakan syarat bagi pertumbuhan, dan fungsi pendidikan
merupakan “a process of leading and bringing up”, pendidikan merupakan
suatu cara yang ditempuh masyarakat dalam membimbing`anak yang masih
belum matang menurut bentuk susunan sosial sendiri.

Sekolah merupakan alat transisi, merupakan suatu lingkungan khusus


yang memiliki tiga fungsi, yaitu :

 menyederhanakan dan menerbitkan faktor-faktor bawaan yang


dibutuhkan untuk berkembang.
 memurnikan dan mengidealkan kebiasaan masyarakat yang ada
 menciptakan lingkungan yang lebih luas, dan lebih baik daripada yang
diciptakan anak tersebut dan menjadi milik mereka untuk dikembangkan.

D. Sejarah Aliran Filsafat Eksistensialisme


Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Kier Kegard
(Denmark:1813-1855). Inti masalahnya ialah: Apa itu kehidupan manusia?
Apa tujuan dari kegiatan manusia? Bagaimana kita menyatakan keberadaban
manusia? Pokok pemikirannya dicurahkan kepada pemecahan yang konkret
terhadap persoalan arti “berada” mengenai manusia. Tokoh-tokoh lainnya
yang kita kenal diantaranya: Martin Buber, Martin Heideger, Jean Paul
Satre, Karl Jasper, Gabril Marcell, Paul Tillich.
Tulisan-tulisan Jean Paul Satre (1905-1980), filosof Prancis
terkenal, penulis, dan penulis naskah drama, menjadi yang paling bertanggung
jawab untuk penyebaran gagasan-gagasan eksistensialisme yang luas.
Menurut Satre (Parkay, 1998), setiap individu terlebih dahulu hadir dan
kemudian ia harus memutuskan apa yang ada untuk dimaknai. Tugas
menentukan makna keberadaan/eksistensi ada pada individu seseorang: tidak

xi
ada system keyakinan filosofis yang dirumuskan sebelumnya dapat
mengatakan pada seseorang siapa orang itu. Ini sampai masing-masing dari
kita memutuskan siapa kita adanya. Selanjutnya menurut Satre, “Eksistensi
mendahului esensi… Terlebih dahulu, manusia ada, hadir, muncul di
panggung, dan hanya setelah itu menentukan dirinya sendiri.
Menurut Parkay (1998) terdapat dua aliran pemikiran
eksistensialisme, yang satu bersifat theistic (bertuhan), yang lainnya  atheistic
(tidak bertuhan). Kebanyakan dari pandangan-pandangan itu masuk kedalam
aliran pemikiran pertama dengan menyebut diri mereka sendiri sebagai kaum
Eksistensialisme Kristen dan menunjukkan bahwa manusia memiliki suatu
kerinduan akan suatu wujud sempurna, Tuhan. Melalui kerinduan ini tidak
membuktikan keberadaan Tuhan, orang-orang dapat secara bebas memilih
untuk tinggal dalam kehidupan mereka seakan-akan ada Tuhan.
Eksistensialisme atheistic memiliki pemikiran bahwa  pendirian
tersebut (theistik) merendahakan kondisi manusia. Dikatakan bahwa kita
harus memiliki suatu fantasi agar dapat tinggal dalam kehidupan
tanggungjawab moral. Penfirian semacam itu membebaskan manusia dari
tanggung jawab untuk berhubungan dengan kebebasan pilihan sempurna yang
dimiliki kita semua. Pendirian itu juga menyebabkan mereka menghindari
fakta yang ”didapat itu terlepas”, “kita sendirian, dengan tidak ada maaf”, dan
“kita terhukum agar bebas”.
Penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa aliran eksistensialisme
memandang manusia sebagai individu yang bebas. Bebas melakukan dan
mendefinisikan dirinya sendiri secara individual. Manusia tidak lain adalah
bagaimana dia menjadi dirinya sendiri dan menyadari adanya orang lain,
sehingga dapat menciptakan dunianya sendiri yang berarti bagi dirinya dan
bagi kehidupan orang lain atau lingkungannya. Hal inilah yang disebut dengan
respek terhadap orang lain seperti penjelasan di atas.

xii
E. Konsep Dasar Filsafat Eksistensialisme
Filsafat Eksistensialisme memiliki konsep dasar yaitu :
1. Realitas

Realitas adalah kenyataan hidup itu sendiri. Untuk menggambarkan


realitas, kita harus menggambarkan apa yang ada dalam diri kita, bukan yang
ada diluar kondisi manusia. Eksistensialisme merupakan filsafat yang
memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara
manusia berada di dunia. Cara berada manusia berbeda dengan cara beradanya
benda-benda materi. Keberadaan benda-benda materi berdasarkan
ketidaksadaran akan dirinya sendiri, dan juga tidak terdapat komunikasi antara
satu dengan lainnya. Tidak demikian halnya dengan beradanya manusia.
Manusia berada bersama dengan manusia lainnya sama, yaitu sederajat.

Bagi eksistensialisme, benda-benda materi, alam fisik, dunia yang


berada diluar manusia tidak akan bermakna atau tidak memiliki tujuan apa-
apa kalau terpisah dari manusia. Jadi, dunia ini bermakna kaarena manusia.
Eksistensialisme mengakui bahwa apa yang dihasilkan sains cukup asli,
namun tidak memiliki makna kemanusiaan secara langsung.

2. Pengetahuan

Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat


fenomenologi, suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda-
benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut
menampakkan dirinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuan manusia
tergantung pada pemahamannya tentang realitas dan tergantung pada
interpretasi manusia terhadap realitas. Pelajaran di sekolah akan dijaidikan

xiii
alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku
dimana anak harus patuh dan tunduk pada isi pelajaran tersebut. Biarkanlah
pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam
kebenaran.

3. Nilai

Pemahaman eksistensialisme pada nilai, menekankan kebebasan


dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya
sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia
memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan
diantara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar. Berbuat akan
menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut
sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan
menghasilkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya.

F. Implikasi Filsafat Eksistensialisme Dalam Pendidikan


Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan individulitas dan
pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk
unik, dan secara unik pula ia bertanggungjawab terhadap nasibnya. Dalam
hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi (1671) mengemukakan
bahwa eksistensialisme berhubungan sangat erat dengan pendidikan karena
keduanya bersinggungan satu sama lain pada masalah-masalah yang sama,
yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan
kebebasan (kemerdekaan). Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah
“keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
Berikut impilkasi aliran filsafat eksistensialisme dalam dunia pendidikan.

1. Tujuan Pendidikan

xiv
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar
mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap
individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan
pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada
kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum.

2. Kurikulum

Kaum ekstensialis menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu


berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu
tingkatan kepekaan personal yang disebut Greene “Kebangkitan yang luas”.
Kurikulum ideal adalah kurikulum yang memeberi para siswa kebebasan
individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-
pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik
kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.

Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran


tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan
materi dimana individu akan dapat menemuian dirinya dan kesadaran akan
dunianya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan diatas adalah mata
pelajaran IPA, Sejarah, Sastra, Filsafat, dan Seni. Bagi beberapa anak,
pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah IPA, namun
bagi yang lainnya mungkin saja bisa Sejarah, Filsafat, Sastra, dan lain
sebagainya.

Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar pada


humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu
dapat mengadakan introspeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar
harus didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat

xv
mengembnagkan keterampilan yanag dibutuhkan, serta memperoleh
pengetahuan yang diharapkan.

3. Proses Belajar Mengajar


Menurut Kneller (1971) konsep belajar mengajar eksistensialisme
dapat diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog
ialah percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi
merupakan subjek bagi yang lainnya, dan merupakan suatu percakapan antara
“aku” dengan “engkau” . sedangkan lawan dai dialog ialah suatu “paksaan”,
dimana seseorang memaksakan kehendaknya kepada orang lain, memandang
orang lain sebagai objek. Menurut Buber, kebanyakan pendidikan merupakan
paksaaan. Anak dipaksa menyerah pada kemauan guru, atau pada
pengetahuan yang tidak fleksibel, dimana guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya, Buber mengemukakan, hendanya guru jangan disamakan
dengan seorang instruktur, karena ia hanya akan merupakan perantara yang
sederhana antara subjek mater dengan siswa. Kalau guru dianggap sebagai
instruktur, ia akan turun martabatnya, hanya sekedar alat untuk mentransfer
ilmu pengetahuan, dan murid akan menjadi hasil dari transfer itu.
Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat
dan produk dari pengetahuan itu. Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan
tidak dilimpahkan, melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan guru
dengan murid sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan
kepada murid, harus menjadi bagian dari pengaaman pribadinya, sehingga
guru akan berjumpa dengan anak sebagai pribadi dengan pribadi. Pengetahuan
yang ditawarkan guru, tidak lagi merupakan sesuatu yang diberikan kepada
murid, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya
sendiri.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan
seksama sehingga siswa mampu berpikir relatif melalui pertanyaan-

xvi
pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak memberi instruksi.
Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul
menghasilkan diskusi tentang mata plajaran. Diskusi ialah metode utama
dalam pandangana eksistensialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak
interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah ialah suatu forum dimana para
siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu
menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
Guru hendaknya memberi semangat kepada murid untuk memikirkan
dirinya didalam suatu dialog. Guru menanyakan tentang ide-ide yang dimiliki
murid, dan mengajukan ide-ide lain, dan membimbingnya untuk memilih
alternatif. Maka siswa akan melihat, bahwa kebenaran tidak terjadi kepada
manusia melainkan dipilih oleh mereka sendiri. Lebih dari itu, siswa harus
menjadi actor dalam suatu drama belajar, bukan penonton.

xvii
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
 Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragma berasal
dari bahasa Yunani yang berarti tindakan atau action. Sedangkan
pengertian isme sama dengan pengertian isme-isme yang lainnya yang
merujuk pada cara berpikir atau suatu aliran berpikir. Dengan demikian
filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan.
 Konsep dasar filsafat pragmatism dan Eksistensialisme di antaranya
realitas, pengetahuan, dan nilai.
 Menurut pragmatisme, pendidikan bukan merupakan suatu proses
pembentukan dari luar, tetapi merupakan suatu proses reorganisasi dan
rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu dapat dikatakan baik
anak maupun dewasa selalu belajar dari pengalaman.
 Aliran eksistensialisme memandang manusia sebagai individu yang bebas.
Bebas melakukan dan mendefinisikan dirinya sendiri secara individual.
Manusia tidak lain adalah bagaimana dia menjadi dirinya sendiri dan
menyadari adanya orang lain, sehingga dapat menciptakan dunianya
sendiri yang berarti bagi dirinya dan bagi kehidupan orang lain atau
lingkungannya.
 Menurut Kneller (1971) konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat
diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog ialah
percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi
merupakan subjek bagi yang lainnya, dan merupakan suatu percakapan

xviii
antara “aku” dengan “engkau” . sedangkan lawan dai dialog ialah suatu
“paksaan”, dimana seseorang memaksakan kehendaknya kepada orang
lain, memandang orang lain sebagai objek. Menurut Buber, kebanyakan
pendidikan merupakan paksaaan. Anak dipaksa menyerah pada kemauan
guru, atau pada pengetahuan yang tidak fleksibel, dimana guru menjadi
penguasanya.

xix
Daftar Pustaka

Damsar.2012. Pengantar Sosiologi Pendidikan.Jakarta : Kencana Media Prenada


Group

Mudyahardjo, Redja. dkk. (1993). Dasar-dasar Kpependidikan. Jakarta: Universitas


Terbuka

Poedjiadi, Anna. (2008). Filsafat Ilmu. Jakarta: Universitas Terbuka

Sadulloh, uyoh. (2006). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Salam, Burhanudin. (2002). Pengantar Pedagogik. Jakarta: Rineka Cipta

afidburhanuddin.wordpress.com

http://filsafatpendidikanpragmatisme.blogspot.co.id/ ( diakses pada tanggal 25


September 2015 pukul 13.00 WIB )

https://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/11/07/pragmatisme-dalam-pendidikan/ (
diakses pada tanggal 25 September 2015 pukul 13.00 WIB )

mentaryan.blogspot.com

karyailmu99.blogspot.com

xx

Anda mungkin juga menyukai