Anda di halaman 1dari 9

SOAL PENGANTAR ILMU HUKUM

1. Ruang lingkup PIH sangat luas, oleh karena itu pengkaijian terhadap hukum
dalam berbagai aspeknya perlu di pelajari secara interdisipliner, Universal
dan Fenomenal. Maksud dari interdisipliner adalah karena yang ingin
dipelajari dalam hukum itu sangat luas, maka agar hasilnya baik
membutuhkan bantuan dari disiplin ilmu yang lain. Ilmu Hukum menurut
sebagian sarjana, adalah sebagai ilmu pengetahuan, sedangkan sebagian
sarjana yang lain, mengatakan bahwa hukum itu bukan termasuk ilmu.
Pertanyaan :
a. Bagaimana kedudukan Ilmu Hukum terhadap disiplin ilmu lainnya.
b. Bagaimana pendapat saudara tentang sebagian ahli yang mengatakan
hukum bukan termasuk ilmu .

2. Dasar peraturan hukum adalah norma-norma sosial, dan norma -norma


sosial akan berubah menjadi norma hukum apabila setiap pelanggaran atas
norma sosial tersebut secara regular diberi sanksi fisik berdasarkan
keputusan pemegang otoritas yang secara sosial diberi wewenang khusus
untuk menjatuhkan sanksi tersebut. Hukum atau norma hukum yang baik
adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (living law) dalam
masyarakat.
Pertanyaan :
a. Bagaimana proses sebuah norma-norma sosial menjadi norma hukum di
dalam suatu masyarakat.
b. Apakah perbedaan antara norma sosial dengan norma hukum.
c. Bagaimana penerapan di masyarakat khususnya masyarakat di Indonesia
terhadap hukum yang hidup ( living law) ?

3. Hukum berdasarkan bentuknya dapat dibagi dua yaitu hukum yang tertulis
(statute law, written law,scriptum ), dan hukum yang tidak tertulis (un-
statutery, un-written law), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan
dan kenyataan dalam masyarakat , dianut dan ditaati oleh masyarakat yang
bersangkutan dan salah satunya adalah kebiasaan tidak tertulis yang karena
dianggap patut lalu diulang dan diikuti sehingga selanjutnya dianggap
sebagai norma hukum dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pertanyaan :
a. Bagaimana sebuah kebiasaan yang tidak tertulis yang kemudian dapat
menjadi sebuah norma hukum yang tidak tertulis ?
b. Bagaimana penerapan sebuah kebiasaan yang tidak tertulis ini yang
kemudian menjadi sebuah norma hukum yang tidak tertulis dalam
sistem peradilan di Indonesia ?

4. Lawrence M. Friedman menyebutkan bahwa sistem hukum meliputi


komponen-komponen sebagai berikut : Komponen Substansi Hukum,
Komponen Struktur Hukum dan Komponen Budaya (Budaya hukum
masyarakat). Baru-baru ini pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang
Cipta kerja (Omnibus Law), namun banyak terjadi penolakan yang disertai
unjuk rasa baik oleh buruh maupun para mahasiswa.
Pertanyaan :
Analysis tentang produk hukum tersebut baik secara Substansi Hukum,
Struktur Hukum maupun Budaya Hukum dalam hal :
a. Siapa yang terlibat dalam pembuatan produk perundang-undangan
tersebut.
b. Bagaimana pengaturan dan proses pembuatan peraturan perundang-
undangan tersebut.
c. Bagaimana upaya masyarakat terhadap produk peraturan perundang-
undangan yang tidak sejalan dengan kehendak masyarakat (yang
dianggap bertentangan dengan masyarakat).

Jawaban

1. Ruang lingkup PIH


a. Ilmu hukum yang termasuk kedalam ilmu ilmu praktis itu menyandang sifat khas
tersendiri. Selain karena alasan yang dikemukakan tadi, juga obyek telaahnya
berkenaan dengan tuntutan berperilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya
tidak sepenuhnya tergantung pada kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan
dapat dipaksakan oleh kekuasaan publik. Pada masa sekarang kedudukan ilmu
hukum lebih khusus lagi, karena obyek telaahnya bukan hanya hukum sebagaimana
yang biasa dipahami secara tradisional. Dalam perkembangan masyarakat pada masa
kini tugasnya sudah lebih banyak terarah pada penciptaan hukum baru yang
diperlukan untuk mengakomodasi timbulnya berbagai hubungan kemasyarakatan
yang baru. Karena itu juga, ilmu hukum sehubungan dengan obyek telaahnya itu
harus terbuka dan mampu mengolah produk berbagai ilmu lain tanpa berubah
menjadi ilmu lain tersebut dengan kehilangan karakter khasnya sebagai ilmu
normatif.1

1
Prof. Dr. Herowati Poesoko, S.H., M.H., Ilmu Hukum dalam Perspektif Filsafat Ilmu, LaksBang PRESSindo,
Yogyakarta:2008, hlm. 65-66
Adapun kedudukan ilmu hukum apabila dilihat dari jenis ilmunya dapat dilihat dalam
skema sebagai berikut. 2

b. Dalam beberapa pandangan yang menyebutkan bahwa hukum itu bukan merupakan
ilmu, pandangan tersebut tidak bertolak dari akar, artinya hukum hanya dilihat
sebagai sesuatu yang abstrak dan dalam pengertian yang sempit. Tetapi hukum harus
dilihat dari berbagai sudut pandang. tingkah laku dan manusia serta pergaulan hidup

2
B. Arief Sidharta, 2013, Ilmu Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, Hal. 58-60
manusia itu sesungguhnya merupakan awal mula dari objek dari ilmu hukum dan
bagaimana menyusun suatu peraturan-peraturan bagi pergaulan hidup manusia itu
melalui suatu peraturan-peraturan yang akan mengatur tingkah laku dan
pergaulannya untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita hukum yakni kertertiban
dalam arti yang luas. Untuk menyusun suatu susunan hukum yang baik dan sesuai
dengan cita hukum itu, jelas diperlukan suatu metode. Dan dalam kenyataannya
dalam perkembangan ilmu hukum metodologi hukum sudah berkembang sedemikian
rupa sebagaimana yang terlihat sekarang ini.
Pemahaman dan persepsi kita akan semakin kuat, bila kita kemukakan apa yang
dinyatakan oleh Prof. Muchtar Kusumaatmadja, bahwa hukum itu dapat digunakan
sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Pendapat ini jelas tidak lagi semata-mata
memandang hukum hanya sebagai alat pengatur tingkah laku, untuk menciptakan
ketertiban dalam arti sempit, tetapi lebih dari itu. Begitu pula dengan Rescoe Pound
yang menyatakan hukum dapat digunakan untuk memberikan dan mengembangkan
dasar-dasar pemikirannya dengan menyusun bahan-bahan hukum yang ada, menjadi
hukum yang sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Dengan pandangan diatas ,jelaslah bahwa pengertian dan pandangan kita terhadap
hukum tidak lagi semata-mata tertuju kepada hukum positif atau jurisprudensi atau
pada pernyataan hukum itu hanya terdiri kata-kata. Tetapi merupakan sebagai
sarana. sebagai sarana hukum haruslah disusun melalui suatu metode dan objeknya
tidak hanya hukum positif tetapi tingkah laku manusia dan perubahan sosial yang
dapat diamati.

2. Living law
a. Dalam kehidupan bermasyarakat banyak norma sosial yang harus ditaati. Norma
tersebut merupakan suatu aturan yang memuat pedoman tentang bagaimana perilaku
yang dianggap dapat diterima secara sosial. Apabila seseorang melakukan pelanggaran
terhadap norma sosial tertentu, maka akan ada sanksi sosial seperti dikucilkan,
dicemooh, dan sebagainya. Namun lama-kelamaan diantara norma-norma sosial
tersebut ada yang bersifat memaksa, dimana bila seseorang melanggar norma tersebut
akan memperoleh sanksi yang tegas berupa hukuman. Saat itulah norma sosial
berubah menjadi norma hukum. Norma hukum juga merupakan hasil dari proses
pelembagaan berganda nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Pelembagaan yang
pertama adalah nilai-nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat dilembagakan
sebagai norma sosial bilamana nilai-nilai tersebut ditaati dan ada sanksi sosial bila
melanggar nilai tersebut. Kemudian, pelembagaan yang kedua terjadi ketika sebagian
dari norma-norma sosial tersebut lama-kelamaan bersifat memaksa. Setelah nilai-nilai
tersebut melalui pelembagaan yang kedua maka nilai-nilai tersebut mengalami
perubahan dari norma sosial yang aturannya kurang pasti dan sanksinya tidak jelas
menjadi norma hukum yang mempunyai aturan pasti dan sanksi tegas bagi pelanggar
norma tersebut.3
b. - Norma hukum memiliki aturan pasti sedangkan norma sosial tidak tertulis atau secara
lisan
- Norma hukum sifatnya akan mengikat semua orang sedangkan norma sosial
penegaknya kadang ada kadang tidak ada
- Seperti halnya hukum yang berlaku norma hukum memiliki penegak yang sesui
dengan aturan yang berlaku
- Norma hukum diciptakan oleh para pekerja di pemerintahan atau penguasa
sedangkan norma sosial adalah peraturan yang disepakati dalam masyarakat.
- Sanksi dari norma hukum bersifat berat sedangkan norma sosial akan lebih ringan.
c. Indonesia bukan lah negara yang menganut civil law, namun memiliki sistem hukum
sendiri yakni negara hukum Pancasila. Untuk itu, di samping undang-undang sebagai
sumber hukum utama, Indonesia juga masih mengakui The living law sebagai salah
satu sumber hukumnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa ketentuan di
bawah ini:

3
Mubarak, Zakky, Husmiaty Hasyim, Ismala Dewi, dan Ari Harsono. 2010. Manusia Akhlak, Budi Pekerti dan
Masyarakat. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
1. Pasal 18B ayat (2) Konstitusi Indonesia yang berisi pengakuan terhadap masyarakat
adat dan hak-hak yang dimilikinya. Ketentuan tersebut secara tidak langsung
mengakaui dan menghormati eksistensi The living law dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Hal tersebut ditandai dengan diakuinya desa dan desa adat beserta
hak-hak mereka yang bersumber dari The living law masing-masing.
2. Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman mewajibkan seorang hakim untuk menggali rasa
hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Artinya hakim dalam
memutus perkara tidak sebatas sebagai the speaker of the law sebagaimana dalam
tradisi civil law. Hakim diberikan kebebasan untuk menggali The living law untuk
terciptanya keadilan. Bahkan dalam hal terjadi kekosongan hukum, penemuan
hukum oleh hakim memakai hukum yang eksis dalam masyarakat.
3. Dalam UUPA ditentukan bahwa hukum tanah nasional didasarkan pada hukum
adat. Hal tersebut ditandai dengan adanya pengakuan terhadak hak ulayat.
4. Dalam UU Perkawinan ditentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilaksanakan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
5. Dalam hukum waris diperkenankan pluralisme hukum, dimana ada hukum waris
islam, adat, dan barat.

Contoh-contoh di atas menandakan bahwa The living law masih diakui dalam sistem
hukum Indonesia. Bahkan, The living law merupakan sumber hukum materil dari
pembentukan hukum positif di Indonesia. Banyak ketentuan-ketentuan yang ada
dalam hukum Islam dipositivisasi oleh negara. Namun demikan, keberlakuan The living
law di Indonesia wajib disesuaikan dengan hukum nasional. Misalkan dalam hukum
pidana secara ketat menggunakan asas legalitas formil, maka jika ada kejahatan yang
tidak dikriminalisasi dalam undang-undang tidak dapat dipidana, walaupun perbuatan
tersebut bertentangan dengan The living law.4

3. Hukum tertulis dan tidak tertulis

4
Syofyan Hadi, HUKUM POSITIF DAN THE LIVING LAW (Eksistensi dan Keberlakuannya dalam Masyarakat), DiH
Jurnal Ilmu Hukum Volume 13 Nomor 26 Agustus 2017, hlm. 264-265
a. Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal
yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat dan
kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikan rupa, sehingga tindakan
yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan
hukum, maka dengan demikian timbullah suatu kebiasaan hukum, yang oleh
pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
Di dalam masyarakat, kenyataan keberadaan hukum tidak tertulis atau kebiasaan
diakui sebagai norma hukum yang patut dipatuhi. Dalam praktek penyelenggaraan
negara, hukum tidak tertulis disebut konvensi. Dipatuhinya hukum tidak tertulis
karena adanya kekosongan hukum tertulis yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat/negara. Oleh karena itu, hukum tidak tertulis (kebiasaan) sering
digunakan oleh para hakim untuk memutuskan perkara yang belum pernah diatur di
dalam Undang-Undang.
b. apabila ternyata dalam peraturan perundang-undangan tidak ada ketentuannya
atau jawabannya, maka barulah mencari dalam hukum kebiasaan atau kearifan
lokal. Hukum kebiasaan adalah hukum yang tidak tertulis, untuk menemukannya
adalah dengan cara menanyakan kepada tokoh masyarakat atau warganya yang
dianggap mengetahui tentang kebiasaaan masyarakat setempat.
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) sebagai berikut:
Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dari pendapat di atas, perlu dipahami bahwa hakim memiliki peran penting dalam
menegakkan hukum, salah satunya dengan melakukan konstruksi melalui nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana disebutkan
oleh Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan ini dimaksudkan agar
putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan nilai hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa hakim boleh menjadikan hukum tidak tertulis
sebagai dasar untuk mengadili, hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 50 ayat
(1) UU Kekuasaan Kehakiman, yaitu:
Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat
pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Maka dari itu, hakim sebagai penegak hukum dan keadilan memiliki kekuatan untuk
menggunakan hukum tidak tertulis sebagai dasar memutus.
4. Omnibus law
a. Dalam perumusan Perubahan Undang-Undang Cipta Kerja melibatkan beberapa
pihak yang pertama DPR, serta beberapa perwakilan dari buruh yang pada saat itu
perwakilan dari buruh sudah beberapa kali melakukan pertemuan dalam membahas
UU Cipta Kerja ini namun, Perwakilan dari uruh ini memilih Walk Out.
b. Pengaturan dan proses perumusan Undang-Undang Cipta Kerja ini diklaim sudah
sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011.
Namun dalam prosesnya Perumusan Undang-Undang ini dilakukan secara tertutup
sehingga masyarakat tidak mengetahui bagaimana proses nya. Omnibus Law yang
diterapkan salam system hukum nasional meliputi materi hukum yang berupa
aturan dan norma yang merupakan pola perilaku masyarakat yang berbasis system
hukum nasional dan Pancasila.
Omnibus law ini merefleksikan gejala-gejala hukum terhadap pandangan akan nilai-
nali dan prilaku hukum dalam masyarakat berbasis evaluasi hukum.
c. upaya masyarakat terhadap produk peraturan perundang-undangan yang tidak
sejalan dengan kehendak masyarakat (yang dianggap bertentangan dengan
masyarakat) dapat dilakukan pembatalan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja ini.
Pembatalan UU dapat dilakukan dengan dua cara, pertama, masyarakat bisa
mengajukan permohonan pengujian baik formil maupun materil UU Cipta Kerja ke
Mahkamah Konstitusi. Kedua, masyarakat dapat meminta kepada presiden untuk
mengeluarkan Perppu untuk membatalkan UU CIpta Kerja ini.

Anda mungkin juga menyukai