Anda di halaman 1dari 22

LANDASAN TEORI

INFEKSI ODONTOGEN

Infeksi odontogen adalah infeksi yang berasal atau bersumber dari dalam
gigi.

Etiologi

Penyebabnya adalah bakteri yang merupakan flora normal dalam mulut,


yaitu bakteri dalam plak, dalam sulkus ginggiva, dan mukosa mulut. Bakteri
yang utama ditemukan adalah bakteri kokus aerob gram positif, kokus anaerob
gram positif dan batang anaerob gram negative. Bakteri-bakteri tersebut dapat
menyebabkan karies, gingivitis, dan periodontitis. Jika mencapai jaringan yang
lebih yang lebih dalam melalui nekrosis pulpa dan pocket periodontal dalam,
maka akan terjadi infeksi odontogen (Ariji et. al.2002).

Infeksi odontogen biasanya disebabkan oleh bakteri endogen. Lebih dari


setengah kasus infeksi odontogen yang ditemukan (sekitar 60 %) disebabkan
oleh bakteri anaerob. Organisme penyebab infeksi odontogen yang sering
ditemukan pada pemeriksaan kultur adalah alpha-hemolytic Streptococcus,
Peptostreptococcus, Peptococcus, Eubacterium, Bacteroides (Prevotella)
melaninogenicus, and Fusobacterium. Bakteri aerob sendiri jarang
menyebabkan infeksi odontogen (hanya sekitar 5 %). Bila infeksi odontogen
disebabkan bakteri aerob, biasanya organisme penyebabnya adalah species
Streptococcus. Infeksi odontogen banyak juga yang disebabkan oleh infeksi
campuran bakteri aerob dan anaerob yaitu sekitar 35 %. Pada infeksi campuran
ini biasanya ditemukan 5-10 organisme pada pemeriksaan kultur (Ariji et. Al.
2002).
Patofisiologi Infeksi Gigi

Infeksi gigi merupakan suatu hal yang sangat mengganggu manusia,


infeksi biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya karies gigi yang
sudah mendekati ruang pulpa, kemudian akan berlanjut menjadi pulpitis dan
akhirnya akan terjadi kematian pulpa gigi (nekrosis pulpa). Infeksi gigi dapat
terjadi secara lokal atau meluas secara cepat. Adanya gigi yang nekrosis
menyebabkan bakteri bisa menembus masuk ruang pulpa sampai apeks gigi.
Foramen apikalis dentis pada pulpa tidak bisa mendrainase pulpa yang
terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan
atau jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut (Green
et. Al. 2001).

Penjalaran infeksi odontogen akibat dari gigi yang nekrosis dapat


menyebabkan abses, abses ini dibagi dua yaitu penjalaran tidak berat (yang
memberikan prognosis baik) dan penjalaran berat (yang memberikan prognosis
tidak baik, di sini terjadi penjalaran hebat yang
apabila tidak cepat ditolong akan menyebabkan kematian). Adapun yang termasuk penjalaran
tidak berat adalah serous periostitis, abses subperiosteal, abses submukosa, abses subgingiva,
dan abses subpalatal, sedangkan yang termasuk penjalaran yang berat antara lain abses
perimandibular, osteomielitis, dan phlegmon dasar mulut. Gigi yang nekrosis juga merupakan
fokal infeksi penyakit ke organ lain, misalnya ke otak menjadi meningitis, ke kulit menjadi
dermatitis, ke mata menjadi konjungtivitis dan uveitis, ke sinus maxilla menjadi sinusitis
maxillaris, ke jantung menjadi endokarditis dan perikarditis, ke ginjal menjadi nefritis, ke
persendian menjadi arthritis (Green et. al. 2001).

Infeksi odontogenik merupakan suatu proses infeksi yang primer atau sekunder yang
terjadi pada jaringan periodontal, perikoronal, karena traumatik atau infeksi pasca bedah. Ciri
khas dari infeksi odontogenik adalah berasal dari karies gigi yang merupakan suatu proses
dekalsifikasi email. Suatu perbandingan demineralisasi dan remineralisasi struktur gigi terjadi
pada perkembangan lesi karies. Demineralisasi yang paling baik pada gigi terjadi pada saat
aktivasi bakteri yang tinggi dan dengan pH yang rendah. Remineralisasi yang paling baik
terjadi pada pH lebih tinggi dari 5,5 dan pada saliva terdapat konsentrasi kalsium dan fosfat
yang tinggi. Sekali email larut, infeksi karies dapat langsung melewati bagian dentin yang
mikroporus dan langsung masuk ke dalam pulpa (Green et. al. 2001).

Di dalam pulpa, infeksi dapat berkembang melalui suatu saluran langsung menuju
apeks gigi dan dapat menggali menuju ruang medulla pada maksila atau mandibula. Infeksi
tersebut kemudian dapat melobangi plat kortikal dan merusak jaringan superficial dari rongga
mulut atau membuat saluran yang sangat dalam pada daerah fasial. Serotipe dari
streptococcus mutans (cricetus, rattus, ferus, sobrinus) merupakan bakteri yang utama
dapat menyebabkan penyakit dalam rongga mulut. Tetapi meskipun lactobacilli bukan
penyebab utama penyakit, mereka merupakan suatu agen yang progresif pada karies gigi,
karena mereka mempunyai kapasitas produksi asam yang baik (Green et. al. 2001).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan penyebaran dan kegawatan infeksi


odontogenik adalah:

 Jenis dan virulensi kuman penyebab.


 Daya tahan tubuh penderita.
 Jenis dan posisi gigi sumber infeksi.
 Panjang akar gigi sumber infeksi terhadap perlekatan otot-otot.
 Adanya tissue space dan potential space.
Gejala Klinis

Penderita biasanya datang dengan keluhan sulit untuk membuka mulut (trismus), tidak
bisa makan karena sulit menelan (disfagia), nafas yang pendek karena kesulitan bernafas.
Penting untuk ditanyakan riwayat sakit gigi sebelumnya, onset dari sakit gigi tersebut apakah
mendadak atau timbul lambat, durasi dari sakit gigi tersebut apakah hilang timbul atau terus-
menerus, disertai dengan demam atau tidak, apakah sudah mendapat pengobatan antibiotik
sebelumnya (Ariji et. al. 2002).

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda infeksi yaitu ;

1. Rubor : permukaan kulit yang terlibat infeksi terlihat kemerahan


akibat vasodilatasi, efek dari inflamasi
2. Tumor : pembengkakan, terjadi karena akumulasi nanah atau cairan exudat
3. Kalor : teraba hangat pada palpasi karena peningkatan aliran darah ke area infeksi
4. Dolor : terasa sakit karena adanya penekanan ujung saraf sensorik oleh
jaringan yang bengkak akibat edema atau infeksi
5. Fungsiolaesa : terdapat masalah denagn proses mastikasi, trismus, disfagia,
dan gangguan pernafasan.

Infeksi yang fatal bisa menyebabkan gangguan pernafasan, disfagia, edema palpebra,
gangguan penglihatan, oftalmoplegia, suara serak, lemah lesu dan gangguan susunan saraf
pusat (penurunan kesadaran, iritasi meningeal, sakit kepala hebat, muntah).

Pemeriksaan fisik dimulai dari ekstra oral, lalu berlanjut ke intra oral. Dilakukan
pemeriksaan integral (inspeksi, palpasi dan perkusi) kulit wajah, kepala, leher, apakah ada
pembengkakan, fluktuasi, eritema, pembentukan fistula, dan krepitasi subkutaneus. Dilihat
adakah limfadenopati leher, keterlibatan ruang fascia, trismus dan derajat dari trismus.
Kemudian diperiksa gigi, adakah gigi yang caries, kedalaman caries, vitalitas gigi, lokalisasi
pembengkakan, fistula dan mobilitas gigi.
JENIS INFEKSI ODONTOGEN

a) Pericoronitis
i) Definisi

Pericoronitis didefinisikan sebagai infeksi yang terjadi di dalam rongga mulut dan
mengeluarkan simtom. Secara klinis, perikorontis seperti abses periodontal namun begitu,
etiologik nya berbeda. (Topazian et. al.,2002) "Peri-" berarti "di sekitar." perkataan "-coron-"
bagian dari istilah mengacu pada "mahkota" dari gigi. Akhiran "-itis" mengacu pada adanya
infeksi. Jadi, kata perikoronitis secara harfiah berarti "infeksi di sekitar bagian mahkota gigi."
(Peterson et. al.,2003)

ii) Gambaran Klinis dan Diagnosa.

Perikoronitis dapat memberi efek terhadap molar ketiga kerana kasus impaksi banyak
terjadi pada molar ketiga dan ia terletak pada pinggir anterior mandibular. Oleh karena itu,
kasus impaksi molar ketiga banyak terjadi pada usia dewasa muda. (Peterson et. al.,2003)

Perikoronitis akut mulanya terjadi sebagai kesakitan yang terjadi secara local dan
pembekakan gingiva. Kesakitan in dapat dirasai pada bahagian muka, telinga atau sudut pada
mandibular. Apabila dilakukan diagnosa secara visual dan palpasi, terdapat pembekakan,
inflamasi, dan bahagian lunak pada jaringan lunak yang terletak disekeliling koronal termasuk
oklusal. (Topazian et. al.,2002)

Inspeksi menunjukkan terdapt akumulasi plak dan debris pada porsi yang terdedah
pada gigi yang terinfeksi dan juga gigi tetangga karena jaringan lunak yang mengalami infeksi
tersebut menghalang sikat gigi untuk mencapai daerah tersebut. Pus dapat terlihat dibawah
margin jaringan perikoronal atau dapat dikeluarkan apabila dilakukan palpasi. (Topazian et.
al.,2002)

Massa retromolar terdiri dari campuran jaringan kolagenik yang cukup padat dan
pembengkakan jaringan granulasi, dengan moderat untuk sejumlah besar sel inflamasi kronis
campuran di seluruh daerah terinfeksi. Mukosa superior dapat ulserasi dengan tempat ulkus
debris nekrotik fibrinoid. Epitel berdekatan dengan gigi yang terinfeksi biasanya menyajikan
dengan kombinasi proses rete hiperplasia, degenerasi dan nekrosis, dan mungkin dengan
neutrofil. Koloni bakteri, plak gigi dan sisa-sisa makanan nekrotik mungkin melekat pada
epitel. Secara patologis harus membedakan lesi ini dari granuloma piogenik dan gingivitis
rutin, dan ini sering membutuhkan korelasi dengan gambaran klinis. (Malik,2011)
iii) Etilogi

Etiologi perikoronitis secara umum adalah infeksi. Namun beigtu, mikroorganisma


spesifik yang menyebabkan perikoronitis ini masih belum diketahui. Tetapi terdapat
penelitian yang menemukan S.viridans, campuran flora oral, spirochetes dan sobakteri terlibat
didalam kasus ini. Terdapat penelitian lain juga menemukan prevotella intermedia,
Peptostreptococcus micros, F. nucleatum, A. actinomycetemcomitans dan Veillonella di
dalam poket lesi akut perikoronal. (Topazian et. al.,2002)

Disamping itu, etiologi perikoronitis adalah trauma dari gigi tetangga dalam terjadinya
ekserbasi dan pembekakan jaringan. Faktor lainnya adalah stress emosi, rokok, chronic
fatigue, dan infeksi pada saluran respiratori di bahagian atas. (Topazian et. al.,2002)

iv) Klasifikasi

Perikoronitis diklasifikasikan menjadi kronis dan akut. Perikoronitis kronis dapat hadir
tanpa atau hanya gejala ringan dan remisi panjang antara setiap peninggian fase untuk
perikoronitis akut. Perikoronitis akut dikaitkan dengan berbagai gejala termasuk sakit parah,
pembengkakan dan demam. Kadang-kadang ada abses perikoronal terkait (akumulasi nanah) .
Infeksi ini dapat menyebar ke bagian lain dari wajah atau leher, dan kadang-kadang dapat
menyebabkan jalan nafas (misal Ludwig angina) yang membutuhkan perawatan rumah sakit
darurat. (Malik,2011)

v) Patogenesis

Umumnya, bakteri tidak dijumpai dalam jaringan. Namun, apabila terdapat „port de
entre‟, bakteri tersebut dapat menginvasi jaringa. Pertahanan pertama yaitu PMN akan terjadi
pada daerah terinfeksi termasuk thrombosis yang memenuhi jaringan vaskuler dalam
mempertahankan homeostasis. Jumlah leukosit dan mikroorganisme meningkat seterusnya
menyebabkan terjadinya pus. Bakteri yang sering ditemukan adalah Stretococcus Viridians
pada tempat terjadinya abses. Penelitian dilakukan, eksudat pericoronitis terdapat 90.2%
oraganisme „obligate anaerobes‟. (Malik,2011)

vi) Mekanisme Terjadinya Trismus akibat Perikoronitis

Infeksi pada daerah mastikator sering terjadi akibat infeksi dari gigi molar
terutamanya infeksi dari molar ketiga. perikoronitis dari daerah molar ketiga atau abses yang
terjadi akibat dari abses sering ditemukan dalam kasus ini dimana mikroorganisma yang
berasal dari molar ketiga dan menyebar ke 'masticator spaces'. (Topazian et.al., 2002)
Infeksi yang terjadi pada 'masticator spaces' menyebabkan otot mastikator juga terlibat
dan seterusnya terjadi keradangan dan pembekakan di sekitar sudut mandibular apabila
dilakukan pemeriksaan secara visual. Pasien yang mengalami ini akan berdepan dengan
kesulitan dalam membuka mulut atau sewaktu mengunyah. (Topazian et.al., 2002)

vii) Penatalaksanaan

Penatalaksanaan perikoronitis termasuklah control terhadap infeksi dan tergantung


terhadap uji awalnya. Tingkat keparahan infeksi dan penyebaran infeksi menentukan
penatalkasanaan perikoronitis. Infeksi yang sudah menyebar ke kelenjar limfe, ruangan fasial
akan menyebabkan demam yang parah dan memerluka perawatan yang lebih daripada
perikoronitis akut. Selain itu, amat penting untuk diketahui gigi yang ter infeksi dan prognosa
jaringan perikoronal sama ada bisa sembuh atau sebaliknya. (Malik,2011)

Pengobatan definitif segera perikoronitis akut dianjurkan karena perawatan bedah


telah terbukti untuk mengatasi penyebaran infeksi dan rasa sakit, dengan pengembalian lebih
cepat dari fungsi. Juga pengobatan langsung menghindari penggunaan antibiotic yang terlalu
sering (mencegah resistensi antibiotik ). (Peterson et. al.,2003)

Namun, operasi kadang-kadang tertunda di daerah infeksi akut, dengan bantuan nyeri
dan antibiotik , karena alasan (Peterson et. al.,2003) :

 Mengurangi risiko yang menyebabkan situs bedah yang terinfeksi dengan tertunda
penyembuhan (misalnya osteomyelitis atau cellulitis).
 Menghindari pengurangan efisiensi anestesi lokal yang disebabkan oleh lingkungan
asam jaringan yang terinfeksi.
 Menyelesaikan pembukaan mulut yang terbatas, membuat bedah mulut lebih mudah.
 Prognosa pasien lebih baik dengan perawatan gigi ketika bebas dari rasa sakit .
 Memungkinkan untuk perencanaan yang memadai dengan waktu prosedur yang
dialokasikan dengan benar.

Pertama, area di bawah operkulum yang lembut diirigasi untuk menghilangkan kotoran
dan eksudat inflamasi. Seringkali garam hangat digunakan tetapi solusi lain dapat digunakan
yang mengandung hidrogen peroksida, chlorhexidine atau antiseptik lainnya. Irigasi dapat
dibantu dalam hubungannya dengan debridement (menghilangkan plak, kalkulus dan sisa-sisa
makanan) dengan instrumen periodontal. Irigasi mungkin cukup untuk meringankan setiap
abses perikoronal terkait, jika sayatan kecil dapat dibuat untuk memungkinkan drainase.
Memendekkan gigi lawan yang menggigit ke dalam operkulum yang terkena untuk
menghilangkan sumber trauma. (Peterson et. al.,2003)

Setelah pengobatan, jika ada tanda-tanda sistemik dan gejala, seperti wajah atau leher
bengkak, limfadenitis serviks, demam atau malaise, antibiotik oral harus diberikan. Antibiotik
umum digunakan adalah dari kelompok penisilin, klindamisin dan metronidazol. (Peterson et.
al.,2003)

Jika ada disfagia atau sesak (kesulitan menelan atau bernapas), maka ini biasanya berarti
ada infeksi parah dan harus dihantar ke rumah sakit yang tepat sehingga obat dapat diberikan
secara intravena. Kadang-kadang operasi semi- darurat dapat diatur untuk menurunkan
pembengkakan yang mengancam jalan napas. (Peterson et. al.,2003)

b) Abses

1. Abses periapikal

Abses periapikal sering juga disebut abses dento-alveolar, terjadi di daerah

periapikal gigi yang sudah mengalami kematian dan terjadi keadaan eksaserbasi akut.

Mungkin terjadi segera setelah kerusakan jaringan pulpa atau setelah periode laten

yang tiba-tiba menjadi infeksi akut dengan gejala inflamasi, pembengkakan dan

demam. Mikroba penyebab infeksi umumnya berasal dari pulpa, tetapi juga bisa

berasal sistemik (bakteremia).

Gambar 2.2 : Abses periapikal

1.1 Abses Apikalis Akut


Abses apikalis akut adalah proses inflamasi pada jaringan periapikal gigi, yang
disertai pembentukan eksudat. Abses apikalis akut disebabkan masuknya bakteri, serta
produknya dari saluran akar gigi yang terinfeksi.(ingel) Abses apikalis akut ditandai
dengan nyeri yang spontan, adanya pembentukan nanah, dan pembengkakan.
Pembengkakan biasanya terletak divestibulum bukal, lingual atau palatal tergantung
lokasi apeks gigi yang tekena. Abses apikialis akut juga terkadang disertai dengan
manifestasi sistemik seperti meningkatnya suhu tubuh, dan malaise. Tes perkusi abses
apikalis akut akan mengahasilkan respon yang sangat sensitif, tes palpasi akan
merespon sensitif. Sedangkan tes vitalitas tidak memberikan respon.
Secara histologi abses apikalis akut menunjukkan adanya lesi destruktif dari
nekrosis yang mengandung banyak leukosit PMN yang rusak, debris, dan sel serta
eksudat purulen. Gambaran radiografis abses apikalis akut, terlihat penebalan pada
ligamen periodontal dengan lesi pada jaringan periapikal.

Gambar 2.3. Gambaran radiografi dari abses periapikal akut


Sumber : Ingle J.I. Endodontics 5th ed. 2002.p.185. 21
1.2 Abses Apikalis Kronis
Abses apikalis kronis merupakan keadaan yang timbul akibat lesi yang
berjalan lama yang kemudian mengadakan drainase ke permukaan. Abses apikalis
kronis disebabkan oleh nekrosis pulpa yang meluas ke jaringan periapikal, dapat juga
disebabkan oleh abses akut yang sebelumnya terjadi. Abses adalah kumpulan pus yang
terbentuk dalam jaringan. Pus ini merupakan suatu kumpulan sel-sel jaringan lokal
yang mati, sel-sel darah putih, organisme penyebab infeksi atau benda asing dan racun
yang dihasilkan oleh orgnisme dan sel darah. Abses apikalis kronis merupakan reaksi
pertahanan yang bertujuan untuk mencegah infeksi menyebar kebagian tubuh lainnya.
Abses apikalis kronis berkembang dan membesar tanpa gejala yang subjektif,
hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan radiografis atau dengan adanya fistula
didaerah sekitar gigi yang terkena. Fistula merupakan ciri khas dari abses apikalis
kronis. Fistula merupakan saluran abnormal yang terbentuk akibat drainasi abses.
Abses apikalis kronis pada tes palpasi dan perkusi tidak memberikan respon non-
sensitif, Sedangakn tes vitalitas tidak memberikan respon. Gambaran radiografis abses
apikalis kronis terlihat putusnya lamina dura hingga kerusakan jaringan periradikuler
dan interradikuler.
2. Abses subperiosteal

Gejala klinis abses subperiosteal ditandai dengan selulitis jaringan lunak mulut

dan daerah maksilofasial. Pembengkakan yang menyebar ke ekstra oral, warna kulit

sedikit merah pada daerah gigi penyebab. Penderita merasakan sakit yang hebat,

berdenyut dan dalam serta tidak terlokalisir. Pada rahang bawah bila berasal dari gigi

premolar atau molar pembengkakan dapat meluas dari pipi sampai pinggir mandibula,

tetapi masih dapat diraba. Gigi penyebab sensitif pada sentuhan atau tekanan.

a b
Gambar 2.3 : a. Ilustrasi gambar Abses subperiosteal dengan lokalisasi di
daearah lingual
b. Tampakan Klinis Abses Subperiosteal
Sumber : Oral Surgery, Fargiskos Fragiskos D, Germany, Springer

3. Abses submukosa

Abses ini disebut juga abses spasium vestibular, merupaan kelanjutan abses

subperiosteal yang kemudian pus berkumpul dan sampai dibawah mukosa setelah

periosteum tertembus. Rasa sakit mendadak berkurang, sedangkan pembengkakan

bertambah besar. Gejala lain yaitu masih terdapat pembengkakan ekstra oral kadang-

kadang disertai demam.lipatan mukobukal terangkat, pada palpasi lunak dan fluktuasi

podotip. Bila abses berasal darigigi insisivus atas maka sulkus nasolabial mendatar,

terangatnya sayap hidung dan kadang-kadang pembengkakan pelupuk mata bawah.

Kelenjar limfe submandibula membesar dan sakit pada palpasi.


a b
Gambar 2.4 : a. Ilustrasi gambar Abses Submukosa dengan lokalisasi didaerah bukal.
b. Tampakan klinis Abses Submukosa
Sumber : Oral Surgery, Fargiskos Fragiskos D, Germany, Springer

4. Abses fosa kanina

Fosa kanina sering merupakan tempat infeksi yang bersal dari gigi rahang atas

pada regio ini terdapat jaringan ikat dan lemak, serta memudahkan terjadinya

akumulasi cairan jaringan. Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan pada muka,

kehilangan sulkus nasolabialis dan edema pelupuk mata bawah sehingga tampak

tertutup. Bibir atas bengkak, seluruh muka terasa sakit disertai kulit yang tegang

berwarna merah.

a b
Gambar 2.5 : a. Ilustrasi abses Fossa kanina
b. Tampakan klinis Abses Fossa kanina
Sumber : Oral Surgery, Fragiskos Fragiskos D, Germany, Springer
5. Abses spasium bukal

Spasium bukal berada diantara m. masseter ,m. pterigoidus interna dan m.

Businator. Berisi jaringan lemak yang meluas ke atas ke dalam diantara otot

pengunyah, menutupi fosa retrozogomatik dan spasium infratemporal. Abses dapat

berasal dari gigi molar kedua atau ketiga rahang atas masuk ke dalam spasium bukal.

Gejala klinis abses ini terbentuk di bawah mukosa bukaldan menonjol ke arah

rongga mulut. Pada perabaan tidak jelas ada proses supuratif, fluktuasi negatif dan gigi

penyebab kadang-kadang tidak jelas. Masa infeksi/pus dapat turun ke spasium terdekat

lainnya. Pada pemeriksaan estraoral tampak pembengkakan difus, tidak jelas pada

perabaan.

a b
Gambar 2.6 : a. Ilustrasi gambar memperlihatkan penyebaran abses
lateral ke muskulus buccinator
b. Tampakan Klinis
Sumber : Oral Surgery, Fragiskos Fragiskos D, Germany, Springer

6. Abses spasium infratemporal

Abses ini jarang terjadi, tetapi bila terjadi sangat berbahaya dan sering

menimbulkan komplikasi yang fatal. Spasium infratemporal terletak di bawah dataran

horisontal arkus-zigomatikus dan bagian lateral di batasi oleh ramus mandibula dan

bagian dalam oleh m.pterigoid interna. Bagian atas dibatasi oleh m.pterigoid

eksternus. Spasium ini dilalui a.maksilaris interna dan n.mandibula, milohioid, lingual,
businator, dan n.chorda timpani. Berisi pleksus venus pterigoid dan juga berdekatan

dengan pleksus faringeal.

a b
Gambar 2.7 : a. Ilustrasi gambar penyebaran abses ke rongga infratemporal
b. Tampakan klinis
Sumber : Oral Surgery, Fargisos Fragiskos D, Germany, Springer

7. Abses spasium submasseter

Spasium submasseter berjalan ke bawah dan ke depan diantara insersi otot

masseter bagian superfisialis dan bagian dalam. Spasium ini berupa suatu celah sempit

yang berjalan dari tepi depan ramus antara origo m.masseter bagian tengah dan

permukaan tulang. Keatas dan belakang antara origo m.masseter bagian tengah dan

bagian dalam. Disebelah belakang dipisahkan dari parotis oleh lapisan tipis lembar

fibromuskular. Infeksi pada spasium ini berasal dari gigi molar tiga rahang bawah,

berjalan melalui permukaan lateral ramus ke atas spasium ini.

Gejala klinis dapat berupa sakit berdenyut diregio ramus mansibula bagian

dalam, pembengkakan jaringan lunak muka disertai trismus yang berjalan cepat,

toksik dan delirium. Bagian posterior ramus mempunyai daerah tegangan besar dan

sakit pada penekanan.


a b
Gambar 2.8 : a. Ilustrasi gambar menunjukkan penyebaran abses ke daerah submasseter
b. Tampakan klinis
Sumber : Oral Surgery, Fragiskos Fragiskos D, Germany, Springer

8. Abses spasium submandibula

Spasium ini terletak dibagian bawah m.mylohioid yang memisahkannya dari

spasium sublingual. Lokasi ini di bawah dan medial bagian belakang mandibula.

Dibatasi oleh m.hiooglosus dan m.digastrikus dan bagian posterior oleh m.pterigoid

eksternus. Berisi kelenjar ludah submandibula yang meluas ke dalam spasium

sublingual. Juga berisi kelenjar limfe submaksila. Pada bagian luar ditutup oleh fasia

superfisial yang tipis dan ditembus oleh arteri submaksilaris eksterna.

Infeksi pada spasium ini dapat berasal dari abses dentoalveolar, abses

periodontal dan perikoronitis yang berasal dari gigi premolar atau molar mandibula.

a b
Gambar 2.9 : a. Ilustrasi gambar penyebaran dari abses ke
daerah submandibular di bawah muskulus mylohyoid
b. Tampakan klinis
Sumber : Oral Surgery, Fragiskos Fragiskos D, Germany, Springer

9. Abses sublingual

Spasium sublingual dari garis median oleh fasia yang tebal , teletek diatas

m.milohioid dan bagian medial dibatasi oleh m.genioglosus dan lateral oleh

permukaan lingual mandibula.

Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan daasarr mulut dan lidah terangkat,

bergerser ke sisi yang normal. Kelenjar sublingual aan tampak menonjol karena

terdesak oleh akumulasi pus di bawahnya. Penderita akan mengalami kesulitan

menelen dan terasa sakit.

a b
Gambar 2.10 : a. Perkembangan abses di daerah sublingual
b. Pembengkakan mukosa pada dasar mulut dan elevasi
lidah ke arah berlawanan
Sumber : Oral surgery, Fragiskos Fragiskos D, Germany, Springer

10. Abses spasium submental

Spasium ini terletak diantara m.milohioid dan m.plastima. di depannya

melintang m.digastrikus, berisi elenjar limfe submental. Perjalanan abses kebelakang

dapat meluas ke spasium mandibula dan sebaliknya infesi dapat berasal dari spasium

submandibula. Gigi penyebab biasanya gigi anterior atau premolar.

Gejala klinis ditandai dengan selulitis pada regio submental. Tahap akhir akan

terjadi supuratif dan pada perabaan fluktuatif positif. Pada npemeriksaan intra oral
tidak tampak adanya pembengkakan. Kadang-kadang gusi disekitar gigi penyebab

lebih merah dari jaringan sekitarnya. Pada tahap lanjut infeksi dapat menyebar juga

kearah spasium yang terdekat terutama kearah belakang.


a b
Gambar 2.11 : a. Ilustrasi penyebaran abses ke daerah submental
b. Tampakan klinis
Sumber : Oral Surgery, Fragiskos Fragiskos D, Germany, Springer

11. Abses spasium parafaringeal

Spasium parafaringeal berbentuk konus dengan dasar kepala dan apeks

bergabung dengan selubung karotid. Bagian luar dibatasi oleh muskulus pterigoid

interna dan sebelah dalam oleh muskulus kostriktor. sebelah belakang oleh glandula

parotis, muskulus prevertebalis dan prosesus stiloideus serta struktur yang berasal dari

prosesus ini. Kebelakang dari spasium ini merupakan lokasi arteri karotis, vena

jugularis dan nervus vagus, serta sturktur saraf spinal, glosofaringeal, simpatik,

hipoglosal dan kenjar limfe.

Infeksi pada spasium ini mudah menyebar keatas melalui berbagai foramina

menuju bagian otak. Kejadian tersebut dapat menimbulkan abses otak, meningitis atau

trombosis sinus. Bila infeksi berjalan ke bawah dapat melalui selubung karotis sampai

mediastinuim.

c) PERIODONTITIS APIKALIS

Periodontitis apikal dapat didefinisikan sebagai peradangan semua struktur pendukung


gigi di daerah sekitar apeks gigi. Inflamasi periapikal biasanya disebabkan oleh infeksi gigi
yang khas menyebabkan sakit gigi dalam soketnya. Hal ini sering disertai dengan kerusakan
tulang dan kadang-kadang, apeks akar gigi. Namun jaringan periapikal memiliki kemampuan
untuk menyembuhkan jika penyebab peradangan dihapus. Periodontitis periapikal dapat
dibagi menjadi periodontitis apikal akut dan kronis.
Etiologi

i. Infeksi
Penyebab paling umum dari penyakit ini adalah infeksi bakteri yang
menyebabkan kerusakan gigi, yang mengarah ke peradangan pulpa (yang
merupakan daerah dalam tender gigi). Peradangan ini disebut pulpitis. Jika pulpitis
ini tidak diobati, racun bakteri bisa merangkak ke dalam saluran akar,
menyebabkan periodontitis.
ii. Trauma
Setiap pukulan langsung ke gigi kadang-kadang dapat menyebabkan pulpa gigi
mati dan mungkin menjadi terinfeksi oleh bakteri dari margin gusi, yang
menyebabkan periodontitis apikal. Sebuah gigitan tiba-tiba pada benda keras,
tekanan yang tidak semestinya selama perawatan ortodontik dapat menyebabkan
periodontitis akut meskipun biasanya berumur pendek.
iii. Perawatan saluran akar
Instrumentasi mekanis melalui akar gigi selama pengobatan atau dari bahan
kimia pengisi saluran akar juga dapat menyebabkan peradangan pada daerah
periapikal.

Macam Periodontitis Apikalis

Periodontitis Apikalis Akut

Periodontitis apikalis akut adalah suatu keradangan akut dari jaringan periodontal dan tulang
di daerah apical gigi. Gejala subjektif dari periodontitis apikalis akut berupa sakit yang sangat,
terutama bila gigi yang bersangkutan ini digunakan untuk menggigit, selain itu gigi yang
bersangkutan terasa lebih menonjol. Pada pemeriksaan klinis, gigi yang mengalami
periodontitis apikalis akut sudah non-vital, pada pemeriksaan perkusi dan juga drug terasa
sakit sekali. Sakit ini disebabakan oleh adanya keradangan yang terdapat di jaringan
periapikal.

Periodontitis Apikalis Kronis

Periodontitis apikalis kronis adalah suatu keradangan kronis pada jaringan periapikal
gigi yang biasanya merupakan kenajutan dari periodontitis apikalis akut. Namun periodontitis
apikalis kronis ini biasanya merupakan kelainan yang terjadi sejak awal tanpa menunjukkan
gejala akut terlebih dahulu. Hal ini bias diakibatkan oleh karena infeksi periapikal yang ada
sifatnya ringan, atau bias juga karena resistensi jaringan cukup baik, atau gabungan keduanya.
Rasa sakit yang timbul biasanya berupa keluhan kemeng atau kadang-kadang tidak
ada keluhan sama sekali. Pada pemeriksaan klinis didapatkan berupa gigi yang telah non-
vital, pada pemeriksaan perkusi dan drug bias didapatkan keluhan rasa sakit berupa kemeng
atau sama sekali tidak ada respon sakit.

Patofisiologi

Patogenesis penyakit jaringan pulpa dan periapikal gigi yang merupakan kelanjutan
dari proses karies gigi dapat dijelaskan secara lebih rinci seperti berikut ini. Jika gigi dengan
karies superfisialis tidak dirawat, maka kerusakan akan terus berlanjut dari enamel ke dentin.
Biasanya seseorang baru menyadari adanya kerusakan pada giginya apabila sudah timbul rasa
nyeri. Nyeri akan timbul apabila rangsangan/jejas mengenai ujung sel odontoblast
di batas dentin dengan e n a m e l ya n g m e r u p ak an ga r i s d ep a n p er t ah
an a n j a r i n ga n pul p a . Apa b i l a r a n gs a n ga n su d ah mencapai pulpa, nyeri
dentin dapat berlanjut menjadi nyeri pulpa. Kemudian terjadi reaksi pada system aliran darah
mikro dan system seluler jaringan pulpa. Proses ini menyebabkan udema pada pulpa karena
terganggunya keseimbangan antara aliran darah yang masuk dengan yang keluar. Udema pada
pulpa yang terletak didalam rongga pulpa yang sempit mengakibatkan system persarafan
pulpa terjepit, sehingga menimbulkan rasa nyeri hebat yang sering hampir tak tertahankan.
Persyarafan pulpa gigi adalah serat syaraf cabang sensorik ganglion Trigeminal dan cabang
otonomik ganglion servika superior. Fungsi syaraf sensorik ( syaraf afferent / sensory
neuron, diantaranya A-delta dan C-fibers) adalah untuk mendeteksi rangsangan dan
melanjutkannya ke system syaraf pusat, sedangkan fungsi system otonomik ialah untuk
menjaga keseimbangan jaringan pulpa dan menjaga system“homeostatis”. Sistem pada
organ pulpa gigi inilah yang mengatur proses pemulihan / reaksi jaringan pulpa terhadap
cedera (Rukmo, 2011).

Bila jaringan pulpa dapat menahan jejas yang masuk, menimbulkan


kerusakan jaringan yang sedikit dan mampu untuk pulih kembali maka keradangan pulpa
ini diklasifikasikan sebagai pulpitis reversibel. Pada proses berikutnya jika kerusakan jaringan
pulpa tambah meluas sehingga pemulihannya tidak dapat tercapai, keradangan ini disebut
pulpitis ireversibel. Jaringan pulpa yang telah meradang tersebut mudah mengalami kerusakan
secara menyeluruh dan mengakibatkan pulpa menjadi nekrosis atau mati. Pulpa yang nekrosis
untuk sementara mungkin tidak menimbulkan nyeri, namun menjadi tempat k u m an
b e r k emb a n g bi ak ya n g a k h i rn ya m e nj ad i su mb e r i n f e ksi . P
ro duk i n fe ks i n ya m u da h m en ye b a r ke j a r i n ga n s e kit a r n ya . Bi l a
menyebar ke jaringan periapikal dapat terjadi periodontitis periapikal. Penyebaran kuman
dapat pula
menjangkau jauh ke organ tubuh lainnya seperti jantung, ginjal, otak, dan lain sebagainya.
Dalam keadaan demikian gigi tersebut kemudian menjadi “focal infection”. Adanya
kemungkinan hubungan antara “sepsis dalam mulut” dengan “endocarditis” telah banyak
dilaporkan. H a l i ni l ah ya n g k e m u di an m e nj ad i s a l a h s a t u d as a r
a l a sa n u nt uk b e k er j as e c ara asepsis dalam setiap tindakan perawatan endodontic
(Rukmo, 2011).

Jika keradangan jaringan periapikal dibiarkan tanpa perawatan, lama -


kelamaan produk iritasi pulpa yang mati dapat menjadi rangsangan yang terus
menerus di jaringan periapikal. Dalam keadaan normal jaringan periapikal gigi
tersebut akan berusaha membendung laju jejas dengan cara mengadakan
proliferasi jaringan granulasi sehingga terbentuk suatu granuloma periapikal. Jika
proses iritasi berlangsung terus maka epitel Malassez yang terperangkap didalam
granuloma mengadakan proliferasi. Proliferasi epitel ini diduga disebabkan oleh
karena a d a n ya p e nu r un a n t ek a na n O 2 dan ad a n ya k e m am pu a n
epi t e l u nt uk m en ga d ak an anaerobic glycolysis. Pertumbuhan kista yang terus
berlangsung disebabkan oleh karena meningkatnyatekanan osmotik dalam lumen,
sehingga sel di pusat dan pada dinding mengalami degenerasiakibat dari ischemia.

E pi t e l m em p er b an ya k di r i d e n ga n c a ra p em b e l ah a n s e l di d
a e r ah ya n g berdekatan dengan lapisan basal, sel-sel pada bagian sentral menjadi terpisah
makin lama makin jauh dari sumber nutrisi, kapiler dan cairan jaringan dari jaringan ikat.
Oleh karena kegagalan memperoleh nutrisi bagian tersebut akan mengalami degenerasi
sehingga menjadi nekrotik atau liquefy. S e l p a d a b a gi an s e nt r a l p ro l i f er a s i
epi t e l Malassez i ni ak a n me n ga l am i k em a t i a n , membentuk suatu epithelial
loop sehingga terbentuk suatu kista radikuler yang kecil. Eksudat m e n ga l i r d
a r i p e mb uluh d a r a h k a pil e r m e l a l ui ru a n g i n t r a e p i t e l p ad a di ndin
g e p i t e l ki s t a radikuler menuju ke rongga kista. Eksudat mengalir ke rongga kista
secara pasif akibat adanyakenaikan tekanan osmotik yang timbul oleh karena adanya
pelepasan sel- sel epitel, lekosit dan makrofag ke rongga kista. Dengan adanya
akumulasi cairan di dalam rongga kista serta resorpsitulang rahang di sekitarnya, kista
radikuler menjadi bertambah besar (Rukmo, 2011).
DAFTAR PUSTAKA

 Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh M, Kurita K,Natsume N, Ariji E. 2002. Odontogenic


Infection Pathway to The Submandibular Space: Imaging Assessment.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi
 Malik N. A., 2011. Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery. 3rd edition. India. Jaypee.
Pp/714-716
 Peterson L. J, Edward Ellis III, James R. Hupp, Myron R. Tucker. 2003. Contemporaray
Oral ad Maxillofacial Surgery. 4th edition. Missouri. Mosby. Pp/ 186-188
 Topazian R.G., Morton H. Goldberg, James R. Hupp. 2002. Oral and Maxillofacial
Infections. 4th edition. Philadelphia. W.B. Saunders Company. Pp/ 171-173, 142-144
 Mustaqimah DN. Masalah nyeri pada kasus penyakit periodontal dan cara mengatasinya.
Jurnal Kedokteran gigi FKG UI 2009;7:315-9.
 Ingel J.I, Bakland LK. Endodontisc 5th ed. London: BC. Decker; 2002. p. 178-86.
 A. W. Green, E. A. Flower dan N. E. New .. 2001. Mortality Associated with Odontogenic
Infection!. British Dental journal.
http://www.nature.com/bdj/journal/vigo/n10/full/48010244.html

Anda mungkin juga menyukai