2. Stabilisasi Penyeragaman
Depolitisasi parpol dan ormas juga dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru
melalui cara penyeragaman ideologis melalui ideologi Pancasila. Dengan
alasan Pancasila telah menjadi konsensus nasional, keseragaman dalam
pemahaman Pancasila perlu disosialisasikan.
Gagasan ini disampaikan oleh Presiden Soeharto pada acara Hari Ulang
Tahun ke-25 Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, 19 Desember 1974.
Kemudian dalam pidatonya menjelang pembukaan Kongres Nasional
Pramuka pada 12 Agustus 1976, di Jakarta, Presiden Soeharto menyerukan
kepada seluruh rakyat agar berikrar pada diri sendiri mewujudkan Pancasila
dan mengajukan Eka Prasetya bagi ikrar tersebut.
Presiden Soeharto mengajukan nama Eka Prasetya Pancakarsa dengan
maksud menegaskan bahwa penyusunan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4) dipandang sebagai janji yang teguh, kuat,
konsisten, dan tulus untuk mewujudkan lima cita-cita, yaitu:
1. takwa kepada Tuhan YME dan menghargai orang lain yang berlainan
agama/kepercayaan;
2. mencintai sesama manusia dengan selalu ingat kepada orang lain, tidak
sewenang-wenang;
3. mencintai tanah air, menempatkan kepentingan negara di atas
kepentingan pribadi;
4. demokratis dan patuh pada putusan rakyat yang sah;
5. suka menolong orang lain, sehingga dapat meningkatkan kemampuan
orang lain (Referensi Bahan Penataran P4 dalam Anhar Gonggong ed,
2005: 159).
Presiden kemudian mengajukan draft P4 ini kepada MPR.
Akhirnya, pada 21 Maret 1978 rancangan P4 disahkan menjadi Tap MPR
No.II/ MPR/1978. Setelah disahkan MPR, pemerintah membentuk komisi
Penasehat Presiden mengenai P4 yang dipimpin oleh Dr. Roeslan
Abdulgani.
Sebagai badan pelaksananya dibentuk Badan Pembinaan
Pendidikan Pelaksana P4 (BP7) yang berkedudukan di Jakarta. Tugasnya
adalah untuk mengkoordinasi pelaksanaan program penataran P4 yang
dilaksanakan pada tingkat nasional dan regional.
Tujuan penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama
mengenai Demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang
sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan
terpelihara.
Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah
pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Penataran P4
merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi
bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial
masyarakat Indonesia.
Pegawai negeri (termasuk pegawai BUMN), baik sipil maupun
militer diharuskan mengikuti penataran P4. Kemudian para pelajar, mulai
dari sekolah menengah sampai Perguruan Tinggi diharuskan mengikuti
penataran P4 yang dilakukan pada setiap awal tahun ajaran atau tahun
akademik.
Melalui penataran P4 itu, pemerintah juga memberikan penekanan
pada masalah “suku”, “agama”, “ras”, dan “antargolongan” (SARA).
Menurut pemerintah Orde Baru, “sara” merupakan masalah yang sensitif
di Indonesia yang sering menjadi penyebab timbulnya konflik atau
kerusuhan sosial. Oleh karena itu, masyarakat tidak boleh
mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan SARA.
Secara tidak langsung masyarakat dipaksa untuk berpikir seragam;
dengan kata lain yang lebih halus, harus mau bersikap toleran dalam arti
tidak boleh membicarakan atau menonjolkan perbedaan yang berkaitan
dengan masalah sara. Meskipun demikian, akhirnya konflik yang
bermuatan SARA itu tetap tidak dapat dihindari. Pada tahun 1992
misalnya, terjadi konflik antara kaum muslim dan nonmuslim di Jakarta
(Ricklefs, 2005: 640). Demikian pula halnya dengan P4.
Setelah beberapa tahun berjalan, kritik datang dari berbagai
kalangan terhadap pelaksanaan P4. Berdasarkan pengamatan di
lapangan banyak peserta penataran pada umumnya merasa muak
terhadap P4. Fakta ini kemudian disampaikan kepada presiden agar
masalah P4 ditinjau kembali.
Setelah P4 menjadi Tap MPR dan dilaksanakan, selanjutnya
orsospol yang diseragamkan dalam arti harus mau menerima Pancasila
sebagai satu-satunya asas partai dan organisasi, yang dikenal dengan
sebutan “asas tunggal”. Gagasan asas tunggal ini disampaikan oleh
Presiden Soeharto dalam pidato pembukaan Rapat Pimpinan ABRI
(Rapim ABRI), di Pekanbaru, Riau, tanggal 27 Maret 1980 dan
dilontarkan kembali pada acara ulang tahun Korps Pasukan Sandi Yudha
(Kopasandha) di Cijantung, Jakarta 16 April 1980.
Gagasan asas tunggal ini pada awalnya menimbulkan reaksi yang
cukup keras dari berbagai pemimpin umat Islam dan beberapa purnawirawan
militer ternama. Meskipun mendapat kritikan dari berbagai kalangan, Presiden
Soeharto tetap meneruskan gagasannya itu dan membawanya ke MPR.
Melalui Sidang MPR „Asas Tunggal” akhirnya diterima menjadi ketetapan
MPR, yaitu; Tap MPR No.II/1983. Kemudian pada 19 Januri 1985, pemerintah
dengan persetujuan DPR, mengeluarkan Undang-Undang No.3/1985 yang
menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila
sebagai asas tunggal mereka.
Empat bulan kemudian, pada tanggal 17 Juni 1985, pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang No.8/1985 tentang ormas, yang menetapkan
bahwa seluruh organisasi sosial atau massa harus mencantumkan Pancasila
sebagai asas tunggal mereka. Sejak saat itu tidak ada lagi orsospol yang
berasaskan lain selain Pancasila, semua sudah seragam.
Demokrasi Pancasila yang mengakui hak hidup “Bhinneka Tunggal
Ika”, dipergunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk mematikan
kebhinekaan, termasuk memenjarakan atau mencekal tokoh-tokoh pengkritik
kebijakan pemerintah Orde Baru.
a) Pertanian
Sepanjang 1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-
besaran untuk infrastruktur Pembangunan Lima Tahun (Pelita),
swasembada pangan merupakan fokus tersendiri dalam rencana
pembangunan yang dibuat oleh Soeharto.
Pada Pelita I yang dicanangkan landasan awal pembangunan
Pemerintahan Orde Baru, dititikberatkan pada pembangunan di sektor
pertanian yang bertujuan mengejar keterbelakangan ekonomi melalui
proses pembaruan sektor pertanian. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan
taraf hidup rakyat melalui sektor pertanian yang ditopang oleh kekuatan
koperasi dan sekaligus meletakkan dasar-dasar pembangunan dalam
tahapan berikutnya.
Soeharto membangun dan mengembangkan organisasi atau
institusi yang akan menjalankan program-program tersebut. Pembangunan
ditekankan pada penciptaan institusi pedesaan sebagai wahana
pembangunan dengan membentuk Bimbingan Massal (Bimas) yang
diperuntukkan meningkatkan produksi beras dan koperasi sebagai
organisasi ekonomi masyarakat pedesaan. Sekaligus menjadi kepanjangan
tangan pemerintah dalam menyalurkan sarana pengolahan dan pemasaran
hasil produksi. Di sisi lain pemerintah juga menciptakan Badan Urusan
Logistik (BULOG).
Kemudian pemerintah melibatkan para petani melalui koperasi yang
bertujuan memperbaiki produksi pangan nasional. Untuk itu kemudian
pemerintah mengembangkan ekonomi pedesaan dengan menunjuk
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada dengan membentuk Badan
Usaha Unit Desa (BUUD).
Maka lahirlah Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai bagian dari
pembangunan nasional. BUUD/KUD melakukan kegiatan pengadaan
pangan untuk persediaan nasional yang diperluas dengan tugas
menyalurkan sarana produksi pertanian (pupuk, benih, dan obat-obatan).
Soeharto juga mengembangkan institusi-institusi yang mendukung
pertanian lainnya seperti institusi penelitian seperti BPTP (Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian) yang berkembang untuk menghasilkan inovasi untuk
pengembangan pertanian yang pada masa Soeharto salah satu produknya
yang cukup terkenal adalah Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW).
Pemerintah Orde Baru membangun pabrik-pabrik pupuk untuk
penyediaan pupuk bagi petani. Para petani diberi kemudahan memperoleh
kredit bank untuk membeli pupuk. Pemasaran hasil panen mereka dijamin
dengan kebijakan harga dasar dan pengadaan pangan.
Diperkenalkan juga manajemen usaha tani, dimulai dari Panca
Usaha Tani, Bimas, Operasi Khusus, dan Intensifikasi Khusus yang terbukti
mampu meningkatkan produksi pangan, terutama beras. Saat itu, budi
daya padi di Indonesia adalah yang terbaik di Asia.
Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih unggul, pupuk,
pestisida melalui subsidi yang terkontrol dengan baik. Pabrik pupuk yang
dibangun antara lain adalah Petro Kimia Gresik di Gresik, Pupuk Sriwijaya
di Palembang, dan Asean Aceh Fertilizer di Aceh.
Jaringan irigasi teknis dibangun di berbagai daerah dan program
pembibitan ditingkatkan. Di dalam Pelita I Pertanian dan Irigasi dimasukkan
sebagai satu bab tersendiri dalam rincian rencana bidang-bidang. Di dalam
rincian penjelasan dijelaskan bahwa tujuannya adalah untuk peningkatan
produksi pangan terutama beras.
Koperasi di pedesaan terus dipacu untuk meningkatkan
produktivitasnya. Kebijakan terus mengalir guna menopang kegiatan di
daerah pedesaan. BUUD yang semula hanya dilibatkan dalam program
Bimbingan Massal (Bimas sektor pertanian pangan), kemudian ditingkatkan
menjadi Koperasi Unit Desa (KUD) dengan tugas serta peranan yang terus
dikembangkan.
Instruksi Presiden (Inpres) No. 4 Tahun 1973 tentang Unit Desa
dikeluarkan 5 Mei 1973, menjadi tonggak yuridis keberadaan KUD.
Kebijakan tersebut dilanjutkan dengan Instruksi Presiden No. 4 Tahun
1973, yang membentuk Wilayah Unit Desa (Wilud), pada akhirnya menjadi
Koperasi Unit Desa (KUD). Dari sinilah lahir Penyuluh Pertanian Lapangan
(PPL) yang berada di bawah Departemen Pertanian.
Para PPL memperkenalkan dan menyebarluaskan teknologi
pertanian kepada para petani melalui kegiatan penyuluhan. Pemerintah
menempatkan para penyuluh pertanian di tingkat desa dan kelompok
petani. Selain program penyuluhan, kelompencapir (kelompok pendengar,
pembaca, pemirsa), juga menjadi salah satu program pembangunan
pertanian Orde Baru yang khas.
Kelompencapir merupakan wadah temu wicara langsung antara
petani, nelayan, dan peternak dengan sesama petani, penyuluh, menteri
atau bahkan dengan Presiden Soeharto. Kelompencapir juga
menyelenggarakan kompetisi cerdas cermat pertanian yang diikuti oleh
para petani berprestasi dari berbagai daerah sampai tingkat pusat.
Kelompencapir merupakan program Orde Baru di bidang pertanian
yang dijalankan oleh Departemen Penerangan. Kelompencapir diresmikan
pada 18 Juni 1984, dengan keputusan Menteri Penerangan Republik
Indonesia No.110/Kep/Menpen/1984.
b) Pendidikan
Pada masa kepemimpinan Soeharto pembangunan pendidikan
mengalami kemajuan yang sangat penting. Ada tiga hal yang patut dicatat
dalam bidang pendidikan masa Orde Baru adalah pembangunan Sekolah
Dasar Inpres (SD Inpres), program wajib belajar dan pembentukan
kelompok belajar atau kejar. Semuanya itu bertujuan untuk memperluas
kesempatan belajar, terutama di pedesaan dan bagi daerah perkotaan
yang penduduknya berpenghasilan rendah.
Pada 1973, Soeharto mengeluarkan Inpres No. 10/1973 tentang
Program Bantuan Pembangunan Gedung SD. Pelaksanaan tahap pertama
program SD Inpres adalah pembangunan 6.000 gedung SD yang masing-
masing memiliki tiga ruang kelas. Dana pembangunan SD Inpres tersebut
berasal dari hasil penjualan minyak bumi yang harganya naik sekitar 300
persen dari sebelumnya.
Pada tahun-tahun awal pelaksanaan program pembangunan SD
Inpres, hampir setiap tahun, ribuan gedung sekolah dibangun. Sebelum
program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dilaksanakan,
jumlah gedung SD yang tercatat pada tahun 1968 sebanyak 60.023 unit
dan gedung SMP 5.897 unit.
Pada awal Pelita VI, jumlah itu telah meningkat menjadi sekitar
150.000 gedung SD dan 20.000 gedung SMP. Pembangunan paling besar
terjadi pada periode 1982/1983 ketika 22.600 gedung SD baru dibuat.
Hingga periode 1993/1994 tercatat hampir 150.000 unit SD Inpres telah
dibangun.
Peningkatan jumlah sekolah dasar diikuti pula oleh peningkatan
jumlah guru. Jumlah guru SD yang sebelumnya berjumlah sekitar ratusan
ribu, pada awal tahun 1994 menjadi lebih dari satu juta guru. Satu juta lebih
guru ditempatkan di sekolah-sekolah inpres tersebut.
Lonjakan jumlah guru dari puluhan ribu menjadi ratusan ribu juga
terjadi pada guru SMP. Total dana yang dikeluarkan untuk program ini
hingga akhir Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I mencapai hampir Rp
6,5 triliun.
Program wajib belajar pada era Soeharto mulai dilaksanakan
pada 2 Mei 1984, di akhir Pelita (Pembangunan Lima Tahun) III. Dalam
sambutan peresmian wajib belajar saat itu, Soeharto menyatakan bahwa
kebijakannya bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sama dan adil
kepada seluruh anak Indonesia berusia 7-12 tahun dalam menikmati
pendidikan dasar. Program wajib belajar itu mewajibkan setiap anak usia 7-12
tahun untuk mendapatkan pendidikan dasar 6 tahun (SD).
Program ini tidak murni seperti kebijakan wajib belajar yang memiliki
unsur paksaan dan sanksi bagi yang tidak melaksanakannya. Pemerintah
hanya mengimbau orangtua agar memasukkan anaknya yang berusia 7-12
tahun ke sekolah.
Negara bertanggung jawab terhadap penyediaan sarana dan
prasarana pendidikan yang dibutuhkan, seperti gedung sekolah, peralatan
sekolah, di samping tenaga pengajarnya. Meski program wajib belajar tidak
diikuti oleh kebijakan pembebasan biaya pendidikan bagi anak-anak dari
keluarga kurang mampu, pemerintah waktu itu berupaya mengatasinya
melalui program beasiswa. Untuk itu, kemudian muncul program Gerakan
Nasional-Orang Tua Asuh (GN-OTA).
Dalam upaya memperkuat pelaksanaan GN-OTA, diterbitkanlah Surat
Keputusan Bersama Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Agama Nomor 34/HUK/1996,
Nomor 88 Tahun 1996, Nomor 0129/U/1996, Nomor 195 Tahun 1996 tentang
Bantuan terhadap Anak Kurang Mampu, Anak Cacat, dan Anak yang
Bertempat Tinggal di Daerah Terpencil dalam rangka Pelaksanaan Wajib
Belajar Pendidikan Dasar.
Keberhasilan program wajib belajar 6 tahun ditandai dengan kenaikan
angka partisipasi sekolah dasar (SD) sebesar 1,4 persen. Angka partisipasi
SD menjadi 89,91 persen di akhir Pelita IV. Kenaikan angka partisipasi itu
menambah kuat niat pemerintah untuk memperluas kelompok usia anak yang
ikut program wajib belajar selanjutnya, menjadi 7-15 tahun, atau
menyelesaikan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Sepuluh tahun kemudian, program wajar berhasil ditingkatkan menjadi
9 tahun, yang berarti anak Indonesia harus mengenyam pendidikan hingga
tingkat SMP. Upaya pelaksanaan wajib belajar 9 tahun pada kelompok usia 7-
15 tahun mulai diresmikan pada Pencanangan Wajib Belajar Pendidikan
Dasar 9 Tahun pada 2 Mei 1994. Kebijakan ini diperkuat dengan
dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 1994.
Program wajib belajar telah meningkatkan taraf pendidikan masyarakat
Indonesia saat itu. Fokus utama ketika itu adalah peningkatan angka-angka
indikator kualitas pendidikan dasar. Fokus pembangunan pendidikan saat itu,
yaitu peningkatan secara kuantitatif, baru kemudian memerhatikan kualitas
atau mutu pendidikan.
Setelah perluasan kesempatan belajar untuk anak-anak usia sekolah,
sasaran perbaikan bidang pendidikan selanjutnya adalah pemberantasan
buta aksara. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa masih banyak
penduduk yang buta huruf. Dalam upaya meningkatkan angka melek huruf,
pemerintahan Orde Baru mencanangkan penuntasan buta huruf pada 16
Agustus 1978. Cara yang ditempuh adalah dengan pembentukan kelompok
belajar atau ”kejar”.
Kejar merupakan program pengenalan huruf dan angka bagi kelompok
masyarakat buta huruf yang berusia 10-45 tahun. Tutor atau pembimbing
setiap kelompok adalah masyarakat yang telah dapat membaca, menulis dan
berhitung dengan pendidikan minimal sekolah dasar. Jumlah peserta dan
waktu pelaksanaan dalam setiap kejar disesuaikan dengan kondisi setiap
tempat.
Keberhasilan program kejar salah satunya terlihat dari angka statistik
penduduk buta huruf yang menurun. Pada sensus tahun 1971, dari total
jumlah penduduk 80 juta jiwa, Indonesia masih memiliki 39,1 persen
penduduk usia 10 tahun ke atas yang berstatus buta huruf. Sepuluh tahun
kemudian, menurut sensus tahun 1980, persentase itu menurun menjadi
hanya 28,8 persen. Hingga sensus berikutnya tahun 1990, angkanya terus
menyusut menjadi 15,9 persen.
C. Integrasi Timor-Timur
Integrasi Timor-Timur ke dalam wilayah Indonesia tidak terlepas dari situasi
politik internasional saat itu, yaitu Perang Dingin dimana konstelasi geopolitik
kawasan Asia Tenggara saat itu terjadi perebutan pengaruh dua blok yang
sedang bersaing yaitu Blok Barat (Amerika Serikat) dan Blok Timur (Uni Soviet).
Dengan kekalahan Amerika Serikat di Vietnam pada tahun 1975,
berdasarkan teori domino yang diyakini oleh Amerika Serikat bahwa kejatuhan
Vietnam ke tangan kelompok komunis akan merembet ke wilayah–wilayah
lainnya. Berdirinya pemerintahan Republik Demokratik Vietnam yang komunis
dianggap sebagai ancaman yang bisa menyebabkan jatuhnya negara-negara di
sekitarnya ke tangan pemerintahan komunis.
Kemenangan komunis di Indocina (Vietnam) secara tidak langsung juga
membuat khawatir para elit Indonesia (khususnya pihak militer). Pada saat yang
sama di wilayah koloni Portugis (Timor-Timur) yang berbatasan secara langsung
dengan wilayah Indonesia terjadi krisis politik.
Krisis itu sendiri terjadi sebagai dampak kebebasan yang diberikan oleh
pemerintah baru Portugal di bawah pimpinan Jenderal Antonio de Spinola. Ia
telah melakukan perubahan dan berusaha mengembalikan hak-hak sipil,
termasuk hak demokrasi masyarakatnya, bahkan dekolonisasi.
Di Timor-Timur muncul tiga partai politik besar yang memanfaatkan
kebebasan yang diberikan oleh pemerintah Portugal. Ketiga partai politik itu
adalah: (1) Uniao Democratica Timorense (UDT-Persatuan Demokratik Rakyat
Timor) yang ingin merdeka secara bertahap.
Untuk tahap awal UDT menginginkan Timor-Timur menjadi negara bagian
dari Portugal: (2) Frente Revoluciondria de Timor Leste Independente (Fretilin-
Front Revolusioner Kemerdekaan Timor-Timur) yang radikal –Komunis dan ingin
segera merdeka; dan (3) Associacau Popular Democratica Timurense (Apodeti-
Ikatan Demokratik Popular Rakyat Timor) yang ingin bergabung dengan
Indonesia. Selain itu terdapat dua partai kecil, yaitu Kota dan Trabalhista. Ketiga
partai tersebut saling bersaing, bahkan timbul konflik berupa perang saudara.
Pada tanggal 31 Agustus 1974 ketua umum Apodeti, Arnaldo dos Reis
Araujo, menyatakan partainya menghendaki bergabung dengan Republik
Indonesia sebagai provinsi ke-27. Pertimbangan yang diajukan adalah rakyat di
kedua wilayah tersebut mempunyai persamaan dan hubungan yang erat, baik
secara historis dan etnis maupun geografis.
Menurutnya integrasi akan menjamin stabilitas politik di wilayah tersebut.
Pernyataan tokoh Apodeti itu mendapat respons yang cukup positif dari para elit
politik Indonesia, terutama dari kalangan elit militer, yang pada dasarnya memang
merasa khawatir jika Timor-Timur yang berada di “halaman belakang” jatuh ke
tangan komunis. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia tidak serta-merta
menerima begitu saja keinginan orang-orang Apodeti.
Keterlibatan Indonesia secara langsung di Timor-Timur terjadi setelah
adanya permintaan dari para pendukung “Proklamasi Balibo” yang terdiri UDT
bersama Apodeti, Kota, dan Trabalista. Keempat partai itu pada tanggal 30
November 1975 di Kota Balibo mengeluarkan pernyataan untuk bergabung
dengan pemerintahan Republik Indonesia.
Pada tanggal 31 Mei 1976 DPR Timor-Timur mengeluarkan petisi yang
isinya mendesak pemerintah Republik Indonesia agar secepatnya menerima dan
mengesahkan bersatunya rakyat dan wilayah Timor Timur ke dalam Negara
Republik Indonesia.
Atas keinginan bergabung rakyat Timor Timur dan permintaan bantuan
yang diajukan, pemerintah Indonesia lalu menerapkan “Operasi Seroja” pada
Desember 1975. Operasi militer ini diam-diam didukung oleh Amerika Serikat
(AS) yang tidak ingin pemerintahan komunis berdiri di Timor Timur. Pada masa itu
Perang Dingin antara AS dengan Uni Soviet yang komunis memang tengah
berlangsung.
Bersamaan dengan operasi-operasi keamanan yang dilakukan, pemerintah
Indonesia dengan cepat juga menjalankan proses pengesahan Timor Timur ke
dalam wilayah Indonesia dengan mengeluarkan UU No. 7 Tahun 1976 tentang
Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan pembentukan Daerah Tingkat I Timor Timur.
Pengesahan ini akhirnya diperkuat melalui Tap MPR Nomor IV/MPR/1978.
Timor Timur secara resmi menjadi propinsi ke-27 di wilayah negara kesatuan
Republik Indonesia.
Negara-negara tetangga dan pihak Barat, termasuk Amerika Serikat dan
Australia dengan alasan masing-masing umumnya mendukung tindakan
Indonesia. Kekhawatiran akan jatuhnya Timor-Timur ke tangan komunis membuat
negara-negara Barat (khususnya Amerika Serikat dan Australia) secara diam-
diam mendukung tindakan Indonesia.
Mereka secara de facto dan selanjutnya de jure integrasi Timor-Timur ke
wilayah Indonesia. Akan tetapi, penguasaan Indonesia terhadap wilayah itu
ternyata menimbulkan banyak permasalahan yang berkelanjutan, terutama
setelah berakhirnya “Perang Dingin” dan runtuhnya Uni Soviet.
D. Dampak Kebijakan Politik dan Ekonomi Masa Orde Baru
Pendekatan keamanan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru dalam
menegakkan stabilisasi nasional secara umum memang berhasil menciptakan
suasana aman bagi masyarakat Indonesia.
Pembangunan ekonomi pun berjalan baik dengan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi karena setiap program pembangunan pemerintah terencana dengan
baik dan hasilnya dapat terlihat secara konkret.
Indonesia berhasil mengubah status dari negara pengimpor beras menjadi
bangsa yang bisa memenuhi kebutuhan beras sendiri (swasembada beras).
Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan kesejahteraan
rakyat, penurunan angka kematian bayi, dan angka partisipasi pendidikan dasar
yang meningkat.
Namun, di sisi lain kebijakan politik dan ekonomi pemerintah Orde Baru
juga memberi beberapa dampak yang lain, baik di bidang ekonomi dan politik.
Dalam bidang politik, pemerintah Orde Baru cenderung bersifat otoriter. Presiden
mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam mengatur jalannya
pemerintahan. Peran negara menjadi semakin kuat yang menyebabkan timbulnya
pemerintahan yang sentralistis.
Pemerintahan sentralistis ditandai dengan adanya pemusatan penentuan
kebijakan publik pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah diberi peluang yang
sangat kecil untuk mengatur pemerintahan dan mengelola anggaran daerahnya
sendiri. Otoritarianisme merambah segenap aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara termasuk kehidupan politik.
Pemerintah Orde Baru dinilai gagal memberikan pelajaran berdemokrasi
yang baik. Golkar dianggap menjadi alat politik untuk mencapai stabilitas yang
diinginkan. Sementara dua partai lainnya hanya sebagai alat pendamping agar
tercipta citra sebagai negara demokrasi.
Sistem perwakilan bersifat semu bahkan hanya dijadikan topeng untuk
melanggengkan sebuah kekuasaan secara sepihak. Demokratisasi yang
terbentuk didasarkan pada KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), sehingga
banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/ DPR yang tidak mengenal rakyat dan
daerah yang diwakilinya.
Meskipun pembangunan ekonomi Orde Baru menunjukan perkembangan
yang menggembirakan, namun dampak negatifnya juga cukup banyak. Dampak
negatif ini disebabkan kebijakan Orde Baru yang terlalu memfokuskan/mengejar
pada pertumbuhan ekonomi, yang berdampak buruk bagi terbentuknya mentalitas
dan budaya korupsi para pejabat di Indonesia.
Distribusi hasil pembangunan dan pemanfaatan dana untuk pembangunan
tidak dibarengi kontrol yang efektif dari pemerintah terhadap aliran dana tersebut
sangat rawan untuk disalahgunakan. Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan
terbukanya akses dan distribusi yang merata sumber-sumber ekonomi kepada
masyarakat. Hal ini berdampak pada munculnya kesenjangan sosial dalam
masyarakat Indonesia, kesenjangan kota dan desa, kesenjangan kaya dan miskin,
serta kesenjangan sektor industri dan sektor pertanian.
Selain masalah–masalah di atas, tidak sedikit pengamat hak asasi manusia (HAM)
dalam dan luar negeri yang menilai bahwa pemerintahan Orde Baru telah
melakukan tindakan antidemokrasi dan diindikasikan telah melanggar HAM.
Amnesty International misalnya dalam laporannya pada 10 Juli 1991 menyebut
Indonesia dan beberapa negara Timur Tengah, Asia Pasifik, Amerika Latin, dan
Eropa Timur sebagai pelanggar HAM. Human Development Report 1991 yang
disusun oleh United Nations Development Program (UNDP) juga menempatkan
Indonesia kepada urutan ke-77 dari 88 pelanggar HAM (Anhar Gonggong ed,
2005:190).
Sekalipun Indonesia menolak laporan kedua lembaga internasional tadi dengan
alasan tidak “fair”dan kriterianya tidak jelas, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa
di dalam negeri sendiri pemerintah Orde Baru dinilai telah melakukan beberapa
tindakan yang berindikasi pelanggaran HAM. Dalam kurun waktu 1969-1983
misalnya, dapat disebut peristiwa Pulau Buru (Tempat penjara bagi orang-orang
yang diindikasikan terlibat PKI) (1969-1979),
Peristiwa Malari (Januari 1974) yang berujung pada depolitisasi kampus. Kemudian
pencekalan terhadap Petisi 50 (5 Mei 1980). Pada kurun waktu berikutnya, (1983-
1988), terdapat dua peristiwa, yaitu Peristiwa Penembakan Misterius –Petrus (Juli
1983), Peristiwa Tanjung Priok (September 1984).
Pada kurun 1988-1993, terdapat Peristiwa Warsidi (Februari 1989), Daerah Operasi
Militer (DOM) Aceh (1989-1998), Santa Cruz (November 1991), Marsinah (Mei
1993), Haur Koneng (Juli 1993), dan Peristiwa Nipah (September 1993).
Sedangkan dalam kurun 1993-1998 antara lain terjadi Peristiwa Jenggawah (Januari
1996), Padang Bulan (Februari 1996), Freeport (Maret 1996), Abepura (Maret 1996),
Kerusuhan Situbondo (Oktober 1996), Dukun Santet Banyuwangi (1998), Tragedi
Trisakti (12 Mei 1998).
Dengan situasi politik dan ekonomi seperti di atas, keberhasilan
pembangunan nasional yang menjadi kebanggaan Orde Baru yang berhasil
meningkatkan Gross National Product (GNP) Indonesia ke tingkat US$ 600 di awal
tahun 1980-an, kemudian meningkat lagi sampai US$ 1.300 perkapita di awal
dekade 1990-an, serta menobatkan Presiden Soeharto sebagai “Bapak
Pembangunan” menjadi seolah tidak bermakna.
Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat, tetapi secara fundamental
pembangunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah
yang justru menjadi penyumbang terbesar devisa negara seperti di Riau, Kalimantan
Timur dan Irian Barat/Papua. Faktor inilah yang selanjutnya menjadi salah satu
penyebab terpuruknya perekenomian Indonesia menjelang akhir tahun 1997.