Sore ini aku kembali menyesap secangkir teh hangat
yang Ambar−putri sulungku−buat. Rasanya tidak lagi sama,
tidak akan pernah sama dan mau dikatakan apa pun lagi rasa teh ini tidak akan pernah sama lagi. Di tengah rasa manis dan hangat dari teh tubruk ini ditambah riuh dan gaduh sorai anak- anak tetangga yang dititah Ibunya pulang ke rumah, Ambar kembali menatapku dengan tatapan penuh isyarat tanda tanya. Aku menyadari ada hal yang ingin dia tanyakan ke padaku tapi tidak pernah aku selesaikan rasa penasarannya barang satu kalimat pun. “Ada yang mau kau tanyakan ke padaku Ambar?” Kulihat Ambar seketika gelagapan menanggapi pertanyaanku. “Tidak Bu, tidak ada.” “Aku pernah mengandungmu sembilan bulan Nak, membesarkanmu dengan kedua tanganku sendiri, aku dapat melihat meski hanya dari sorot matamu saja ada sebuah hal ganjil yang mengganjal betul?” Ambar meletakkan cangkir tehnya ke meja dan membuat postur tidak nyaman menghadapku. “Bu, ah tidak lupakan saja. Ambar tidak jadi bertanya Bu maaf.” Aku tersenyum, “Kau pasti mau tanyakan lagi soal dia iya kan?” “Dia?” “Maafkan Ibu Mbar, Ibu tau kau sudah cukup dewasa untuk mendengar kisah ini, tetapi Ibu tidak pernah sanggup untuk mengingatnya lagi setelah sekian lama. Cukup hadir Ayah dan saudara-saudaramu yang selama ini menjadi pelipur lara, Ibu sebetulnya juga ingin melupakan dia Mbar tapi belakangan ayahmu selalu mengungkit hal itu. Ayahmu membuat luka-luka yang sudah kering di hati Ibu kembali basah dan perih dan Ibu cukup tahu diri akan hal itu. Semua memang salah Ibu sejak awal.” “Tidak Bu. Tidak ada manusia yang bangkit hanya dari kebenaran, harus ada salah supaya manusia bisa tumbuh menjadi lebih baik. Itu adalah hal yang selalu Ibu katakan ke pada Ambar.”
Kemudian, di sisa sore itu aku bercerita ke pada
Ambar tentang sosok yang bagai pasir ditelan ombak laut−datang lalu pergi membawa separuh hatiku yang rapuh. Tahun itu 1960, aku masih belia. Tamat menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah ketika di sore hari beranda rumah gaduh oleh beberapa pria paruh baya yang kuyakini adalah teman karib ayah. Ibu mengatakan padaku untuk berias dengan sempurna dan segera menyambut beberapa tamu di depan, katanya itu adalah kedatangan mendadak tidak bisa salahkan siapa pun ketika aku merenggut sebal dipaksa ini dan itu oleh Ibu. Setelah selesai berias dan menggunakan baju yang tentu saja Ibu pilihkan, aku dan Ibu akhirnya bergabung bersama para tamu. Kau tahu? Rasanya tidak nyaman ketika banyak orang melihatmu dengan tatapan yang bahkan tidak bisa kau artikan, ketika teman-teman ayah bertanya ini dan itu perihal diriku aku berani bersumpah rasanya tidak nyaman. Sangat. Lalu, seorang pria dengan tembakau di bilah bibirnya kembali mengembuskan kepulan asap nikotin ke udara dan berusaha membuat keadaan canggung di antara yang lain menjadi lebih sedikit akrab, “Ruk pantas saja wajahmu itu makin lama dipandang makin elok kelihatannya dengan begitu aku tidak akan lagi heran mengapa banyak orang mengantre untuk segera jadi pendampingmu.” “Sembarangan, kau pikir sajalah memangnya anakku ini jatah ransumtah? Kau sebut orang mengantre? Seharusnya itu melamar wahai Pak Tua!” Ayahku meski melontarkan kalimat dengan nada tinggi, aku tahu dia tidak benar-benar marah justru senang dengan kenyataan yang pria itu bilang tentang banyak orang yang mau jadi pendampingku. Pria yang tidak aku ketahui namanya itu kemudian balas tertawa remeh, “Kau tahu maksud aku yang sebenarnya Chaimin dan itulah yang menjadi alasanku datang kemari sore- sore.” Aku tertegun. Jelas. Apa katanya? Alasan? Alasan apa sebenarnya? Mengapa mendadak aku menjadi manusia paling bodoh di tengah percakapan ini? Aku menatap Ibu meminta penjelasan dibalik kedatangan para tamu tapi Ibu hanya balas tersenyum ke padaku dan mengusap rambut belakangku dengan lembut, tetapi aku tidak merasakan kehangatan ataupun di balik lembutnya belaian Ibu melainkan rasa cemas dan gemetar. Aku baru 18 dan aku tidak mau dijodohkan oleh siapa pun. Sungguh. Ayah kembali mengangkat cangkir tehnya menyesapnya sebentar kemudian balas tertawa singkat, “Lalu di mana keponakan yang katamu hendak diperkenalkan?” “Hey tunggulah sebentar lagi, si Tendean itu belakangan ini tengah menjadi orang sIbuk. Aku, pamannya pun kadang heran apa saja yang dilakukannya seharian sampai lupa menikah di usianya yang ke-28 ini.” Pria tua itu telah kehabisan tembakaunya yang pertama dan kini bersiap untuk membakar yang satunya lagi. Aku benar-benar meremas samping Ibu menuntut sebuah penjelasan dan berakhir dengan Ibu yang membungkuk sopan di hadapan para tamu dan membawaku masuk ke area rumah yang lebih dalam. “Sebenarnya ada apa Bu? Kalau itu soal perjodohan Ruk tidak mau dijodohkan dengan siapa pun, dari awal Ibu dan Ayah pun sudah setuju untuk tidak melakukan hal semacam itu dengan tanpa persetujuan Ruk. Lalu ini apa Bu?” Aku bersungut-sungut sebal di hadapan Ibu, tidak habis pikir tentang kejadian beberapa menit lalu. Memangnya semalam aku mimpi apa? Aku tidak pernah bermimpi seorang pria yang tidak pernah aku kenal sebelumnya mendadak jadi pendampingku di sisa hidup yang terbatas ini, aku hanya bermimpi untuk segera pergi ke Batavia merajut mimpi-mimpi dan menjadi wanita yang hebat. Hal semacam ini tidak pernah terlintas di benakku barang sedetik pun. Sungguh. “Ibu akan ceritakan semuanya Ruk,” “Tentu saja harus Ibu ceritakan. Semuanya!” “Iya Ibu mengerti untuk itu anak gadis ibu yang baik hatinya ini harus duduk dan menenangkan dirinya terlebih dahulu baru Ibu siap menceritakannya untukmu.” Aku mengatur napasku dan membuat bahu ini lebih nyaman meski sebal dan marah masih bercampur-campur. “Sudah Bu, sekarang ceritakan tolong.” “Namanya Tendean. Kau sudah tahu umurnya 28 tahun dan Ibu kira itu tidak terlalu tua malah menjadi umur yang pas untuk melengkapi sisi kekanak-kanakanmu itu.” “Maksud Ibu apa sebenarnya?” Habis sudah kesabaranku. Aku berdiri dan karena suaraku yang keras tadi Ibu menarik pergelangan tanganku dan membuat isyarat dengan telunjuknya untuk segera diam. Aku makin gusar. “Ibu tahu kau tidak pernah suka dengan hal semacam ini tapi untuk hal ini berbeda Ruk. Tendean sudah matang usianya, bibit, bebet, dan bobotnya tidak perlu kau ragukan lagi. Dia baik hati Ruk dan tidak gemar main-main dengan para wanita. Ibu percaya kau akan bahagia jika dengannya.” “Tapi Ibu dan Ayah sudah setuju untuk tidak menjodohkanku dengan siapa pun. Ibu dan Ayah berjanji untuk menyekolahkanku lebih tinggi ke Batavia, Ibu dan Ayah setuju untuk membuatku menjadi wanita yang lebih bermatabat. Lalu sekarang apa Bu? Mana janji itu?” Aku merengek ke pada ibu disusul air mata yang tanpa permisi mengalir bebas di pipiku. Ibu memelukku membisikan berbagai macam kata manis yang artinya tetap sama bagiku. Tidak apa-apa untuk menikah dengan Tendean sekarang kau akan punya hidup yang lebih baik. Sial. Aku benar-benar tidak mau menikah sekarang. “Tendean orang baik Nak, Ibu tidak mungkin tega membiarkan anak gadisnya hidup bersama orang yang tidak tepat. Kau akan segera menyukainya, dia akan sampai beberapa jam lagi kau harus lihat dengan mata kepalamu sendiri dan kau akan segera jatuh cinta padanya.” Pukul empat di hari yang sama. Dia, Tendean pun akhirnya datang. Ayah memanggil namaku dengan lantang nada bicaranya kedengaran amat bahagia dan sekali lagi aku benar-benar merasa dikhianati oleh kedua orangtuaku sendiri. “Ruk cepat ke sini! Lihatlah siapa yang datang.” Hal pertama yang membuat aku terkejut adalah perawakan Tendean. Tubuhnya tidak seperti kebanyakan pribumi yang mempunyai mata besar, hidung pesek, dan tinggi rata-rata. Jauh dari bayanganku Tendean benar-benar seorang pria yang menjadi khayalanku selama ini. Dia asing. Tidak maksudku dia benar-benar orang asing tapi dia fasih berbahasa Indonesia bagaimana bisa? Dia duduk di kursi yang ada di seberangku, tersenyum simpul dan singkat sekali. Arah matanya tidak pernah mengarah ke mataku, padahal netra ini tidak bisa lepas dari rupanya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku diacuhkan oleh seorang pria bagaimana bisa? “Apa kalian tidak akan berkenalan? Padahal sudah sedekat ini apa tidak ada yang akan memulai terlebih dahulu?” Itu suara Ayah dan aku sama sekali tidak berminat untuk mengikuti usulannya. Tanpa aku duga Tendean berdiri duluan dan membuat postur tubuh khas orang yang ingin menjabat tangan. Mau tidak mau aku membalasnya. Dia tersenyum. Aku masih kaget ketika tangannya yang lembut tidak seperti kebanyakan lelaki yang aku temui. Telapak tangannya yang lebar seolah-olah membungkus tanganku yang tidak seberapa. Aku balas tersenyum meski kaku dan dari sanalah untuk pertama kalinya aku mengenal Tendean. Mata safir yang hingga kini berbayang di benakku. “Pierre Tendean. Kamu boleh memanggil saya Tendean.” “Rukmini.”
Hari demi hari. Aku tidak pernah membayangkan hal
ini sebelumnya. Tahun 1965, aku 23 tahun dan dia 33 tahun. Aku pernah bermimpi untuk menjadi seseorang yang besar. Kau tahu? Maksudku ketika impian untuk tinggal di kota besar dan merayakan mimpi-mimpi yang berhasil itu menjadi kenyataan, itu adalah hal yang luar biasa bukan? Namun, seketika mimpimu hancur, sayap-sayapmu patah dan kau berpikir hidupmu usai. Kenyataannya? Tidak. Tendean pernah datang menghancurkan sayapku lalu dia membuat sayap yang baru. Dengan warna dan rupa yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Hadirnya adalah riuh ramai dalam hati yang sepi ini dan aku cukup senang dengan fakta soal Tendean yang tidak pernah main wanita. Ibu benar. Tendean orang yang baik. Tendean dikenal sebagai seorang tentara yang dingin dan tidak banyak bicara. Bagiku Tendean sesuatu yang lain, dia kaku dan tampak tidak bisa bersosialisasi dengan banyak orang. Agak pemalu dan sikapnya yang hati-hati selalu membuatku tersanjung sebab ia tidak pernah sekali pun berkata atau melakukan hal-hal tanpa persetujuan kami berdua. Kini aku 23 tahun, bukan lagi remaja tanggung yang ceroboh. Mengenal Tendean sekali dalam hidupku tidak pernah menjadi hal yang buruk. Sungguh. Kali ini aku bersungguh-sungguh. Kami menjalani hubungan yang sulit tapi karenanya aku dapat bertahan bertahun-tahun lamanya. Kami menjalani hubungan jarak jauh karena pekerjaannya. Mulanya aku memang kesal. Kesal kalau ada perempuan lain yang berniat menggait Tendean, kesal kalau aku harus berlama-lama menunggu hanya untuk bersua dengannya, dan kesal-kesal yang lainnya. Tetapi Tendean meyakinkanku untuk tetap seperti biasa, berkirim surat dan jangan kesal-kesal lagi dan selama itu aku selalu menyimpan apik surat-suratnya. Tidak pernah aku lupa untuk berbalas pesan dengannya. Kadang aku mendapat balasan tujuh hari setelah surat yang aku kirim sampai padanya, kadang lebih lama dari itu dua hingga tiga bulan lamanya. Ketika hari-hari yang kunanti tiba, saat Tendean akhirnya singgah di rumahku dan mencium kedua tangan orangtuaku, aku akan senantiasa berdiri di balik pintu tersenyum melihat kehadirannya kemudian dia akan balas tersenyum hangat. Tahun-tahun yang luar biasa. Di pertemuan itu Tendean kembali mengajakku berkeliling kampung dengan sepede ontel tuanya. Aku akan bercerita banyak soal rasa bosan yang aku alami selama tanpanya dan dia akan membalas gerutuanku dengan tawa. Sebal tapi sayang. Sayang kalau dia akan pergi lagi, sayang kalau hari ini akan segera berlalu, dan sayang-sayang lainnya. “Ruk,” dia berhenti mengayuh sepeda, “ada beberapa hal yang harus kusampaikan padamu.” “Apa?” Aku balas bertanya ke padanya. “Tidak di sini. Kupikir mengantarmu ke rumah adalah langkah yang lebih bagus kita akan bicara di beranda.” “Apa itu Tendean? Kau makin membuatku penasaran.” Tendean tersenyum. Senyum yang bagiku asing. Tidak seperti biasa dan ganjil. Kami bicara di beranda rumahku. Aku harusnya sadar ketika nada bicaranya yang rendah dan senyum-senyum yang dia buat tidak lagi membuatku merasa nyaman, ada sesuatu yang akan terjadi. “Ruk aku akan pergi lagi kau tahu itu.” “Aku tahu. Kini berapa lama? Satu bulan? Dua bulan?” “Tidak kali ini lebih lama.” “Kau pernah tidak membalas surat-suratku lebih dari dua bulan Tendean, aku cukup sabar untuk menunggumu kembali pulang.” “Enam bulan.” “Apa?” “Aku akan pergi enam bulan Ruk dan kali ini akan lebih sulit untuk berbalas pesan lewat surat denganmu. Keadaan di sana sedang kacau. Kacau sekali.” Aku terdiam menatap sendal yang tengah kugunakan saat itu. Tendean menggenggam tanganku dan membawa mata ini ke kedalaman matanya yang biru. “Aku tahu ini tidak pernah mudah untukmu Ruk. Tentu ini tidak pernah mudah untukku juga. Aku janji akan rajin mengirimi surat,” “Kau selalu berjanji hal-hal yang sama Tendean. Nyatanya aku yang terus mengirimi lebih dulu.” “Kali ini tidak Ruk. Di bulan ketujuh aku akan membawa sanak saudara ke rumahmu.” Ada guratan halus yang kuyakini singgah di dahiku. “Maksudmu?” “Ruk saya benar-benar telah jatuh. Jatuh hati ke padamu maksud saya. Jadi di bulan ketujuh itu saya akan datang kembali dan kita akan akan menggelar sebuah pesta kecil, di mana saya dan kamu akan tersenyum ketika sama- sama memasangkan cincin pernikahan.” Sore hari selalu membawa kejutan di hidupku. Tendean benar-benar melamarku di hari itu dan dia berjanji untuk segera pulang di bulan ketujuh. Aku menangis. Haru dan rasa bahagia yang membuncah membuatku tidak kuasa untuk tidak mendekapnya. Kami akan segera menikah.
Di bulan kelima tidak lagi ada surat yang datang ke
rumah. Semakin jarang dan aku mulai cemas dengan hal-hal yang belum pasti. Aku rajin mengiriminya surat setiap minggu tapi Tendean tidak lagi membalas surat-suratku. Di bulan keenam surat yang kukirim dua bulan belakangan tidak juga mendapat balasan darinya. Tidak ada lagi makanan kesukaan sebab semua makanan kini rasanya hambar. Tendean mungkin lupa atau terlalu sibuk dengan kegiatannya di sana. Berkali-kali aku berusaha untuk tidak meneteskan air mata di sisa sore hari, berkali-kali itu pula Ibu selalu datang dan memelukku dengan kalimat-kalimat yang sama. Tendean orang baik. Aku pernah dengar sebuah kalimat yang sering dilontarkan nenekku sebelum ajal menjemputnya. Dia selalu bilang kalau hadirnya seseorang dengan kebaikan hati yang mulia akan lebih cepat dipanggil oleh Tuhan sebab Dia tahu kalau dunia bukan lagi tempat yang cocok untuk manusia sebaik dirinya. Tendean pergi. Tidak ada pernikahan di bulan ketujuh. Sore itu ketika Ibu memanggil namaku keras-keras dari beranda rumah, aku tahu kalau ada surat dari Tendean yang dikirim oleh Pos. Ketika aku melihat surat yang dipegang Ibu, aku tahu itu bukan surat yang biasa Tendean kirim. Tendean tidak pernah mengirimkan surat yang ukurannya lebih lebar dari telapak tanganku dan yang ini berbeda. Suratnya lebih besar dilapisi oleh map cokelat yang asing. Tidak ada bau harum ketika aku membacanya, tidak juga tanda tangan milik Tendean di akhir surat. Surat asing itu mengabariku perihal kematian Tendean beserta sembilan orang prajurit lainnya. Surat itu bilang Tendean pergi dengan meninggalkan jasa yang amat bagi negara ini. Persetan. Aku tidak peduli. Sekarang aku hanya ingin Tendean kembali pulang tidak bisakah? Meski habis air mataku nyatanya dia tidak pernah kembali, di bulan-bulan kedelapan, kesembilan, kesepuluh, dan bulan-bulan lainnya. Aku sadar kalau percakapan kami yang di beranda itu adalah percakapan terkahir kami. Tapi rasanya tidak pernah semenyakitkan ini. Sungguh. Aku tidak pernah tahu.
“Lalu Ibu menikah dengan Ayah begitu? Bagaimana bisa?”
“Ayahmu yang terbaik Ambar. Ibu tidak pernah bisa melupakan Tendean, tetapi ayahmu selalu sabar ketika Ibu kembali menangis di sisa sore. Dia selalu merangkul Ibu. Namun, belakangan Ibu sadar tak selamanya Ayahmu sanggup menerima istri yang menatapnya sebagai orang lain,” kemudian aku merengkuh anak gadisku, mencium wangi rambutnya yang tidak pernah berubah dan ia balas memelukku dekat. “Ayah akan selalu sabar menunggu Ibu. Tentu Ibu harus balas mencintainya sama seperti Ayah yang mencintai Ibu dengan sepenuh hati ya?”