Anda di halaman 1dari 9

MATA KULIAH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA

PERBANDINAG SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA DAN


NEGARA ASING

Oleh:
Nama : NIM

ALVIN NUR AULIA EAA 117 036


DIAN LUKITO WARDHANA EAA 117 080
OSKA ELSADA LAUT EAA 117 027
PRADYKA DWI LAKSONO EAA 117 009

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2021
Perbandingan Hukum Pidana Indonesia Dengan Saudi Arabia

1. DASAR-DASAR HUKUM  PIDANA DI INDONESIA


Sistem peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem, undang-undang dan lembaga-
lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama
kurang lebih tiga setengah abad.
Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia dapat dipisahkan
dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materil. Hukum pidana
acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law” dan hukum pidana
materil sebagai “substantive law”. Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab
masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP
(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

2. ACARA PERSIDANGAN PIDANA DI INDONESIA


1) Penyelidikan
Merupakan suatu rangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
penyidikan lebih lanjut.
2) Penyidikan
Suatu rangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan barang bukti,
dengan bukti tersebut membuat terang tentang kejahatan atau pelanggaran yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya.
2) Penuntutan
Tindakan JPU untuk melimpahkan perkara pidana ke PN yang berwenang dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa
oleh hakim di sidang pengadilan.

3) Sidang pengadilan  :
a. Dakwaan
Surat dari Penuntut Umum yang menunjuk atau membawa suatu perkara pidana ke
pengadilan apabila cukup alasan untuk mengadakan penuntutan terhadap tersangka yang
memuat peristiwa-peristiwa dan keterangan-keterangan mengenai Locus serta Tempus
dimana perbuatan tersebut dilakukan, dan keadaan-keadaan terdakwa melakukan perbuatan
tersebut, terutama keadaan yang meringankan dan memberatkan kesalahan terdakwa.
b. Ekspesi / tangkisan / keberatan
Alat pembelaan dengan tujuan utama untuk menghindarkan diadakannya putusan
tentang pokok perkara, karena apabila eksepsi ini diterima oleh PN, maka pokok perkara
tidak perlu diperiksa dan diputus.
c. Keterangan saksi dan keterangan ahli  
1.   Keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan di muka persidangan
mengenai apa yang saksi lihat dan dengar sendiri
2.   Keterangan (saksi) ahli/Espertise adalah keterangan pihak ketiga yang objektif
untuk memperjelas dan member kejernihan dari perkara yang disidangkan serta untuk
menambah pengetahuan hakim dalam penyeesaian perkara. Keterangan ahli diberikan sesuai
dengan keahlian dari ahli tersebut
·                   
  Seluruh keterangan saksi dan keterangan {saksi ahli di muka persidangan berada di
bawah sumpah (alat bukti yang sah)}
Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan dalam persidangan tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia alami dan ia ketahui sendiri
d. Requisitoir /tuntutan jaksa
Tuntutan JPU sebagai kesimpulan pemeriksaan dimuka persidangan yang diajukan
setelah smua saksi dan ahli-ahli didengar serta surat-surat yang berguna sebagai alat bukti
dibacakan dan dijelaskan kepada terdakwa.
e. pledoi /pembelaan jaksa
Setelah JPU membacakan requisitoirnya maka terdakwa / penasehat hukumnya
mengajukan pledoinya.
f. replik jaksa dan duplik terdakwa / penasehat hukum
- Replik JPU
1.                  Setelah pembelaan/pledoi penasehat hukum dibacakan, maka JPU diberikan
kesempatan oleh hakim untuk mengajukan replik secara tertulis.
2.                  Replik tersebut diserahkan kepada Hakim Ketua sidang dan turunannya kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.
- Duplik Terdakwa / Penasehat Hukum
1.                  Duplik ini diajukan secara tertulis dan dibacakan oleh pansehat hukum
dipersidangan  terhadap replik JPU.
2.                  Duplik tersebut diserahkan kepada Hakim Ketua sidang dan turunannya kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.
g. putusan majelis hakim
Menurut KUHAP ada 3 (tiga) macam putusan pengadilan, yaitu :
1.                  Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa (vrijspraak).
2.                  Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum
(onstlag van rechtvervolging).
3.                  Putusan yang mengandung penghukuman terdakwa.

4) Upaya Hukum Terhadap Putusan Pengadilan Negeri


·         Upaya Hukum :
Hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan tingkat
pertama.
·         Latar belakang daripada upaya hukum :
Karena putusan itu tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil
memihak, oleh karena itu demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim dimungkinkan
untuk diperiksa ulang agar kekeliruan putusan tersebut dapat diperbaiki.
·         Upaya hukum biasa  :
1) Naik Banding (revisi) ke Pengadilan Tinggi (PT)
Upaya hukum terhadap  Pengadilan Tingkat ke 2 (dua)/Pengadilan Tinggi (PT) yang
mengulangi pemeriksaan baik mengenai fakta-faktanya maupun mengenai penerapan hukum
atau undang-undangnya.
2) Kasasi (Pembatalan) ke Mahkamah Agung (MA)
Upaya hukum yang dilakukan ke Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi atas
putusan-putusan pengadilan lain.
·           Upaya Hukum Luar Biasa
1) Kasasi Demi Kepentingan Hukum, yaitu
Terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari
pengadilan selain MA, dapat diajukan Kasasi oleh Jaksa Agung.
2) Peninjauan Kembali (PK) Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap
 terhadap putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan PK ke MA.

3. MACAM-MACAM SANKSI/HUKUMAN PIDANA DI INDONESIA


Mengenai hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah
melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang hukum pidana, dalam Pasal 10 KUHP
ditentukan macam-macam hukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai berikut :
Ø  Hukuman-Hukuman Pokok
1.        Hukuman mati, tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah
menghapuskan bentuknya hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman
mati ini kadang masih diberlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih banyaknya
pro-kontra terhadap hukuman ini.
2.        Hukuman penjara, hukuman penjara sendiri dibedakan kedalam hukuman penjara
seumur hidup dan penjara sementara. Hukuman penjara sementara minimal 1 tahun.
Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa hukuman dan wajib melakukan
pekerjaan yang ada di dalam maupun di luar penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak
Vistol.
3.        Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan
dijatuhkan karena kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran. Biasanya terhukum dapat
memilih antara hukuman kurungan atau hukuman denda. Bedanya hukuman kurungan
dengan hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak dapat ditahan diluar
tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara dapat
dipenjarakan dimana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada terpidana penjara lebih
berat dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan
terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada
hukuman penjara tidak demikian.
4.        Hukuman denda, Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan
kurungan. Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan
5.        Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-asalan politik terhadap
orang-orang yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh
KUHP.

Ø  Hukuman Tambahan
Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus
disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan tersebut antara lain :
1)    Pencabutan hak-hak tertentu.
Hal ini diatur dalam pasal 35 KUHP yang berbunyi:
Hak si bersalah, yang boleh dicabut dalam putusan hakim dalam hal yang ditentukan dalam
kitab undang-undang ini atau dalam undang-undang umum lainnya, ialah
1.        Menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu;
2.        Masuk balai tentara;
3.        Memilih dan boleh dipilih pada pemilihan yang dilakukan karena undang-undang
umum;
4.        Menjadi penasehat atau wali, atau wali pengawas atau pengampu atau
pengampu   pengawas atas orang lain yang bukan ankanya sendiri;
5.        Kekuasaan bapak, perwalian ,dan pengampuan atas anaknya sendiri;
6.        Melakukan pekerjaan tertentu;
 Hakim berkuasa memecat seorang pegawai negeri dari jabatannya apabila dalam
undang-undang umum ada ditunjuk pembesar lain yang semata-mata berkuasa melakukan
pemecatan itu.

2)      Penyitaan barang-barang tertentu.


Karena suatu putusan perkara mengenai diri terpidana, maka barang yang dirampas
itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang dirampas itu adalah barang
hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang digunakan untuk melaksanakan
kejahatannya. Hal ini diatur dalam pasal 39 KUHP yang berbunyi:
(1)   Barang kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dengan kejahatan atau dengan sengaja
telah dipakainya untuk melakukan kejahatan, boleh dirampas.
(2)   Dalam hal menjatuhkan hukuman karena melakukan kejahatan tidak dengan sengaja atau
karena melakukan pelanggaran dapat juga dijatuhkan perampasan, tetapi dalam hal-hal yang
telah ditentukan oleh undang-undang.
(3)   Hukuman perampasan itu dapat juga dijatuhkan atsa orang yang bersalah yang oleh hakim
diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanyalah atas barang yang telah disita.

3)      Pengumuman keputusan hakim.


Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumuman kepada khalayak ramai
(umum) agar dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-hati terhadap si terhukum.
Biasanya ditentukan oleh hakim dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang
semuanya atas biaya si terhukum. Jadi cara-cara menjalankan pengumuman putusan hakim
dimuat dalam putusan (Pasal 43 KUHP).

SISTEM PERADILAN SAUDI ARABIA

1.      DASAR-DASAR HUKUM SAUDI ARABIA


Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan
umat manusia, baik Muslim mahupun bukan Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, Syariat
Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Oleh sebagian penganut Islam,
Syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup
manusia dan kehidupan dunia ini.
Terkait dengan susunan tertib Syari'at, Al Quran Surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan
bahwa sekiranya Allah dan RasulNya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam
tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami
bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNya belum menetapkan
ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman
makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah ayat 101 yang menyatakan bahwa hal-
hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.
Dengan demikian perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani
hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa
yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara yang
masuk dalam kategori Furu' Syara'.
·                     Asas Syara'
Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadits,
kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam dimana Al Quran itu Asas Pertama Syara' dan Al
Hadits itu Asas Kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia
dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali
dalam keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang
memungkinkan umat Islam tidak mentaati Syari'at Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau
dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak
diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan
keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali
kepada ketentuan syari'at yang berlaku.
Hukum Syara’ adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh titah Allah yang ditujukan
kepada manusia, yang penetapannya dengan cara tuntutan (thalab), bukan pilihan (takhyir),
atau wadha’. Contoh hukum syara’, dari beberapa firman Allah dalam Al-Quran.
1)   Firman Allah swt., “Tegakkahlah shalat dan berikanlah zakat!” [QS. Al-Muzzamil (73): 20].
Ayat ini menetapkan suatu tuntutan berbuat, dengan cara tuntutan keharusan yang
menunjukkan hukum wajib melakukan shalat dan zakat.
2)   Firman Allah swt., “Dan janganlah kamu mendekati zina!” [QS. Al-Isra' (17): 32]. Ayat ini
menetapkan suatu tuntutan meninggalkan, dengan cara keharusan yang menunjukkan hukum
haram berbuat zina.
3)   Firman Allah swt., “Dan apabila kamu telah bertahallul (bercukur), maka berburulah.” [QS.
Al-Maidah (5): 2]. Ayat ini menunjukkan suatu hukum syara’ boleh berburu sesudah tahallul
(lepas dari ihram dalam haji). Orang mukallaf boleh memilih antara berbuat berburu atau
tidak.
Wadha’ adalah sesuatu yang diletakkan menjadi sebab atau menjadi syarat, atau
menjadi pencegah terhadap yang lain. Misalnya, 
a)   Perintah Allah swt. “Pencuri lelaki dan wanita, potonglah tangan keduanya.” [QS. Al-Maidah
(5): 38]. Ayat ini menunjukkan bahwa pencurian adalah dijadikan sebab terhadap hukum
potong tangan.
b)   Bersabda Rasulullah saw., “Allah swt. tidak menerima shalat yang tidak dengan bersuci.”
Hadits ini menunjukkan bahwa bersuci adalah dijadikan syarat untuk shalat.
c)   Sabda Rasulullah saw., “Pembunuh tidak bisa mewarisi sesuatu.” Hadits ini menunjukkan
bahwa pembunuhan adalah pencegah seorang pembunuh mewarisi harta benda si terbunuh.
 Dari keterangan-keterangan di atas, kita paham bahwa hukum syara’ dibagi menjadi
dua, yaitu Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i.

1) Hukum taklifi 
Hukum taklifi  adalah sesuatu yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat, atau
tuntutan untuk meninggalkan, atau boleh pilih antara berbuat dan meninggalkan. Contoh:
a)     Hukum yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat: “Ambilah sedekah dari sebagian harta
mereka!” [QS. At-Taubah (9): 103], “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS. Al-Imran
(3): 97]. 
b)     Hukum yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan: “Janganlah di antara kamu
mengolok-olok kaum yang lain.” [QS. Al-Hujurat (49): 11], “Diharamkan bagimu memakan
bangkai, darah, dan daging babi.” [QS. Al-Maidah (5): 3].
c)      Hukum yang menunjukkan boleh pilih (mudah): “Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi.” [QS. Al-Jumu'ah (62): 10], “Dan apabila kamu bepergian
di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat.” [QS. An-Nisa' (4): 101].
Hukum taklifi terbagi menjadi dua, yaitu ;
1.      Azimah adalah suatu hukum asal yang tidak pernah berubah karena suatu sebab dan uzur.
Seperti shalatnya orang yang ada di rumah, bukan musafir. 
2.      Rukhshah adalah suatu hukum asal yang menjadi berubah karena suatu halangan (uzur).
Seperti shalatnya orang musafir.
Sumber-sumber Hukum islam :
  a) Al-Qur'an
Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga
akhir zaman (Saba' QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam juga disebut sumber pertama
atau Asas Pertama Syara'. Al-Quran merupakan kitab suci terakhir yang turun dari
serangkaian kitab suci lainnya yang pernah diturunkan ke dunia. Dalam upaya memahami isi
Al Quran dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al-Qur'an namun
tidak ada yang saling bertentangan.
b) Al Hadist
Al hadist adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad. Hadits sebagai
sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum
di bawah Al-Qur'an.
c) Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah usaha untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur'an
dan Hadis. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad telah wafat sehingga tidak bisa
langsung menanyakan pada beliau tentang suatu hukum namun hal-hal ibadah tidak bisa
diijtihadkan. Beberapa macam ijtihad antara lain :
·                     Furu' Syara'
Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al Quran dan Al
Hadist. Kedudukannya sebaga Cabang Syari'at Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat
seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan
/perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya.
Perkara atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara
ijtihadiyah.

2. ACARA PERSIDANGAN DI SAUDI ARABIA


Dalam peradilan Hukum Islam, hanya ada satu hakim yang bertanggung jawab
terhadap berbagai kasus pengadilan. Dia memiliki otoritas untuk menjatuhkan keputusan
berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Keputusan-keputusan lain mungkin hanya bersifat
menyarankan atau membantu jika diperlukan (yang dilakukan oleh hakim ketua).
Tidak ada sistem dewan juri dalam Islam. Nasib seorang tidak diserahkan kepada
tindakan dan prasangka ke-12 orang yang bisa saja keliru karena bukan saksi dalam kasus
tersebut dan bahkan mungkin pelaku kriminal itu sendiri. Hukuman-hukuman dalam Islam
hanya bisa dilakukan apabila perbuatan tersebut terbukti 100% secara pasti dan kondisi yang
relevan dapat ditemukan (misal ada 4 saksi untuk membuktikan perzinahan), jika masih ada
keraguan tentang peristiwa-peristiwa tersebut maka seluruh kasus akan
dibuang.
Ada 3 macam hakim dalam Islam, yaitu:
1.   Qodli ‘Aam: bertanggung jawab untuk menyelesaikan perselisihan ditengah-tengah
masyarakat, misalnya masalah sehari-hari yang terjadi didarat, tabrakan mobil, kecelakaan-
kecelakaan, dsb.
2.   Qodli Muhtasib: bertanggung jawab menyelesaikan perselisihan yang timbul diantara
ummat dan beberapa orang, yang menggangu masyarakat luas, misalnya berteriak dijalanan,
mencuri di pasar, dsb.
3.   Qodli Madzaalim: yang mengurusi permasalahan antara masyarakat dengan pejabat negara.
Dia dapat memecat para penguasa atau pegawai pemerintah termasuk khalifah.
Khalifah kedua yaitu Umar Ibnu Al Khattab (Amir kaum muslimin antara tahun 634-
644 M) adalah orang pertama yang membuat penjara dan rumah tahanan di Mekkah.
Dibawah sistem peradilan (Islam), setiap orang, muslim atau non muslim, laki-laki atau
perempuan, terdakwa dan orang yang dituduh memiliki hak menunjuk seorang wakil (proxy).
Tidak ada perbedaan antara pengadilan perdata dengan kriminal seperti yang kita lihat
sekarang di negeri-negeri Islam seperti di Pakistan dimana sebagian hukum Islam dan
sebagian hukum kufur keduanya diterapkan. Negara Islam hanya akan menggunakan sumber-
sumber hukum Islam yakni, Al-Qur`an dan As-Sunnah (dan segala sesuatu yang berasal dari
keduanya) sebagai rujukannya. Hukuman-hukuman Islami akan dilaksanakan tanpa
penundaan dan keraguan.
Tidak seorangpun akan dihukum kecuali oleh peraturan pengadilan. Selain itu, sarana
(alat-alat) penyiksaan tidak diperbolehkan. Dibawah sistem Islam, seseorang yang dirugikan
dalam suatu kejahatan mempunyai hak untuk memaafkan terdakwa atau menuntut ganti rugi
(misal qishas) untuk suatu tindak kejahatan. Khusus untuk hukum hudud, merupakan hak
Allah. Hukum potong tangan dalam Islam hanya akan diterapkan
apabila memenuhi 7 persyaratan, yaitu:
1.      Ada saksi (yang tidak kontradiksi atau salah dalam kesaksiannya).
2.      Nilai barang yang dicuri harus mencapai 0,25 dinar atau senilai 4,25 gr emas.
3.      Bukan berupa makanan (jika pencuri itu lapar).
4.      Barang yang dicuri tidak berasal dari keluarga pencuri tersebut.
5.      Barangnya halal secara alami (misal: bukan alkohol).
6.      Dipastikan dicuri dari tempat yang aman (terkunci).
7.      Tidak diragukan dari segi barangnya (artinya pencuri tersebut tidak berhak mengambil
misalnya uang dari harta milik umum).
Di sepanjang 1300 tahun aturan Islam diterapkan, hanya ada sekitar 200 orang yang
tangannya dipotong karena mencuri, kejadin-kejadian pencurian sangat jarang terjadi.
Setiap orang berhak menempatkan pemimpinnya di pengadilan, berbicara
mengkritiknya jika pengadilan telah melakukan sejumlah pelanggaran terhadapnya.
Sebagaimana ketika seorang wanita pada masa khalifah Umar Ibnu Al Khattab mengoreksi
kesalahan yang dilakukan Umar tentang nilai mahar.
Kehormatan seorang warga negara dipercayakan kepada Majlis Ummah. Hukuman
atas tuduhan kepada muslim lain yang belum tentu berdosa dengan tanpa menghadirkan 4
orang saksi yang memperkuat pernyataan tersebut adalah berupa 80 kali cambukan.

3. MACAM-MACAM SANKSI HUKUMAN PIDANA DI SAUDI ARABIA


Ada 4 kategori hukuman dalam sistem peradilan Islam, yaitu:
1)   Hudud. Hak Allah SWT, seperti perbuatan zina (100 cambukan), murtad (hukuman mati).
2)   Al Jinayat. Hak individu, dia boleh memaafkan tindak kejahatan seperti pembunuhan,
kejahatan fisik.
3)   At Ta’zir. Hak masyarakat, perkara-perkara yang mempengaruhi kehidupan masyarakat
umum sehari-hari seperti pengotoran lingkungan, mencuri di pasar.
4)   Al Mukhalafat. Hak negara, perkara-perkara yang mempengaruhi kelancaran tugas negara
misal melanggar batas kecepatan.
Di atas dapat disimpulkan  diantaranya :
1.        Bahwa sistem hukum pidana di Indonesia berasal dari KUHP yang berasal dari Belanda,
sedangkan  negara Saudi Arabia berasal dari ijtihad Hadits dan Al Qur’an.
2.        Sistem peradilan Indonesia mengenal adanya upaya hukum dan Saudi Arabia tidak ada.
3.        Sanksi pelaku dalam tindak pidana di Indonesia fleksibel dan mampu mengalami
perubahan sesuai dengan perkembangan zaman, karena tidak mengenal sakralitas apapun,
hukum modern bisa dibuat dan dirubah sesuai dengan keperluan. Sedangkan sistem hukum
pidana di Saudi Arabia  harus sesuai dengan sumbernya.

Anda mungkin juga menyukai