Anda di halaman 1dari 14

MATA KULIAH KOMUNIKASI POLITIK

3 PIK 1

Dosen Pengajar:

Desiana Endah Pramesti, S.Sos., M.Si

Disusun oleh:

Adrianus Wollah
14190077

Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora


Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Bunda Mulia
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Media adalah alat saluran komunikasi. Kata media berasal dari bahasa latin yang
merupakan bentuk jamak kata medium. Secara harfiah, media berarti perantara, yaitu
perantara antara sumber pesan (a source) engan enerima psan (a receiver). Beberapa hal
yang termasuk ke dalam media adalah film, televise, diagram, media cetak (printed
material), computer, dan lai sebagainya.

Media merupakan alat yang dapat membantu dalam keperluan dan aktivitas,
yang dimana sifatnya dapat mempermudah bagi siapa saja yang memanfaatkannya.
Secara lebih khusus, pengertian media dalam prses mengajar cenerung diartikan sebagai
alat-alat garafis, photografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan
menyusun kembali informasi visual atau verbal. Adanya media dirasakan memang
sangat membantu proses belajar menganjar, hal tersebut dikarenakan guru akan mudah
dalam kegiatan mengajarnya serta dapat meningkatkan perhatian siswa pada kegiatan
belajarnya.

Politik media merupakan sebuah sistem politik, politisi saecara individual dapat
terus menambah ruang privat dan publiknya, sehingga mereka tetap dapat mengurusi
masalah politik ketika ia tengah duduk di kursi kerjanya, yaitu melalui komunikasi yang
bisa menjangkau masyarakat sasarannya melalui media massa. Hal ini berarti politisi
media berdiri berlawanan dengan sistem yang lebih dulu ada, yakni politik partai.

Dalam pengertian konvensional, politisi berupaya untuk memenangkan


pemilihan umum dan dapat memerintah sebagai anggota tim partai. Dengan cara ini
politik partai menjadi usang, tetapi sistem ini sekarang menjadi hal yang setidak
-tidaknya menjadi praktik politik yang umum den gan berbagi panggung politik dengan
politik media, sebagai sebuah sistem yang sedang menggejala dengan muatan
-muatannya yang mulai dapat dipahami
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu Aktivitas Komunikasi Politik?


2. Apa saja Teori Media dalam menyikapi Aktivitas tersebut?
3. Bagaimana peran Media dalam Komunikasi Politik?

1.3 Tujuan Masalah

1. Mendeskripisikan Aktivitas Komunikasi Politik


2. Memaparkan beragam Teori Media dalam Aktivitas Komunikasi Politik
3. Menjelaskan peranan Media dalam proses Komunikasi Politik
4. Menjelaskan keterkaitan Komunikasi Politik berdasarkan Teori yang ada
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS

A. Komunikasi Politik

A.1. Pengertian Komunikasi Politik

Mendefinisikan komunikasi politik memang tidak cukup hanya dengan


menggabungkan dua definisi, “komunikasi” dan “politik”. Ia memiliki konsep
tersendiri, meskipun secara sederhana merupakan gabungan dari dua konsep tersebut.
Komunikasi dan politik dalam wacana ilmu pengetahuan manusia merupakan dua
wilayah pencarian yang masing-masing dapat dikatakan relatif berdiri sendiri. Namun
keduanya memiliki kesamaan-kesamaan sebab memiliki objek material yang sama
yaitu manusia.

Kesamaan objek material ini membuat kedua disiplin ilmu itu tidak dapat
menghindari adanya pertemuan bidang kajian. Hal ini disebabkan karena masing-
masing memiliki sifat interdisipliner, yakni sifat yang memungkinkan setiap disiplin
ilmu membuka isolasinya dan mengembangkan kajian kontekstualnya. Komunikasi
mengembangkan bidang kajiannya yang beririsan dengan disiplin ilmu lain, seperti
sosiologi dan psikologi, dan hal yang sama berlaku pula pada ilmu politik

Komunikasi politik secara keseluruhan tidak bisa dipahami tanpa


menghubungkannya dengan dimensi-dimensi politik serta dengan segala aspek dan
problematikanya. Kesulitan dalam mendefinisikan komunikasi politik terutama
dipengaruhi oleh keragaman sudut pandang terhadap kompleksitas realitas sehari-hari.
Kalaupun komunikasi dipahami secara sederhana sebagai “proses penyampaian
pesan”, tetap saja akan muncul pertanyaan, apakah dengan demikian komunikasi
politik berarti “proses penyampaian pesan-pesan politik.” Lalu apa yang disebut pesan-
pesan politik itu?
Berkenaan dengan hal ini, sebelum memahami konsep dasar komunikasi politik,
perlu terlebih dahulu ditelurusi pengertian politik paling tidak dalam konteks yang
menjadi masalah penelitian ini. Politics, dalam bahasa Inggris, adalah sinonim dari kata
politik atau ilmu politik dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Yunani pun mengenal
beberapa istilah yang terkait dengan kata politik, seperti politics (menyangkut warga
negara), polities (seorang warga negara), polis (kota negara), dan politeia (kewargaan).

B. Media Komunikasi Politik

B.1. Teori-teori Media

B.1.1.  Teori Jarum Suntik (Hypodermic Needle Theory)

Bullet Theory (Teori Peluru) adalah penyampaian pesan satu arah dan juga
mempunyai efek yang sangat kuat terhadap komunikan. Secara umum, masyarakat
penerima pesan dinilai sebagai sekumpulan individu yang homogen dan mudah
dipengaruhi. Sehingga, pesan-pesan yang disampaikan dipastikan akan selalu diterima.
Teori Jarum Suntik menganggap media massa memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi
seseorang dan khalayak dianggap pasif  terhadap pesan media yang disampaikan. Teori
ini berkembang di sekitar tahun 1930 hingga 1940an. Teori ini mengasumsikan bahwa
komunikator yakni media massa digambarkan lebih pintar dan juga lebih segalanya dari
audience.

Teori Peluru ini merupakan konsep awal efek komunikasi massa yang oleh para
pakar komunikasi tahun 1970-an dinamakan pula Hypodermic Needle Theory (Teori
Jarum Hipodermik). Teori ini ditampilkan tahun 1950-an setelah peristiwa penyiaran
kaleidoskop stasiun radio siaran CBS di Amerika berjudul The Invansion from
Mars (Effendy.1993:264-265).

Istilah model hypodermic needle timbul pada periode ketika komunikasi massa


digunakan secara meluas, baik di Eropa maupun di Amerika Serikat, yaitu sekitar1930-
an dan mencapai puncaknya menjelang Perang Dunia II. Pada periode ini kehadiran
media massa baik media cetak maupun media elektronik mendatangkan perubahan-
perubahan besar di berbagai masyarakat yang terjangkau oleh allpowerfull media massa.
Penggunaan media massa secara luas untuk keperluan komunikasi melahirkan gejala-
gejala mass society. Individu-individu tampak seperti distandarisasikan,
diotomatisasikan dan kurang keterikatannya di dalam hubungannya antarpribadi
(interpersonal relations). Terpaan media massa (mass media exposure) tampak di dalam
kecenderungan adanya homogenitas cara-cara berpakaian, pola-pola pembicaraan, nilai-
nilai baru yang timbul sebagai akibat terpaan media massa, serta timbulnya produksi
masa yang cenderung menunjukan suatu kebudayaan masa.

B.1.2. Teori Kepala Batu (Obstinate Audience Theory)

Pada tahun 1973, seorang pakar psikologi yang bernama Raymond Bauer pernah
menciptakan teori khalayak kepala batu (the obstinate audience theory). Teori tersebut
merupakan bentuk kritik terhadap teori jarum hipodermik yang mengatakan bahwa
khalayak tidak berdaya sedangkan media perkasa.

Hal ini kemudian dibantah oleh Bauer. Dia mengatakan bahwa khalayak justru sangat
berdaya dan sama sekali tidak pasif dalam proses komunikasi politik. Bahkan,
khalayak memiliki daya tangkap dan daya serap terhadap semua rangsangan yang
menyentuhnya. Khalayak hanya bersedia mengikuti pesan tersebut, bila pesan tersebut
memberikan keuntungan atau memenuhi kepentingan dan kebutuhan khalayak (Ardial,
2010: 144).

B.1.3. Teori Kultivasi (Cultivation Theory)

Teori kultivasi pada dasarnya menyatakan bahwa televisi bertangggung jawab


dalam membentuk atau mengkultivasi konsepsi atau cara pandang pemirsa televisi
terhadap realitas sosial. Efek massif televisi yang menerpa khalayak secara terus
menerus secara bertahap membentuk persepsi tentang realitas sosial bagi individu dan
budaya secara keseluruhan.

Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap-sikap serta nilai-nilai


yang telah tersaji dalam suatu budaya melalui komunikasi satu arah bukan komunikasi
dua arah. Media mengelola dan mempropaganda nilai-nilai tersebut diantara anggota
sebuah budaya, kemudian mengikatnya bersama-sama. Ia juga berpendapat bahwa
televisi cenderung untuk menanamkan perspektif politik. Media massa khususnya
televisi memiliki karakteristik media penyiaran yang khusus serta memudahkan televisi
dalam menanamkan berbagai sikap dan nilai budaya yaitu audiovisual.

B.1.4. Teori Kegunaan dan Kepuasan (Uses and Gratification Theory)

Pendekatan uses and gratifications mulai digunakan oleh para peneliti media


pada awal 1940an walaupun istilah uses and gratifications sendiri belum digunakan
saat itu. Herta Herzog (1944) yang memulai kajiannya mengenai uses and
gratifications dengan melakukan klasifikasi beberapa alasan mengapa khalayak
memilih media yang khusus. Ia melakukan wawancara terhadap penggemar opera
sabun dan mengidentifikasi tiga macam gratifikasi, yaitu emosi, pembelajaran,
dan wishful thinking.

Teori kegunaan dan kepuasan (Uses And Gratification Theory) menitik beratkan
perilaku individu dalam menggunakan media untuk mendapatkan kepuasan atas
kebutuhan. Penentu pemilihan pesan dan media berdasarkan teori ini adalah sikap dan
perilaku masyarakat. Apa yang dilakukan orang terhadap media, bagaimana cara
mereka menggunakan media untuk mencari informasi , bagaimana selera masyarakat,
dll.

B.1.5. Teori Spiral Kesunyian (Sprial of Silnece Theory)

Spiral of silence theory di kenal juga dengan teori spiral kesunyian, dan sering
juga disebut juga spiral kebisuan. Teori ini dikembangkan oleh Elisabeth Noelle
Neumann (1973,1980). Pada beberapa sumber Neumann di sebutkan sebagai seorang
sosiolog, peneliti politik, bahkan ada yang menyebutkan bahwa Neumann adalah
seorang jurnalis Nazi Jerman, dimana tulisan-tulisannya mendukung rezim Hitler dan
anti yahudi. Teori spiral kesunyian dianggapnya sebagai buah karyan Neumann yang
pemikirannya dipengaruhi oleh lingkungan Nazi (Saverin & Tankard, 2001). Namun
para ilmuwan lain lebih memilih untuk memandang teori spiral kesunyian ini sebagai
sebuah teori yang hendaknya dipandang atau dinilai dengan prinsip-prinsip ilmiah.
Teori ini mendasarkan asumsinya pada pernyataan bahwa pendapat pribadi
bergantung pada apa yang dipikirkan  atau diharapkan orang lain, atau apa yang orang
rasakan atau anggap sebagai pendapat dari orang lain. Orang pada umumnya berusaha
untuk menghindari isolasi sosial, atau pengucilan atau keterasingan dalam
komunitasnya dalam kaitannya mempertahankan sikap atau keyakinan tertentu.

Dalam hal ini terdapat 2 premis yang mendasarinya; pertama, bahwa orang tahu
pendapat mana yang diterima dan pendapat mana yang tidak diterima. Manusia
dianggap memiliki indera semi statistik (quasi-statistical sense) yang digunakan  untuk
menentukan opini dan cara perilaku mana yang disetujui atau tidak disetujui oleh
lingkungan mereka, serta opini dan bentuk perilaku mana yang memperoleh atau
kehilangan kekuatan (Saverin & Tankard, 2001). Kedua, adalah bahwa orang akan
menyesuaikan pernyataan opini mereka dengan persepsi ini. Dalam kehidupan sehari-
hari kita mengekspresikan opini kita dengan berbagai cara, tak selalu harus
membicarakannya, kita mengenakan pin atau bros, atau menempel stiker di belakang
mobil kita. Kita berani melakukan itu karena kita yakin bahwa orang lain pun dapat
menerima pendapat kita (Littlejohn, 1996).

B.1.5. Teori Penyusunan Agenda (Agenda Setting Theory)

Salah satu penulis awal yang merumuskan gagasan ini adalah Walter Lippmann.
Lippmann mengambil pandangan  bahwa: masyarakat tidak mengambil respon pada
kejadian yang sebenarnya dalam lingkungan tetapi pada gambaran dalam kepala kita
yang ia sebut sebagi lingkungan palsu (pseudoenvironment). Karena lingkungan yang
sebenarnya terlalu besar , terlalu kompleks dan terlalu menuntut adanya kontak
langsung.  Kita tidak dilengkapi  untuk berhadapan dengan begitu banyak detail ,
begitu banyak keberagaman , begitu banyak permutasi dan kombinasi.  Bersama-sama
kita harus bertindak dalam lingkungan , kita harus menyususnnya dalam sebuah model
yang lebih sederhana sebelum kita berhadapan dengan hal tersebut.  Media
memberikan kita model  yang lebih sederhana dengan menyusun agenda bagi kita.
            Fungsi penyusunan telah dijelaskan oleh Donal Shaw dan McCombs  dan
rekan-rekan mereka yang menulis:  Ada bukti yang telah dikumpulkan bahwa
penyunting dan penyiar memainkan bagian yang penting dalam membentuk realitas
sosial kita ketika mereka menjalankan tugas keseharian mereka dalam memilih dan
menampilkan berita. Pengaruh media massa ini, kemampuan  untuk mempengaruhi 
perubahan kognitif antarindividu  untuk meyususn pemeikiran mereka-telah diberi
nama fungsi penyusunan agenda dari komunikasi massa. Di sini terletak pengaruh
paling penting dari komunikasi massa, kemampuannya untuk menata mental,  dan
mengatur dunia kita bagi kita sendiri.  Media massa  memberitahu apa yang harus kita
pikirkan. Dengan kata lain penyusunan agenda membentuk gambaran dan isu penting
dalam pikiran masyarakat.

C. Analisa Kasus

Sumber: https://news.detik.com/berita/d-5149091/seret-youtube-netflix-ini-isi-
gugatan-rcti-soal-uu-penyiaran
Saya mengambil contoh dari Artikel diatas dimana Media nyatanya memiliki
kebersangkutan pada penegakan hukum di negara Indonesia. Bagaimana permainan
Politik terjadi sehingga pihak RCTI-iNews dapat akhirnya mengajukan Judisial
Review pada MK yang didasari oleh prihatinnya RCTI-iNews terhadap penerapan dan
penegakan hukum negara terkait dengan UU yang berlaku.

Tentunya Netflix dan Youtube akan sangat mudah terpengaruh jika


keberadaannya di jadikan gugatan oleh salah satu stasiun televisi terbesar di Indonesia.
Keberadaan Youtbe hingga Netflix yang pada hari ini sangat berpengaruh pada roda
kehidupan masyarakat baik dalam negara hingga manca negara yang berpengaruh tidak
hanya di dunia hiburan bahkan hingga sampai di perekonomian negara yang juga
menggantung nasib pada Youtube dan Netflix.

Saya mengamati fenomena ini merujuk dengan Teori yang dikemukakan oleh
Herzog pada pendekatannya melalui Uses and Gratification Theory atau Teori
Kegunaan dan Kepuasan. Teori ini mengemukakan bahwa perilaku individu dalam
menggunakan media untuk mendapatkan kepuasan atas kebutuhan. Penentu pemilihan
pesan dan media berdasarkan teori ini adalah sikap dan perilaku masyarakat. Apa yang
dilakukan orang terhadap media, hingga bagaimana selera masyarakat terhadapnya.

Di Indonesia sendiri, jumlah warganet yang menonton kanal ini, hampir


menyaingi jumlah netizen yang menonton televisi. Berdasarkan survei Google dan
Kantar TNS pada Januari 2018, Youtube ditonton 53 persen pengguna internet di
Indonesia., sementara warganet yang juga menonton televisi sebanyak 57 persen.

Hal ini berbeda dengan radio yang hanya didengarkan 13 persen pengguna
internet. Head of Marketing Google Indonesia, Veronica Sari Utami, menjelaskan,
durasi menonton Youtube oleh warganet Indonesia berada pada kisaran 59 menit.
Berdasarkan riset tersebut, ternyata Youtube tidak hanya disaksikan oleh penonton di
daerah pusat kota saja (urban).
Namun juga dinikmati masyarakat rural atau pedesaan. Survei ini melibatkan
1.500 pengguna internet di 18 kota di Indonesia. Namun, ada perbedaan pada jenis
konten yang dipilih masyarakat desa dan kota. Veronica memaparkan penonton
Youtube di kawasan luar kota besar (rural), lebih banyak mengonsumsi video-video
entertainment dan sepak bola.1

Kesimpulan dari fenomena yang saya amati adalah ketika Masyarakat


mempunyai taste tersendiri terhadap apa yang mereka gemari dalam hal ini
menggunakan Media untuk mendapat kepuasan dan kebergunaan dari Media sendiri,
mereka akan gencar dan secara terus menerus menggunakan media tersebut sebagai
sumber penerimaan informasi yang dapat digunakan. Televisi dalam hal ini juga
merupakan media yang dapat menghasilkan kegunaan yang baik, namun sayangnya
paradigma masyarakat terhadap industri pertelevisian sudah meranah kepada hal yang
tidak baik, mulai dari konten televisi, hingga televisi yang diniliai memihak terutama
pada bidang Politik.

1
https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/168060/ketika-youtube-menggeser-televisi
BAB III

3.1. Kesimpulan

Dalam konteks politik modern, media massa tidak hanya menjadi bagian integral dari
politik, tetapi juga memiliki posisi yang sentral dalam politik. Rancangan kebijakan harus
disebarluaskan agar rakyat mengetahui dan ikut mendiskusikannya dalam berbagai bentuk
forum diskusi publik. Tuntutan atau aspirasi msyarakat yang beraneka ragam harus
diartikulasikan. Semuanya membutuhkan saluran atau media untuk menyampaikannya.
Media massa merupakan saluran komunikasi politik yang banyak digunakan untuk
kepentingan-kepentingan seperti ini. Hal tersebut dikarenakan sifat media massa yang dapat
mengangkat pesanpesan (informasi dan pencitraan) secara massif dan menjangkau
khalayak atau publik yang beragam, jauh, dan terpencar luas.

Pesan politik melalu media massa akan sangat kuat mempengaruhi perilaku politik
masyarakat. Pentingnya perilaku politk dalam menunjang keberhasilan pembangunan
politik tampak dari perhatian ilmuwan politik yang tetap besar terhadap masalah ini.
Asumsi umum menunjukkan bahwa demokrasi dapat dipelihara dan dipertahankan karena
terdapat partisipasi warga negara yang aktif dalam urusan kewarganegaraan. Partisipasi
aktif mereka dalam kehidupan politik tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan informasi,
dan saluran atau media yang paling efektif untuk penyebaran informasi adalah media
massa.
Masyarakat juga memiliki hak dalam menentukan infromasi apa yang akan mereka
dapatkan dan dari mana sumber informasi tersebut berada. Dengan demikian membuktikan
bahwa masyarakat tidaklah pasif dalam menerima informasi yang kiranya akan
menginterverensi pendapat masyarakat dilain hari.

3.2. Saran

1. Masyarakat harus dapat memilah Media mana yang cenderung mereka gunakan untuk
mencegah adanya pemersatuan pendapat yang dipengaruhi oleh media itu sendiri
2. Peraturan hukum negara harus lebih terperinci dalam menegakan peraturan tersebut
3. Media televisi harus dapat melakukan inovasi-inovasi terbaru kedepannya agar dapat
bersaing di era global saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Subiakto, Henry. Komunikasi politik, media, dan demokrasi. Prenada Media, 2015.

Heryanto, Gun Gun. Media Komunikasi Politik. IRCiSoD, 2018.

Nasution, Zulkarimein, and S. IP. "Komunikasi Politik." Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia,


Jakarta (1990).

Zahrotunnimah, Zahrotunnimah, Nur Rohim Yunus, and Ida Susilowati. "Rekonstruksi Teori
Komunikasi Politik Dalam Membangun Persepsi Publik." STAATSRECHT: Indonesian Constitutional
Law Journal 2.2 (2018).

Tabroni, Roni. "Etika komunikasi politik dalam ruang media massa." Jurnal Ilmu
Komunikasi 10.2 (2014).

Cook, Timothy E., Governing with the News: the News Media as a Political Institution ,
(Chicago: Chicago University Press, 1998).

https://media.neliti.com/media/publications/146116-ID-peran-media-massa-dalam-komunikasi-
polit.pdf Dikunjungi pada 23/9/2020 pukul 15.04

http://journal.unair.ac.id/filerPDF/POLITIK%20MEDIA,%20%20DEMOKRASI.pdf
Dikunjungi pada 23/9/2020 Pukul 21.22

Anda mungkin juga menyukai