3 PIK 1
Dosen Pengajar:
Disusun oleh:
Adrianus Wollah
14190077
PENDAHULUAN
Media adalah alat saluran komunikasi. Kata media berasal dari bahasa latin yang
merupakan bentuk jamak kata medium. Secara harfiah, media berarti perantara, yaitu
perantara antara sumber pesan (a source) engan enerima psan (a receiver). Beberapa hal
yang termasuk ke dalam media adalah film, televise, diagram, media cetak (printed
material), computer, dan lai sebagainya.
Media merupakan alat yang dapat membantu dalam keperluan dan aktivitas,
yang dimana sifatnya dapat mempermudah bagi siapa saja yang memanfaatkannya.
Secara lebih khusus, pengertian media dalam prses mengajar cenerung diartikan sebagai
alat-alat garafis, photografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan
menyusun kembali informasi visual atau verbal. Adanya media dirasakan memang
sangat membantu proses belajar menganjar, hal tersebut dikarenakan guru akan mudah
dalam kegiatan mengajarnya serta dapat meningkatkan perhatian siswa pada kegiatan
belajarnya.
Politik media merupakan sebuah sistem politik, politisi saecara individual dapat
terus menambah ruang privat dan publiknya, sehingga mereka tetap dapat mengurusi
masalah politik ketika ia tengah duduk di kursi kerjanya, yaitu melalui komunikasi yang
bisa menjangkau masyarakat sasarannya melalui media massa. Hal ini berarti politisi
media berdiri berlawanan dengan sistem yang lebih dulu ada, yakni politik partai.
A. Komunikasi Politik
Kesamaan objek material ini membuat kedua disiplin ilmu itu tidak dapat
menghindari adanya pertemuan bidang kajian. Hal ini disebabkan karena masing-
masing memiliki sifat interdisipliner, yakni sifat yang memungkinkan setiap disiplin
ilmu membuka isolasinya dan mengembangkan kajian kontekstualnya. Komunikasi
mengembangkan bidang kajiannya yang beririsan dengan disiplin ilmu lain, seperti
sosiologi dan psikologi, dan hal yang sama berlaku pula pada ilmu politik
Bullet Theory (Teori Peluru) adalah penyampaian pesan satu arah dan juga
mempunyai efek yang sangat kuat terhadap komunikan. Secara umum, masyarakat
penerima pesan dinilai sebagai sekumpulan individu yang homogen dan mudah
dipengaruhi. Sehingga, pesan-pesan yang disampaikan dipastikan akan selalu diterima.
Teori Jarum Suntik menganggap media massa memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi
seseorang dan khalayak dianggap pasif terhadap pesan media yang disampaikan. Teori
ini berkembang di sekitar tahun 1930 hingga 1940an. Teori ini mengasumsikan bahwa
komunikator yakni media massa digambarkan lebih pintar dan juga lebih segalanya dari
audience.
Teori Peluru ini merupakan konsep awal efek komunikasi massa yang oleh para
pakar komunikasi tahun 1970-an dinamakan pula Hypodermic Needle Theory (Teori
Jarum Hipodermik). Teori ini ditampilkan tahun 1950-an setelah peristiwa penyiaran
kaleidoskop stasiun radio siaran CBS di Amerika berjudul The Invansion from
Mars (Effendy.1993:264-265).
Pada tahun 1973, seorang pakar psikologi yang bernama Raymond Bauer pernah
menciptakan teori khalayak kepala batu (the obstinate audience theory). Teori tersebut
merupakan bentuk kritik terhadap teori jarum hipodermik yang mengatakan bahwa
khalayak tidak berdaya sedangkan media perkasa.
Hal ini kemudian dibantah oleh Bauer. Dia mengatakan bahwa khalayak justru sangat
berdaya dan sama sekali tidak pasif dalam proses komunikasi politik. Bahkan,
khalayak memiliki daya tangkap dan daya serap terhadap semua rangsangan yang
menyentuhnya. Khalayak hanya bersedia mengikuti pesan tersebut, bila pesan tersebut
memberikan keuntungan atau memenuhi kepentingan dan kebutuhan khalayak (Ardial,
2010: 144).
Teori kegunaan dan kepuasan (Uses And Gratification Theory) menitik beratkan
perilaku individu dalam menggunakan media untuk mendapatkan kepuasan atas
kebutuhan. Penentu pemilihan pesan dan media berdasarkan teori ini adalah sikap dan
perilaku masyarakat. Apa yang dilakukan orang terhadap media, bagaimana cara
mereka menggunakan media untuk mencari informasi , bagaimana selera masyarakat,
dll.
Spiral of silence theory di kenal juga dengan teori spiral kesunyian, dan sering
juga disebut juga spiral kebisuan. Teori ini dikembangkan oleh Elisabeth Noelle
Neumann (1973,1980). Pada beberapa sumber Neumann di sebutkan sebagai seorang
sosiolog, peneliti politik, bahkan ada yang menyebutkan bahwa Neumann adalah
seorang jurnalis Nazi Jerman, dimana tulisan-tulisannya mendukung rezim Hitler dan
anti yahudi. Teori spiral kesunyian dianggapnya sebagai buah karyan Neumann yang
pemikirannya dipengaruhi oleh lingkungan Nazi (Saverin & Tankard, 2001). Namun
para ilmuwan lain lebih memilih untuk memandang teori spiral kesunyian ini sebagai
sebuah teori yang hendaknya dipandang atau dinilai dengan prinsip-prinsip ilmiah.
Teori ini mendasarkan asumsinya pada pernyataan bahwa pendapat pribadi
bergantung pada apa yang dipikirkan atau diharapkan orang lain, atau apa yang orang
rasakan atau anggap sebagai pendapat dari orang lain. Orang pada umumnya berusaha
untuk menghindari isolasi sosial, atau pengucilan atau keterasingan dalam
komunitasnya dalam kaitannya mempertahankan sikap atau keyakinan tertentu.
Dalam hal ini terdapat 2 premis yang mendasarinya; pertama, bahwa orang tahu
pendapat mana yang diterima dan pendapat mana yang tidak diterima. Manusia
dianggap memiliki indera semi statistik (quasi-statistical sense) yang digunakan untuk
menentukan opini dan cara perilaku mana yang disetujui atau tidak disetujui oleh
lingkungan mereka, serta opini dan bentuk perilaku mana yang memperoleh atau
kehilangan kekuatan (Saverin & Tankard, 2001). Kedua, adalah bahwa orang akan
menyesuaikan pernyataan opini mereka dengan persepsi ini. Dalam kehidupan sehari-
hari kita mengekspresikan opini kita dengan berbagai cara, tak selalu harus
membicarakannya, kita mengenakan pin atau bros, atau menempel stiker di belakang
mobil kita. Kita berani melakukan itu karena kita yakin bahwa orang lain pun dapat
menerima pendapat kita (Littlejohn, 1996).
Salah satu penulis awal yang merumuskan gagasan ini adalah Walter Lippmann.
Lippmann mengambil pandangan bahwa: masyarakat tidak mengambil respon pada
kejadian yang sebenarnya dalam lingkungan tetapi pada gambaran dalam kepala kita
yang ia sebut sebagi lingkungan palsu (pseudoenvironment). Karena lingkungan yang
sebenarnya terlalu besar , terlalu kompleks dan terlalu menuntut adanya kontak
langsung. Kita tidak dilengkapi untuk berhadapan dengan begitu banyak detail ,
begitu banyak keberagaman , begitu banyak permutasi dan kombinasi. Bersama-sama
kita harus bertindak dalam lingkungan , kita harus menyususnnya dalam sebuah model
yang lebih sederhana sebelum kita berhadapan dengan hal tersebut. Media
memberikan kita model yang lebih sederhana dengan menyusun agenda bagi kita.
Fungsi penyusunan telah dijelaskan oleh Donal Shaw dan McCombs dan
rekan-rekan mereka yang menulis: Ada bukti yang telah dikumpulkan bahwa
penyunting dan penyiar memainkan bagian yang penting dalam membentuk realitas
sosial kita ketika mereka menjalankan tugas keseharian mereka dalam memilih dan
menampilkan berita. Pengaruh media massa ini, kemampuan untuk mempengaruhi
perubahan kognitif antarindividu untuk meyususn pemeikiran mereka-telah diberi
nama fungsi penyusunan agenda dari komunikasi massa. Di sini terletak pengaruh
paling penting dari komunikasi massa, kemampuannya untuk menata mental, dan
mengatur dunia kita bagi kita sendiri. Media massa memberitahu apa yang harus kita
pikirkan. Dengan kata lain penyusunan agenda membentuk gambaran dan isu penting
dalam pikiran masyarakat.
C. Analisa Kasus
Sumber: https://news.detik.com/berita/d-5149091/seret-youtube-netflix-ini-isi-
gugatan-rcti-soal-uu-penyiaran
Saya mengambil contoh dari Artikel diatas dimana Media nyatanya memiliki
kebersangkutan pada penegakan hukum di negara Indonesia. Bagaimana permainan
Politik terjadi sehingga pihak RCTI-iNews dapat akhirnya mengajukan Judisial
Review pada MK yang didasari oleh prihatinnya RCTI-iNews terhadap penerapan dan
penegakan hukum negara terkait dengan UU yang berlaku.
Saya mengamati fenomena ini merujuk dengan Teori yang dikemukakan oleh
Herzog pada pendekatannya melalui Uses and Gratification Theory atau Teori
Kegunaan dan Kepuasan. Teori ini mengemukakan bahwa perilaku individu dalam
menggunakan media untuk mendapatkan kepuasan atas kebutuhan. Penentu pemilihan
pesan dan media berdasarkan teori ini adalah sikap dan perilaku masyarakat. Apa yang
dilakukan orang terhadap media, hingga bagaimana selera masyarakat terhadapnya.
Hal ini berbeda dengan radio yang hanya didengarkan 13 persen pengguna
internet. Head of Marketing Google Indonesia, Veronica Sari Utami, menjelaskan,
durasi menonton Youtube oleh warganet Indonesia berada pada kisaran 59 menit.
Berdasarkan riset tersebut, ternyata Youtube tidak hanya disaksikan oleh penonton di
daerah pusat kota saja (urban).
Namun juga dinikmati masyarakat rural atau pedesaan. Survei ini melibatkan
1.500 pengguna internet di 18 kota di Indonesia. Namun, ada perbedaan pada jenis
konten yang dipilih masyarakat desa dan kota. Veronica memaparkan penonton
Youtube di kawasan luar kota besar (rural), lebih banyak mengonsumsi video-video
entertainment dan sepak bola.1
1
https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/168060/ketika-youtube-menggeser-televisi
BAB III
3.1. Kesimpulan
Dalam konteks politik modern, media massa tidak hanya menjadi bagian integral dari
politik, tetapi juga memiliki posisi yang sentral dalam politik. Rancangan kebijakan harus
disebarluaskan agar rakyat mengetahui dan ikut mendiskusikannya dalam berbagai bentuk
forum diskusi publik. Tuntutan atau aspirasi msyarakat yang beraneka ragam harus
diartikulasikan. Semuanya membutuhkan saluran atau media untuk menyampaikannya.
Media massa merupakan saluran komunikasi politik yang banyak digunakan untuk
kepentingan-kepentingan seperti ini. Hal tersebut dikarenakan sifat media massa yang dapat
mengangkat pesanpesan (informasi dan pencitraan) secara massif dan menjangkau
khalayak atau publik yang beragam, jauh, dan terpencar luas.
Pesan politik melalu media massa akan sangat kuat mempengaruhi perilaku politik
masyarakat. Pentingnya perilaku politk dalam menunjang keberhasilan pembangunan
politik tampak dari perhatian ilmuwan politik yang tetap besar terhadap masalah ini.
Asumsi umum menunjukkan bahwa demokrasi dapat dipelihara dan dipertahankan karena
terdapat partisipasi warga negara yang aktif dalam urusan kewarganegaraan. Partisipasi
aktif mereka dalam kehidupan politik tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan informasi,
dan saluran atau media yang paling efektif untuk penyebaran informasi adalah media
massa.
Masyarakat juga memiliki hak dalam menentukan infromasi apa yang akan mereka
dapatkan dan dari mana sumber informasi tersebut berada. Dengan demikian membuktikan
bahwa masyarakat tidaklah pasif dalam menerima informasi yang kiranya akan
menginterverensi pendapat masyarakat dilain hari.
3.2. Saran
1. Masyarakat harus dapat memilah Media mana yang cenderung mereka gunakan untuk
mencegah adanya pemersatuan pendapat yang dipengaruhi oleh media itu sendiri
2. Peraturan hukum negara harus lebih terperinci dalam menegakan peraturan tersebut
3. Media televisi harus dapat melakukan inovasi-inovasi terbaru kedepannya agar dapat
bersaing di era global saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Zahrotunnimah, Zahrotunnimah, Nur Rohim Yunus, and Ida Susilowati. "Rekonstruksi Teori
Komunikasi Politik Dalam Membangun Persepsi Publik." STAATSRECHT: Indonesian Constitutional
Law Journal 2.2 (2018).
Tabroni, Roni. "Etika komunikasi politik dalam ruang media massa." Jurnal Ilmu
Komunikasi 10.2 (2014).
Cook, Timothy E., Governing with the News: the News Media as a Political Institution ,
(Chicago: Chicago University Press, 1998).
https://media.neliti.com/media/publications/146116-ID-peran-media-massa-dalam-komunikasi-
polit.pdf Dikunjungi pada 23/9/2020 pukul 15.04
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/POLITIK%20MEDIA,%20%20DEMOKRASI.pdf
Dikunjungi pada 23/9/2020 Pukul 21.22