Anda di halaman 1dari 28

HADIST TEMATIK

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Hadist yang diampu oleh
Bapak Dr. Mohammad Subhan Zamzami,Lc., M. Th.I

Oleh:
MOH. AINUL YAKIN
NIM. 20380031011

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


PROGRAM MAGISTER (S2)
PASCA SARJANA IAIN MADURA
NOVEMBER 2020

Review Hadist| 1
ILM AL-JARH WA AL-TA’DIL
A. Pengertian ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta’dil
Jarh menurut bahasa artinya melukai. Sedangkan jarh menurut istilah ilmu
hadits ialah menunjukkan atau membayangkan kelemahan, celaan atau cacat
seseorang rawi, atau melemahkan dia, maupun semua itu benar ada pada diri si
rawi atau tidak. Ta’dil menurut bahasan artinya meluruskan, membetulkan,
membersihkan. Sedangkan ta’dil menurut ilmu mush-thalah hadits ialah
menunjukkan atau membayangkan kebaikan atau kelurusan seorang rawi, maupun
semua itu benar ada pada diri si rawi atau tidak.1
Lebih jelasnya, ilmu pengetahuan yang membahas tentang kritikan adanya
'aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi disebut dengan "Ilmu Jarh
wa al-Ta;dil". Dr. Ajjaj Khatib (1989:260) dalam Khoirul Asfiyak
mendefinisikannya sebagai suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari
segi diterima atau ditolak periwayatannya. Ulama lain mendefinisikan al-jarh wa
al Ta'dil Ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat
menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau mebersihkan
mereka, dengan ungkapan atau lafadz tertentu.
Dari definisi di atas dapat dismpulkan bahwa ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil
adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para
perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi)
dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak
riwayat mereka.
B. Objek ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta’dil
‘Ilm al jarh wa al-ta’dil memiliki kajian objek material dan objek formal.
Obyek material ‘Ilm al jarh wa al-ta’dil adalah orang-orang yang dulu terlibat
dalam periwayatan hadis pada abad ke-1 hingga abad ke-4 Hijriyah, jadi mereka
sudah wafat ratusan tahun yang lalu. Adapun obyek fomalnya mengupas seluk-
beluk Sejarah hidup perawi secara spesifik, yakni bagaimana kualitas intelektual

1
A. Qadir Hassan, Ilmu Mushtalah Hadits (Bandung: Diponegoro Bandung, 2007)

Review Hadist| 2
maupun kualitas moral perawi (dhabit atau tidak, jujur atau tidak), tsiqqah atau
tidak).2
C. Kegunaan ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta’dil
Kepentingan dasar untuk melakukan al-jarh wa al-ta'dil semata-mata
berhidmat pada Syari'ah islamiyah guna memelihara sumber syaritah yang
didasari kejujuran dan niat yang ikhlas.3
Ilmu jarh wa al-ta'dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi
dan nilai haditsnya. Menyingkap sifat-sifat yang melekat pada para perawi hadits
sebagai pra-syarat menentukan diterima atau ditolaknya sebuah hadis. Artinya
spesifikasi ilmu ini mengkritisi
para perawi hadis dengan pendekatan karakteristik yang berhubungan
dengan ke-adilan (ketaatan bergamanya) dan ke-dhabitan (kekuatan hafalanya)
seorang perawi hadis Nabi. 4
Ilmu jarh wa al-ta'dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi
dan nilai hadisnya. Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-
kaidah ilmu jarh wa al-ta'dil yang telah banyak dipakai para ahli, mengetahui
syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara menetapkan keadilan dan
kedhabitan perawi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasan ini.
Jelasnya ilmu jarh wa ta'dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah
periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali.
Apabila seorang perawi "dijarh" oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka
periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji maka hadisnya bisa diterima
selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
Adapun informasi jarh dan ta'dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui
dua jalan, yaitu: Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu dan
berdasarkan pujian atau pen-tarjih-an dari rawi lain yang adil.

2
Imron, “Dasar-Dasar Ilmu Jarh Wa Ta’dil.”
3
DRS. H.A. Djalil Afif, “AL-JARH WA AL-TA’DIL,” Al Qalam, 52, 9 (1995): 26.
4
Khairil Ikhsan Siregar, “Telaah Hadis Nabi Sebagai Pendidik (Tinjauan Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta‘Dil),”
Jurnal Studi Al-Qur’an 10, no. 1 (2014): 58.

Review Hadist| 3
Sementara orang yang melakukan ta'dil dan tarjih harus memenuhi syarat
sebagai berikut: berilmu pengetahuan, taqwa, wara', jujur, menjauhi sifat fanatik
terhadap golongan dan mengetahui ruang lingkup ilmu jarh dan ta'dil ini.
D. Peringkat Rawi
Para perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat dari
segi keadilannya, kedlabithannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang
hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula
yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang adil dan amanah; serta ada
juga yang berdusta dalam hadits. Maka Allah menyingkap perbuatannya ini
melalui tangan para ulama yang sempurna pengetahuan mereka. Oleh karena itu,
para ulama menetapkan tingkatan Jarh dan Ta’dil, dan lafadh-lafadh yang
menunjukkan pada setiap tingkatan. Tingkatan Ta’dil ada enam tingkatan, begitu
pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).
1) Tingkatan At-Ta’dil
Tingkatan Pertama, Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta‟dil-
an, atau dengan menggunakan wazan af‟ala dengan menggunakan ungkapan-
ungkapan seperti: “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan”
atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang
paling kuat hafalan dan ingatannya”.
Tingkatan Kedua, Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-
annya, keadil annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun
dengan makna; seperti: tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan
terpercaya (ma‟mun), atau tsiqah dan hafizh.
Tingkatan Ketiga, Yang menunjukan adanya pentsiqahan tanpa adanaya
penguatan atas hal itu, seperti: tsiqah, tsabat, atau hafizh.
Tingkatan Keempat, Yang menunjukkan adanya ke-„adil-an dan
kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti :
Shaduq, Ma‟mun (dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau
laa ba‟sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma‟in kalimat laa
ba‟sa bihi adalah tsiqah (Ibnu Ma‟in dikenal sebagai ahli hadits yang

Review Hadist| 4
mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk
menunjukkan ketsqahan perawi tersebut).
Tingkatan Kelima, Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun
celaan; seperti : Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya „anhul-hadiits
(diriwayatkan darinya hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya).
Tingkatan Keenam, Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti:
Shalihul- Hadiits (haditsnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis haditsnya.)
Hukum Tingkatan-Tingkatan Ini
i. Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian
mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
ii. Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi
hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan
membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang
dlabith. Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan
jika tidak sesuai, maka ditolak.
iii. Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi
hadits mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan
untuk pengujian, karena mereka tidak dlabith.10
2) Tingkatan Al-Jarh
Tingkatan Pertama, Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang
paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah haditsnya),
atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla‟fun (padanya ada
kelemahan).
Tingkatan Kedua, Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi
dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan
hujjah”, atau “dla‟if, atau “ia mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau
majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya).
Tingkatan Ketiga, Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis
haditsnya, seperti : “Fulan dla‟if jiddan (dla‟if sekali)”, atau “tidak ditulis
haditsnya”, atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada

Review Hadist| 5
apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma‟in bahwasannya ungkapan laisa
bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).
Tingkatan Keempat, Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua
hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib(dituduh berdusta) atau “dituduh
memalsukan hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan),
ataulaisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya).
Tingkatan Kelima, Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan
semacamnya; seperti: kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla‟
(pemalsu hadits), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla‟ (dia memalsikan
hadits).
Tingkatan Keenam, Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan
ini seburuk- buruk tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”,
atau “ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”. Hukum
Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh
i. Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap
hadits mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan
tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya
daripada tingkatan pertama.
ii. Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah,
tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali

Review Hadist| 6
ILM MUKHTALAF AL-HADITS
A. Pengertian

Dalam kaidah bahasa Arab, mukhtalaf al–Hadits adalah susunan dua kata
yakni mukhtalaf dan al–Hadits. Menurut bahasa mukhtalaf adalah isim fa`il dari
ikhtilaf (berbeda)5 yang merupakan lawan dari ittifaq (sesuai).6
Sedangkan menurut istilah Mukhtalaful hadits adalah hadits maqbul yang
secara lahiriyah bertentangan dengan hadits yang sama sepertinya dan boleh
dihimpun atau dikompromikan (mencari jalan tengah) antara keduanya. Demikian
juga hadits sahih atau hasan yang didatangi oleh hadits lain sepertinya dari segi
martabat dan kekuatan, dan secara zahir menyanggahinya pada makna serta dapat
dihimpunkan dan diselaraskan pengertian kedua-duanya oleh ahli ilmu hadits dan
ulama yang berfikiran tajam dalam bentuk yang boleh diterima.7
Menurut An-Nawawiy, sebagaimana yang dikutip oleh As-Suyuthi
mukhtalaf hadits diartikan sebagai dua buah hadits yang saling bertentangan pada
makna lahiriahnya (namun makna sebenarnya bukanlah bertentangan), untuk
mengetahui makna sebenarnya tersebut maka keduanya dikompromikan atau di
tarjih (untuk mengetahui mana yang kuat diantaranya).8”
Berdasarkan definisi di atas, dapatlah dipahami bersama bahwa yang
dimaksud dengan hadits mukhtalaf adalah hadits sahih dan hasan, secara lahirnya
(makna luar) yang telihat saling bertentangan dengan hadits sahih dan hasan
lainnya. Namun maksud yang dituju oleh hadits-hadits tersebut tidaklah
bertentangan, karena satu dengan lainnya pada prinsipnya dapat dikompromikan

5
Maksud dari pengertian tersebut adalah hadits-hadits yang sampai kepada kita berbeda satu sama
lain dalam pemaknaan, artinya maknanya saling bertentangan akan tetapi memiliki maksud dan
tujuan serta kedudukan dari hadits tersebut adalah sama hanya saja diperlukan jalan tengah untuk
menemukan titik temu atau penyelesaian dari pemahaman kedua hadits yang saling bertentangan
tersebut.
6
Edi Safri, “Al-Imam Al-Syafi’i: Metode Penyelesaian Hadits-Hadits Mukhtalaf,” Disertasi
Doktor, Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1990, hlm. 83.
7
Hazarul Hisham, “Taisir Mustolahul Hadits,” 2008, hlm. 48,
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:e-
dvD9ZhwVUJ:hazarulhisham.yolasite .com/resources/mustolahul
%2520hadits.pdf+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id.
8
N Mardhotillah, “Tinjauan Umum Ilmu Mukhtalaf Al – Hadits dan `Iddah,” 2015, hlm. 18-19,
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:L5MU_jFMq 7UJ:repository.uin-
suska.ac.id/ 6321/3/BAB%2520II.pdf+&cd=8&hl=id&ct= clnk&gl=id.

Review Hadist| 7
atau dapat dicari penyelesaiannya dengan cara penggunaan metode penyelesaian
pada ilmu Mukhtalaful Hadits.

B. Objek

Objek kajian dari Ilmu Mukhtalaful hadits yang dibahas adalah hadits yang
memiliki kedudukan yang sama seperti (hadits sahih yang satu dengan yang
lainnya) akan tetapi memiliki beberapa penjelasan yang berbeda dan memiliki
tingkat kesulitan untuk memahami maknanya, atau juga dapat dikatakan
bertentangan secara zhahirnya, namun dapat dicarikan jalan tengahnya sehingga
dapat di kompromikan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa kekhususan itu terkait
dengan kondisi atau konteks ruang, waktu, dan lawan bicara. Tentang kepada
siapa Nabi bersabda, dapat pula dalam kemungkinan kepada kelompok atau
perorangan.
Secara garis besar objek Mukhtalaful hadits meliputi hal-hal berikut ini9:
1. Pertentangan terjadi dalam satu konteks permasalahan, jika terjadi dalam dua
konteks yang saling berbeda, maka keduanya tidak dapat dianggap saling
bertentangan.
2. Pertentangan antara dua hukum, seperti yang satu menjelaskan sesuatu yang
haram dan yang lainnya menjelaskan sesuatu yang halal.
3. Kedua hadits yang bertentangan akan tetapi memiliki kualitas yang sama.
Dimana pertentangan tersebut terjadi pada satu peristiwa. Misalnya hadits
tentang celaan terhadap saksi yang tidak jujur dengan hadits pujian bagi saksi
yang jujur.

C. Kegunaan

Mukhtalaful Hadits muncul karena keadaan saling bertentangan antara satu


hadits dengan hadits lainnya maka dari itu kegunaan Mukhtalaful Hadits secara
umum adalah untuk menghilangkan pertentangan dan kemudian untuk
menyelesaikan pertentangan pada hadits yang bertentangan tersebut.10
9
Ahmad Syaripudin, “Metodologi Studi Islam dalam Menyikapi Kontradiksi Hadits (Mukhtalaf
al-Hadits),” Nukhbatul ’Ulum 4, no. 1 (22 Juni 2018): hlm. 36,
https://doi.org/10.36701/nukhbah.v4i1. 31.
10
Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadits-hadits Mukhtalif Menurut al-Syafi’i,” no. 2 (2011):
hlm. 186.

Review Hadist| 8
Ilmu mukhtalaful hadits ini adalah ilmu yang penting disamping ilmu
hadits yang lain. Karena jika seseorang yang membaca atau memahami hadits
tanpa adanya bantuan ilmu ini seseorang dapat mengatakan suatu hadits yang
shahih menjadi dha’if dan sebaliknya, jika seseorang tersebut menemukan hadits
yang tampaknya bertentangan. Selain itu di antara pentingnya memahami ilmu ini
adalah menolak syubhat11 terhadap hadits Nabi SAW, dan menetapkan terjaganya
hadits Nabi SAW, serta terpeliharanya syari’at Islam, karena syari’at Islam selalu
bermanfaat untuk setiap waktu dan tempat.12

D. Metodologi `Ilm Mukhtalaf Al-Hadits


Ada beberapa metode untuk menyelesaikan mukhtalaful hadits, dalam hal
ini terdapat susunan atau urutan metode penyelesaian hadits. Para ulama
berpendapat bahwa ada dua perbedaan dalam penyusunan metode mukhtalaf
hadits ini, pendapat pertama adalah jumhur ulama hadits, diantaranya al-Suyuti,
al-Shafi’iyah, al-Zaydiyah, al-Hanabilah, dan al-Malikiyah. Kelompok ini
berpendapat bahwa langkah yang dipilih dalam menyelesaikan mukhtalaf al-
hadits adalah dengan melakukan al-jam’u terlebih dahulu, al-naskh, al-tarjih, dan
kemudian diakhiri dengan al-tawaquf.13
Kedua, kelompok yang diwakili al-Hanafiyah. Menurut mereka, cara
penyelesain hadits kontradiktif adalah dengan al-naskh, al-tarjih, al-jam‘u. Jika
kesemua cara tidak dapat menyelesaikan hadits yang tampak kontradiktif, maka
dilakukannya al-tawaquf.14
Sedangkan urutan yang digunakan oleh penulis dalam metode
penyelesaian hadits yang akan digunakan adalah: al–jam’u wa at–taufiq, al-naskh,
al-tarjih, dan al-tawaquf yaitu metode pendapat yang pertama, dengan penjelasan
sebagai berikut:
1. Al-Jam`u wa at-Taufiq

11
Syubhat merujuk kepada sebuah keadaan kerancuan berpikir dalam memahami sesuatu hal, yang
mengakibatkan sesuatu yang salah terlihat benar atau sebaliknya.
12
Muhajirin, Ulumul Hadits II, Cetakan I (Palembang: NoerFikri Offset, 2016), hlm. 59.
13
Mohamad Anas, “Metode Memahami Hadits-hadits Kontradiktif,” MUTAWATIR 3, no. 1 (9
September 2015): hlm. 130, https://doi.org/10.15642/mutawatir.2013.3.1.123-139.
14
Anas, “Metode Memahami Hadits-hadits Kontradiktif.”

Review Hadist| 9
Penyelesaian dalam bentuk Al-Jam`u wa at-Taufiq atau pengkompromian
hadits adalah salah satu bentuk penyelesaiaan hadits-hadits Mukhtalaf dari
pertentangan yang tampak, dengan menelusuri titik temu makna masing-masing
agar dapat dikompromikan atau mencari pemahaman yang tepat terhadap hadits-
hadits yang kelihatan bertentangan dan menunjukkan kesejalanan makna yang
dikandungnya sehingga masing-masing dapat diamalkan sesuai degan tuntutan atu
hukum yang ditujukan.15 Maksudnya adalah penyelesaian hadits-hadits yang
tampak (makna lahiriahnya) dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna
masing–masing. Sehingga maksud yang sebenarnya yang dituju oleh yang satu
dengan yang lainnya dapat dikompromikan.

2. Nasakh-mansukh

Nasakh secara etimologis berarti izalah (menghilangkan) dan naql


(mengutip, menyalin). Adapun secara istilah nasakh ialah menghapus hukum
lama dengan hukum baru. Sedangkan mansukh adalah suatu hukum yang
sebelumnya berlaku kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi oleh syar`i (Allah
dan RasulNya), yakni dengan didatangkannya dalil syar`i yang baru yang
membawa ketentuan lain dari yang berlaku sebelumnya.16 artinya hukum lama
yang tidak berlaku lagi disebut mansukh, sedangkan hukum yang baru datang
disebut Nasakh.
Ulama yang membolehkan Nasakh, mengemukakan beberapa syarat.
Pertama, yang di Nasakh itu adalah hukum syara` yang bersifat `amaliyah, bukan
hukum `aqli dan bukan yang menyangkut hal aqidah. Kedua, dalil yang
menunjukkan berakhirnya masa berlaku hukum yang lama itu datang secara
terpisah dan kemudian dari dalil yang di Nasakh, kekuatan kedua dalil itu adalah
sama, dan tidak mungkin untuk dikompromikan. Ketiga, dalil dari hukum yang di
Nasakh tidak menunjukkan berlakunya hukum untuk selamanya, karena

15
Siti Ardianti, “Metode Penyelesaian Hadits-Hadits Mukhtalif Oleh Syekh Salih Al- ‘Usaimin,”
Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam, UIN Sumatera Utara, t.t., hlm. 8.
16
Ardianti, “Metode Penyelesaian Hadits-Hadits Mukhtalif Oleh Syekh Salih Al- ‘Usaimin,” hlm.
10.

Review Hadist| 10
pemberlakuan secara tetap menutup kemungkinan pembatalan berlakunya hukum
dalam suatu waktu. Cara mengetahui adanya Nasakh suatu hadits diantaranya:17
a. Dengan penjelasan dari nash atau syar`i, dalam hal ini penjelasan
langsung dari Rasulullah SAW,
b. Dengan penjelasan dari sahabat,
c. Melalui pengetahuan seiarah.
d. Dengan mengetahui tarikh18, siapa perawi yang mengucapkannya hadits
tersebut.
3. Tarjih
Secara etimologi tarjih berarti tafdhil yaitu mengutamakan atau taqawiyah
yaitu menguatkan. Menurut istilah Ahli Hadits, tarjih yaitu “Menjadikan raajih19
salah satu dari dua hadits yang berlawanan yang tak bisa dikumpulkan, dan
menjadikan yang satu lagi marjuh20,Dalam arti istilahi, tarjih adalah ungkapan
mengenai di iringinya salah satu dari dua dalil yang pantas yang menunjukkan
kepada apa yang dikehendaki, di samping keduanya berbenturan yang
mewajibkan untuk mengamalkan satu di antaranya dan meninggalkan yang satu
lagi karena ada sesuatu sebab dari sebab-sebab tarjih.21”
Adapun jalan untuk mentarjih dua dalil yang tampaknya bertentangan itu
dapat ditinjau dari beberapa segi, pertama, segi sanad (I`tibar al-sanad), kedua,
segi matan (I`tibar al-matan), ketiga, segi penunjukkan (madlul), misalnya madlul
yang positif, merajihkan yang negatif, keempat, dari segi luar, misalnya dalil
qauliyah merajihkan dalil fi`liyah.22

4. Tawaqquf
17
Thahan, Ilmu Hadits Praktis, 70–71.
18
Tarikh adalah Ilmu yang menerangkan rawi-rawi hadits, dari aspek yang berkaitan dengan
periwayatan mereka terhadap hadits tersebut. Dengan ilmu ini akan dapat diketahui informasi yang
terkait dengan semua rawi yang menerima dan menyampaikan hadits atau yang melakukan
penyebaran hadits Nabi SAW sehingga para rawi yang menyebarkan dan terlibat dalam
periwayatan hadits tersebut adalah semua rawi baik dari kalangan sahabat, para tabi’in, para tabi’
al-tabi’in sampai mukharrij hadits.
19
Raajih (‫ )راجح‬berasal dari ‫ رجح‬dengan bentuk isim fa’il bermakna yang unggul atau
sederhananya dapat diartikan sebagai dalil yang dikuatkan.
20
Marjuh adalah lawan kata dari raajih, jika raajih bermakna yang dikuatkan berarti marjuh dapat
diartikan sebagai dalil yang dilemahkan.
21
Anas, “Metode Memahami Hadits-hadits Kontradiktif,” hlm. 137.
22
Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i,” hlm. 197.

Review Hadist| 11
Secara bahasa berarti mendiamkan atau menghentikan. Secara istilah yaitu
mendiamkan dan tidak mengamalkan hadits-hadits tersebut sampai ada dalil-dalil
lain yang dapat menunjukkan keabsahan hadits tersebut.23 Metode ini ditempuh,
jika hadits yang saling bertentangan itu tidak bisa dikompromikan (al-jam‘u),
menggunakan metode naskh-mansukh juga tidak bisa diterapkan dan
menggunakan metode tarjih tidak terdeteksi keunggulan salah satu dari hadits
yang bertentangan maka yang terakhir menggunakan metode tawaqquf ini.

ILMU KRITIK HADIST


A. Pengertian Kritik Hadist
Istilah kritik terambil dari bahasa Inggeris, critic, yang berasal dari Bahasa
Latin, citicus = decisive, atau dari Bahasa Yunani, kritikos = able to discern, atau

23
Syaripudin, “Metodologi Studi Islam dalam Menyikapi Kontradiksi Hadits (Mukhtalaf al-
Hadits),” hlm. 38.

Review Hadist| 12
dari kata Kritikos = separated, chosen, atau dari kata krinein = to separate, choose.
Ada juga yang menyebut dari bahwa kritikos (Yunani) akar katanya adalah kitites
= a judge, discenner, atau dari kata krinein = to separate, to distinguish. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan, kata kritik berarti “kecaman atau
tanggapan, kadang disertai uraian dan pertimbangan baik dan buruk terhadap
suatu hasil karya”.
Secara terminologis, istilah kritik adalah pertimbangan yang membedakan
antara yang benar dan yang tidak benar, antara yang indah dan yang jelak, yang
bernilai dan yang tidak bermutu. Secara etimologi, kata kritik (naqd) dalam
bahasa arab mempunyai arti sama dengan lafad al-tamyiz yang mempunyai makna
membedakan atau memisahkan. Lafadz naqd dalam bahasa arab biasa digunakan
untuk sebuah istilah dalam penelitian, analisis, pengecekan dan pembedaan. Kritik
dalam kamus bahasa Indonesia mempunyai makna menghakimi, membandingkan
dan menimbang. Dalam pemakainnya kata ktritik sering dikonotasikan dengan
makna yang tidak lekas percaya, tajam dalam analisa, dan koreksi baik atau
buruknya suatu karya.
Sedangkan menurut ulama hadis, kritik dikenal dengan istilah naqh al-
hadis yaitu sebuah disiplin ilmu yang membahas tentang bagaimana membedakan
antara hadis sahih dan da’if, mengetahui adanya illat pada hadis dan cara
menghukumi perawi-perawinya dengan tinjauan jarh wa ta‘dilnya dengan
menggunakan lafal- lafal khusus yang mengandung makna tertentu yang hanya
diketahui oleh pakar ahli hadis.4 Menurut Ibnu Hatim al-Razi (w. 327 H)
sebagaiman dikutip oleh M.M. al- A„zami, naqd merupakan upaya menyeleksi
atau membedakan antara hadis sahih dan da’if, serta menetapkan para perawinya
apakah termasuk kuat (thiqqah) atau cacat (marjuh).
Dari beberapa pengertian tentang kritik hadis di atas, maka dapat kita
pahami bahwa upaya kritik hadis bukan untuk membuktikan salah atau benarnya
suatu hadis, karena Nabi mempunyai sifat ma‘sum, yang dijamin terhindar dari
kesalahan tetapai tujuannya adalah menguji kejujuran para perawi hadis selaku
perekam sejarah dan kandungan matan hadis di dalamnya. Kritik hadis ini pada

Review Hadist| 13
dasarnya bertujuan untuk menguji dan menganalisis secara kritis kebenaran suatu
hadis dapat dibuktikan, termasuk komposisi kalimat yang terdapat dalam matan.24
B. Metodologi Kritik Hadist
Untuk melakukan penelitian Hadits Nabi SAW., ada tiga metode yang
lazim digunakan, baik pada zaman Nabi SAW., atau pun era saat ini. Mereka
adalah metode perbandingan, metode rasional, dan metode kontekstual.25
1) Metode Perbandingan.
Ada empat ragam metode perbandingan menurut A’zami.
a. Membandingkan hadis-hadis dari para sahabat dan tabiin. Caranya dengan
mengumpulkan berbagai hadis kemudian membandingkannya dengan
yang lain.
b. Membandingan pernyataan ulama setelah jarak waktu tertentu
c. Membandingan dokumen yang ditulis dengan yang disampaikan dari
ingatan
d. Membandingan hadis dengan al-Qur’an yang berkaitan
2) Metode Rasional
Metode rasional bisa dilakukan karena berbagai hal.
a. Karena adanya pertentangan antara hadis dengan al-Quran. Ketika hadis
bertentangan dengan alQuran, maka hadis tersebut tidak bisa diterima
b. Karena adanya pertentangan antara hadis dengan hadis. Ketika ada dua
hadis yang saling bertentangan, maka yang diterima hadis yang paling
unggul kesahihahannya.
c. Karena adanya pertentangan antara hadis dan ilmu pengetahuan dan
kebenaran umum. Ketika hadis bertentangan dengan kebenaran umum atau
ilmu pengetahuan, maka hadis yang demikian harus ditolak.

3) Metode Kontekstual
Metode ini sangat berkaitan dengan asbabul wurud hadis dan orang yang
dimaksud oleh sebuah hadis. Metode seperti ini mewajibkan para peneliti mencari
24
Atho’illah Umar, ‚Budaya Kritik Ulama Hadis‛, Jurnal Mutawatir fakultas Ushuluddin UINSA,
Vol.1, No. 1, ( Surabaya, 2011), 138.
25
Siti Badi’ah, Metode Kritik Hadist Di Kalangan Ilmuwan Hadist”, Vol. 9 No. 1 Juli 2015

Review Hadist| 14
peristiwa-peristiwa yang menjadi alasan hadis diturunkan dan memahami konteks
sosial budaya yangmenjadi tempat hadis diturunkan . Selain ketiga metode
tersebut, masih ada dua ragam metode yang bisa digunakan, terutama berkenaan
dengan living hadis. Mereka adalah metode histori dan heurmeneutik.
4) Metode Historis
Metode historis yang dimaksud adalah studi yang kritis terhadap
peninggalan masa lampau dengan menggunakan dua standar ilmiah sebagaimana
dimaksud oleh Louis Gottschalk, yaitu Mampu membuktikan fakta sejarah dan
Mengkritisi dokumen sejarah. Metode ini digunakan untuk menguji otentisitas
atau validitas teks-teks hadis dari aspek sanad maupun matan, sehingga teks-teks
tersebut diyakini sebagai hadis Nabi.
5) Metode Hermeneutik
Sementara metode hermeneutik merupakan modifikasi dari pemikiran
Fazlur Rahman mengenai pemahamannya terhadap al-Quran. Konsep tersebut
adalah makna teks, latar belakang teks, dan gagasan moral yang dimaksud oleh
teks. Untuk mengaplikasikan ketiga konsep tersebut ke dalam hadis, konsep-
tersebut berkembang menjadi lima konsep.
Pertama, pemahaman dari sisi bahasa. Kajian diarahkan pada sisi
semantiknya, baik makna leksikal maupun gramatikal.
Kedua, pemahaman terhadap latar belakang sejarah. Konsep kedua ini
terkait erat dengan asbabul wurud hadis dan konteks sosial budaya tempat hadis
diturunkan.
Ketiga, menghubungkan hadis secara tematik dan komperehensif–integral.
Dengan konsep ketiga ini, diharapkan kandungan hadis bisa dipahami secara utuh,
tidak parsial.
Keempat, memaknai teks dengan menyarikan ide dasarnya. Artinya, ketika
meneliti hadis, kita tidak melupakan kenyataan bahwa hadis adalah produk
dialogis- komunikatif Nabi dengan umat Islam pada waktu itu, sehingga intisari
gagasan hadis tidak hilang.

Review Hadist| 15
Kelima, mengaitkan pemahaman teks-teks hadis dengan teori yang terkait.
Konsep terakhir ini menegaskan bahwa penelitian hadis aspiratif dengan teori
yang lain yang sekiranya berkaitan.

‘ILM TAKHRIJ AL-HADITS


A. Pengertian

Review Hadist| 16
Takhrij hadits merupakan bagian dari kegiatan penelitian hadits. Secara
bahasa, takhrij berasal dari kharaja yang berarti mengeluarkan. Sedangkan takhrij
adalah isim masdar (bermakna: Pengeluaran).26 Secara harfiah takhrij hadits
diserap dari kata kerja ‫خرج‬,dan dapat didefinisikan kedalam tiga arti. Pertama,
penetapan sumber-sumber hadits (istinbath). Kedua, pemaparan atau penjelasan
terkait sumber-sumber hadits melalui metode yang benar (taujih). Ketiga, sebuah
cara dan pengetahuan untuk menemukan sumber-sumber hadits (tadrib).
Takhrij Al-Hadits adalah penulusuran hadis kedalam kitab aslinya kitab
hadits yang dikumpulkannya dari usaha mencari sendiri kepada penghafalnya
yang mempunyai sanad lengkap, dan biasanya di dalam kitab itu disertakan
penjelasan tentang kualitas hadisnya.27
Dari pengertian yang dipaparkan di atas,sehingga dapat di simpulkan
kelengkapan sanad serta matan hadits mempunyai hukum untuk orang
meriwayatkan hadits. Sehingga pentingnya tata cara yang benar dalam meneliti
hadits, maka akan ada beberapa metode yang lumrah digunakan untuk
mentakhrijkan hadits.
B. Macam-Macam
Dalam melakukan kegiatan takhrij dan bisa memilih salah satu dari 3
(tiga) macam takhrij yang akan di jelaskan pada berikut ini. Pembedaan macam
Takhrij itu hanyalah seberapa luas pembahasan yang kita lakukan dalam kegiatan
tersebut. Lebih jelasnya, sebagai berikut:28
1. Takhrijmuwassa‘/tafshili (detail) pentakhrij melakukan kegiatan takhrij
pada semua jalur sanad hadits yang ditemukannya, menyebutkan semua
sumber dimana hadits tersebut berada, serta menjelaskan kualitas hadits.
Ia juga menyertakan pendapat para ulama tentang hadits tersebut dan
kajian-kajian terbaru para ulama terkait hadits tersebut baik dari segi
sanad maupun matannya.

26
Abd. Wahid, Pengantar Ulumu Hadits (Banda Aceh: Yayasan PeNa Banda Aceh, 2012), 35.
27
Damanhuri, Metodologi Penelitian Hadis Pendekatan Simultan (Surabaya: Al Maktabah-PW LP
Maarif NU Jatim, 2014), 111.
28
Ade Budiman, “Ulumul Hadits” (Rangkasbitung, 2017), 69.

Review Hadist| 17
2. Takhrij mutawassith (sederhana) pentakhrij menjelaskan beberapa sumber
dimana hadits itu berada, tanpa menjelaskan keseluruhan jalur hadits yang
ada, dan menyebutkan beberapa pendapat ulama tentang hadits yang
menjadi objek Takhrij.
3. Takhrijijmaly (ringkas) pentakhrij menyebutkan sumber hadits secara
ringkas, dan mencukupkan diri dengan menyebutkan penyusun hadits.
C. Metodologi
Proses mentakhrij hadis berarti melakukan tiga hal yaitu pertama,
menelusuri di kitab mana hadits yang diteliti berada. Tahap ini berarti menemukan
kitab di mana hadits tersebut berada dan berapa jalur periwayatannya. Kedua,
membuat bagansanad periwayat hadits. Tahap ini dimulai dengan menemukan
para periwayat hadits itu sendiri dengan rangkaian silsilah sanadnya. Ketiga,
memberikan penilaian kualitas hadits. Tahap ini dilakukan dengan memeriksa
persambungan sanad dan reputasi para periwayat, sehigga diketahui apakah hadits
itu sahih atau tidak.
Syarat mentakhrij hadits yang diteliti harus diambil atau ditakhrij dari
sumber-sumber asli hadits yaitu pertama, kitab-kitab hadits yang dihimpun sendiri
oleh pengarangnya dan lengkap sanadnya sampai kepada Rasul, seperti: kutub
assittah, Muwatta’, Musnad Ahmad, dsb. Kedua, kitab-kitab hadits pengikut kitab
hadits pokok (no. 1), seperti: kitab al-Jami’u Baina Sahihain karya al-Humaidi,
Tahzib as-Sunan Abi Dawud karya al-Munziry, kitab Tuhfatul asyraf bi Ma’rifatil
Atraf karya al-Mazi. Ketiga, kitab-kitab selain hadits, seperti kitab tafsir, fiqh, dan
sejarah yang didukung hadits, dengan syarat hadits tersebut lengkap sanadnya.29
Didalam melakukan takhrij ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai
pedoman untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan tentang metode-metode
yang dapat dijadikan pedoman yaitu:30
1. Takhrij Melalui Lafaz Pertama Matan Hadits

29
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis (Yogyakarta: IAIN PO Press, 2018), 180–181.
30
Nawir Yuslem, Uumul Hadis (Ciputat: PT Mutiara Sumber Widya, 2001), 404.

Review Hadist| 18
Metode ini sangat tergantung pada lafaz pertama matan hadits. Berarti
metode ini juga mengkodifikasikan hadits-hadits yang lafal pertamanya sesuai
dengan urutan Hijaiyah, seperti huruf pertamanya alif, ba’ ta’ dan seterusnya.
Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal memberikan kemungkinan
yang besar bagi seorang mukhrij untuk menemukan hadits-hadits yang sedang
dicari dengan cepat. Akan tetapi, sebagai kelemahan dari metode ini adalah,
apabila terdapat kelainan atau perbedaan lafaz pertamanya sedikit saja, maka akan
sulit untuk menemukan hadits yang dimaksud.31
2. Takhrij menurut lafaz-lafaz yang terdapat di dalam matan hadits
Metode ini adalah berdasarkan pada kata-kata yag terdapat dalam matan
hadis, baik berupa isim (nama benda) atau fi’il (kata kerja). Hadits-hadits yang
dicantumkan adalah berupa potongan atau bagian dari hadits dan para ulama yang
meriwayatkan beserta nama-nama kitab induk hadits yang dikarang mereka,
dicantumkann di bawah potongan-potongan hadits tersebut.Penggunaan metode
ini akan lebih mudah manakala menitik beratkan pencarian hadits berdasarkan
lafaz-lafaznya yang asing dan jarang penggunaanya. Beberapa kelebihan metode
ini adalah:32
a. Metode ini mempercepat pencarian hadits
b. Para penyusun kitab-kitab takhrijj dengan metode ini membatasi hadits-
haditsnya dalam beberapa nama kitab, juz, bab dan halamannya
c. Memungkinkan pencairan hadits melalui kata-kata apa saja yang terdapat
dalam matan hadis.
Selain mempunyai kelebihan, metode ini juga mempunyai kelemahan,
yang diantaranya adalah:33
a. Adanya keharusan memiliki kemampuan bahasa Arab beserta perangkat
ilmunya secara memadai, karena metode ini menuntut untuk mampu
mengembalikan setiap kata kuncinya kepada kata dasarnya.
b. Metode ini tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat yang
menerima hadits dari Nabi SAW kembali untuk mengetahui nama sahabat,
31
Yuslem, Uumul Hadis, 405–406.
32
Yuslem, Uumul Hadis, 407–408.
33
Yuslem, 408.

Review Hadist| 19
harus kembali kepada kitab-kitab aslinya setelah mentakhrijnya dengan
kitab ini.
c. Terkadang suatu hadits tidak didapatkan dengan kata sehingga orang yang
mencarinya harus menggunakan kata-kata lain.
Menurut Mahmud al-Thahhan, mentakhrij hadits dengan metode ini dapat
menggunakan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi karya
A.J. Wensinck yang diterjemahkan oleh Muhammd Fuad ‘Abd al-Baqi. Kitab ini
merujuk kepada kitab-kitab yang menjadi sumber pokok hadits, yaitu Kutub al-
Sittah, al-Muwaththa’, Musnad Imam Ahmad, dan Sunan al-Darimi. Langkah-
langkahnya penggunaan metode ini adalah :34
a. Kita hendaknya mencari kata-kata tertentu dalam hadits yang akan kita
takhrij, namun kata-kata ini haruslah merupakan kata yang berupa isim dan
fiil, dan tidak bisa mentakhrijnya dengan kata huruf (seperti kata
sambung).
b. Dalam mencari kata pada hadits yang akan ditakhrij, hendaknya dicari kata
yang paling asing (jarang digunakan). Karena semakin asing kata tersebut,
maka proses pentakhrijannya semakin mudah.
c. Setelah kita dapatkan kata tersebut, maka langkah selanjutnya kita perlu
menemukan kata dasar dari kata yang akan kita pergunakan, terutama bila
kata tersebut bukan merupakan kata dasar. Demikian juga dengan isimnya,
perlu kita temukan bentuk mufrad dan asal katanya.
d. Setelah kita mengetahui kata dasarnya, maka setelah itu kita merujuk ke
kitab takhrij yang menggunakan metode ini. Kitab yang paling masyhur
adalah kitab : Al-mu’jam alMufahras li alfadh al-hadis an-Nabawy.
e. Jadi, kita tinggal merujuk pada keterangan yang diberikan oleh kitab
mu’jam tersebut dalam kitab-kitab hadits induk yang ditunjukkan.
3. Takhrij Menurut Perawi Pertama
Takhrij dengan metode ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu
mengetahui secara pasti perawi pertamanya dari kalangan Sahabat. Langkah
pertama dari metode ini adalah mengenal nama perawi pertama dari hadits yang

34
Rofiah, Studi Ilmu Hadis, 183–184.

Review Hadist| 20
akan ditakhrij. Langkah berikutnya adalah mencari nama perawi yang diinginkan
dari kitab-kitab al-Athraf atau Musnad. Bila nama perawi pertama yang dicari
telah ditemukan, kemudian dicari hadits yang diinginkan di antara hadits-hadits
yang tertera di bawah nama perawi tersebut. Bila sudah ditemukan, maka akan
diketahui ulama hadits yang meriwayatkannya.35
Diantara kelebihan metode ini yaitu pertama, metode ini memperpendek
masa proses takhrij dengan diperkenalkannya ulama hadis yang meriwayatkannya
beserta kitab-kitabnya. Kedua, metode ketiga ini memberikan kesempatan
melakukan takhrij persanad. Adapun diantara kelemahan yaitu metode ini tidak
dapat digunakan secara efektif tanpa mengetahui terlebih dahulu perawi hadis
yang kita maksud. Hal ini karena penyusunan hadis-hadis tersebut didasarkan
perawi yang dapat menyulitkan tujuan takhrij.36
4. Takhrij Menurut Tema Hadits
Takhrij dengan metode ini bersandar pada pengenalan tema hadits. Setelah
ditemukan hadits yang akan di takhrij, maka langkah selanjutnya ialah
menyimpulkan tema hadits tersebut. Kemudian mencarinya melalui tema ini pada
kitab-kitab metode ini.37
Kelebihan metode ini di antaranya adalah pertama, Metode ini mendidik
ketajaman pemahaman terhadap hadits pada diri pentakhrij. Kedua, Metode ini
dapat memperkenalkan pentakhrij dengan hadits-hadits lain yang senada dengan
hadits yang dicari. Sedangkan kelemahannya adalah pertama, Terkadang
kandungan hadits itu sulit disimpulkan oleh pentakhrij sehingga tidak dapat
ditentukan temanya. Akibatnya ia tidak mungkin menggunakan metode ini,
apalagi kalau topik yang dikandung hadits itu lebih dari satu. Kedua, Terkadang
pemahaman pentakhrij tidak sesuai dengan pemahamaan penyusun kitab, karena
penyusun kitab meletakkan suatu hadits pada topik yang tidak diduga oleh
pentakhrij.
5. Takhrij Menurut Klasifikasi Status Hadits

35
Rofiah, 181.
36
Izzan, Studi Takhrij Hadis, 42.
37
Izzan, Studi Takhrij Hadis, 73.

Review Hadist| 21
Metode ini memperkenalkan suatu upaya baru yang telah dilakukan para
ulama hadits dalam menyusun hadits-hadits yaitu penghimpunan hadits
berdasarkan statusnya. Melalui kitab-kitab tertentu, para ulama berupaya
menyusun hadits-hadits berdasarkan statusnya, seperti hadits qudsi, masyhur,
mursal, dan lain-lain.38
Kelebihan metode ini dapat memudahkan proses takhrij, karena hadits-
hadits yang diperlihatkan berdasarkan statusnya jumlahnya sangat sedikit dan
tidak rumit. Meskipun demikian, kelemahan tetap ada yaitu terbatasnya kitab-
kitab yang memuat hadits menurut statusnya.39

38
Yuslem, Uumul Hadis, 416.
39
Rofiah, Studi Ilmu Hadis, 187.

Review Hadist| 22
STUDI HADITS ORIENTALIS

A. Studi Hadits Perspektif G.H.A Juynboll


Gautier H.A Juynboll berasal dari Belanda lahir pada tahun 1935 yang
merupakan seorang pakar sejarah hadits orientalis selama kurang lebih tiga puluh
tahun Salah satu artikelnya yang berjudul The Origins and Uses of Islamic Hadith,
Juynboll menjelaskan penelitian literature hadis yang mengalami perkembangan
secara kronologis sejak akhir tahun 1960-an hingga 1996.3 Awal mula
pemikirannya dipengaruhi oleh ide-ide orientalis lainnya yaitu Joseph Schacht,
melalui karaya-karyanya Juynboll mengembangkan ide-idenya. Pada tahun 1965
hingga 1966
a) Teori Common Link G.H.A. Juynboll
Pada mulanya teori Common Link dikenalkan oleh Joseph Schacht yang
kemudian dikembangkan Juynboll secara massif. Common Link adalah sebuah
istilah yang diberikan kepada periwayat tertua yang ditemukan dalam isnad yang
menyebarkan hadis padA lebih dari satu murid. Jadi, Common link adalah orang
yang pertama menyebarkan hadits dengan kata-katanya sendiri secara publik,
namun maknanya tetap memiliki kesinambungan dengan masa yang lebih tua
daripada dirinya sendiri. Menurut Juynboll, ketika Common Link mengutip satu
jalur riwayat hadis saja maka itu berarti bahwa beliau hanya meriwayatkan versi
hadis yang mereka terima saja, dan tidak menutup kemungkinan mereka
mengetahui adanya versi riwayat yang lain. sementara alasan yang kedua adalah
bahwa Common Link hanya mungkin saja hanya meriwayatkan satu versi jalur
yang dianggapnya paling terpercaya. Selanjutnya alasan ketiga ialah bahwa
mungkin Common Link menambah informan yang paling cocok apabila mereka
lupa informan yang sebenarnya.40
b) Hadis Mutawâtir dalam Perspektif G.H.A Juynboll
Pada perkembangan penelitian Juynboll selanjutnya, ia dengan sangat
meyakinkan menyatakan bahwa dalam literatur hadis tidak akan mungkin
ditemukan hadis mutawatir lafzi atau dengan maksud lain ia hanyalah sebuah teori

40
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 176-177

Review Hadist| 23
yang tidak akan pernah dapat direalisasikan. Sedangkan untuk mutawatir ma’nawi
hanya terjadi pada sejumlah kasus yang terbatas dengan kriteria yang tidak baku
dan tidak tersusun secara jelas. Apabila dipaparkan secara individual, maka tidak
bisa masuk dalam kriteria mutawatir. Juynboll berkesimpulan bahwa ke-
mutawatir-an sebuah hadis bukanlah jaminan hadis tersebut otentik dari Nabi.41
Ia juga sangat meragukan Hadis mutawatir yang sudah dibuat oleh para sarjana
hadits. Menurutnya, terdapat banyak masalah tentang definisi mutawatir
dikalangan sarjana hadits, formulanya yang mengalami fluktuasi yang tidak
sederhana, sehingga mutawatir digunakan secara bebas bahkan salah. Tidak hanya
itu saja, Juynboll juga menyatakan bahwa kedua hadis yang sudah dicontohkan
tersebut tidak dapat dibuktikan kesejarahannya bahwa memang benar-benar dari
nabi.
B. Studi Hadits Perspektif Harald Motzki
Harald Motzki adalah seorang orientalis yang menjadi Guru Besar sekaligus
Profesor di Institut Bahasa dan Budaya dari Timur Tengah, Universitas Nijmegen,
Belanda. Motzki adalah sosok yang dikenal para pemerhati orientalisme sebagai
sosok yang banyak mengkaji hadis sejarah yang berhubungan dengan sirah,
metode pencermatan Motzki terhadap hadis lebih didominasi penelitiannya
terhadap sisi sejarah hadis itu sendiri.
a) aHarald Motzki dalam mengkaji otentisitas hadis
Teori-teori Harald Motzki berangkat dari sanggahan beliau terhadap
interpretasi Juynboll yang menilai Common Link sebagai pemalsu hadis. Karena
menurut Motzki tidak selalu Common Link tersebut dapat dikatakan sebagai
pemalsu hadis selama belum ditemukan data sejarah yang yang menunjukkan
beliau sebagai pemalsu hadis. Oleh karena itu menurut Motzi Common Link
tersebut lebih relevan dikatakan sebagai penghimpun hadis yang pertama, yang
berperan sebagai perekam dan meriwayatkannya ke dalam kelas-kelas reguler,
dan dari kelas kelas itulah sebuah sistem belajar yang terlembaga dan
berkembang.8 Berangkat dari beberapa argumentasi tersebut, maka muncullah
41
Dalam analisis pada hadis niyaha ( larangan meratapi mayat ) dan man kazaba dikutip Jurnal
Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an dan Hadis Vol. 12 No. 2 Juli 2011 Benny Afwadzi, Pemikiran G.H.A.
Juynboll Tentang Hadis Mutawatir. 330-332

Review Hadist| 24
teori-teori Harald Motzki tentang jalur tunggal (Single Strand), yaitu sebagai Jalur
tunggal tidak mesti berarti hanya satu jalur periwayatan dan Jalur tunggal berarti
bahwa Common Link ketika meriwayatkan hadis dari koleksinya hanya
menyebutkan satu jalur riwayat, yakni versi yang aling diketahui dan dinilai
paling otoritatif. Mungkin ada versi lain yang tidak sempat terkumpul atau
menghilang karena Common Link tidak sempat menerima atau
menyampaikannya, atau karena versi tersebut tidak diketahui di masa dan tempat
Common Link
b) Sanggahan Motzki terhadap Skeptisisme Orientalis terhadap Hadis
Harald Motzki selaku Dosen Universitas Nijmegen Belanda ini tidak
setuju dengan kesimpulan Schacht mengenai awal munculnya hadits. Sebab
berdasarkan hasil analisis beliau terhadap sanad maupun matan hadis beliau
menyimpulkan bahwa haditshadits yang terdapat dalam Kitab al-Mushannaf karya
Abdurrazzaq as-Shan’ani adalah kecil sekali kemungkinan adanya keberagaman
data periwayatan hadis adalah suatu hasil pemalsuan yang terencana. Dengan
demikian beliau menyatakan bahwa suatu matan hadis dan isnadnya dalam kitab-
kitab hadis tersebut layak dipercaya.
Dengan demikian kesimpulan Motzki berbeda dengan orientalis
skeptisisme seperti Schacht dan Ignaz Golzher yang menganggap semua hadis
adalah palsu. Karena Motzki telah membantah teori Schacht yang
mengungkapkan bahwa isnad cenderung membengkak jumlahnya makin ke
belakang, dan teorinya bahwa isnad yang paling lengkap adalah yang paling
belakangan munculnya.
Interpretasi Mozki pada fenomena common link membawanya pada
penafsiran yang berbeda tentang jalur tunggal antara common link dan otoritas
yang lebih awal dan fenomena diving. Menurut Motzki jalur tunggal (single
stand) tidak harus berarti hanya satu jalur periwayatan, melainkan jalur tunggal
adalah berarti bahwa common link ketika meriwayatkan sebuah hadis dari
koleksinya hanya menyebut satu jalur riwayat menurut versinya adalah karena
common link menganggap bahwa riwayat tersebutlah yang paling dia ketahui.
Sementara dikemudian hari, para murid common link atau penghimpun

Review Hadist| 25
belakangan mencoba untuk menemukan versi-versi (yang mungkin hilang atau
diabaikan oleh common link) bersama dengan jalur-jalur informasinya. Apabila
mereka sukses menemukannya mereka pun kemudian “dive” satu atau lebih
generasi dibawah common link. Ini juga berarti bahwa stand yang “diving” tidak
harus dipahami sebagai hasil pemalsuan dari penghimpun belakangan,
sebagaimana yang dipahami oleh Juynboll.Pada prinsipnya meskipun penafsiran
Motzki pada teori common link berbeda dengan dengan pemahaman Schacht dan
Juynboll, di sisi lain beliau juga cenderung mengakui sistem isnad secara umum
dan sistem common link secara khusus dapat digunakan untuk tujuan-tujuan
penanggalan.

Review Hadist| 26
HADIST TEMATIK
II.1 Definisi Studi Hadis Tematik (Mawḍū‘ī
Secara bahasa kata mawḍū‘ī berasal dari kata maudu’un yang merupakan
isim maf‘ūl dari kata waḍa‘a yang artinya masalah atau pokok permasalahan.42
 Mustafa Muslim berkata bahwa yang dimaksud mawḍū‘ī adalah
meletakkan sesuatu pada suatu tempat. Maka, yang dimaksud dengan
metode mawḍū‘ī adalah mengumpulkan ayat-ayat yang bertebaran dalam
Alquran atau hadis-hadis yang bertebaran dalam kitab-kitab hadis yang
terkait dengan topik tertentu atau tujuan tertentu kemudian disusun sesuai
dengan sebab-sebab munculnya dan pemahamannya dengan penjelasan,
pengkajian dan penafsiran dalam masalah tertentu tersebut.
 Menurut al-Farmawī sebagaimana dikutip oleh Maizuddin dalam bukunya
Metodologi Pemahaman Hadis, disebutkan bahwa metode mawḍū‘ī adalah
mengumpulkan hadis-hadis yang terkait dengan satu topik atau satu tujuan
kemudian disusun sesuai dengan asbāb al-wurūd dan pemahamannya yang
disertai dengan penjelasan, peng-ungkapan dan penafsiran tentang masalah
tertentu. Dalam kaitannya dengan pemahaman hadis, pendekatan tematik
(mawḍū‘ī) adalah memahami makna dan menangkap maksud yang
terkandung di dalam hadis dengan cara mempelajari hadis-hadis lain yang
terkait dalam tema pembicaraan yang sama dan memperhatikan korelasi
masing-masingnya sehingga didapatkan pemahaman yang utuh.43
 Sedangkan Arifuddin Ahmad mengatakan bahwa metode mawḍū‘ī adalah
pensyarahan atau pengkajian hadis berdasarkan tema yang
dipermasalahkan, baik menyangkut aspek ontologisnya maupun aspek
epistemologis dan aksiologisnya saja atau salah satu sub dari salah satu
aspeknya.44
II.2 Langkah-Langkah Studi Hadis Tematik

42
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),
1565.
43
Maizuddin, Metodologi Pemahaman Hadis (Padang: Hayfa Press, 2008), 13
44
Arifuddin Ahmad, Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis (Makassar: Rapat Senat Luar Biasa UIN
Alauddin Makassar), 4.

Review Hadist| 27
Langkah-langkah pengkajian hadis dengan metode tematik ini antara lain
dapat dilakukan dengan:
1) Menentukan tema atau masalah yang akan dibahas
2) Menghimpun atau mengumpulkan hadis-hadis yang terkait dalam satu tema,
baik secara lafal maupun secara makna melalui kegiatan takhrīj al-ḥadīṡ.
3) Melakukan kategorisasi berdasarkan kandungan hadis dengan
memperhatikan kemungkinan perbedaan peristiwa wurūd-nya hadis
(tanawwu‘) dan perbedaan periwayatan hadis.
4) Melakukan kegiatan i‘tibār dengan melengkapi seluruh sanad.
5) Melakukan penelitian sanad yang meliputi penelitian kualitas pribadi perawi,
kapasitas intelektualnya dan metode periwayatan yang digunakan.
6) Melakukan penelitian matan yang meliputi kemungkinan adanya ‘illat (cacat)
dan syāż (kejanggalan).
7) Mempelajari tema-tema yang mengandung arti serupa
8) Membandingkan berbagai syarah hadis
9) Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis atau ayat-ayat pendukung
10) Menyusun hasil penelitian menurut kerangka besar konsep
11) Menarik suatu kesimpulan dengan menggunakan dasar argumentasi ilmiah.45.

45
Muhammad Yusuf, Metode & Aplikasi Pemaknaan Hadis (Yogyakarta: Sukses Offset, 2008), 27-29

Review Hadist| 28

Anda mungkin juga menyukai