Anda di halaman 1dari 32

TUGAS INDIVIDU

“MAKALAH KHULAFAUR RASYIDIN”


MATA KULIAH AL ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN VI
Dosen Pengampu : Dr. Dahlan Lama Bawa, S.Ag.,M.Ag.

OLEH:

Kelompok 7

FATIHATUL NIKMAH 105941100918 (Aktif)


FINGKI YUNI LESTARI 105941101818 (Akfif)
ISLAELI AMALIA 105941101417 (Aktif)
ALDRIAN PADIL JALAL 105941101817 (Aktif)

FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020/2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
menyusun Makalah Khulafaur Rasyidin
Tugas ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan tugas ini. Untuk itu saya
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan tugas ini.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar saya dapat memperbaiki tugas ini.
Akhir kata saya berharap semoga tugas yang saya buat sedemikian rupa
dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

     Makassar, 23 Januari 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Sampul
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1. Latar Belakang..........................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................1

1.3. Tujuan Makalah.........................................................................................2

1.4. Manfaat......................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

2.1. Konsep Khilafah Dalam Islam Antara Ide Dan Realitas...........................3

2.1.1. Pengertian khilafah............................................................................3

2.2. Proses Pengangkatan Khulafautr Rasyidin................................................5

2.2.1. Proses Terpilihnya Abu Bakar As-Sidiq.r.a.......................................5

2.2.2. Proses Terpilihnya Umar Bin Khatab r.a...........................................7

2.2.3. Proses Terpilihnya Utsman Bin Affan r.a..........................................8

2.2.4. Proses Pengangkatan Ali bin Abi Thalib r.a....................................11

2.3. Sistem dan Model Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin..........................12

2.3.1. Khalaifah Abu Bakar As-Shidiq r.a. (11-13 H)...............................12

2.3.2. Khalifah Umar Bin Khatab r.a. (13-23 H).......................................14

2.3.3. Khalifah Utsman Bin Affan r.a. (23-35 H)......................................16

2.3.4. Khalifah Ali Bin Abi Thalib r.a. (35-40 H).....................................18

2.4. Wacana serta Respon Penegakkan Khilafah Di Indonesia......................20

2.4.1. Konsep Khilafah Menurut HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)..............20


2.4.2. Dalil Kewajiban Menegakkan Khilafah Presfektif HTI..................22

2.4.3. Respon Adanya Wacana Penegakkan Khilafah Di Indonesia.........24

BAB III PENUTUP...............................................................................................26

3.1. Kesimpulan..............................................................................................26

3.2. Saran........................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebelum Nabi Muhammad SAW Wafat, Nabi Tidak meninggalkan


wasiat tentang siapa yang akan menggantikan tongkat estafet
kepemimpinan beliau bagi umat Islam setelah beliu wafat. Beliau
tampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri
untuk menentukannya.
Karena itulah, tidak lama setelah nabi wafat, sehingga
permasalahan tentang siapa penganti nabi menjadi suatu problem ijtihadi
tersendiri bag umat Muslimim pada saat itu, oleh karenanya pada saat itu
sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul untuk menentukan
pengganti kepemimpinan yang kosong bagi umat Islam, sepeninggal nabi.
Sementara Itu baik dalam Al-Qur’an ataupun hadits, juga tidak ada
petunjuk terkait penganti nabi yang posisinya sebagai pemimpin umat
muslim pada masa mendatang, petunjuk yang ditingalkan nabi berdasarkan
beberapa petunjuk hadits hanyalah bersifta umu terkait penyelesain maslah
harus dengan jalann musyawarah mufakat, tanpa adanya pola baku terkait
bagaimana konsep musyawarah yang harus dilakukan. Secara umum Umat
Islam menjadikan generasi awal muslim sebagai rujukan ideal dalam
bentuk kepimpinan dalam suatu negara Islam.
Untuk mengetahui secara jelas tentang konsep Khilafah dan
kepemimpinan sepeninggal nabi, pembahasan topik ini diarahkan kepada
konsep khilafah baik secara ide dan realitas, serta bagaimana kahlifah
menjalankan pemerintahnya. Tujuan pembahasan topik ini, salah satunya
digunakan sebagai salah satu bahan untuk pengembangan nilai-nilai Islam
pada masa mendatang.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana Konsep Khilafah dalam Islam ?
2. Bagaimana Realitas Khulafaur Rasyidin dalam Islam ?

1.3. Tujuan Makalah

1. Mengetahui Sejarah pembentukan serta konsep Khilafah dalam Islam.


2. Mengetahui sejarah serta realitas Khulafaur Rasyidin dalam Islam.

1.4. Manfaat

Manfaat dari Tugas ini adalah untuk menambah wawasan ilmu


pengetahuan Khulafaur Rasyidin.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Konsep Khilafah Dalam Islam Antara Ide Dan Realitas

2.1.1. Pengertian khilafah

Pengertian kata ‚Khalifah‛ ( ‫ خليفة‬Khalīfah) sendiri dapat


diartikan sebagai ‚pengganti‛ atau ‚perwakilan‛. Pada awal
keberadaannya, para pemimpin Islam ini menyebut diri mereka
sebagai ‚Khalifat Allah‛, yang berarti perwakilan Allah (Tuhan).
Akan tetapi pada perkembangannya sebutan ini diganti menjadi
‚Khalifat rasul Allah‛ (yang berarti ‚pengganti Nabi Allah‛) yang
kemudian menjadi sebutan standar untuk menggantikan ‚Khalifat
Allah‛. Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr al-Mu’minīn ( )
‫ المؤمنين أمير‬atau ‚pemimpin orang yang beriman‛, atau ‚pemimpin
umat muslim‛, yang terkadang disingkat menjadi Amir.
Khalifah berperan sebagai kepala ummat baik urusan
negara maupun urusan agama. Mekanisme pengangkatan
dilakukan baik dengan penunjukkan ataupun majelis Syura’ yang
merupakan majelis Ahlul Ilmi wal Aqdi yakni ahli Ilmu
(khususnya keagamaan) dan mengerti permasalahan ummat.
Sedangkan Khilafah adalah nama sebuah sistem pemerintahan
yang begitu khas, dengan menggunakan Islam sebagai Ideologi
serta undangundangnya mengacu kepada Al-Quran & Hadist.
Ada beberapa bukti yang menunjukan bahwa khalifah
mempercayai bahwa mereka mempunyau otoritas untuk
memutuskan beberapa hal yang tidak tercantum dalam al-Quran.
Mereka juga mempercayai bahwa mereka adalah pempimpin
spiritual umat islam, dan mengharapkan ‚kepatuhan kepada
khalifah‛ sebagai ciri seorang muslim sejati. Sarjana modern
Patricia Crone dan Martin Hinds, dalam bukunya God’s Caliph,
menggaris bawahi bahwa fakta tersebut membuat khalifah menjadi
begitu penting dalam pandangan dunia Islam ketika itu. Mereka
berpendapat bahwa pandangan tersebut kemudian hilang secara
perlahan-lahan seiring dengan bertambah kuatnya pengaruh ulama
di kalangan umat Islam.
Para ulama beranggapan bahwa mereka juga berhak
menentukan apa yang dianggap legal dan baik di kalangan umat
Islam. Pemimpin umat Islam yang paling tepat, menurut pendapat
para ulama, adalah pemimpin yang menjalankan saran-saran
spiritual dari para ulama, sementara para khilafah hanya mengurusi
hal-hal yang bersifat duniawi sehingga mengakibatkan konflik di
antara keduanya.
Perselisihan antara Khalifah dan para ulama tersebut
menjadi konflik yang berlarut-larut dalam sejarah Islam. Ibnu
Khaldun kemudian menegaskan hal ini dan menjelaskan lebih jauh
tentang kepemimpinan kekhahalifah secara lebih singkat:3
‚Kekhalifahan harus mampu menggerakan umat untuk bertindak
sesuai dengan ajaran Islam dan menyeimbangkan kewajiban di
dunia dan akhirat. (Kewajiban di dunia) harus seimbang (dengan
kewajiban untuk akhirat), seperti yang diperintahkan oleh Nabi
Muhammad, semua kepentingan dunia harus mempertimbangkan
keuntungan untuk kepentingan akhirat.
Singkatnya, (Kekhalifahan) pada kenyataannya
menggantikan Nabi Muhammad, beserta sebagian tugasnya, untuk
melindungi agama dan menjalankan kekuasaan politik di dunia.‛
Dari uraian di atas dapat kita simpulakan bahwa Khalifah adalah
gelar yang diberikan untuk pemimpin umat islam setelah wafatnya
Nabi Muhammad SAW (570–632). (nasation harum1986)

Nasution, Harun. Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya., Jakarta: UI Press, 1986
2.2. Proses Pengangkatan Khulafautr Rasyidin

2.2.1. Proses Terpilihnya Abu Bakar As-Sidiq.r.a.

Setelah wafatnya Rasulullah Saw, kaum muslimin


dihadapkan sesuatu problema yang berat tentang kepemimpinan,
kerena Nabi sebelum meninggal tidak meninggalkan pesan apa dan
siapa yang akan mengganti sebagai pimpinan umat. Waktu setelah
wafatnya Rasulullah SAW tersebut menjadikan momentum umat
Islam dalam kebingunan.
Hal ini karena para sahabat sama sekali tidak siap
kehilangan beliau baik sebagai pemimpin, sahabat, maupun sebagai
pembimbing yang mereka cintai. Sehingga sebelum Jenazah
Rasulullah SAW dimakamkan, umat islam terlebih dahulu
mengurusi permasalahan terkait kekosongan pemimpin tersebut,
sehingga hal ini membuat putri tunggal Rasulullah SAW Sayyidah
Fatimah marah, karena pada waktu itu ada golongan sahabat dari
Anshar yang berkumpul di tempat Saqifah Bani Sa’idah, sebuah
tempat yang biasa digunakan sebagai pertemuan dan musyawarah
penduduk kota Madinah.
Pertemuan golongan Anshar di Saqifah Bani Sa’idah
tersebut dipimpin seorang sahabat yang sangat dekat engan
Rasulullah Saw., ia adalah Sa’ad bin Ubadah tokoh terkemuka
Suku Khazraj.
Pada waktu Saad bin Ubadah mengajukan wacana dan
gagasan tentang siapa yang pantas untuk menjadi pemimpin
sebagai pengganti Rasulullah ia menyatakan bahwa kaum Anshar-
lah yang pantas memimpin kaum muslimin. Ia mengemukakan
demikian sambil berargumen bahwa golongan Ansharlah yang
telah banyak menolong Nabi dan kaum Muhajirin dari kejaran dan
penindasan orang-orang kafir Quraisy. Tentu saja gagasan dan
wacana ini disetujui oleh para sahabat dari golongan Anshar. Pada
saat beberapa tokoh Muhajirin seperti Abu Bakar, Umar bin
Khatab, dan Abu Ubaidah bin Jarrah dan sahabat muhajirin yang
lain mengetahui pertemuan orang-orang Anshar tersebut, mereka
segera menuju ke Saqifah Bani Sa’idah. Dan pada saat orangorang
Muhajirin datang di Saqifah Bani Sa’idah, kaum Anshar nyaris
bersepakat untuk untuk mengangkat dan membaiat Saad bin
Ubadah menjadi Khalifah.
Karena pada saat tersebut para tokoh Muhajirin juga datang
maka mereka juga diajak untuk mengangkat dan membaiat Saad
bin Ubadah. Namun, kaum Muhajirin yang diwakili Abu Bakar
menolaknya dengan tegas membaiat Saad bin Ubadah. Abu Bakar
mengatakan pada golongan Anshar bahwa jabatan khalifah
sebaiknya diserahkan kepada kaum Muhajirin. Alasan Abu Bakar
adalah merekalah yang lebih dulu memeluk Agama Islam.
Kaum Muhajirin dengan perjuangan yang berat selama 13
tahun menyertai Nabi dan membantunya mempertahankan Islam
dari gangguan dan penindasan kaum kafir Quraisy di Mekkah.
Dengan usulan Abu Bakar ra. Golongan Anshar tidak dapat
membantah usulannya.
Kaum Anshar menyadari dan ingat, bagaimana keadaan
mereka sebelum Nabi dan para sahabatnya dari Mekkah mengajak
masuk Islam, bukankah di antara mereka sering terlibat perang
saudara yang berlarutlarut. Dan dari sisi kualitas tentu saja para
sahabat Muhajirin adalah manusia-manusia terbaik dan yang pantas
menggantikan kedudukan Nabi dan menjadi khalifah untuk
memimpin kaum muslimin.
Pada saat yang bersamaan Abu Bakar menunjuk dua orang
Muhajirin di sampingnya yang dikenal sangat dekat dengan Nabi,
yaitu Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarrah. Abu Bakar
mengusulkan agar memilih satu di antara keduannya untuk menjadi
khalifah. Demikian kata Abu Bakar kepada kaum Anshar sembari
menunjuk Umar dan Abu Ubaidah.
Namun sebelum kaum Anshar merespon usulan Abu Bakar,
Umar dan Abu Ubaidah justru menolaknya dan keduanya justru
balik menunjuk dan memilih Abu Bakar. Secara cepat dan tegas
Umar mengayungkan tanganya ke tangan Abu Bakar dan
mengangkat tangan Abu Bakar dan membaiatnya. Lalu apa yang
dilakukan Umar ini segera diikuti oleh Abu Ubaidah. Dan akhirnya
diikuti kaum Anshar untuk membaiat Abu Bakar Kecuali Saad bin
Ubadah.
Lalu pada esok harinya, baiat terhadap Abu Bakar secara
umum dilakukan untuk umat muslim di Madinah dan dalam
pembaiatannya tersebut, Abu Bakar berpidato sebagai berikut:
‚Saudara-saudara, saya sudah dipilih untuk memimpin kalian
sementara saya bukanlah orang terbaik di antara kalian. Jika saya
berlaku baik, bantu-lah saya.
Kebenaran adalah suatu kepercayaan dan dusta merupakan
pengkhianatan. Taatilah saya selama saya taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Tetapi bila saya melanggar perintah Allah dan Rasul-
Nya, maka gugurlah ketaatanmu kepada saya.

2.2.2. Proses Terpilihnya Umar Bin Khatab r.a

Berbeda dengan proses pengangkatan Abu Bakar sebagai


khalifah. Abu Bakar terpilih secara demokratis melalui proses
perdebatan yang cukup panjang, hingga akhirnya ia terpilih sebagai
khalifah yang sah. Sementara Umar Bin Khatthab diangkat melalui
penunjukan yang dilakukan khalifah Abu Bakar setelah
mendapatkan persetujuan dari para sahabat besar.
Hal itu dilakukan khalifah guna menghindari pertikaian
politik antara umat Islam sendiri. Beliau khawatir kalau
pengangkatan itu dilakukan melalui proses pemilihan seperti pada
masanya, maka situasinya akan menjadi keruh karena kemungkinan
terdapat banyak kepentingan yang ada diantara mereka yang
membuat negara menjadi tidak stabil, sehingga pelaksanaan
pembangunan dan pengembangan Islam akan terhambat.
Pada Saat Khalifah Abu Bakar merasa dekat dengan
ajalnya, Ia menunjuk Umar Bin Khatab untuk menggantinya,
namun sebelum menyampaikan ide dan gagasannya untuk
menunjuk Umar, Abu Bakar memanggil beberapa sahabat
terkemuka seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Afan, Asid
bin Hudhair al-Anshari, Said bin Ziad dan Sahabat lain dari
golongan Muhajirin dan Anshar untuk dimintai penilaian dan
pertimbangan dan akhirnya mereka menyetujui.

2.2.3. Proses Terpilihnya Utsman Bin Affan r.a

Ketika Umar sedang sakit akibat dari tikaman seorang


budak Persia yang bernama Fairuz yang lebih dikenal dengan nama
Abu Lu’lu’ah, sekelompok sahabat datang menjenguknya dan
sekaligus menanyakan dan mendiskusikan penggantinya Dia
sebagai khalifah, pertanyaan dari para sahabat ini tidak
mendapatkan jawaban pasti dari. Umar bin Khattab, sesudah itu,
sahabat beranjak meninggalkan Khalifah Umar bin Khattab.
Para sahabat Rasulullah merasa takut andai Umar wafat
tanpa meninggalkan pesan tentang penggantinya. Oleh karena itu,
mereka mendatangunya lagi untuk mendesak Umar bin Khattab
menentukan penggantinya. Di tempat tidurnya, Umar mengambil
keputusan dengan menunjuk badan musyawarah yang terdiri dari
orang-orang yang diridhoi dan dijanjikan oleh Rasulullah sebagai
orang-orang yang masuk surga tanpa hisab.
Mereka itu adalah Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan,
Saad bin Waqah, Adurahman bin Auf, Zubair bin Awwam dan
Talhah bin Ubaidillah bin Umar. Untuk memeilih seorang khalifah
diantara mereka.
Namun khusus untuk Abdullah bin Umar tidak dicalonkan
apalagi dipilih berdasarkn wasiat khalifah Umar. Adapun kriteria
pemilihan telah ditetapkan oleh khalifah Umar bin Khattab yaitu :
Khalifah yang di pilih adalah dari anggota Syura kecuali Abdullah
bin Umar yang tidak punya hak pilih dan bertindak sebagai
penasihat.
Bilamana suara dari anggota tim sama hendaknya
keputusan diserahkan kepada Abdullah bin Umar sebagai anggota
tim tersebut. Jika keputusan Abdullah bin Umar tidak disetujui oleh
anggota mengikuti keputusan yang diambil oleh Abdurrahman bin
Auf. Bila ada anggoat tim yang tidak mau mengambil bagian dalam
pemilihan maka anggota tersebut harus dipenggal kepalanya. Bila
dua calon mendapatkan dukungan yang sama maka calon yang
didukung oleh Abdurrahman bin Auf yang dianggap menang.
Apabila seorang telah terpilih dan minoritas (satu atau dua)
tidak mau mengikutinya maka kepala mereka harus dipenggal.
Jadwal pelaksanaan musyawarah selama tiga hari ke empat sudah
ada pemimpin. Tatkala Umar wafat, berkumpullah orang-orang
yang dipilihnya menjadi formatur dikepalai oleh Abdurrahman bin
Auf di dalam salah satu rumah kepunyaan mereka.
Tiga hari lamanya musyawarah yang amat penting itu, dan
sudah tiga hari rupanya belum juga dapat diputuskan karena sejak
awal jalannya pertemuan itu sangat alot, maka Abdurrahman bin
Auf berusaha memperlancar dengan himbauan agar sebaiknya
mereka dengan sukarela mengundurkan diri dan menyerah kepada
orang yang lebih pantas (memenuhi syarat) untuk dipilih sebagai
khalifah. himbauan ini tidak berhasil, tidak ada satupun yang mau
mengundurkan diri, kemudian Abdurrahman bin Auf sendiri
menyatakan mengundurkan diri tetapi tidak ada seorang pun dari
empat sahabat Nabi yang mengikutinya.
Dalam kondisi macet itu, Abdurrahman bin Auf berinisiatif
melakukan musyawarah dengan sahabat dan tokoh-tokoh
masyarakat selain yang termasuk dalam anggota badan
musyawarah, dan suara terbelah menjadi dua kubu yaitu
pendukung Ali dan pendukung Utsman. Pada pertemuan
berikutnya, Abdurrahman bin Auf menempuh cara dengan
menanyakan masing-masing angggota formatur dan di dapatlah
skor suara tiga banding satu, dimana Zubair, dan Ali mendukung
Utsman, sedangkan Utsman mendukung Ali.
Meskipun suara terbanyak dari anggota formatur jatuh pada
Utsman, namun Abdurrahman tidak serta merta membai’at
Utsman. Tetapi pada subuh hari sesudah semalaman ia berkaliling
memantau pendapat masyarakat, ia berdiri setelah kaum Muslimin
memenuhi mesjid dan menyampaikan pengantar tentang
pelaksanaan pemilihan khalifah.
Di sini terlihat kembali persaingan dua kubu yaitu kubu Ali
dan kubu Utsman. Pada saat itu Abdurrahman menunjukkan
keahliannya menghadapi masalah yang sulit ini. Dia memanggil
Ali dan Utsman secara terpisah untuk dimintai kesanggupannya
bertindak berdasarkan al- Qur’an dan sunnah Rasul-Nya serta
berdasarkan langkah-langkah yang diambil oleh dua khalifah
sebelumnya.
Ali bin Abi Thalib bertindak sesuai dengan pengetahuan
dengan kekuatan yang ada pada dirinya, sedangkan Utsman bin
Affan menyanggupinya, sehingga Abdurrahman mengucapkan
bai’atnya dan diikuti oleh orang banyak menyatakan bai’at,
termasuk juga Ali pada akhirnya juga menyatakan bai;atnya kepada
Utsman bin Afffan. Orang keenam tim formatur, Thalha bin
Ubaidillah tiba di Madinah setelah pemilihan itu berakhir. Dia juga
menyatakan sumpah setia kepada Utsman bin Affan.
Mencermati proses pemilihan tersebut, nampak dengan
jelas upaya pemilihan khalifah dilakukan secara musyawarah
dengan memperhatikan suara dari berbagai pihak, dan hal ini pula
yang membedakan antar proses pengangkatan Abu Bakar al-Siddiq,
Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. Karena itu Utsman bin
Affan ditetapkan menjadi khalifah, pada hari Senin, akhir bulan
Dzulhijjah tahun 23 H. dan resmi menjadi khalifah yang ketiga dari
Khulafa alrasyidin pada tanggal 1 Muharram tahun 24 H

2.2.4. Proses Pengangkatan Ali bin Abi Thalib r.a

Pada saat kaum pemberontak mengepung rumah Khalifah


Usman, Ali mengutus dua putra lelakinya yang bernama Hasan dan
Husain untuk ikut melindungi Khalifah Usman. Namun hal itu tak
mampu mencegah bencana yang menimpa Khalifah Usman dan
juga kaum muslimin. Khalifah Usman terbunuh secara keji pada
tanggal 17 Juni 656 M.
Beberapa sahabat terkemuka seperti Zubair bin Awwam
dan Thalhah bin Ubaidillah, ingin membaiat Ali sebagai khalifah.
Mereka memandang bahwa dialah yang pantas dan berhak menjadi
seorang khalifah. Namun Ali belum mengambil tindakan apa pun.
Keadaan begitu kacau dan mengkhawatirkan sehingga Ali pun
ragu-ragu untuk membuat suatu keputusan dan tindakan. Setelah
terus menerus didesak, Ali akhirnya bersedia dibaiat menjadi
khalifah pada tanggal 24 Juni 656 M, bertempat di Masjid Nabawi.
Hal ini menyebabkan semakin banyak dukungan yang
mengalir, sehingga semakin mantap saja ia mengemban jabatan
khalifah. Namun sayangnya, ternyata tidak seluruh kaum muslimin
membaiat Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah. Selama masa
kepemimpinannya, khalifah Ali sibuk mengurusi mereka yang
tidak mau membaiat dirinya tersebut. Sama seperti pendahulunya
yaitu Rasulullah, Abu Bakar dan Umar, Usman, khalifah Ali juga
hidup sederhana dan zuhud. Ia tidak senang dengan kemewahan
hidup. Ia bahkan menentang mereka yang hidup bermewah-
mewahan.(rasyid,makmun 2016)

Rasyid, Makmun, Hizbut Tahrir Indonesia gagal paham Khilafah (Pustaka Compas:Tangerang,
2016

2.3. Sistem dan Model Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin

2.3.1. Khalaifah Abu Bakar As-Shidiq r.a. (11-13 H)

Abu Bakar As- shidip yang posisinya mengantikan nabis


ecara temporal memiliki tugas yang sama yakni mengemmban
amanah ummat muslim, sebagaimana nabi Abu Bakar juga
melakukan musyawarah dengan para sahabat dan tokoh lainya
untuk memutuska sebuah masalah, Pada masa kepemimpinan Abu
Bakar yang hanya dia tahun itu banyak mengalami hambatan dan
tantangan seperti munculnya nabi palsu, pemberontakan kaum
munafik dan murtad, dan oposisi kelompok penentang zakat.
Hal ini disebabkan oleh munculnya kembali fanatisme
kesukuan masyarakat Arab, belum kuatnya dasar-dasar keagamaan
yang dimiliki oleh sebagian masyarakat yang jauh dari kota
Madinah, dan lahirnya kembali lawan-lawan politik Islam yang
dahulu di masa Nabi Muhammad belum sepenuhnya mengakui
pemerintahan Madinah.
Secara politik, suatu pemerintahan yang terpusat, yang
menuntut dan menerima kesetiaan orang-orang, belum dikenal di
Arabia, yang mana suku-sukunya hidup dalam kebebasan yang
sempurna. Lebih-lebih sukusuku Arab membenci kekuasaan di
Madinah, ibukota imperium Islam pada waktu itu.
Kepemimpinan Madinah menjadi tak tertahankan oleh
semangat bebas suku-suku Arab. Pembayaran zakat dianggap
sebagai penurunan kekuasaan dan kewibawaan bagi suku-suku di
Arabia. Sebenarnya keberatan mereka bukan terhadap Islam, tetapi
terhadap zakat. Keadaan menjadi sangat genting. Madinah sendiri
terancam oleh gerombolan Badui yang dipelopori oleh suku
Ghatafan yang kuat. Para sahabat menganjurkan agar khalifah
mengikuti kebijakan yang lunak.
Terhadap usul tersebut khalifah menjawab dengan
marah:‛Kalian begitu keras dimasa jahiliyah, tetapi setelah Islam
kalian menjadi begitu lemah. Wahyu-wahyu Allah telah berhenti,
agama kita telah sempurna. Sekarang haruskah Islam dibiarkan
dirusak dalam masa hidupku? Demi Allah seandainya mereka
menahan sehelai benang pun (dari zakat), saya akan
memerintahkan untuk memerangi mereka.‛15 Tidak kalah hebatnya
dari para penentang Islam pada masa ini, yaitu munculnya orang-
orang yang mengaku sebagai nabi. Mereka adalah Aswad Ansi di
Yaman, kemudian Musailamah al-Kadzab, kemudian Tulaiha yang
disambut sebagai nabi Bani Ghatafan, dan Sajah, seorang
perempuan berasal dari suku Bani Yarbu di Arabia Tengah.
Abu Bakar meyakini bahwa tantangan ini sangatlah serius
akibatnya bagi kesinambungan dakwah Islam, manakala tidak
segera diselesaikan. Oleh karena itu pada tahun pertama
kepemimpinannya beliau memfokuskan program-programnya
kepada upaya penyelesaian upaya ini. Baru kemudian di tahun
kedua beliau meneruskan ekspansi wilayah di luar semenanjung
Arabia sebagaimana yang pernah dirintis oleh Nabi saw dan belum
mencapai tujuannya.
Sebelum menangani urusan penting luar negeri, Abu Bakar
menyelesaikan terlebih dahulu masalah-masalah penting dalam
negeri.16 Khalid bin Walid dikirim untuk melawan Tulaiha,
Ikrimah dan Sharabil bin Hasan dikirim untuk melawan
Musailamah, dan Zuber dikirim untuk memerangi Aswad Ansi di
Yaman. Khalid berhasil mengalahkan Tulaiha, Zuber berhasil
membunuh Aswad Ansi, dan Musailamah berhasil dibunuh.
Peperangan lainnya yang dilakukan oleh para jenderal
muslim terhadap orang-orang murtad dilakukan di Bahrain, Oman
dan Yaman. Maka berakhirlah seluruh gerakan kemurtadan yang
juga disebut Perang Riddah.17 Kontribusi Abu Bakar yang paling
menonjol bagi peletakan dasardasar kesinambungan peradaban
Islam adalah dua hal.
Pertama, mengembalikan kebulatan keyakinan terhadap
ajaran Islam, mengintegrasikan masyarakat dan politik Islam yang
berpusat di Madinah sebagaimana dahulu pernah diletakkan oleh
Nabi saw. Kembalinya kaum muslimin kepada ajaran Islam dan
pengakuan atas pemerintahan Islam yang berpusat di Madinah
merupakan dasar yang kokoh bagi pengembangan cita-cita dakwah
dan politik Islam. Kedua, Abu Bakar mengirim kekuatan keluar
Arabia. Khalid bin Walid memimpin delegasi ke Iraq dan dapat
menguasai daerah Hirah pada tahun 634 M.
Sementara untuk Syiria di kirim pasukan di bawah
pimpinan Abu Ubaidah, Amr bin Ash, Yazid bin Abi Sufyan, dan
Syuhrabil. Sebelumnya pasukan di pimpin oleh Usamah yang
masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat pasukan ini, Khalid bin
Walid yang semula dikirim ke Iraq, diperintahkan menuju ke Syiria
melalui gurun pasir yang amat sulit, dan akhirnya semua itu dapat
dicapai. Inilah kontribusi kedua Abu Bakar untuk meneruskan cita-
cita Nabi dalam pengembangan wilayah dakwah Islam.

2.3.2. Khalifah Umar Bin Khatab r.a. (13-23 H)

Pada prinsipnya program-program yang dijalankan oleh


khalifah Umar bin Khattab adalah meneruskan upaya awal yang
pernah dirintis oleh pendahulunya, Abu Bakar, khususnya program
pengiriman pasukan untuk ekspansi wilayah diluar Arabia.
Ekspansi pertama dilancarkan ke ibukota syiria, Damaskus, Ardan
dan Hins yang berhasil dikuasai hingga pada 635 M.
Setahun kemudian setelah pasukan Byzantium kalah dalam
pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria dapat dikuasai oleh
pemerintahan Islam. Melalui Syria ini penguasaan Mesir dilakukan
dengan pimpinan Amru bin Ash, sementara ke Iraq dibawah
pimpinan Saad bin Abi Waqqas. Hingga pada 641 M kedua negeri
ini resmi masuk ke wilayah pemerintahan Islam. Al-Qadisiyah,
sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada 637 M. Dari kota ini
serangan baru dilancarkan ke Persia, dimana kota Madain jatuh
pada tahun ini juga. Pada 641 M Mosul dapat dikuasai.
Dengan demikian pada masa Umar wilayah Islam telah
meliputi seluruh semenanjung Arabia, palestina, Syiria dan Mesir.
Dapat dikatakan bahwa sebagian wilayah Romawi masuk ke dalam
pemerintahan Islam yang berpusat di kota Madinah. Perluasan
wilayah dimasa Umar ini memang sangat cepat dan berhasil
dengan gemilang.
Maka hal ini menuntut Umar untuk lebih memperhatikan
masalah administrasi dan menejemen negara. Untuk itu beliau
mulai memasukkan beberapa unsur administrasi dari imperium
Persia yang telah lama mempunyai pengalaman dalah hal
administrasi negara. Pemerintahan dibagi menjadi delapan
propinsi: Mekkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah,
Palestina dan Mesir.
Beberapa departemen didirikan. Sistem pembayaran gaji
serta pajak ditertibkan. Lembaga Yudikatif dan Eksekutif
dipisahkan dengan mendirikan pengadilan khusus. Baitul mal
sebagai bank negara diadakan sehingga keuangan pemerintahan
semakin lancar pengelolaannya.20 Dari penjelasan singkat di atas,
dapatlah disimpulkan ada dua hal besar yang disumbangkan Umar
untuk peradaban Islam.
Pertama, perluasan dan penguasaan wilayah-wilayah baru
yang berada diluar semenanjung Arabia, bahkan telah memasuki
sebagian besar wilayah Persia dan Romawi. Kontribusi ini tidak
dapat di ungguli oleh ketiga Khalifah alRasyidah yang lain. Kedua,
mengadakan dan memperbaiki administrasi pemerintahan yang
sebelumnya tidak dikenal.
Bagi masyarakat Arab saat itu apa yang ditawarkan Umar
adalah sesuatu yang baru dan luar biasa. Bukti menunjukkan bahwa
dengan administrasi dan manajemen yang lebih baik maka
sangatlah membantu percepatan dan keberhasilan perluasan
pemerintahan Islam. Salah satu kontribusi Umar yang lebih penting
bagi perkembangan peradaban Islam adalah penetapan kalender
Hijriyah bagi kaum muslimin. Disamping itu, ide pertama kali
muncul untuk melakukan pembukuan mushaf al-Qur’an adalah dari
beliau, meskipun realisasinya yang paling maksimal ada pada masa
Usman.

2.3.3. Khalifah Utsman Bin Affan r.a. (23-35 H)

Para ahli sejarah mencatat, bahwa enam tahun yang awal


kepemimpinan Usman efektif dan cukup berhasil. Namun pada
enam tahun berikutnya kepemimpinanya tidak lagi efektif, bahkan
mengalami degradasi hingga pada akhirnya melahirkan suatu
pemberontakan yang menyebabkan kematiannya.
Keberhasilannya dibuktikan dengan kemampuannya
meneruskan ekspansi wilayah hingga berhasil ditaklukkannya
Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhades, Transoxania, Tabaristan, serta
sebagian wilayah yang tersisa dari Persia. Namun ekspansi wilayah
Islam yang pertama berhenti di sini.
Di samping itu ia berhasil membangun bendungan untuk
menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian suplai air
ke kota-kota. Ia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan,
masjid-masjid, termasuk perluasan masjid Nabawi di Madinah. Ia
juga sebagai tokoh yang memprakarsai pengumpulan dan penulisan
mushaf al-Qur’an yang di anggap paling sempurna sehingga
sampai hari ini menjadi standar tulisan al-Qur’an yang biasa
disebut Mushaf Usmani.
Adapun pemerintahannya di paruh kedua dipenuhi dengan
benihbenih konflik. Lahir pemberontakan, kecurigaan-kecurigaan
tidak dapat dihindarkan, sehingga pemerintahannya tidak lagi
efektif. Diduga pemberontakan itu dilakukan oleh para pendukung
Ali. Karena itu dikala Ali dipilih menjadi khalifah, Muawiyah tidak
mengakuinya, karena ia menganggap bahwa Ali berada di belakang
pemberontakan itu, dan Ali berkewajiban menyelesaikan kasus itu.
Kelemahan Usman tersebut disebabkan usianya yang semakin tua.
Di saat itu ia telah berusia 70 tahun.
Sikapnya yang terlalu lunak disebabkan anggota-anggota
keluarganya yang dekat diberi jabatan-jabatan di pemerintahan.
Kekayaannya yang melimpah dan sifatnya yang dermawan itu
membuatnya kurang memperhatikan soal administrasi keuangan.
Terkadang hal ini memungkinkan penilaian orang luar yang negatif
kepadanya berkenaan dengan penggunaan uang negara.
Meskipun sebenarnya khalifah sama sekali tidak pernah
menyalahgunakan uang negara, bahkan beliau tidak mengambil
uang yang menjadi haknya dari perbendaharaan negara. Malah
justeru banyak sekali uang pribadi yang ia gunakan untuk
keperluan negara tanpa ia perhitungkan.
Pemerintahan Usman mendapat tekanan dari kaum
pemberontak karena beberapa hal: Pertama, mereka melihat Bani
Umayah memperoleh kedudukan yang tinggi di dalam negara dan
mereka makmur dengan kekayaan dan hak-hak istimewa. Kedua, di
dalam kekhalifahan Usman, Bani Umayah benar-benar telah
menghilangkan reputasi Bani Hasyim.
Ketua Bani Hasyim, Ali, kehilangan pengaruh dan
kedudukan di dalam kekhalifahan Usman. Oleh karena itu, mereka
tidak menyukai Usman dan Bani Umayah. Selain itu, kaum Anshar
dari Madinah merasa kedudukan dan pengaruh mereka menjadi
hilang.
Mereka tidak memperoleh bagian apapun dalam dalam
hierarki imperium Islam Ketiga, pengangkatan Marwan bin Hakam
sebagai sekretaris negara benar-benar tidak disukai umum. Marwan
seorang yang mementingkan diri sendiri dan suka intrik.
Kebijakannya selalu memecah belah Bani Hasyim dan Bani
Umayah. Selain itu, Usman terkenal kurang tegas karena sikapnya
yang murah hati dan sederhana. Rasa tidak puas terhadap khalifah
Usman menjalar. Di Kufah dan Basrah rakyat bangkit menentang
gubernur-gubernur yang diangkat oleh khalifah Usman.
Hingga akhirnya para pemberontak menyelinap masuk ke
kota Madinah, mereka mengepung rumah khalifah. Pada saat yang
berbahaya itu para sahabat dan kerabat tidak sedang menemani
Usman. Pada tanggal 17 Juni 656 M para pemberontak menyerbu
rumah Usman, dua orang bangsa Mesir membunuh khalifah yang
telah lanjut usia itu ketika beliau sedang membaca kitab suci al-
Qur’an.

2.3.4. Khalifah Ali Bin Abi Thalib r.a. (35-40 H)

Ali memimpin selama enam tahun. Selama itu pula


kepemimpinnya dihadapkan kepada berbagai pergolakan yang
akhirnya menimbulkan apa yang oleh sejarah disebut dengan al-
Fitnah al-kubra (huru-hara yang dahsyat).
Setelah diangkat menjadi khalifah, ia memecat para
gubernur yang pernah diangkat oleh Usman, kecuali Muawiyah bin
Abi Sufyan, gubernur Syiria. Beliau yakin bahwa berbagai
pemberontakan muncul karena keteledoran para gubernur. Tanah-
tanah yang pernah dihadiahkan oleh Usman kepada penduduk ia
tarik dengan cara menyerahkan hasilnya kepada negara, dan
menerapkan kembali kewajiban pajak kepada kaum muslimin
sebagaimana pernah diterapkan oleh Umar yang kemudian tidak
berlaku.
Persaingan terus berjalan antara Bani Hasyim dengan Bani
Umayah.kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh Thalhah, Zubair dan
Aisyah untuk mengadakan pemberontakan dengan alasan bahwa
Ali tidak mau menghukum pembunuh Usman, dan mereka
menuntut bela atas kematian Usman. Sebenarnya Ali ingin
menghindari peperangan, ia mengajak berunding kepada Thalhah
dan Zubair, namun ajakan itu mereka tolak.
Akhirnya pecahlah perang yang terkenal dengan sebutan
perang jamal, dimana Aisyah berada diatas onta. Peperangan
akhirnya dimenangkan oleh pihak Ali, sementara Thalhah dan
Zubair terbunuh, sedangkan Aisyah tertawan lalu dikembalikan ke
Madinah. Persaingan antara dua kelompok di atas muncul lagi
dalam bentuk lain.
Kebijakan-kebijakan Ali yang dianggap tidak
menguntungkan pihak Muawiyah akhirnya menimbulkan
perlawanan dari unsur gabungan, Muawiyah dan mereka yang
kehilangan jabatan. Perlawanan itu kemudian menyebabkan
terjadinya perang shiffin. Semula peperangan itu telah
dimenangkan oleh pihak Ali, tetapi tiba-tiba pihak Muawiyah
menawarkan perdamaian melalui forum tahkim (arbitrase).
Dalam arbitrase disepakati untuk tidak melanjutkan
peperangan, tetapi kedua belah pihak dapat kembali pada posisi
masing-masing. Selepas arbitrase justeru muncul kelompok baru
khawarij yang menolak kesepakatan arbitrase yang dianggap tidak
sesuai dengan ajaran Islam.
Kelompok ini berseberangan baik kepada Ali maupun
kepada Muawiyah. Jadi, di akhir pemerintahan Ali umat Islam
telah terpecah menjadi tiga, kelompok pendukung Ali yang
nantinya disebut Syi’ah, kelompok Muawiyah yang nantinya
mengklaim sebagai kaum sunni, dan kelompok yang keluar dari
keduanya yang kemudian disebut Khawarij. Kondisi demikian jelas
tidak menguntungkan pihak Ali.
Munculnya kelompok Khawarij melemahkan kekuatan Ali,
sementara Muawiyah terus melakukan konsolidasi sehingga
pasukannya semakin kuat. Ketidak senangan Khawarij kepada Ali
menyebabkan salah seorang pengikutnya yang bernama Abdul-
Rahman bin Muljam tega menghabisi nyawa menantu Nabi
tersebut pada 20 Ramadhan tahun 40 H/ 660 M, yaitu ketika Ali
sedang dalam perjalanan menuju masjid Kufah, ia terkena
hantaman pedang beracun di dahinya.
Untuk sementara dalam beberapa bulan Hasan bin Ali
meneruskan tugas-tugas ayahnya dalam memimpin. Namun karena
Hasan lemah dan Muawiyah sangat kuat, dibuatlah suatu perjanjian
damai yang akhirnya mempersatukan seluruh kaum muslimin
dalam satu kepemimpinan politik dibawah Muawiyah.
Perjanjian ini mengakibatkan Muawiyah menjadi penguasa
absolut dalam Islam. Tahun persatuan ini disebut ‘Am al-Jama’ah
yang terjadi pada 41 H/ 661 M. Dengan demikian berakhirlah
kepemimpinan Khulafa Al-Rasyidin sekaligus dimulai kekuasaan
Bani Umayyah dalam sejarah Islam.(pulungan,Jsuyuthi 1997)

Pulungan, J.Suyuthi, Fiqh Siyasah:Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Jakarta:RajaGarfindo

Persada,1997.
2.4. Wacana serta Respon Penegakkan Khilafah Di Indonesia

2.4.1. Konsep Khilafah Menurut HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)

Dalam kitab-kitab fiqih dan ushuluddin, Khilafah disebut


juga dengan istilah Imamah. Imam Nawawi menegaskan dalam
kitabnya Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab (Juz 15 hlm. 517),
bahwa Imamah atau Khilafah atau Imarah Al Mukminin adalah
sinonim (mutaradif).
Banyak definisi tentang Khilafah. Definisi Khilafah
menurut Taqiyuddin An Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir) adalah
sebagai berikut : Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum
muslimin seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum
Syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.‛
Dari definisi Khilafah di atas, dapat dipahami tiga poin penting :
Pertama, bahwa Khilafah itu adalah suatu kepemimpinan
umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia. Jadi Khilafah
bukan kepemimpinan khusus (ri`asah khashash), seperti
kepemimpinan seorang wali (gubernur) di suatu wilayah (propinsi),
atau seperti kepemimpinan khusus pada bidang tertentu, misalnya
kepemimpinan seorang Qadhi Qudhat dalam bidang peradilan
Islam (Al Qadha`). Dapat dipahami juga Khilafah adalah institusi
politik pemersatu umat Islam, sebab kepemimpinan Khilafah
bersifat umum bagi umat Islam seluruh dunia, tanpa melihat lagi
batas-batas negara-bangsa (nation state) yang ada sekarang ini.
Kedua, bahwa fungsi pertama Khilafah adalah menerapkan
Syariah Islam dalam segala aspek kehidupan, baik itu politik
(pemerintahan), ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik luar
negeri, dan sebagainya. Penerapan syariah ini adalah politik dalam
negeri dari negara Khilafah.
Ketiga, bahwa fungsi kedua Khilafah adalah mengemban
(menyebarkan) dakwah Islam ke seluruh dunia. Metode untuk
mengemban dakwah ini adalah dengan menjalankan jihad fi
sabilillah ke negara-negara lain.
Mengemban dakwah dengan jalan jihad fi sabilillah inilah
yang menjadi dasar politik luar negeri dari negara Khilafah. Maka
dari itu, dengan keberadaan Khilafah, akan dapat terwujud paling
tidak 3 (tiga) hal sbb; pertama, persatuan umat dalam satu negara,
yang telah diwajibkan Islam (lihat misalnya QS Ali ‘Imran : 103).
Kedua, penerapan syariah Islam secara menyeluruh (kaaffah), yang
telah diwajibkan Islam (lihat misalnya QS Al Baqarah : 208; QS
Ali ‘Imran : 85). Ketiga, penyebarluasan Islam sebagai rahmat bagi
seluruh manusia dan seluruh alam, yang menjadi karakter agama
Islam (lihat misalnya QS Al Anbiya` : 107).
Sebaliknya, dengan tiadanya Khilafah, akan terjadi
keburukan dan dosa bagi umat Islam paling tidak dalam 3 (tiga) hal
sbb; Pertama, umat Islam akan terpecah belah dan tercerai berai,
seperti kenyataan sekarang yang terpecah menjadi 50-an negara
lebih. Hal ini menimbulkan kondisi yang tidak dibenarkan Islam,
yaitu dominasi kafir penjajah atas umat Islam (QS An Nisaa` :
141).
Kedua, syariah Islam tidak dapat diterapkan secara
menyeluruh, tapi hanya sebagiannya saja. Hal ini menimbulkan
kondisi yang tidak dibenarkan Islam, yaitu dominasi hukum non
Islam (hukum jahiliyah) atas umat Islam (QS Al Maaidah : 50).
Ketiga, karakter agama Islam sebagai agama dan rahmat
bagi seluruh umat manusia tidak dirasakan lagi. Yang dirasakan
adalah kebalikannya, yaitu penderitaan dalam segala bidang akibat
dominasi kapitalisme yang menindas dan menghisap umat manusia
di seluruh dunia. Kondisi buruk ini tak dibenarkan Islam (QS
Thahaa : 123-125).
2.4.2. Dalil Kewajiban Menegakkan Khilafah Presfektif HTI

Para ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban


Khilafah ada 4 (empat), yaitu :
Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah
Syar’iyyah.29 Dalil Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT :
‫ي َها ا َّل ِذي َي َآ نُ ْا أَ ِذيينُ ْا للّهَا َ َ أَ ِذيينُ ْا ا لَّل نُ َو َ أنُ ْا ِذاي اَ ْاآ ِذل ِذآ نُن ْا‬
ّ َ‫‚ يَا أ‬
Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah
Rasul-NYa, dan Ulil Amri di antara kamu.‛ (QS An-Nisaa` : 59)
Wajhul Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil) dari
ayat ini adalah, ayat ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk
mentaati Ulil Amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah).
Perintah untuk mentaati Ulil Amri ini adalah dalil wajibnya
mengangkat Ulil Amri, sebab tak mungkin Allah SWT
memerintahkan umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak ada.
Dengan kata lain, perintah mentaati Ulil Amri ini berarti perintah
mengangkat Ulil Amri.
Jadi ayat ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang
Imam (Khalifah) bagi umat Islam adalah wajib hukumnya. Dalil Al
Qur`an lainnya, adalah firman Allah SWT
‫ب ْاي َ نُه َآا ِذب أَ َن َو للّهَانُ َ َ َ لَّب ِذ ْا أَ ْاء َ ا نُ ء ْا َع آَّل ا َاا َء ِذآ َي ِذهّلل َ ْاا َح‬
َ ‫‚ فَا ْاح نُن‬
Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu.‛ (QS Al Maidah : 48)
Wajhul Istidlal dari ayat ini adalah, bahwa Allah telah
memerintahkan Rasulullah SAW untuk memberikan keputusan
hukum di antara kaum muslimin dengan apa yang diturunkan Allah
(Syariah Islam). Kaidah ushul fiqih menetapkan bahwa perintah
kepada Rasulullah SAW hakikatnya adalah perintah kepada kaum
muslimin, selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah itu
kepada Rasulullah SAW saja.
Dalam hal ini tak ada dalil yang mengkhususkan perintah
ini hanya kepada Rasulullah SAW, maka berarti perintah tersebut
berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya hingga Hari Kiamat
nanti. Perintah untuk menegakkan Syatiah Islam tidak akan
sempurna kecuali dengan adanya seorang Imam (Khalifah). Maka
ayat di atas, dan juga seluruh ayat yang memerintahkan berhukum
dengan apa yang diturunkan Allah, hakikatnya adalah dalil
wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), yang akan
menegakkan Syariah Islam itu.
Al Qur`an lainnya, adalah ayat-ayat yang memerintahkan
qishash (QS Al Baqarah : 178), hudud (misal had bagi pelaku zina
dalam QS An Nuur : 2; atau had bagi pencuri dalam QS Al
Maidah : 38), dan ayat-ayat lainnya yang pelaksanaannya
bergantung pada adanya seorang Imam (Khalifah). Ayat-ayat
semisal ini, berarti adalah dalil untuk wajibnya mengangkat
seorang Imam (Khalifah), sebab pelaksanaan ayat-ayat tersebut
bergantung pada keberadaan Imam itu. Dalil As Sunnah, banyak
sekali, antara lain sabda Nabi SAW :
‫‚ آي آات ايس في ع قه بيية آات آي ة اءلية‬
Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada
baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati
jahiliyah.‛ (HR Muslim, no 1851).
Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas,
bahwa jika seorang muslim mati jahiliyyah karena tidak punya
baiat, berarti baiat itu wajib hukumnya. Sedang baiat itu tak ada
kecuali baiat kepada seorang imam (khalifah). Maka hadis ini
menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) itu
wajib hukumnya.
2.4.3. Respon Adanya Wacana Penegakkan Khilafah Di Indonesia

Sebagai bangsa yang majemuk, baik segi Budaya, suku,


bahasa dan agama bangsa Indonesia, telah memberikan ruang itu
semua dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
menghargai kebinekaan, sehingga berdsarkan hal tersebut
kelompok yang bercitacita untuk menegakkan khilafah dengan
konsep kesatuan politik tunggal bagi seluruh warga Muslim adalah
sebuah utopia belaka, realitas kaum muslim diberbagai kawasan
dengan berbagai budaya serta wilayah geografis yang berbeda,
serta dengan sejarah yang berbeda, oleh karennaya membangkitkan
sistem khilafah semenjak runtuhnya dinasti ottoman 1924 selalu
menemui kegagalan.
Kita menyadari memang sangat penting adanaya seorang
imamah atau khilafah dalam Islam yang sesuai manhaj nubuwah,
tetapi dalam fakta sejarah Islam tidak menetapkan nama dan bentuk
pemerintahan tertentu, jadi sebenarnya nama Khilafah bukanlah
nama yang sakral dan kultus dalam agama, yang terpenting adalah
hakikat serta tujuanya untuk menjamin keberlangsungan agama dan
kemaslahatan ummat.
Legitimasi terhadap dalil yang digunakan oleh wacana
penegakakn Khilafah baik Al-Qur’an ataupun Hadits, megalamai
kerancuan di dalam penafsiran yang kemudian menjadi Truth
Claim untuk melegalkan gagasanaya tersebut, penafsiran yang
demikian menurut Muhammad Zaki Abdul Qadir dikategorikan
Tafsir jahat. Artinya bahwa penfasiran tersebut bukan diniati untuk
ilmu pengetrahuan dan memahami Al-Qur’an, namun dibarengi
oleh beberapa kepentingan kelompok mereka.
Terkait dengan ayat Al-Nisa’ yat ke 49, diceritakan oleh
Imam Syuthi bahwa Asabab An-nuzul dari ayat tersebut berkenaan
dengan kasus Abdullah Bin Hudzafah saat memimpin rombongan
pasukan, kemudian dia marah dan memulai peperangan dengan
mengutarakan aba-aba ‚Serang‛ namun sebagain dari pasukanya
tidak mengindakan hal tersebut, dalam kata Ulil Amri sebenarnya
tidak mengidentifikasi bahwa harus seorang khilafah, melainkan
yang dimaksud Ulil Amri dalam ayat tersebut adalah
kepemimpinan secara umum yang membawa kemaslahatan dan
tidak melanggar hak-hak Allah Swt.(saebani,beni ahmad 2008)

Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Siyasah Pengantar Ilmu Politik Islam Bandung:Pustaka Setia, 2008
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan sebagai


berikut :
1. Khilafah adalah system dari sebuah khalifah sedangkan pengertian
khalifah adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat Islam
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW yang memiliki tugas untuk
menurusi urusan ummat baik yang beurusan dibidang dunia atau
agama, sehingga seorang khalifah memilikis ebuah jabatan yang
penting karena memiliki sebuah kekuasaan untuk mengatur urusan
ummat.
2. Pemilihan Khalifah atau khulafaur Rasyidin dari ke empat khalifah
terjadi perbedaan di masing-masing proses pemilihanya, Abu Bakar
di[ilih memalui musyawarah mufakat, Umar ditunjuk oleh Khalifah
sebelumnya, Utsman dipilih melaui perwakilan majelis syuro yang
ditentukan oleh khalifah sebelumnya, Ali Bin Abi Thalib terpilih
melaui biat oleh pra sahabat.

3.2. Saran

Dalam penyusunan tugas ini saya menyadari bahwa masih banyak


kesalahan sehingga belum sempurnanya tugas saya ini. Maka saya
berharap kritik dan saran yang membangun dari Dosen pembimbing dan
saudara-saudari sekalian.
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya., Jakarta: UI Press,


1986
Pulungan, J.Suyuthi, Fiqh Siyasah:Ajaran, Sejarah dan Pemikiran
Jakarta:RajaGarfindo Persada,1997.
Rasyid, Makmun, Hizbut Tahrir Indonesia gagal paham Khilafah (Pustaka
Compas:Tangerang, 2016.
Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Siyasah Pengantar Ilmu Politik Islam
Bandung:Pustaka Setia, 2008.

Anda mungkin juga menyukai