Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang ada di


Indonesia, lembaga pendidikan ini secara ntensif memberikan pendidikan
agama Islam kepada muridnya oleh para ustadz ataupun kiyai melalui
beberapa metode pembelajaran yang khas di lingkungan pondok pesantren.

Lebih lanjut dijelaskan oleh Zamaksari Dhofir yang memberikan batasan


tentang pondok pesantren yakni sebagai asrama-asrama para santri yang
disebut pondok atau tempat tinggal terbuat dari bambu, atau barangkali berasal
dari kata funduk atau berarti hotel atau asrama. Perkataan pesantren berasal
dari kata santri yang mendapat awalan pe dan akhiran an yang berarti  tempat
tinggal para santri. Secara umum pesantren memiliki komponen-komponen
kiai, santri, masjid, pondok dann kitab kuning.1

Sejak zaman penjajah, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan


yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, eksistensinya
telah mendapat pengakuan masyarakat. Ikut terlibat dalam upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak hanya dari segi moril, namun telah
pula ikut serta memberikan sumbangsih yang cukup signifikan dalam
penyelenggaraan pendidikan. Sebagai pusat pengajaran ilmu-ilmu agama
Islam (tafaqquh fiddin)telah banyak melahirkan ulama, tokoh masyarakat,
muballigh, guru agama yang sangat dibutuhkan masyarakat. Hingga kini
pondok pesantren tetap konsisten melaksanakan fungsinya dengan baik,
bahkan sebagian telah mengembangkan fungsinya dan perannya sebagai pusat
pengembangan masyarakat.

Secara fisik, sebuah pesantren biasanya terdiri dari unsur-unsur berikut: di


pusatnya ada sebuah masjid atau langgar, surau yang dikelilingi bangunan
tempat tinggal kyai (dengan serambi tamu, ruang depan, kamar tamu), asrama
untuk pelajar (santri) serta ruangan-ruangan belajar.
1
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Hlm 18

1
Rumusan Masalah

Sebagai dasar dari pembuatan makalah, dalam makalah ini kami telah
mengangkat beberapa masalah yaitu “ bagaimana dinamika perkembangan
pesantren dan kurikulumnya pada masa awal kemunculannya hingga masa
sekarang”.

2
BAB II
Pembahasan

A. Awal Mula Munculnya Pendidikan Pesantren di Indonesia


Tentang kehadiran pesantren secara pasti di Indonesia pertama
kalinya, dimana dan siapa pendirinya, tidak dapat diperoleh keterangan
yang pasti. Berdasarkan hasil pendataan yang dilaksanakan oleh
Departemen Agama pada tahun 1984-1985 diperoleh keterangan bahwa
pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 di Pamekasan Madura, dengan
nama Pesantren Jan Tampes II. Akan tetapi hal ini juga diragukan, karena
tentunya ada Pesantren Jan Tampes I yang lebih tua. Kendatipun Islam
tertua di Indonesia yang peran sertanya tidak diragukan lagi, adalah sangat
besar bagi perkembangan Islam di nusantara2.
Lembaga pendidikan yang disebut pondok pesantren sebagai pusat
penyiaran Islam tertua yang lahir dan berkembang seirama dengan
masuknya Islam di Indonesia. Pada awal berdirinya, pondok pesantren
umumnya sangat sederhana. Kegiatan pembelajaran biasanya
diselenggarakan di langgar (mushala) atau masjid oleh seorang kyai
dengan beberapa orang santri yang datang mengaji. Lama kelamaan
“pengajian” ini berkembang seiring dengan pertambahan jumlah santri dan
pelebaran tempat belajar sampai menjadi sebuah lembaga yang unik, yang
disebut pesantren3.
Di Indonesia pondok pesantren lebih dikenal dengan istilah Kutab
merupakan suatu lembaga pendidikan Islam, yang di dalamnya terdapat
seorang kyai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (anak
didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan
pendidikan tersebut, serta didukung adanya pondok sebagai tempat tinggal
para santri4.

2
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, 1996, hlm. 41.
3
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 2001, hlm. 157.
4
Hasbullah Op.cit hlm. 24

3
Sedangkan asal-usul pesantren di Indonesia tidak bisa dipisahkan
dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik Indonesia. Lembaga
pendidikan ini telah berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad.
Maulana Malik Ibrahim (meninggal 1419 di Gresik Jawa Timur), spiritual
father Walisongo, dalam masyarakat santri Jawa biasanya dipandang
sebagai gurunya-guru tradisi pesantren di tanah Jawa5. Ini karena Syekh
Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi yang wafat pada 12
Rabi’ul Awal 822 H bertepatan dengan 8 April 1419 M dan dikenal
sebagai Sunan Gresik adalah orang yang pertama dari sembilan wali yang
terkenal dalam penyebaran Islam di Jawa6.
Meskipun begitu, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan
mengembangkan pondok pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah
Raden Rahmat (Sunan Ampel). Ia mendirikan pesantren di Kembang
Kuning, yang pada waktu didirikan hanya memiliki tiga orang santri, yaitu
Wiryo Suroyo, Abu Hurairah, dan Kyai Bangkuning. Kemudian ia pindah
ke Ampel Denta, Surabaya dan mendirikan pondok pesantren di sana. Misi
keagamaan dan pendidikan Sunan Ampel mencapai sukses, sehingga
beliau dikenal oleh masyarakat Majapahit. Kemudian bermunculan
pesantren-pesantren baru yang didirikan oleh para santri dan putra beliau.
Misalnya oleh Raden Patah, dan Pesantren Tuban oleh Sunan Bonang.
Pondok pesantren memang bila dilihat dari latar belakangnya,
tumbuh dan berkembang dengan sendirinya dalam masyarakat yang
terdapat implikasi-implikasi politis sosio kultural yang menggambarkan
sikap ulama-ulama Islam sepanjang sejarah. Sejak negara kita dijajah oleh
orang barat, ulama-ulama bersifat noncooperation terhadap penjajah serta
mendidik santri-santrinya dengan sikap politis anti penjajah serta
nonkompromi terhadap mereka dalam bidang pendidikan agama pondok
pesantren. Oleh karena itu, pada masa penjajahan tersebut pondok menjadi
satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang menggembleng kader-kader
umat yang tangguh dan gigih mengembangkan agama serta menentang
5
Qodri Abdillah Azizy, Dinamika Pesantren dan Madrasah, 2002, hlm. 3
6
Hasbullah, Op. Cit, hlm. 26

4
penjajahan berkat jiwa Islam yang berada dalam dada mereka. Jadi di
dalam pondok pesantren tersebut tertanam patriotisme di samping fantisme
agama yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada masa itu7.

B. Kurikulum Original Pesantren


Ciri khas pendidikan pesantren adalah pendidikan 24 jam atau
sehari semalam, maka kurikulum pesantren adalah seluruh kegiatan yang
dilakukan oleh santri selama sehari semalam di pesantren. Hal itu
menjadikan pemahaman bahwa selain jam efektif atau kegiatan yang
bersifat formal juga diajari banyak pelajaran yang bernilai pendidikan
seperti latihan hidup sederhana, latihan hidup bermasyarakat, belajar
mandiri, latihan bela diri bahkan dalam kenyataan di lapangan, muatan
kurikulum yang tidak nampak (hidden curriculum) ini justru porsinya jauh
lebih banyak dibandingkan dengan kurikulum yang tampak.
Proporsi kurikulum sebagaimana di atas dapat dipakai mengingat
tujuan pesantren bukanlah mengajar santri agar paham terhadap ajaran
agamanya saja, melainkan sekaligus menjadikan agama sebagai pijakan
perilaku hidup kesehariannya. Dengan kata lain, tujuan pesantren adalah
mencetak santri menjadi alim dan amil.
Pada pesantren yang tetap mempertahankan keasliannya (salaf)
maka kurikulum formalnya hanya mengajarkan ilmu-ilmu pendidikan
agama dengan ciri khas kitab kuningnya, atau ngaji saja. Pada
perkembangannya untuk menjawab tuntutan modern, banyak pesantren
yang menambahkan pengetahuan sekuler dalam kurikulum formalnya.
Sementara kurikulum yang non formalnya atau yang tidak nampak,
meliputi kesenian (rebana atau kasidah), seni bela diri dan ketrampilan
lainnya.

7
Djamaluddin & Abdullah Aly, Djamaluddin, & Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam,
1998, hlm. 99

5
C. Dinamika dan Perkembangan Pesantren di Indonesia
1. Perkembangan Eksistensi pesantren di Indonesia
a. Perkembangan Pada Abad ke 17 Hingga 19
Kelahiran pesantren sebagai lembaga baru, pada abad ke-
17, bahkan hingga ke-19 selalu di awali dengan perang nilai antar
pesantren yang berdiri dengan masyarakat, yang kemudian diakhiri
dengan kemenangan pihak pesantren, sehingga pesantren dapat
diterima untuk hidup di masyarakat, dan kemudian menjadi
panutan bagi masyarakat sekitar, terutama pada bidang kehidupan
moral. Pada perkembangannya pondok pesantren memang sangat
pesat karena telah tercatat pada zaman Belanda 20.000 buah 8.
Lambat laun sorotan bahwa pesantren sebagai lembaga tradisional,
bersifat eksklusif sistem pembalajarannya kaku dan sorotan lain,
sehingga sorotan-sorotan tersebut di respon oleh para pemegang
kebijakan pesantren sebagai ancaman akan eksistensi pesantren.
Penjajahan (kolonialisme) telah mendorong secara evolutif
maupun reformatif transformasi sosial dan budaya. Khususnya
pada kajian ini adalah pendidikan, dalam segala aspeknya.
Pemberlakuan sistem pendidikan sekolah (Belanda) telah ikut serta
memperlancar transformasi pendidikan. Mengenai situasi ini Nur
Cholik Madjid mengatakan seraya mengkritisi.

“Seandainya negeri ini tidak mengalami


penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem
pendidikan akan mengikuti jalur-jalur yang
ditempuh pesantren-pesantren. Sehingga pengaruh-
pengaruh tinggi yang ada sekarang tidak akan
berupa Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi
Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM),
UNAIR (Universitas Airlangga) dan sebagainya.
8
A. Timur Djaelani, Peningkatan Mutu Pendidikan Pembangunan Perguruan Agama, 1982 hlm.
18. Lihat juga Hasbullah, op.cit., hlm. 43.

6
Tetapi namanya Universitas Tebu Ireng, Universitas
Tremas, Universitas Bangkalan, Lasem, dan
seterusnya.”9

Pernyataan Nur Cholik Madjid ini ternyata sebagai


perbandingan sistem pendidikan di negeri-negeri Barat sendiri,
dimana hampir sema Universitas terkenal, cikal-bakalnya adalah
perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan.10
Lahirnya Madrasah, istilah ini berasal dari isim Makan kata
darasa (Bahasa Arab) yang berarti tempt duduk untuk belajar atau
populer dengan sekolah,11 sebagai respon terhadap sistem
pendidikan Belanda yang sekuler (di satu sisi) yang hanya
mengajarkan pengetahuan umum, hal itu dianggap positif karena
mayoritas umat Islam tidak menguasai bidangbidang keduniaan
(sosial-budaya-politik), pada sisi lain sistem pendidikan pesantren
hanya memberi pengetahuan agama, sehingga tanpa harus
menghapus unsur agamanya, kemudian timbullah ide menyatukan
dua sistem yang berbeda itu menjadi Madrasah.

b. Perkmebangan Pada Abad ke 20 hingga sekarang


Seiring perkembangan pendidikan Indonesia, awal abad ke-20-
an, Abdurrahman Wahid mencatat belajar semenjak tahun 1920-an,
pondok pesantren mulai mengadakan eksperimentasi dengan
mendirikan madrasah di lingkungan pondok pesantren. Pada tahun
1930-an sudah memperlihatkan percampuran kurikulum. Baru pada
tahun 1960-an hingga pada tahun 1970-an, sekolah-sekolah umum
masuk di institusi pesantren, juga dibarengi dengan gerakan
pondok pesantren sebagai basis perkembangan masyarakat, yang
sekaligus telah berkembang menjadi suatu gerakan besar

9
Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan1997,hlm. 3-4.
10
Ibid., hlm 4-5
11
Hasbullah Op. Cit.,hlm. 70

7
transformasi sosial, termasuk bagi transformasi pondok pesantren
itu sendiri12.
Masa orde baru (era 1970-an) dengan perkembangan
pembangunanisme, modernisasi dan industrialisasi sebagai ideologi
(penggerak) pembangunan nasional telah secara sistematis dan
strategis mempengaruhi kerja-kerja transformatif pada semua aspek
kehidupan masyarakat. Ide pembangunanisme tidak terasa telah
merasuk ke dalam seluruh wilayah kesadaran masyarakat
Indonesia, pembangunan menjadi kata yang mengideologi hampir
di seluruh negara berkembang atau dunia ketiga.13 Pesantren
sebagai salah satu lembaga pendidikan dengan basis kekuatan
potensi (sosial-ekonomi-politik) telah menjadi perhitungan proyek
pembangunan. Lepas dari sisi negatif pembangunanisme, pondok
pesantren telah mengalami transformasi, dari pola kepemimpinan
terlebih dahulu, kemudian berkembang pada kurikulum, dan aspek
lainnya dan melahirkan istilah pesantren modern, sebagai trade
mark dari pembangunanisme yang membedakannya dari pesantren
tradisional (salafiah).
Perkembangan tersebut kemudian juga membuka beberapa
manusia berkaitan dengan transformasi pesantren dengan berbagai
macam problematika. Menurut Abdurrahman Wahid, misalnya
memberi beberapa pertanyaan fundamental, antara lain: bisakah
pondok pesantren dengan pola kepemimpinan dan sistem
manajemen kepemimpinan kiai-ulama yang kharismatis-elitis dapat
mewujudkan ide kepemimpinan partisipatoris sebagai modal yang
dibutuhkan bagi berlangsungnya transformasi sosial secara umum.
Pada pertanyaan lain sejauh mana pondok pesantren sebagai
lembaga (sistem) pendidikan (tradisional) dapat berubah menjadi
produk aturan liberal bagi masyarakatnya, sementara posisi lainnya
menuntut pondok pesantren dapat menetapkan suatu keputusan
12
Abdurrahman Wahid, “Pondok Pesantren Masa Depan”, dalam Said Agil Siradj Pesantren Masa
Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren,1999, hlm. 20-21.
13
Mansur Fakih, “Tinjauan Kritis Terhadap Paradigma dan Teori Pembangunan”, dalam Masdar F.
Mas’udi (Ed.), Teologi Tanah, 1994, hlm. 29.

8
bahwa dalam faktor eksternal, masyarakat sangat bergantung pada
eksistensi dirinya.14 Padahal masih ada lagi seabreg (kompleks)
masalah terutama berkaitan dengan bagaimana pondok pesantren
menggunakan alat-alat ideologi untuk melakukan transformasi-
perubahan fundamental di tengah pondok pesantren yang notabene
berideologi tak logis, atau mencari alternatif ideologi yang logis.
Akhirnya sampai pada pertanyaan mungkinkah langkah-langkah di
atas bahkan dapat memusnahkan struktur pondok pesantren sebagai
sebuah institusi budaya politik sekaligus.
Kebutuhan-kebutuhan akan transformasi sosial adalah bukti
bahwa pondok pesantren mempunyai gagasan besar untuk
mengembangkan dirinya sebagai sebuah sistem pendidikan dan
sistem pendidikan nasional. Pengembangan pondok pesantren, baik
dalam aspek metodologi, sistem pembelajaran, maupun kurikulum,
disamping pengembangan pemberdayaan sosial, ekonomi, politik
dan sosial budaya yang sangat dibutuhkan pondok pesantren, perlu
untuk mendapatkan respon pelaku pendidikan khususnya di pondok
pesantren.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sampai
sekarang eksistensinya masih diakui, bahkan semakin memainkan
perannya di tengah-tengah masyarakat dalam rangka menyiapkan
sumber daya manusia (SDM) yang handal dan berkualitas. Pondok
pesantren mulai menampakkan keberadaannya sebagai lembaga
pendidikan yang mumpuni, karena di dalamnya didirikan
madrasah, sekolah-sekolah umum (kejuruan), baik secara formal
maupun non-formal. Bahkan pada umumnya pondok pesantren
telah melakukan renovasi terhadap sistem antara lain: pertama,
mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern. Kedua, semakin
berorientasi pada kegiatan pendidikan fungsional, yang terbuka atas
perkembangan luar. Ketiga, diversifikasi program dan kegiatan
makin terbuka dan ketergantungan dengan kiai-pun mulai tidak

14
Abdurrahman Wahid, Pondok Pesantren Masa Depan, op.cit., hlm. 21-22

9
absolut padanya, santri juga dibekali dengan beberapa pengetahuan
di luar mata pelajaran agama, diantaranya ketrampilan dan skill
untuk lapangan kerja. Keempat, perkembangan pesantren juga
dapat dijadikan fungsi pengembangan masyarakat.15
Pesantren kini mengalami suatu proses transformasi
kultural, sistem, dan nilai-nilainya. Transformasi tersebut adalah
sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diberikan kepada pesantren
dalam arus transformasi dan globalisasi, yang mengakibatkan
terjadinya perubahan-perubahan drastis dalam sistem dan kultur
pesantren. Perubahan-perubahan tersebut antara lain: a) perubahan
sistem pembelajaran dari perseorangan atau sorogan menjadi
sistem klasikal yang kemudian dikenal dengan madrasah. b)
Perubahan lain adalah diberikan pengetahuan umum disamping
masih mempertahankan pengetahuan agama, bahasa Arab, dan
kitab kuning. c) bertambahnya komponen pendidikan, misalnya
ketrampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat
sekitarnya. d) diberikannya ijazah bagi santri, yang telah
menyelesaikan studinya di pesantren, yang terkadang ijazah
tersebut disesuaikan dengan ijazah negeri.
Selain dari pada itu, Sejak berdirinya pesantren dikenal
sebagai lembaga pendidikan Islam yang paling mandiri.
Kemandirian ini menjadi doktrin kyai pada santri. Oleh sebab itu
sudah seharusnya kyai memberikan ketrampilan kepada santri.
Tujuannya disamping santri mampu hidup secara mandiri di
tengah-tengah masyarakat, juga untuk membuka wawasan berfikir
keduniaan.
Sehingga pada masa ini, tepatnya pada abad ke 21M, untuk
meningkatkan daya saing sumber daya manusia yang di era
sekarang ini sangat banyak dibutuhkan, maka banyak pesantren-
pesantren modern yang memberikan pengajaran di bidang
ketrampilan-ketrampilan. sepertihalnya sekolah sekolah

Rusli Karim, “Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial Budaya”, dalam Muslih
15

Usa, Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, 1991hlm. 134.

10
kejuruan(SMK), melalui pengajaran tersebut pesantren siap sedia
mencetak dan menghasilkan santri-santri yang memiliki daya saing
tinggi dalam terjun ke masyarakat.
Demikianlah perkembangan eksistensi pesantren dalam
abad ke-21, pesantren mulai bergerak ke depan secara pelan-pelan
tanpa menghilangkan cara-cara lama pesantren itu sendiri.
Kurikulum di atas menggambarkan perluasan dan pergeseran
kurikulum.

2. Dinamika Perkembangan Kurikulum Pesantrren


a. Perkembangan Di Bidang Bahan Ajar Pesantren di Indonesia
Penggunaan kitab-kitab yang dipakai pesantren pada
awal pertumbuhannya, tidak seara mendtail dijelaskan oleh
para sejarawan, namun dapat kami temukan dalam hal ini
bahwa perkembangan bahan ajar yang dipakai pada pendidikan
pesantren dari masa ke masa telah mengalami perubahan
dalam penggunaan kitab-kitabnya.
Pada zaman Demak (paruh awal abad ke-16)
ditemukan kitab-kitab yang dikenal saat itu hanyalah Usulnem
Bis, yaitu sejilid kitab tulisan tangan berisi enam kitab dengan
enam bismillahirrahmanirrahim, karangan ulama Smarkand.
Isinya tentang ilmu agama Islam paling awal. Kitab lain
misalnya tafsir Jalalain karangan Syekh Jalaluddin al-Mahali
dan Jalaluddin as-Suyuthi, serta suluk-suluk misalnya: Suluk
Sunan Bonang, Suluk Sunan Kalijaga, Wasito Jati Sunan
Geseng yang berisikan ajaran-ajaran tasawuf, dan lainnya.16
Mulai abad ke-19, kitab-kitab referensi di kalangan
pesantren mengalami perubahan yang sangat drastis.
Sebagaimana Stenbrink yang dikutip oleh Mujamil Qomar,
merinci: bidang fiqih meliputi: safinana alnajah, sulam al-
taufiq, Masail al-Sittin, Mukhtashar Minhaj al-Qawin, al-

16
Wahjoetomo, op.cit., hlm. 73.

11
Hawasyi al-Madaniyah, al-Risalah, Fath al-Qarit, al-Iqna’,
Tuhfat al- Habib, al-Muharrar, Minhj Thalibin, Fath al-Wahab,
Thufat al-Muhtaj, dan Fath al-Mu’in. Dalam bidang bahasa
Arab adalah muqaddimah al- Ajurumiyyah, Mutammimah, al-
Fawaqih al-Janniyyah, al-Dhurrah al- Bahiyyh, al-Awamil al-
Minat, Alfiyah, Minhaj alNida’, dan al-Misbah.
Dalam bidang ushul al-din, terdapat Bahjat al-Ulum,
Umm al-Barahin (Aqidat al-Sanusi), al-mufid, Fath al-Mubin,
Kifayat al-Awwam, al-Miftah fi Syarh Ma’rifat al-Islam, dan
Jawharat at-Tauhid. Dalam bidang Tasawuf adalah Ihya’ al-
Ulum al-Din, Bidayatul al-Hidayah, Minhaj al- Abidin, al-
Hikam, Su’ab al-Iman dan Hidayat al-Azkiya’ Ila Thariq al-
Awliya’. Sedang dalam tafsir hanya tafsir Jalalain.17
Pada abad ke-20 referensi pesantren masih
mempertahankan sebagian kitab-kitab abad ke-19. bahkan
ditambah lagi dengan kitab-kitab di bidang hadits, tarikh, ushul
fiqh, mantik dan falak. Pada abad ke-20 hingga ke-21 ada dua
kitab yang paling populer di pesantren, yaitu kitab Alfiyah dan
kitab Taqrib.
Di samping mempertahankan kitab-kitab klasik sebagai
upaya pelestarian khazanah pesantren, pada awal abad ke-20
beberapa pesantren mulai bersikap progresif dengan
memasukkan pelajaran-pelajaran umum. Menurut
Zamakhsyari Dofier, membereikan salaha satu contoh seperti
pesantren Tebu Ireng, pada tahun 1916-1919 madrasahnya
masih menggunakan kurikulum pengetahuan agama saja.
Kemudian mulai 1919, mulai ditambah dengan pelajaran-
pelajaran bahasa Indonesia (Melayu), Matematika, dan ilmu
Bumi, mulai tahun 1926 ditambah pula pelajaran bahasa
Belanda dan sejarah.18

17
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju., hlm. 124
18
Zamakhsyari Dhofier, op.cit., hlm. 104.

12
b. Perkembangan Ilmu(materi) yang Diajarkan di Pesantren
Seperti halnya pada awal pendidikan agama yang masih
menggunakan surau atau masjid sebagai tempat untuk
menimba ilmu, materi yang diajarkan di pesantren masih
dalam bentuk yang sederhana, yakni berupa inti ajaran Islam
yang mendasar yaitu iman, Islam dan ihsan. Penyampaian tiga
komponen ajaran Islam tersebut dalam bentuk yang paling
mendasar, sebab disesuaikan dengan tingkat intelektualitas
santri dan kualitas keberagamaannya.19 Hal itu sesuai dengan
fungsi pesantren pada masa awal, pesantren hanya berfungsi
sebagai alat Islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur
pendidikan, yakni: ibadah untuk menanamkan iman, tabligh
untuk menyebarkan ilmu dan amal untuk mewujudkan
kegiatan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari.20
Peralihan dari langgar berkembang menjadi pesantren
membawa perubahan materi pelajaran. Dari sekadar
pengetahuan menjadi suatu ilmu. Sebagaimana Mahmud Yunus
yang dikutip oleh Mujamil Qomar mencatat, “Ilmu yang mula-
mula diajarkan di pesantren adalah ilmu sharaf dan nahwu,
kemudian ilmu fiqih, tafsir, tauhid, akhirnya sampai kepada
ilmu tasawuf dan sebagainya.”21 Sependapat dengan Mahmud
Yunus, Nur Cholis Madjid juga mencatat pembagian keahlian
di lingkungan pesantren yang melahirkan produk-produk
pesantren yang berkisar pada: nahwu sharaf, aqaid, tasawuf,
bahasa Arab dan lain-lain.22 Betapapun kecilnya,
pengembangan isi kurikulum ini telah membuktikan adanya
gerak kemajuan yang mengarah pada pemenuhan keperluan
19
Mujamil Qomar, op.cit , hlm 109
20
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, hlm. 71.
21
Mujamil Qomar, op.cit., hlm. 109.
22
Nur Cholis Madjid, op.cit., hlm. 79.

13
santri terutama sebagai pembentukan intelektual disamping
pengembangan kepribadian.
Dalam perkembangan selanjutnya santri perlu diberikan
bukan hanya ilmu-ilmu yang terkait dengan ritual keseharian,
melainkan ilmu-ilmu yang berbau penalaran yang
menggunakan referensi wahyu seperti ilmu kalam, dan
tasawuf. Ilmu-ilmu dasar keislaman seperti tauhid, fiqih dan
tasawuf inilah yang kemudian menjadi mata pelajaran favorit
bagi para santri.23 Tauhid memberikan pemahaman dan
keyakinan terhadap keesaan Allah, fiqih memberikan cara-cara
beribadah kepada Allah, sedangkan tasawuf membimbing
seseorang kepada penyempurnaan ibadah.
Pada abad ke-20, Tafsir, hadits dan ushul fiqih mulai dikaji
secara serius di pesantren.24 Tafsir merupakan bidang yang
paling luas daya cakupannya, sesuai dengan daya cakupan
kitab suci itu sendiri. Hadits merupakan materi yang kedua
untuk memahami ajaran Islam, sebab fungsi dari hadits itu
sendiri sebagai penjelas dari al-Quran. Sedangkan ushul fiqh
sebagai alat untuk memahami ilmu fiqih dengan benar.
Selain dari pada itu, dewasa ini tepatnya perkembangan di
abad ke 21M, di dalam pesantren-pesantren modern terdapat
pula jenis-jenis ketrampilan yang diberikan di pesantren,
sebagai ekstra kurikuler, seperti kejuruan radio elektronik,
kejuruan PKK, penjahitan, dan perajutan, kejuruan
pertukangan dan kerajinan tangan, kejuruan fotografi,
kesenian, olah raga, sablon, penjilidan buku, kaligrafi, cukur
dan perawatan badan; kejuruan pertanian meliputi perikanan,
perkebunan, peternakan dan persawahan, kejuruan IPA,
perbengkelan, solder dan mesin; dan kejuruan administrasi,
manajemen, koperasi dan perdagangan.25

23
Ismail SM, dkk., Dinamika Pesantren dan Madrasah, hlm 16
24
Mujamil Qomar, op.cit.,hlm 119
25
Ibid., hlm 135

14
D. Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan
Dunia pesantren, dalam gambaran total, memperlihatkan dirinya
sebuah parameter, suatu factor yang secara tebal mewarnai kehidupan
kelompok masyarakat luas, tetapi dirinya sendiri tak kunjung berubah dan
bagaikan tak tersentuh dinamika perkembangan masyarakat sekelilingnya,
setidak-tidaknya jika orang membayangkan perubahan pada dirinya, maka
perubahan itu hanya difahami dalam skala panjang. Sudah tentu tidak ada
sesuatu gejala sosial di dunia ini yang selalu tetap dan tidak berubah.
Begitu pula halnya dunia pesantren.
Namun gambaran masyarakat umum adalah bahwa pesantren
merupakan suatu pribadi yang sukar diajak berbicara mengenai perubhana,
sulit difahami pandangan dunianya dan karna itu orang juga enggan
membicarakannya. Kemudian, orang yang merasa dirinya punya kuasa
atau mempunyai pengaruh, berusaha untuk menggalakan perhatian umum
mengenai lembaga yang didiamkan dalam “cagar masyarakat” itu.
Walhasil, masyarakat umumnya memandang dunia pesantren hampir-
hampir sebagai lambang keterbelakangan dengan konteksnya yang
tersendiri itu, marilah kita lihat apa yang sebenarnya berlangsung di dunia
pesantren ini.
Pada tingkat pertama dapat dikatakan secara pasti bahwa pesantren tak
lain adalah suatu lembaga keagamaan yang mengajarkan, mengmbangkan
dan menyebarkan ilmu agama islam. Sudah tentu kita tidak bisaa berkata
“ sekali pukul” mengani macam kegiatan dari semua pesantren yang
jumlahnya amat banyak dan memiliki banyak variasi itu. Tetapi dari sekian
banyak pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia, khususnya di Jawa
san Madura atau yang dinamakan juga surau di Minangkabau, rangkah
meunasah di Aceh dan pondok di Pasundan itu- sebagian besar memang
mengajarkan ilmu Agama.26

26
M. Dawam Rahardjo. Dunia Pesantren dalam Pembaharuan.1974 hlm 1

15
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Pesantren memang merupakan lemabaga pendidikan yang


sudah ada sejak masa-masal awal perkembangan Islam di Indonesia,
yang digunakan sebagai suatu lembaga yang secara keseluruhan
diharapkan dapat mencetak para manusia yang beriman dan bertakwa
kepada sang pencipta.
Dari awal perkembanganya, pesantren teap konsisten
menggunakan pengajaran melalui kitab-kitab yang berisikan ajaran
agama islam. Namun d isamping itu, dalam perjalananya hingga pada
saat ini, pesantren banyak menghadapi tantangan-tantangan zaman,
sehingga membuat pesantren harus selalu bisa beradaptasi ulang
dangan perkembangan zaman yang terus berubah menuju era modern
dan serba praktis.
Sehingga berangka dari permasalahan itu, dalam perkembangan
lanjutannya menjadi sebuah perdebatan, mengenai pesantren yang
tetap ingin mempertahankan keasliannya dengan pesantren yang
bertransformasi mengikuti perkembangan zaman. Perdebatan ini
menghasilkan dua buah pendidikan pesantren dengan model yang
berbeda, yaitu yang disebut dengan pesantren salafi dan pesantren
kalafi.
Dalam hal ini, dalam menghadapi perkembagan zaman pesantren
salafi tidak banyak melakukan perubahan-perubahan, karena sebagian
menganggap bahwa ketika dilakukan perubahan maka itu akan
merusak keaslian sebuah lembaga itu sendiri. Sebaliknya pesantren
kalafi lah yang lebih banyak melakukan transformasi baik dari segi
kurikulum maupn dari segi pengajaran, sehingga pesantren dapat mulai

16
bergerak kedepan secara pelan-pelan tanpa menghilangkan ciri khas
pesantrennya itu sendiri.
Perubahan-perubahan di atas baik yang terjadi pada pesantren
tradisional maupun modern, menggambarkan sebuah lembaga yang
mampu berjalan mempertahankan eksistensinya dalam menghadapi
tuntutan zaman yang semakin kompleks, sehingga masih tetap
bertahan hingga sekarang ini.

17
Daftar Pustaka

Azizy, Ahmad Qodri Abdillah.2000, Islam dan Permasalahan Sosial,


Mencari Jalan Keluar, Yogyakarta: LKiS
Dhofier, Zamakhsari.1983 Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan
Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES,

Djaelani, Timur.1982. Peningkatan Mutu Pendidikan Pembangunan


Perguruan Agama, Jakarta: Desmaga

Djamaluddin & Aly, Abdullah.1998, Kapita Selekta Pendidikan Islam,


Pustaka Setia, Bandung

Hasbullah.1996 Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo


Persada
Madjid,Nurcholis. 1997 Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan,
Jakarta: Paramadina

Maridjan dan ma’mun Murod al-Brebery, Jakarta: Grasindo

Mas’udi, Masdar F. 1994(Ed.), Teologi Tanah, Jakarta: P3M dan Yapika

Mujamil, Qomar Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju


Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga
Rahardjo,M. Dawam. 1974 Pesantren dalam Pembaharuan. Jakarta:
LP3ES

Rahim, Husni,2001 Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:


Logos Wacana Ilmu
Siradj, Said Agil.1999. Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan
dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah

18
SM, Ismail, dkk.2002, Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta:
Kerjasama Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dengan
Pustaka Pelajar
Usa, Muslih.1991 Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta,
Yogyakarta: Tiara Wacana

Wahid, Abdurrahman,1999 Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Ed.


Kacung
Wahjoetomo.1997 Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif
Masa Depan Jakarta: Gema Insani Press

19

Anda mungkin juga menyukai