BANK INDONESIA
Direktorat Kredit, BPR dan UMKM
Usaha budidaya rumput laut biasanya dikerjakan sendiri oleh pemilik dan
keluarganya, kecuali untuk pekerjaan mengikat bibit dan menyemaikannya di
laut yang membutuhkan waktu cepat, sehingga membutuhkan tambahan
tenaga kerja. Tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga Untuk bisa
mengerjakan dengan cepat, maka dibutuhkan tenaga dari luar keluarga
sebagai tenaga borongan yang dibayar dengan upah borongan Rp.50,- per
ikat.
a. Profil Usaha
Saat ini jenis rumput laut yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia
adalah rumput laut jenis Eucheuma sp. Alasan dibudidayakannya rumput laut
jenis ini secara luas adalah mengikuti arah perkembangan permintaan pasar.
Eucheuma sp diperkenalkan pertama kali di Indonesia pada tahun 1984 di
Nusa Dua, Nusa Penida, Nusa Celingan Bali dan Lombok Timur. Bibit rumput
laut ini didatangkan dari Filipina. (Anggadireja, 2005). Rumput laut jenis
Eucheuma Cottonii sangat baik pertumbuhannya pada wilayah yang memikiki
ciri : arus kuat, pantai berkarang serta, air laur jernih dan tingkat penyinaran
yang tinggi. Salah satu wilayah yang memiliki ciri-ciri ini adalah pantai
Gerupuk dan Aregoling di Kabupaten Lombok Tengah yang menjadi lokasi
studi.
Luas areal petak budidaya pada lokasi studi diukur dengan satuan are
(10x10m). Satu rumah tangga pembudidaya (RTP) minimal memiliki 3 are
(1 are = 100 m2), rata-rata RTP memiliki 10 petak areal budidaya. Makin
kuat status ekonomi seorang pembudidaya, semakin luas areal budidaya
yang dimilikinya.
Jangka waktu atau periode proses budidaya dimulai saat menyemaikan bibit
rumput laut sampai dengan waktu pemanenan (satu siklus panen), adalah
45 hari. Apabila musim kemarau berlangsung 6 bulan, maka satu kali musim
terdapat 4 kali siklus panen. Hampir semua hasil panen rumput laut
diperdagangkan dalam bentuk rumput laut kering, dengan kadar air 35%.
Untuk pengeringan rumput laut, pembudidaya melakukannya dengan cara
menjemur selama 2-3 hari.
Sumber dana usaha budidaya rumput laut berasal dari modal sendiri, namun
demikian banyak juga pembudidaya yang menerima dana modal usaha dari
pedagang pengumpul. pedagang pengumpul memberikan pinjaman modal
usaha budidaya kepada petani dan pada saat panen akan membeli hasil
panen rumput laut dan memotong sebagian pembayarannya sebagai
angsuran pinjaman dan pembayaran bunga. Apabila pinjaman belum
terlunasi pada musim ini, maka akan ditagih lagi pada musim berikutnya.
Pedagang pengumpul pemberi pinjaman ini biasanya berasal dari wilayah
yang berdekatan sehingga tahu waktu petani membutuhkan dana dan saat
menagih pinjaman.
b. Pola Pembiayaan
Pembiayaan usaha budidaya dapat berasal dari modal sendiri maupun dari
pinjaman atau kredit. Pembiayaan yang berasal dari pinjaman bank berupa
Tabel 3.1
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Rumput Laut, 2001 – 2005
Dari data dalam tabel 3.1 di atas dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu
4 tahun perkembangan volume ekspor yang terjadi ialah: 27.874 ton pada
tahun 2001 menjadi 63.020 ton pada tahun 2005 atau rata-rata 25,21% per
tahun. Dari tabel tersebut diketahui pula bahwa selama 4 tahun rata-rata
perkembangan nilai ekspor yang dicapai sebesar $22,749,000 (dari
15,785,000 US$ menjadi 39,970,000 US$) atau rata-rata 26,39%.
Perkembangan volume dan nilai ekspor rumput laut yang demikian tinggi
mencerminkan adanya peluang besar di pasar internasional. Secara grafis
trend perkembangan volume ekspor dan nilai ekspor disajikan pada grafik
berikut.
Tabel 3.2
Volume Ekspor Rumput Laut Indonesia Menurut Negara Tujuan (ton)
Negara Tahun
Tujuan
1999 2000 2001 2002 2003
Ekspor
Hongkong 6.857,3 9.157,4 7.808,8 7.164,5 7867,00
Spanyol 3.450,9 3.838,3 4.359,3 4.700,0 3363,60
Denmark 3.147,6 2.573,5 3.953,9 3.947,8 4499,00
USA 2.298,7 979,9 1.661,6 1.804,4 2127,70
Perancis 3.572,3 1.216,6 1.617,0 1.832,7 1355,00
China 805,9 1.211,6 1.603,0 4.186,9 9337,00
Filipina 1.204,9 139,6 1.522,8 1.471,9 4573,80
Chili 335,0 200,0 1.360,0 340,0 1116,70
Inggris 369,7 806,2 713,7 499,0 400,00
Australia 105,0 294,0 380,1 349,0 255,60
Jerman 175,1 455,2 335,0 209,0 338,60
Data terakhir DKP 2007 menyebutkan bahwa ekspor rumput laut Indonesia
telah mencapai 189.000 ton, dan berkembang dari tahun 2005–2007 rata-
rata 56,29% (Hasil Pertemuan Pengembangan Genetika Improvement
Rumput Laut, DKP,2007).
Secara grafis perkembangan total ekspor rumput laut Indonesia tahun 1999
sampai 2003 dapat disajikan dalam grafik berikut.
Grafik 3.2
Grafik Perkembangan Total Ekspor Rumput Laut Kering Indonesia
Mengacu data disajikan pada tabel 3.2 dan trend perkembangan yang
digambarkan pada grafik 3.2, maka peluang pasar rumput laut Indonesia
untuk 5 – 10 tahun ke depan dapat dikatakan cukup kuat.
Tabel 3.3
Prediksi Jumlah dan Tingkat Perkembangan Kebutuhan, Produksi dan
Peluang Pasar Rumput Laut Eucheuma Cottonii, 2006-2010
Prediksi Jumlah
Prediksi Diproduksi luar Prediksi Jumlah
Kebutuhan Dunia negeri Peluang Pasar
Tahun
Jumlah Jumlah Jumlah
(ton Perkem (ton Perkem (ton Perkem
1000) bangan 1000) bangan 1000) bangan
2006 202 135 67.300
2007 218 7,92% 140 3,70% 78.100 16.05%
2008 235 7,80% 145 3,57% 90.300 15.62%
2009 254 8,09% 155 6,90% 98.900 9.52%
2010 274 7,87% 165 6,45% 109.000 10.21%
Sumber : DKP,2007
Dari tabel 3.3 tersebut terlihat bahwa masih terdapat kekurangan pasokan
rumput laut di pasaran dunia yang semakin besar yaitu dari 67.300.000 ton
pada tahun 2006 menjadi 109.000.000 ton pada tahun 2010. Kekurangan
pasokan ini merupakan peluang yang perlu dimanfaatkan oleh Indonesia
yang memiliki potensi lahan budidaya rumput laut yang luas dan belum
termanfaatkan secara optimal.
b. Penawaran
Analisis tentang posisi daya saing rumput laut Indonesia dapat ditunjukkan
dengan menilai menurut : volume ekspor, perkembangan hasil dan jumlah
yang diekspor, serta share atau sumbangan ekspor rumput laut Indonesia
terhadap total ekspor dunia.
Tabel 3.4
Struktur Export Dirinci Menurut Negara Exportir Rumput Laut dan
Produk Berbahan Rumput Laut Dunia, 2000-2004
Data pada tabel 3.4 menunjukkan bahwa apabila diukur dari volume dan nilai
ekspor rumput laut, maka posisi Indonesia berada pada urutan ke 4, namun
apabila dilihat dari harga per ton maka posisi Indonesia berada pada urutan
ke 8. Posisi sumbangan ekspor rumput laut Indonesia terhadap total ekspor
rumput laut dunia jauh di bawah kemampuan ekspor Cina dan Korea. Cina
Posisi daya saing rumput laut Indonesia dianalisis dengan menggunakan data
pada tabel 3.4 dapat disimpulkan sebagai berikut:
d. Harga
Perkembangan harga ekspor rumput laut kering Indonesia dalam satuan US$
berfluktuasi. Perkembangan harga rumput laut di tingkat ekspor dapat
disajikan sebagai berikut.
Tabel 3.4
Perkembangan Harga Eksport Rumput Laut Indonesia
Harga rumput laut kering di daerah NTB pada tahun 2001 sebesar Rp 3.500.-
per kg atau US $ 0,30-0,40 per kg. (Hierman dan Mirza Pedjoe, 2002).
Harga rumput kering per kilogram dari tahun ke tahun cenderung meningkat.
Gambar 3.4
Grafik Perkembangan Harga Rumput Laut di Indonesia Bagian Timur 2001 -
2007
e. Rantai Pemasaran
Rantai pemasaran rumput laut berawal dari pembeli besar yang biasanya
exporter atau pemroses rumput laut (pabrikan). Pabrikan akan mengadakan
negosiasi transaksi kepada pedagang besar, tentang harga, spesifikasi
produk dan syarat-syarat pembayaran. Dalam proses transaksi ini, bisa
terjadi pedagang besar diberi modal atau uang muka untuk pengadaan
barang. Selanjutnya pedagang besar aka melakukan kontak kepada
pedagang pengumpul. Selanjutnya pedagang kecil inilah yang melakukan
pencarian / pengumpulan rumput laut kering, proses awal (sortir dan
pemilihan) dan pembayaran kepada petani pembudidaya.
Secara skematis jenjang rantai pemasaran dan harga rumput laut kering di
masing-masing level dapat disajikan dalam diagram berikut.
f. Kendala Pemasaran
1. Aspek Produk.
1. Kadar air atau tingkat kelembaban max 38%
2. Prosentasi kotoran pada rumput laut maksimum 2%
3. Umur pemanenan minimum 45 hari.
4. Kadar garam rumput laut.
Ditinjau dari aspek teknik produksi, beberapa faktor yang perlu diperhatikan
untuk menjamin keberhasilan usaha budidaya rumput laut adalah: lokasi,
bibit, teknik atau metode budidaya, pemeliharaan, teknik panen, dan
pembinaan/pendampingan (Anggadireja et.al, 2005).
Teknik budidaya rumput laut pada dasarnya ada 3 (tiga) macam, yaitu tali
letak dasar (off bottom line), sistim tali apung (long line) dan sistim rakit
apung (floating rack). Pemilihan teknik yang dipakai untuk budidaya sangat
tergantung pada morfologi pantai yang meliputi sifat pantai, arus, salinitas,
amplitudo suhu dan ketinggian air sewaktu pasang dan surut, dan kejernihan
(DKP, 2007).
Teknik budidaya yang diterapkan pada lokasi penelitian, adalah teknik tali
letak dasar (off bottom line). Teknik ini cocok untuk dipergunakan apabila
wilayah pantai lokasi budidaya memiliki ciri (Anggadireja, et.al, 2005) :
Secara umum lokasi yang layak untuk dijadikan lahan budidaya rumput laut
membutuhkan persyaratan minimum sebagai berikut (Anggadireja et.al
2006; Iskandar Ismanadji, 2006; Pancamulyo, 2006; Sunarpi, 2006) :
1. Air laut jernih dengan jarak pandang horizontal 2-5 meter. Air laut
yang keruh akan menghambat fotosintesis. Juga air laut yang keruh
mengindikasikan adanya kotoran dan endapan yang mengganggu
pertumbuhan rumput laut.
2. Rumput laut cocok di daerah yang kering / panas dengan amplitude
suhu 27°C - 32°C. Hasil terbaik fotosintesis pada rumput laut terjadi
pada suhu 30°C, dan suhu ini banyak terdapat pada pantai laut di
Indonesia Bagian Timur.
3. Dasar laut berpasir atau coral (berbatu karang) dan tidak berlumpur.
Lumpur yang terbawa arus dan ombak akan mengotori batang rumput
laut. Hal ini akan akan menghalangi penyerapan nutrient oleh rumput
laut.
Kondisi lingkungan dan morfologi pantai satu dengan pantai lainnya berbeda-
beda. Morfologi pantai terutama kedalaman, kondisi dasar pantai, salinitas,
kekuatan dan sirkulasi arus pembawa nutrient menyebabkan perbedaan
produktivitas budidaya lokasi satu dengan lainnya. Atas dasar alasan ini,
kepada calon pembudidaya disarankan untuk melakukan uji coba dan
pengamatan langsung hasil produksi rumput laut pada calon lokasi budidaya,
sebelum benar-benar memutuskan bahwa lokasi itu akan dijadikan lahan
budidaya. Pengamatan uji coba ini minimal dilakukan selama satu musim.
Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan rumput laut
secara nyata pada suatu wilayah. Uji coba secara langsung perlu dilakukan
dalam rangka menentukan jenis teknik budidaya yang paling cocok , dan
jenis rumput laut yang paling optimal untuk dibudidayakan pada lokasi yang
direncanakan.
Cara uji coba itu adalah dengan memasang beberapa rakit atau teknik
budidaya pada berbagai titik pengamatan pada lokasi yang direncanakan
akan dijadikan lahan budidaya. Masing-masing media pengamatan ini diberi
bibit rumput laut yang berbeda dan diamati selama periode 45 – 60 hari.
Hasil yang terbanyak mengindikasikan jenis teknik budidaya dan jenis
rumput laut yang paling cocok untuk dibudidayakan pada wilayah itu.
Budidaya rumput laut dilakukan pada musim kemarau (musim kering) adalah
karena alasan-alasan berikut:
Rumput laut dijual dalam keadaan kering dengan kadar air 35%, sehingga
membutuh penjemuran yang biasanya dilakukan dengan bantuan sinar
matahari.
b. Peralatan
Pada tali lepas dasar, untuk areal lahan seluas 1 ha, dapat dibuat 64 petak
budidaya berukuran 10x10m dengan jarak antara masing-masing petak 2 m.
Untuk areal seluas 0,25 Ha jumlah petak standarnya adalah 16 unit dengan
ukuran 10x10m, berjarak antara masing-masing petak 2 meter (Jaya
Suastika IBM, et.al, 2006). Untuk efisiensi lahan dan kebutuhan pasak sering
kali 2 – 4 dengan luas masing-masing 10x10m petak digabung menjadi 1
petak besar berukuran 20x10m atau 40x10m.
Tabel 4.1
Kebutuhan Bahan Untuk Budidaya Rumput Laut Teknik Tali Lepas Dasar
Luas Lahan 2.500 m2 16 Petak Berukuran 10x10m
Bibit rumput laut bisa diambil dari sebagian hasil panen milik sendiri, dipilih
hasil budidaya yang paling bagus untuk disemaikan kembali. Namun karena
alasan produktivitas maka pembudidaya biasanya membeli bibit yang dijual
oleh kebun bibit. Ciri rumput laut yang baik untuk dijadikan bibit memiliki
ciri-ciri: bercabang banyak, berwarna cerah dibanding lainnya; thallus atau
cabang rumput laut nampak segar dan elastis (tidak mudah patah); ujung
thallus lurus; bila thallus digigit terasa getas. Selain ciri-ciri fisik tersebut,
perlu diperhatikan juga bahwa bibit atau jenis yang dibudidayakan sudah
dibuktikan tahan dan bisa beradaptasi dengan lingkungan setempat, serta
paling produktif di wilayah itu (FAO, 2006).
Alat kerja berupa ban truck untuk media apung adalah alat yang diperlukan
untuk mengangkut pasak dari pantai ke lokasi budidaya, atau hasil panen di
perairan pantai diangkut ke darat.
Gambar 4.2. Media untuk mengangkut rumput laut terbuat dari ban truck
c. Proses Budidaya
Jenis pekerjaan yang dilakukan pada tahap proses penyiapan lahan meliputi
kegiatan (Anggadireja, et.al, 2007, dan data primer)
Gambar penampang dari lahan budidaya rumput laut dengan teknik tali lepas
dasar disajikan pada gambar 4.4 berikut ini;
2. Proses Pemeliharaan
Setelah tali ris yang berisi ikatan rumput laut diikatkan pada pasak kayu,
maka dimulailah tahap proses pemeliharaan. Proses pemeliharaan ini
dilakukan setiap hari selama 45 hari. Pada periode tahap pemeliharaan ini,
berbagai macam kegiatan yang dilakukan adalah:
Menyingkirkan bulu babi, dan gulma laut yang ada di dekat rumput laut.
Beberapa tanaman laut tidak memakan atau predator rumput laut tetapi
mereka menjadi pesaing dalam menyerap nutrisi.
3. Proses Pemanenan
Proses pemanenan ada dua cara yaitu pemanenan langsung untuk tujuan
produksi produks, dan pemanenan untuk pembibitan (Jaya Suastika, IBM,
et.al, 2006). Pemanenan untuk tujuan produksi biasanya dilakukan oleh
petani pembudidaya, sedangkan untuk tujuan pembibitan dilakukan oleh
kebun pembibitan (broodstock centre).
Jumlah produksi rata-rata rumput laut di NTB adalah 16 ton rumput laut
basah per Ha per siklus (Dinas Kelautan dan Perikanan NTB, 2006).
Ditargetkan pada dengan berbagai upaya hasil per Ha dapat ditingkatkan
menjadi 27 ton rumput laut basah per Ha per siklus.
Jumlah hasil panen ditentukan oleh jumlah berat bibit yang disemaikan
(diikat), dan kualitas bibit yang disemaikan. Ratarata. Konversi bibit untuk
produksi adalah 1:5, dan satu tahun 4 siklus panen (Murdjan M, 2006).
Apabila diikatkan 100 gram bibit rumput lat, maka saat panen (minimum 45
hari setelah disemaikan) beratnya akan menjadi 5 kali lipat. Pada umumnya
penjualan panen rumput laut dilakukan dalam bentuk kering, dengan yield
content minmum 26%, kadar air maksimum 35%, kotoran 2% (MArcell
Thaher, 2006).
Rumput laut pada sentra produksi umumnya dijual dalam bentuk kering
asalan. Dari 5 kg rumput laut basah, setelah dijemur 2-3 hari akan menyusut
menjadi 1 kg (tingkat rendemen = 20%). Rumput laut kering memiliki ciri
berwarna lebih gelap, liat dan mengeluarkan butiran garam.
f. Kendala Produksi
1. Pola usaha yang dilakukan pada budidaya rumput laut jenis Eucheuma
Cottonii bersifat monoculture atau usaha budidaya dengan satu jenis
tanaman. Kegiatan budidaya dilakukan pada suatu hamparan budidaya
dengan kepemilikan secara individual. Lahan budidaya biasanya
dikerjakan oleh anggota keluarga rumah tangga pembudidaya (RTP)
dan masing-masing pembudidaya memiliki luas lahan yang berbeda-
beda. Pada satu lokasi hamparan budidaya biasanya terdapat satu
jenis teknik budidaya sesuai dengan kondisi lingkungan dan
masyarakat setempat.
2. Dana modal usaha budidaya pada umumnya dipergunakan untuk
memenuhi pembiayaan investasi infrastruktur budidaya dan
perlengkapan lain, pemebelian bibit, dan pembayaran upah tenaga
kerja.
3. Kegiatan budidaya rumput laut biasanya hanya bersifat pembesaran,
lama proses pembesaran ini mulai saat penyemaian sampai
pemanenan adalah 45 hari. Petani pembudidaya umumnya tidak
memproduksi bibit sendiri, mereka membeli dari usaha-usaha
pembibitan rumput laut (broodstock centre) atau agen-agennya.
Sumber : Lampiran 1
Asumsi ini disusun untuk analisis selama satu periode budidaya (6 bulan)
dengan 4 kali siklus panen. Basis areal yang digunakan adalah 2.500 m²
terdiri dari 16 petak berukuran 10x10m dan dimiliki oleh 2 rumah tangga
pembudidaya (RTP). Harga dan jumlah unit barang dianggap cukup mewakili
keadaan yang lazim dan moderat. Dasar analisis yang diterapkan adalah
analisis usaha tani yang berbasis ilmu pertanian.
Dari data disajikan di atas dapat diketahui bahwa kebutuhan dana yang
diperlukan adalah sejumlah Rp.21.145.000,-. Jumlah ini terdiri dari
kebutuhan investasi sebesar Rp.10.880.000,- dan modal kerja sebesar
Rp.10.145.000,- Biaya investasi terdiri dari investasi infrstruktur budidaya
sebesar Rp.5.130.000,- dan infrastruktur pendukung kegiatan budidaya yaitu
rumah tunggu dan para-para penjemuran sebesar Rp.5.750.000,-
Jumlah
No. Uraian Harga
(Rp,000)
1 Kebutuhan dana (investasi infrastruktur 21,145
+ biaya operasi)
2 Jumlah total kebutuhan investasi 10,880
3 Pinjaman kredit Investasi (70%) 7,616
4 Jumlah kebutuhan modal kerja 10,265
5 Pinjaman kredit modal kerja (70%) 7,186
6 Jumlah total pengajuan pinjaman kredit 14,802
7 Modal sendiri 6,344
Sumber : data primer
Berikut ini disajikan skenario pelunasan pinjaman yang diberikan oleh pihak
Bank. Skenario ini disusun berdasarkan sifat kredit, yaitu kredit investasi
dilunasi dalam waktu lebih dari 1 tahun, dan kredit modal kerja dilunasi
dalam waktu maksimum 1 tahun.
Tabel 5.5
Perhitungan Hasil Panen dan Penjualan Rumput Laut Kering Per Siklus Panen
Tabel 5.6
Proyeksi Laba-Rugi Usaha Budidaya Rumput Laut
(Nilai dalam Rp.000)
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa usaha budidaya rumput laut ini
memberikan keuntungan rata-rata Rp.2.991.000,- Pada saa tidak ada
budidaya tidak dilakukan pembayaran bunga dan angsuran. Jumlah angsuran
dan beban bunga selama masa tidak ada budidaya akan dikapitalisasikan /
diakumulasikan pada angsuran periode budidaya kedua. Akibat dari
kebijakan ini maka terjadi peningkatan beban bunga sebesar Rp.518.000,-
pada siklus ke 9. Namun demikian akumulasi ini tidak menyebabkan
perubahan keuntungan yang besar.
Ditinjau dari aspek rentabilitas, usaha budidaya rumput laut ini memberikan
profit margin rata-rata 20%. Dengan anggapan bahwa kebutuhan Investasi
sebesar Rp 21,145.000,- dan jumlah laba bersih per siklus sebesar
Rp.2.991.000,- maka ROI per siklus adalah 14,14%. Melihat besarnya
rentabilitas investasi yang dicapai, maka dapat disimpulkan bahwa usaha
budidaya rumput laut merupakan usaha yang “prospektif”.
Berikut ini disajikan analisis Break Even Point untuk menentukan titik impas
usaha budidaya dan mengetahui posisi usaha budidaya yang dianalisis.
Tabel 5.7
Perhitungan Break Even Point (Nilai dalam Rp.000)
Data yang tersajikan pada tabel 5.8 menunjukkan bahwa hasil penjualan
budidaya (Rp.14.700.000,-) jauh di atas titik BEP (Rp.3.912.000,-). Kondisi
ini juga menunjukkan bahwa perusahaan aman dari ancaman kerugian
apabila terjadi penurunan volume penjualan, karena posisi titik BEP yang
jauh di bawah tingkat penjualan. Usaha budidaya akan mencapai titik BEP
apabila penjualan menurun sebesar =73,39%. Terjadinya tingkat BEP yang
makin menurun karena menurunnya biaya bunga yang juga menurun.
Secara akumulatif laba usaha yang diperoleh (penjumlahan menyamping
laba usaha) untuk 12 periode adalah Rp.23.926.000,-
g. Analisis Sensitivitas
Kenaikan biaya produksi dapat terjadi apabila harga input meningkat. Dalam
hal ini komponen terbesar adalah bibit dan tenaga kerja, maka biaya
produksi sensitif terhadap kenaikan bibit dan tenaga kerja.
Tabel 5.11
Proyeksi Kelayakan Usaha Apabila Terjadi Kenaikan Biaya Operasional
Tabel 5.12
Proyeksi Kelayakan Usaha Apabila Terjadi Penurunan Pendapatan
dan Kenaikan Biaya Operasional
Dampak usaha budidaya rumput laut pada perekonomian dapat dilihat dari
pendapatan (laba usaha budidaya) per RTP. Dengan dasar perhitungan aspek
keuangan (Bab V), di mana secara rata-rata per petak menghasilkan Rp.
413.250 per siklus,dan seseorang pembudidaya (RTP) memiliki 3 peta, maka
satu RTP (1 KK) akan memperoleh pendapatan rata-rata Rp.1.300.000,- per
siklus. Apabila 1 ha lahan dikerjakan oleh 21 RTP, maka jumlah pendapatan
usaha budidaya yang dinikmati oleh RTP adalah sebesar = 21 RTP x Rp.
1.300.000,- = Rp. 27.300.000,-
b. Dampak Lingkungan
b. Saran