Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH AGAMA ISLAM

HUBUNGAN ISLAM DENGAN GIZI BURUK

Kelompok 2 :
Berliana Dewi
Dyah Samsiati
Dewi Aprina
Elyawati
Fatimatu Zahra
Inayah safwah
Mahbubah Qatrunnada
Rizki Amelia Sari
Riska Rahmayanti
Selvia Delvi
Fatimatuzzahra

PRODI SARJANA TERAPAN GIZI DAN DIETETIKA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2019/2020
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………….. i


KATA PENGANTAR ..……………………………………..………………... .ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………...iii

BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………………………………...1


 A. Latar Belakang……………………………………………………..
 B. Rumusan Masalah……………………………………………………
 C. Tujuan Penulisan…………………………………………………….
 D. Manfaat Penulisan…………………………………………………..

BAB II PEMBAHASAN…………………………….........................................
 A.
 B.
 C.
 D.

BAB III PENUTUP……………………………………………………………….


 A. Simpulan………………………………………………………………
 B. Saran…………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga
makalah ini bisa selesai pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan
rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Masalah gizi pada dasarnya merupakan masalah kesehatan
masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan
pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja (Supariasa , 2013).
Pengelolaan secara terpadu oleh beberapa sektor akan berpengaruh pada
kualitas sumber daya manusia yang berguna untuk menanggulangi masalah
kesehatan masyarakat. Penyebab timbulnya masalah kesehatan masyarakat
disebabkan oleh multifaktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya
harus melibatkan berbagai sektor yang terkait. Hal ini muncul tidak hanya
karena dipengaruhi oleh ketidakseimbangan asupan makanan, tetapi juga
dipengaruhi oleh penyakit infeksi (Alhamda Syukra, 2012). Gizi merupakan
suatu proses yang mempengaruhi perubahan semua jenis makanan yang
masuk ke dalam tubuh, yang dapat mempertahankan kehidupan (Soenardi,
2006).
Nutrisi adalah zat – zat penting yang berasal dari makanan yang telah
dicerna serta diolah oleh tubuh kita menjadi zat yang berguna untuk
membentuk dan memelihara jaringan tubuh, memperoleh tenaga, mengatur
sistem fisiologi organ di dalam tubuh dan melindungi tubuh terhadap serangan
penyakit (Chandra, 2009). Status gizi dipengaruhi oleh asupan makanan.
Status gizi yang baik terjadi dimana tubuh mendapatkan cukup nutrisi yang
digunakan secara efisien, sehingga pada pertumbuhan fisik, perkembangan
otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum dapat meningkat. Nutrisi
juga penting untuk kesehatan gigi dan mulut (Alhamda Syukra, 2012). Nutrisi
merupakan faktor penting untuk pertumbuhan dan perkembangan gigi
(Sediaoetama, 2006). Tahap awal proses pertumbuhan gigi dipengaruhi oleh
sejumlah faktor dan beberapa mineral seperti Ca, P, Fe dan vitamin yang
terdapat dalam makanan. Gizi pada anak dibutuhkan terutama untuk
pertumbuhan (Asmawati, 2007).
Makanan yang baik adalah makanan yang mengandung semua elemen
zat gizi untuk pertumbuhan gigi, yang terdiri karbohidrat, protein, lemak,
vitamin danmineral dalam jumlah yang cukup (Alhamda Syukra, 2012).
Makanan yang baik sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al –
Muminun ayat 51 “ Wahai sekalian utusanku, makanlah makanan yang baik
dari yang halal dan beramallah yang shalih. Sesungguhnya Aku sangat
mengetahui apa pun yang kamu kerjakan (amalkan)” (Q.S. Al Mu’minun,
23:51).

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui pandangan islam mengenai gizi masyarakat
2. Untuk mengetahui hubungan islam dngan kesehatan masyarakat
3. Untuk mengetahui pandangan islam mengenai pola makan yang berlebihan
4. Untuk mengetahui pandangan islam mengenai konsumsi makan yang
seimbang dan halal
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pentingnya Gizi bagi Kehidupan

Gizi sangatlah penting bagi kehidupan manusia mulai dari dalam


kandungan hingga lanjut usia. Karena gizi tidak bisa dipisahkan sebagai
elemen pendukung dalam kesehatan manusia. Gizi sangat penting untuk
membantu pertumbuhan. Dengan gizi yang baik akan semakin meningkatkan
kualitas hidup seseorang. Gizi yang baik juga berfungsi sebagai imun atau
penangkal terhadap
munculnya berbagai jenis penyakit. Makanan yang dikonsumsi oleh manusia
harus dipertimbangkan
kadar dan kualitas gizi yang ada di dalamnya sehingga dapat menjadi obat
sekaligus imun bagi tubuh bukan menjadi sumber penyakit bagi tubuh.
Kandungan utama yang terkandung pada makanan adalah air,
karbohidrat, protein, dan
lemak. Makanan juga mengandung unsur penting lainnya seperti vitamin,
mineral, antioksidan dan serat meskipun dalam jumlah yang kecil. Nilai gizi
suatu makanan berkaitan erat dan bergantung pada komponen-komponen
tersebut, dengan begitu akan memudahkan manusia untuk memilih makanan
yang baik (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an dan LIPI, 2013, p.11).
Kandungan gizi dari makanan yang kita konsumsi sehari-hari akan sangat
berpengaruh terhadap daya imunitas tubuh dan gerakan manusia. Selain itu
gizi juga akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Gizi yang baik akan
memperlancar pertumbuhan dan daya kembang seseorang, sedangkan gizi
buruk dapat berakibat berhentinya sebuah pertumbuhan. Contohnya dengan
mengonsumsi buah-buahan, sayuran akan memperlancar pertumbuhan dan
menyehatkan karena dalamnya terkandung banyak vitamin. Jika kita malas
atau kurang dalam mengonsumsi buah-buahan dan sayuran, tentu ada nilai
gizi yang seharusnya terpenuhi dalam tubuh kita tapi tidak kita penuhi.
Dalam mengonsumsi sesuatu sudah selayaknya manusia bersifat lebih
selektif. Jangan yang
penting enak tapi tidak menyehatkan. Kesehatan pada dasarnya kembali pada
diri kita sendiri, kalau kita tidak menyayangi tubuh kita berarti kita sendiri
yang memang sudah merencanakan untuk segera mati.
Oleh sebab itu, kebutuhan asupan gizi yang cukup dan baik akan sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan manusia dan juga kesehatan. Dengan
demikian, persoalan gizi tidak dapat disepelekan dan dianggap sebagai
sesuatu yang remeh, justru perlu diperhatikan dengan baik sehingga tubuh
mendapatkan haknya yaitu mendapatkan asupan gizi yang baik dan
cukup.Faktor Munculnya Gizi BurukKaitannya dengan pembahasan gizi,
sebagaimana dijelaskan pada bab pendahuluan bahwa masih banyak
masyarakat Indonesia yang mengalami kekurangan gizi. Hal tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor termasuk salah satu di antaranya adalah
faktor makanan yang dikonsumsi. Permasalahan gizi memang sangat
kompleks karena asupan gizi yang seharusnya masuk ke dalam tubuh
manusia ada yang kurang dari standar, sehingga menyebabkan kekurangan
gizi ada juga yang justru kelebihan. Karena bagaimana pun semuanya harus
sesuai dengan standar yang ada. Jika berlebihan tentu ada implikasi yang
ditimbulkan.
Menurut (Handayani, 2013, p.60) dilihat dari bahan-bahan
pembentukannya, zat gizi dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu
bahan organik (terdiri dari karbohidrat, lemak, protein dan vitamin), dan zat
gizi yang bukan bahan organik (mineral dan air). Dari itu semua, ada tiga zat
gizi yang dapat diubah menjadi energi yaitu karbohidrat, protein dan lemak,
sedangkan vitamin mineral dan air diperlukan untuk membantu mengubah
zat gizi tersebut menjadi energi. Pada umumnya bahan pangan, baik hewani
maupun nabati mengandung zat gizi secara sempurna yaitu karbohidrat,
protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Proporsi zat gizi yang terkandung
pada masing-masing jenis makanan tersebut, berbeda satu sama lain pada
masing-masing jenis makanan. Sedangkan faktor yang dapat menyebabkan
seorang anak kekurangan gizi antara lain; pertama, penyebab langsung yaitu
makanan yang dikonsumsi anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita
anak. Kedua, penyebab tidak langsung yaitu kondisi ketahanan pangan di
keluarga, pola pengasuhan anak, kesehatan lingkungan dan pelayanan
kesehatan. Maka (Wirakusuma, 2010, p.231) menjelaskan bahwa tingkat
kesehatan gizi bergantung pada tingkatan konsumsi yang akan berbuah
kesehatan. Tingkat kesehatan gizi yang terbaik disebut kesehatan gizi
optimal. Pada taraf ini, tubuh terbebas dari penyakit, memiliki daya tahan
yang tinggi, dan memiliki daya kerja yang efesien. Konsumsi yang tidak
seimbang (baik kurang ataupun lebih) akan menyebabkan gizi salah.
Kekurangan gizi akan menyebabkan masalah yang disebut dengan gizi
kurang. Gizi buruk disebabkan oleh kurangnya asupan nutrisi dan gizi yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh manusia, sehingga menyebabkan
tubuh manusia terhambat dalam proses pertumbuhan dan menimbulkan
beberapa penyakit. Gizi buruk juga dikenal dengan sebutan malnutrisi.
Menurut (Jenggis, 2012, p.149) malnutrisi didefinisikan sebagai suatu
kondisi seseorang yang menerima asupan gizi yang buruk. Karena itu,
malnutrisi sering juga disebut juga sebagai gizi buruk. Malnutrisi disebabkan
oleh kurangnya asupan makanan serta pemilihan jenis makanan yang tidak
tepat ataupun karena sebab lainnya sehingga menyebabkan kurangnya asupan
nutrisi dari makanan yang dikonsumsi.
Pola makan yang tidak teratur dan tidak sehat juga menjadi sumber
malapetaka dari lahirnya gizi buruk. Tidak selektif dalam memilih makanan
yang dikonsumsi sehari-hari, kurangnya pengetahuan terhadap nilai gizi dari
suatu makanan akan berdampak kepada pola konsumsi yang tidak
mempertimbangkan kepada kesehatan tubuh. Gizi buruk juga disebabkan
oleh pola asupan gizi masyarakat dalam mengonsumsi makanan tanpa
memiliki pengetahuan mengenai AKG (Angka Kecukupan Gizi) sehingga
sembarangan dalam mengonsumsi suatu makanan.
Menurut (Handayani, 2013, pp.59-60) dalam menetapkan status gizi
seseorang diperlukan
pengukuran yang jelas untuk menilai apakah suatu masyarakat mengalami
kekurangan gizi atau tidak. Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan
adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi
yang dikonsumsi setiap harinya oleh seseorang disesuaikan dengan golongan,
umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitasnya. Dalam menghitung
kecukupan gizi yang dianjurkan, biasanya sudah diperhitungkan faktor
keberagaman terhadap kebutuhan masing-masing individu tersebut, sehingga,
AKG merupakan nilai rata-rata yang dicapai masyarakat dengan indikator
yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Makanan yang bergizi membuat tubuh manusia menjadi kebal terhadap
penyakit (Muslimin, 2011, p.245). Tapi, terdapat masyarakat yang salah
dalam mempersepsikan dan memahami makanan yang disebut bergizi.
Mereka berpikir bahwa makanan yang mahal adalah sumber gizi, padahal
jika kita memahami teori ilmu gizi, makanan yang sederhana dan alami tanpa
menggunakan bahan pengawet merupakan makanan yang mengandung
banyak gizi. Selain itu penghasilan yang rendah dan himpitan ekonomi juga
dapat menjadi penyebab dari gizi buruk. Sebab himpitan ekonomi, kurangnya
lapangan pekerjaan, mahalnya harga pangan membuat masyarakat tidak
mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan memberikan
makanan yang bergizi tinggi kepada anggota keluarganya. Gizi buruk
merupakan akibat daripenghasilan yang rendah dan kurangnya pendidikan
(President and Fellow of Harvad College, 2010, p.87).
Gizi buruk perlu diwaspadai bagi para ibu hamil. Memperhatikan asupan
makanan yang bergizi selama kehamilan perlu untuk menghindari anak dari
kekurangan gizi sejak di dalam kandungan. Nafkah lahiriah berupa pangan
perlu diperhatikan dan dipenuhi dengan baik oleh seorang suami maupun
seorang ibu. Sebab kurangnya asupan makanan bergizi saat di dalam
kandungan juga dapat menjadi penyebab munculnya gizi buruk pada anak.
Menurut (Hanafi et al, 2008, p.121) jaminan perlindungan dalam bentuk
nafkah sudah sesuai dengan ilmu kedokteran modern, gizi buruk bagi ibu
hamil akan berdampak pada perkembangan janin khususnya pada trimeter
pertama. Gizi buruk atau kekurangan gizi akan membuat kurang dan
buruknya asupan makanan untuk janin. Kekurangan vitamin B kompleks
misalnya, akan membuat janin memiliki beberapa masalah seperti kurang
darah, kurus, serta lemah fisik dan mental.Pembahasan Islam tentang
Makanan dan KesehatanIslam sangat menekankan pentingnya manusia untuk
memperhatikan kesehatan dan makanan yang dikonsumsi. Dalam beberapa
literatur klasik Islam, akan dijumpai uraian-uraian yang menjelaskan
pengobatan dan riwayat-riwayat mengenai kehidupan Nabi yang berkaitan
dengan pengobatan dan makanan. Bahkan dalam sejarah peradaban Islam
telah melahirkan para tokoh Tabib yang terkenal dengan maha karya mereka
yang mengupas habis berbagai aspek kesehatan manusia. Oleh sebab itu,
perhatian Islam terhadap kesehatan dan makanan yang dikonsumsi manusia
menjadi pembahasan penting karena berhubungan erat dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan pendukung dalamberibadah.
Menurut Said Aqil Siroj perhatian Islam terhadap kesehatan masyarakat
(public health)
tampak pada ajaran-ajaran syariat Islam yang mengatur relasi sesama
manusia. Dengan kata lain,
pandangan Islam tentang kesehatan masyarakat berkaitan erat dengan
konsepsi Islam tentang
manusia sebagai makhluk sosial, yaitu manusia yang hidup dalam suatu
komunitas atau masyarakat (Siroj, 2012, p.384).
Dalam kaitannya dengan kesehatan masyarakat dan kesejahteraan negara,
gizi merupakan syarat untuk mencapai itu semua (Shihab, 2004, p.290).
Sebab, tanpa kesehatan, manusia tidak dapat melakukan aktivitas. Sementara
kesehatan dapat diperoleh melalui makanan yang bergizi.

Menurut Shihab, hal itu menjadi jawaban mengapa Alquran, dalam


banyak ayat yang mengaitkan aktivitas di bumi dengan makanan yang bergizi
(misalnya QS 25: 20; 23: 5; 67: 15; 1: 60; 6: 142). Menurut (Al-Farmawi,
2002, pp.160-167) terdapat 27 ayat yang berisikan perintah makan dan
minum dalam berbagai konteks dan makna yaitu: QS. Al-Baqarah [2]: 57,58,
60, 168, 172, 187; QS. Al-Ma@idah [5]: 4, 88; QS. Al-An’a@m [6]: 118,
141, 142; QS. Al-A’ra@f [7]: 31, 160-161; QS. Al-Anfa@l [8]: 69; QS. An-
Nah{l [16]: 114; QS. T{a>h{a> [20]: 54, 81; QS. Al-H{aj [22]: 28, 36; QS.
Al-Mu’minu>n [23]: 51; QS. Saba [24]: 15; QS. Al-H{a>qqah [69]: 24; QS.
T{u@r [52]: 19; QS. Al-Mulk [67]: 15; dan QS. Al-Mursala>t [77]: 43, 46.
Sedangkan yang relevan dengan pembahasan gizi adalah QS. Al-Baqarah [2]:
57, 168, 172, 267; QS. Al-Ma@idah [5]: 88, 96; QS. Al-An’a@m [6]: 141,
142; QS. Al-A’ra@f [7]: 31, 157, 170. QS. Al-Anfa@l [8]: 69; QS. An-
Nah{l [16]: 5, 14, 66-67, 69, 114; QS. T{a>h{a> [20]: 81; QS. Al-
Mu’minu>n [23]: 51; QS. ‘Abasa []: 24-32.

Gizi mempunyai peran yang sangat besar dalam membina dan


mempertahankan kesehatan seseorang (Shihab, 2004, p.286). Sudah menjadi
sebuah kewajiban bagi setiap orang untuk memelihara kesehatannya,
sebagaimana perintah yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw.:
“Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu.” Oleh sebab itu,
sudah menjadi kewajiban bagi seseorang untuk memelihara jasmaninya,
sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Menurut (Kurtubi, 2013, pp.60-61) pada dasarnya segala sesuatu yang ada
di permukaan dan perut bumi, seluruhnya diperuntukkan untuk umat
manusia, termasuk pada aspek makanan segalanya diperbolehkan untuk
dikonsumsi, kecuali jika ada nash Alquran maupun hadis yang melarangnya.
Pelarangan tersebut karena makanan tersebut bisa berakibat buruk atau tidak
baik bagi diri manusia. Dalam ajaran Islam keterkaitannya dengan konteks
mencari, memperoleh dan mengonsumsi makanan, manusia tidak bisa
sembarangan dalam mengonsumsi makanan sesuai seleranya tanpa
memperhatikan aturan-aturan dalam mencari, memperoleh dan mengonsumsi
makanan. Makanan yang dibolehkan dalam Islam adalah makanan yang
h{ala>l dan baik (h{ala@lan t{ayyiba). Dalam konteks keh{ala>lan makanan
sangat erat kaitannya dengan masalah hukum boleh tidaknya makanan itu
dikonsumsi. Keh{ala>lan makanan itu setidaknya dapat ditinjau dari dua
segi, yaitu kandungan zatnya, dan cara memperolehnya. Kata h{ala>l dalam
Alquran terdapat pada QS. Al-Baqarah (27): 168, QS. Al-Ma>idah (5): 80,
QS. Yu>nus (10): 59, dan QS. An-N{ahl (16): 114 dan 116. H{ala>l
didefinisikan sebagai sesuatu yang boleh dilakukan, atau boleh dimakan,
dengan pengertian bahwa orang yang melakukan perbuatan tersebut tidak
mendapat sanksi dari Allah. Biasanya istilah h{ala>l berhubungan erat
dengan makanan dan minuman (Al-Hafidz, 2006, p.93). Alquran juga
memberikan bimbingan dan petunjuk tentang pemenuhan kebutuhan manusia
baik itu fisik maupun non-fisik (Muthi’ah, 2010, p.84). Para ulama
bersepakat bahwa ajaran Islam sangat memperhatikan, bahkan bertujuan
untuk memelihara segala aspek kebutuhan yang paling pokok bagi manusia,
yaitu agama, jiwa raga, akal, kehormatan (keturunan), dan harta benda.
Sebab upaya meningkatkan kualitas fisik manusia muslim melalui perbaikan
gizi makanan, olahraga, dan pola hidup sehat atau cara lainnya, merupakan
bagian dari upaya merealisasikan tujuan pokok syariat. Dalam Alquran
banyak disinggung persoalan makanan baik itu makanan yang dikonsumsi
oleh kaum tertentu saja, makanan yang dikonsumsi kaum lainnya, makanan
yang dilarang untuk suatu kaum, bahkan Alquran menghadirkan gambaran
makanan yang kelak akan dikonsumsi oleh penduduk surga dan neraka.
Alquran juga menitik beratkan persoalan kualitas makanan, sehingga sebuah
makanan haruslah memenuuhi dua kriteria utama yaitu h{ala>l dan baik
(sehat dan layak konsumsi) Qs. al-N{ahl: 114, Qs. al-Anfa>l: 69, Qs. al-
Baqarah: 168 dan Qs. al-Ma>idah: 88.
Dalam beberapa ayat lain term h{ala>l dan t{ayyib disatukan, dengan
begitu penekanan kedua kriteria tersebut sangatlah penting untuk
diperhatikan oleh manusia.Menurut (Muthi’ah, 2010, pp.99-100) kualitas
makanan dan minuman yang ditetapkan Alquran adalah h{ala>l dan t{ayyib.
Dengan kuantitas yang proporsional, tidak berlebihan dan tidak kekurangan,
serta memiliki pengaruh yang baik dan aman. Sedangkan jenis-jenis makanan
yang dianjurkan adalah pangan nabati (seperti kurma, padi-padian, sayur-
mayur, buah-buahan) dan pangan hewani (seperti daging hewan darat, ikan
laut, susu, madu). Dengan petunjuk dan penjelasan Alquran, prinsip makanan
bergizi “empat sehat lima sempurna” yang selama ini dikenal masyarakat
dapat disempurnakan menjadi “lima sehat enam sempurna” yang
mengakumulasi beberapa unsur seperti makanan pokok, sayur-mayur, lauk-
pauk, buah-buahan, susu, madu, yang h{ala>l dan t{ayyib. H{ala>l adalah
kualitas yang ditetapkan oleh syariat, sedangkan t{ayyib di samping bersifat
syariat juga secara ilmu gizi bersifat empirisional.Terpenuhinya dua kriteria
tersebut akan memberikan dampak positif tersendiri bagi kesehatan manusia.
Dengan begitu manusia tidak akan sembarangan dalam mengonsumsi
makanan atau minuman yang pada akhirnya dapat merusak kesehatan
manusia sendiri. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan manusia dalam Qs.
Abasa: 24 untuk memperhatikan makanan yang dikonsumsi oleh manusia.
Bukan hanya manusia biasa yang diharuskan untuk mengonsumsi makanan
yang baik, para Rasul juga diperintahkan untuk memakan makanan yang baik
(Qs. al-Mu’minu>n: 51).
Menurut (Tsabit, 2013, p.173) makanan yang sehat yang dianjurkan oleh
Islam, tidak hanya terbatas pada persoalan h{ala>l dan h{aram suatu
makanan, tetapi juga menyangkut kualitas maupun kuantitas gizi dan porsi
dari makanan tersebut. Dua hal itu sangat penting dalam kaitannya dengan
kesehatan. Sebab kekurangan atau kelebihan zat gizi akan menyebabkan
berbagai penyakit, dan berpengaruh terhadap kondisi ibadah
seseorang.Dalam kaitannya dengan makan dan minum, Alquran memberikan
batasan-batasan seperti adanya klasifikasi h{ala>l dan h{aram, sifatnya yang
harus baik, hingga tidak boleh berlebihan dalam mengonsumsi makanan dan
minuman (Qs. T{>a>h{a>: 81 dan Qs. al-A’ra>f: 31). Menurut (Shihab,
2004, p.287) petunjuk lain yang ditemukan di dalam Alquran berkaitan
dengan perintah makan adalah; Maka makanlah ia sebagai makanan yang
sedap lagi baik akibatnya(QS 4:4). Ayat tersebut menunjukkan bahwa
makanan yang dianjurkan adalah makanan yang sedap dan juga harus
mempunyai akibat yang baik terhadap yang memakannya.Memang makanan
yang diciptakan oleh Allah SWT di bumi sangat bervariasi bentuknya, begitu
juga dengan kadar gizi yang dikandungnya (Kurtubi, 2013 p.59). Banyak
makanan yang sederhana bentuknya, tapi memiliki mutu dan gizi yang tinggi.
Saat akan memilih makanan yang sehat dan bergizi tinggi jangan mudah
terkecoh dengan bentuk atau kemasan yang bagus ternyata tidak memiliki
kandungan gizi, apalagi sampai tidak memenuhi kriteria makanan yang
h{ala>l dan baik.
Menurut (Shihab, 2004, p.289) menarik pula untuk diperhatikan bahwa
ketika Alquran berbicara tentang beberapa jenis makanan yang diharamkan,
alasan pelarangannya karena ia adalah fisq (QS 5: 3; 6: 121; 6: 145)
tersebut walaupun pemakaiannya secara etimologis berarti
“keluar” atau “melampaui batas”, juga mengandung arti buah-buahan yang
telah melewati batas kematangannya dan terkelupas kulitnya. Agaknya di sini
pun dapat ditemukan isyarat atau kesan
berkaitan dengan makanan yang teralu masak (matang) baik itu berupa buah-
buahan maupun daging yang dalam kaitannya dengan ayat tersebut tidak
dianjurkan untuk dikonsumsi.
Selain persoalan makanan yang di bahas di dalam Alquran, pembahasan
mengenai air susu ibu (ASI) juga menjadi pembahasan penting karena asupan
gizi bagi bayi pertama kali di dapatkan melalui air susu ibu (ASI). Bagi ibu
hamil tanggung jawab terhadap anak bukan hanya menjaga kondisi tubuh
agar tetap prima, tapi juga menjaga asupan yang dikonsumsi sehari-hari.
Sebab hal itu akan berpengaruh terhadap kondisi bayi saat di dalam
kandungan. Tanggung jawab seorang ibu juga berlanjut saat buah hati lahir,
sebab seorang ibu harus menyusui anaknya. Air susu inilah yang pertama kali
menjadi makanan bagi anak, sehingga untuk menghasilkan air susu yang baik
seorang ibu juga perlu mengonsumsi makanan yang baik pula. Sebab gizi
buruk juga disebabkan dari air susu ibu yang tidak memiliki nilai gizi yang
baik.
Menurut (Shihab, 2004, p.287) secara khusus Alquran juga membahas
makanan bagi bayi dan menjelaskan bahwa air susu ibu (ASI) merupakan
makanan utama bayi. Oleh sebab itu, seorang ayah diperintahkan untuk
memberikan imbalan kepada ibu yang menyusukan anaknya (QS 65: 6).
Imbalan tersebut digunakan untuk menjaga kondisi kesehatan sang ibu dan
kesempurnaan ASI yang dihasilkannya. Di lain sisi, Alquran mencela ibu
yang tidak mau menyusui anaknya (QS 65: 6). Alquran menjelaskan bahwa
masa penyusuan yang sempruna adalah selama dua tahun penuh (24 bulan)
(QS 2: 233), atau 30 bulan dikurangi masa kehamilan (QS 46: 15). Islam
memercayai jenis susu sangat berdampak terhadap perkembangan anak
(Amini, 2011, p.187). Oleh karena itu, Islam merekomendasikan umatnya
untuk lebih cermat dalam memilih seorang istri. Pilihlah seorang wanita yang
berakal, cantik, berakhlak baik, sehat dan kuat, supaya kelak melahirkan anak
yang parasnya cantik, kuat, sehat, cerdas dan berakhlak baik. Islam juga
menegaskan agar sebisa mungkin anak diberi air susu ibu. Jika terpaksa
mengambil pengasuh atau ibu susuan untuk anak, pilihlah pengasuh yang
berakal, cantik, berakhlak baik dan sehat, karena betapa pun juga air susu
sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak.
Menurut (Y. Hanafi, 2012, p.28) ASI memiliki banyak kandungan yang tidak
didapatkan pada
susu formula atau kemasan contohnya seperti zat immunologik. Pada ASI
terdapat zat anti infeksi yang bersih dan bebas kontaminasi. Zat imun
terdapat pada immunoglobin, sekretori, dan laktoferin. Belum lagi adanya
faktor bifidus yang dapat merangsang lactobacillus bifidus untuk melindungi
saluran pencernaan bayi. Sebaliknya, selain tidak ditemukan kandungan zat
immunologik pada susu formula atau kemasan, justru pada susu formula atau
kemasan terdapat kandungan bakteri yang dihasilkan akibat dari proses
pengolahan dan pengemasan dan itu berbahaya bagi kesehatan bayi.
Makanan yang dikonsumsi seorang ibu langsung diserap oleh janin yang
dikandungnya
melalui tali pusar (Maftuhah, 2014, p.393). Proses itu diperlukan dalam
pembentukan organ-organ embrio. Karena itulah, fase awal kehamilan sangat
penting bagi perkembangan bayi yang akan lahir.
Dalam kandungan semua proses pembentukan dimulai dari pembentukan
otak, sumsum tulang
belakang, sistem pencernaan, sistem kadiovaskular dan sistem yang ada
dalam tubuh manusia. Oleh sebab itu, perhatian dan pilihan ibu dalam
memilih makanan yang sehat, h{ala>l, baik, beragam dan bergizi sangat
penting bagi terciptanya anak yang sehat jasmani, rohani, cerdas intelektual,
pintar secara emosional dan beriman kepada Allah SWT.Karena itulah, sudah
menjadi tanggung jawab orang tua untuk memberikan asupan yang baik dan
bergizi kepada anak-anak mulai sejak dalam kandungan hingga tumbuh
dewasa. Anak adalah amanah yang perlu dijaga dengan baik dan akan
dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Hal yang perlu diperhatikan bukan
hanya akhlak, dan ibadah anak saja akan tetapi apa saja yang dikonsumsi
oleh anak kita perlu diperhatikan nilai nutrisi dan gizinya sehingga anak kita
akan terhindar dari penyakit. Beberapa hak anak atas orang tuanya menurut
(Zaki, 2014, pp.7-8) antara lain, hak memperoleh ASI, dan hak anak dalam
mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaan. Menurut (Amini, 2011,
pp.219-228) orang tua harus memperhatikan beberapa hal terkait dengan
makanan dan kesehatan anak yaitu memperhatikan jenis makanan yang
diberikan, jumlah makanan, makan secara teratur, tidak memaksakan anak
makan, memelihara kesehatan dan mengobati anak (meliputi kebersihan,
mencegah peyakit, dan mengobati anak). Solusi Terhadap Persoalan Gizi
BurukDalam menghadapi persoalan gizi buruk yang setiap tahun selalu
terjadi ada dua aspek yang dapat menjadi solusi terhadap permasalahan
tersebut. Kedua aspek itu pun harus betul-betul diperhatikan bukan hanya
oleh pemegang kebijakan dalam hal ini pemerintah pusat tapi juga
pemerintah daerah, institusi kesehatan dan masyarakat Indonesia.
Menurut (Hernawati, 2017, pp.28-29) persoalan gizi buruk merupakan
masalah kompleks, karena penyebabnya yang multi faktor dan multi dimensi.
Penanganannya memerlukan pendekatan menyeluruh, meliputi penyembuhan
dan pemulihan anak-anak yang sudah mengalami gizi buruk, serta
pencegahan dan peningkatan dalam melindungi dan mempertahankan anak
yang sehat agar tetap sehat. Kasus gizi buruk yang terjadi pada balita,
merupakan fenomena gunung es yang menggambarkan keadaan gizi
masyarakat seperti persoalan kesejahteraan masyarakat, yang meliputi daya
beli, pendidikan dan perilaku kesehatan masyarakat meliputi lingkungan dan
pemeliharaan kesehatan. Pencegahan dan penanggulangan gizi buruk tidak
mungkin ditangani oleh salah satu sektor saja, dan tidak dapat dipecahkan
melalui pendekatan kesehatan seperti penyembuhan dan pemulihan yang
banyak dipersepsikan orang. Anak yang sudah pulih harus didukung secara
terpadu dan dijaga agar tidak kembali mengalami gizi buruk. Karena itu,
pencegahan dan penanggulangan gizi buruk memerlukan keterlibatan
berbagai sektor yaitu dengan melakukan koordinasi antar sektor termasuk
dengan masyarakat dan dunia usaha di setiap tingkat administratif dengan
prinsip kemitraan.

Pertama, Ketersedian Pangan Berkualitas


Menurut (Rohaedi, Julia, & Gunawan, 2014, p.86) gizi merupakan fondasi
penting bagi kesehatan dan kesejahteraan sepanjang roda kehidupan.
Berbagai faktor ikut memengaruhi dalam terciptanya sumber daya manusia
yang bermutu, sehat, cerdas, dan produktif. Salah satu faktor yang sangat
vital dalam mempengaruhi kondisi tersebut adalah tercukupinya kebutuhan
pangan yang bergizi. Sebab ketahanan pangan merupakan salah satu
permasalahan yang menjadi agenda pembahasan karena erat kaitannya
dengan hak azasi manusia dan usaha pembangunan sumber daya
manusia.Karena itulah sebagai Negara yang dikenal sebagai lumbung padi,
ketersediaan beras yang berkualitas sudah seharusnya dapat dinikmati
seluruh elemen masyarakat.Jangan sampai masyarakat di pelosok kampung
dan daerah kepulauan menikmati beras yang jauh dari standar yang ada.
Ketersediaan bahan pangan dan kebutuhan pokok lainnya haruslah merata
sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat menikmatinya. Ketersediaan
pasokan pangan dalam negeri harus selalu ditingkatkan kualitasnya, sehingga
asupan gizi yang baik akan berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat.
Ketahanan pangan adalah garda depan bagi kehidupan masyarakat oleh sebab
itu menjaga ketersediaan yang mencukupi dan akses memperoleh yang
mudah sangatlah penting. Karena pangan adalah kebutuhan penting bagi
masyarakat dalam menunjang kehidupan, bahkan aspek kesehatan pun
bergantung pada persoalan pangan.
Menurut (Bank, 2008, p.135) di masa depan, pertanian akan terus
memainkan peran sentralnya dalam mengatasi masalah ketahanan pangan.
Pertanian dapat mempertahankan dan meningkatkan produksi pangan, serta
memastikan ketersediaan pangan global. Pertanian juga bisa menjadi sarana
utama untuk memberikan pendapatan bagi kaum miskin, dan mengamankan
akses kaum miskin ke pangan. Melalui jenis tanaman pangan terbarukan
yang unggul, pertanian dapat memperbaiki kualitasnya serta terjadinya
keragaman pangan dengan begitu akan memperkuat hubungan antar
ketahanan pangan dan ketahanan gizi.
Kondisi itu dapat terwujud jika didukung dengan kualitas distribusi yang
mudah dan cepat. Distribusi yang baik dan lancar akan membuat harga
pangan tetap stabil dan tidak melonjak sebagaimana harga yang mahal
dirasakan di berbagai daerah kepulauan karena terlalu panjangnya alur
distribusi, padahal dapat dipangkas. Dengan memangkas atau
meminimalisasi jalur distribusi akan membuat permainan para tengkulak
dapat dikurangi. Distribusi juga akan lancar jika insfratruktur atau jalur
distribusi juga lancar. Pembangunan jalan-jalan khususnya di daerah
pedalaman akan memudahkan akses masuknya kebutuhan masyarakat
sehingga lebih mudah didapatkan. Kedua hal di atas saling berkaitan erat satu
sama lain.Dengan pemerataan distribusi ini akan membuat ketersediaan
pangan di seluruh wilayah di Indonesia terpenuhi. Jangan sampai pasokan
bahan pangan hanya berada di kota-kota besar, sehingga membuat daerah
kepulauan atau perbatasan kesulitan mendapatkan bahan pangan termasuk
dalam persoalan berbelanja. Prinsip “belum makan, jika belum makan nasi”
sepertinya memang betul adanya bagi masyarakat Indonesia. Akan tetapi,
budaya tersebut sebetulnya di beberapa daerah telah berubah seiring dengan
adanya masyarakat yang memanfaatkan bahan pangan lokal sebagai penggati
beras seperti singkong, sagu dan jagung yang juga merupakan bagian dari
bahan pangan berkarbohidrat layaknya beras. Perubahan budaya pangan
masyarakat ini memang penting sehingga masyarakat memiliki alternatif lain
sebagai makanan pokok dan tidak hanya mengandalkan persediaan dan
pasokan beras. Di masa-masa sulit seperti banjir, paceklik, dan kekeringan,
keberadaan makanan alternatif tersebut dapat menjadi solusi atas minimnya
ketersediaan beras dalam Negeri.Itulah mengapa menurut (Hanafie, 2010,
p.1) budaya konsumsi pangan masyarakat salama ini terpaku pada aspek
pemenuhan energi untuk melalukan aktivitas fisik. Adanya anggapan yang
menganggap bahwa sumber pangan pokok yang mengandung karbohidrat
hanya beras sangatlah keliru dan perlu diluruskan. Padahal masih banyak
sumber karbohidrat selain beras dan dapat menggantikan posisi beras sebagai
sumber energi pokok. Dengan demikian, saat negara tidak dapat
menyediakan pasokan beras bagi masyarakat tidak dapat dianggap serta
merta bahwa masyrakat kekuarangan pangan. Erat kaitannya dengan upaya
untuk memenuhi ketersedian pangan yang berkualitas dan mudah didapat
oleh masyarakat dengan harga jual yang lebih terjangkau. Pemerintah harus
selalu mengevaluasi ketersedian bahan pangan dan pendistribusiannya, dan
mengawasi distribusi pangan hingga mencukupi kebutuhan pangan
warganya. Pengawasan tersebut agar tidak terjadi penimbunan yang dapat
berakibat kepada kelangkaan barang di pasaran dan melonjaknya harga.
Dalam menginjak hari-hari besar keagamaan seperti Ramadan dan lebaran,
sering kali terjadi kelangkaan dan naiknya harga-harga bahan pokok di
pasaran. Pemerintah melalui kementerian dan instansi terkait juga perlu
mengembangkan bahan pangan pengganti atau cadangan dengan bibit
berkualitas. Kesejahteraan para petani juga perlu diperhatikan, mulai dari
ketersediaan lahan, mudah memperoleh pupuk,
bantuan alat pertanian, dan harga jual hasil pertanian. Jangan sampai harga
beli dari petani lebih murah dan membuat petani merugi. Petani juga
diharapkan mulai menanam pangan organik, serta pada proses tanam
menggunakan pupuk organik dan mengurangi pemakaian bahan kimia.
Produksi yang berkualitas, bermutu tinggi, dan ketersediaan yang mencukupi
akan berdampak pada stabilitas harga bahan pangan dan menguntungkan
para petani dan masyarakat.

Kedua, Pemerataan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat


Aspek kedua yang perlu disentuh dalam menghadapi persoalan gizi buruk
adalah dengan memberdayakan masyarakat dan melakukan pemerataan
sosial. Kedua hal tersebut adalah batu loncatan untuk mengikis kemiskinan
yang dapat menyebabkan masyarakat tidak mampu untuk membeli dan
mengonsumsi makanan yang bergizi.
Melalui makanan Allah memerintahkan kepada manusia agar manusia
memiliki rasakepekaan sosial terhadap masyarakat maupun lingkungan
sekitar (Prasetiyo, 2016, p.129). Allah juga memerintahkan manusia untuk
berbuat baik dengan memberikan sebagian makanannya kepada orang yang
membutuhkan termasuk kerabat, tetangga, dan teman. Dalam hal ini Alquran
memberikan penekanan berlebih kepada orang miskin dan anak yatim,
karena dalam sebagian harta yang dimiliki seseorang di dalamnya terkandung
hak orang miskin dan anak yatim.Proses untuk meningkatkan kesehatan
masyarakat salah satunya dapat dilakukan dengan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan memberdayakan mereka dari segi ekonomi
baik itu persoalan lapangan pekerjaan maupun pangan. Dengan ketersediaan
lapangan pekerjaan yang banyak akan memudahkan masyarakat untuk
bekerja dan dari gaji yang cukuplah mereka dapat memenuhi kebutuhan
mereka. Kesenjangan sosial dan ketimpangan yang terjadi di masyarakat
perlu diperhatikan dan diatasi secara serius.
Menurut (Saputra & Nurrizka, 2012, p.100) perlu strategi khusus
dalam menangani persoalan gizi ini. Pertama, pendekatan kesejahteraan
rumah tangga menjadi poin penting untuk mengatasi gizi kurang pada balita.
Di mana risiko kemiskinan terhadap gizi kurang pada balita cukup besar.
Perlu sentuhan terhadap program kemiskinan yang berkaitan langsung
dengan peningkatan gizi balita terutama di kantong-kantong kemiskinan
seperti nelayan, pertanian dan perkotaan. Program ini dapat melalui
peningkatan pendapatan rumah tangga yang akhirnya berujung kepada
perbaikan asupan gizi balita. Kedua, pelayanan kesehatan pada level
posyandu perlu intensif dilakukan terutama pelayanan terhadap perbaikan
gizi balita. Pemberian makanan tambahan pada balita merupakan hal terbaik
untuk meningkatkan gizi balita. Ketiga, ditemukan lemahnya pengetahuan
orang tua terhadap persoalan gizi ditemukan dalam studi ini. Untuk itu
sosialisasi gizi perlu diintensifkan agar setiap keluarga dapat paham
mengenai gizi tersebut. Keempat, program-program bantuan untuk
masyarakat miskin perlu diintensifkan terutama melakukan versifikasi
bantuan bukan saja terhadap karbohidrat tapi juga mencakup protein dan
vitamin. Strategi ini akan efektif bila secara makro, perekonomian nasional
dapat ditingkatkan dan kesejahteraan serta pendidikan masyarakat jugalebih
dikembangkan sehingga angka balita gizi kurang di Indonesia menjadi lebih
kecil. Sedangkan menurut (Handayani, 2013, p.60) kita juga perlu
memperhatikan beberapa hal yang akan berdampak kepada status gizi anak
seperti pola pengasuhan anak baik dalam memberikan makanan, merawat,
kebersihan dan kasih sayang yang diberikan kepada anak. Pelayanan dan
akses kesehatan serta sarana pendukung kesehatan. Tidak terjangkaunya
pelayanan kesehatan baik itu karena akses yang jauh ataupun karena
kekurangan finansial, kurangnya pengetahuan menjadi kendala masyarakat
dalam memanfaatkan pelayananan kesehatan yang tersedia.
Ketidakterjangkauan pelayanan kesehatan (karena jauh dan tidak mampu
membayar), kurangnya pendidikan dan pengetahuan merupakan kendala
masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara baik pelayanan kesehatan
yang tersedia.Pada dasarnya permasalahan gizi buruk adalah masalah yang
menjadi tanggung jawab semua pihak. Pemerintah harus mampu menjamin
kehidupan yang layak dan sejahtera untuk warganya sehingga distribusi
pangan dan ekonomi masyarakat dapat tumbuh dengan baik dan akan
berdampak pada kesejahteraan masyarakat sehingga mampu mencukupi
kebutuhan sehari-hari secara layak.
Pengentasan kemiskinan merupakan salah satu solusi dari terjadinya kondisi
rawan pangan, mengingat kemiskinan merupakan penyebab utama dari
terjadinya rawan pangan. Kerawanan

pangan dan gizi sangat memiliki hubungan yang erat dengan kualitas SDM
(Purwantini, 2014,

p.15). Dengan demikian, menurut (Aritonang & Priharsiwi, 2006, p.21) upaya
mengatasi gizi buruk

sebaiknya bersifat ‘memberi kail bukan ikan’ yaitu dengan cara memberdayakan
setiap keluarga

dengan menyediakan lapangan kerja yang akan berimbas pada peningkatan daya beli.

Menurut (Siroj, 2012, pp.366-369) prinsip-prinsip yang harus diterapkan dalam


lingkup
hubungan sosial masyarakat khususnnya dalam kaitaannya dengan perekonomian
adalah 1).Keadilan

dalam distribusi kekayaan (al-‘Adalah al-Itima’iyah) 2) Jaminan atas hak-hak dasar


kemanusiaan

(al-Kulliyah al-Khams) 3). Kesejahteraan Individu dan masyarakat (ar-rafahiyah al-


fardiyah wa

al-ijtima’iyah) 4) Persamaan derajat (al-Musawah) 5) Kebebasan (al-Huriyyah) 6)


Moderasi (al-

Tawassuth).

Berdasarkan kepada prinsip-prinsip tersebut, pemberdayaan masyarakat pada


akhirnya

adalah upaya berkelanjutan yang dapat mengikis persoalan gizi buruk dari dasar.
Menyejahterakan

kehidupan masyarakat Indonesia adalah bagian dari amanat yang dipegang oleh
semua pihak.

Menurut (Departemen Agama RI, 1983, p.21) pada dasarnya usaha perbaikan gizi
memiliki
hubungan dengan rumusan tujuan hidup manusia menurut nilai-nilai Islam. Misalnya
ajaran dan

tatacara dalam memelihara kehidupan, memberikan arahan dan kriteria yang


dibutuhkan untuk

usaha perbaikan dan penyempurnaan gizi masyarakat. Karena itu, usaha memperbaiki
kondisi gizi

sebuah keluarga dan lingkungan masyarakat dalam ajaran Islam menjadi bagian yang
tidak dapat

dipisahkan dari amal dan bernilai ibadah juga menjadi bagian dari ibadah.

Banyak term tentang kemiskinan di dalam Alquran menunjukkan bahwa Islam


memiliki

perhatian yang lebih terhadap permasalahan tersebut (Zahro, 2011, pp.396-406).


Islam memberikan

beberapa solusi untuk mengatasi problem kemiskinan yaitu dengan zakat, infak,
sedekah dan wakaf.

Pemberdayaan ekonomi yang menekankan pada sisi kesehatan sebetulnya dapat


dilakukan
dengan mengoptimalkan pengelolaan zakat, shadaqah, infak dan wakaf dengan
membangun rumah

sakit, memberikan bantuan dan fasilitas berobat gratis bagi fakir miskin atau juga
bantuan biaya

operasi bagi orang-orang yang membutuhkan.

Karena itu menurut (Shihab, 2003, pp.452-458) cara mengentasi kemiskinan adalah
dengan

mengoptimalkan beberapa kewajiban, seperti kewajiban setiap individu tercermin dari


kewajiban

bekerja dan berusaha, kewajiban orang lain atau masyarakat tercermin dengan
jaminan satu rumpun

keluarga, jaminan sosial dalam bentuk zakat dan sedekah wajib, dan kewajiban
pemerintah dapat

diwujudkan melalui pajak, baik pajak perorangan, tanah atau perdagangan dan pajak
lainnya yang

telah ditetapkan pemerintah bila sumber-sumber sebelumnya tidak mencukupi.


Jika keempat komponen tersebut dikelola dengan baik dan dapat dimanfaatkan oleh

masyarakat maka secara perlahan problem kemiskinan dapat teratasi dan itu akan
berdampak kepada

peningkatan kualitas hidup masyarakat sehingga pola hidup sehat dan terpenuhinya
gizi yang baik

akan tercapai.

Dana yang terkumpul tersebut bukan hanya dapat digunakan untuk membangun
beberapa

fasilitas umum yang menunjang terhadap aspek pendidikan, sosial, dan agama seperti
jalan, sekolah

dan rumah sakit. Akan tetapi, dana tersebut juga dapat digunakan untuk dipinjamkan
secara bergilir agar masyarakat dapat membuat program ekonomi kreatif sehingga
dari dana tersebut masyarakat

yang ingin membuka usaha dapat terbantu. Lembaga filantropi Islam melalui dana
yang terkumpul

dapat melakukan pelatihan wirausaha yang menyasar pada kaum muda, ibu-ibu muda,
janda
dan jompo serta memberikan fasilitas dan modal usaha sebagai bagian dari upaya
pengentasan

kemiskinan dan mencetak SDM berkualitas.

Pendistribusian dana tersebut jika merata dapat dinikmati oleh seluruh lapisan
masyarakat.

Keempat komponen penting itu memang selayaknya dikelola oleh satu lembaga
sehingga dana yang

terkumpul dapat berjumlah besar dan dibagikan keseluruh lapisan masyarakat yang
membutuhkan.

Program-program pemberdayaan masyarakat yang mampu menyentuh lapisan


terbawah

dapat berdampak positif terhadap grafik penurunan angka gizi buruk di Indonesia.
Jika ekonomi

masyarakat sudah terjamin dan terciptanya kehidupan masyarakat yang sejahtera,


maka asupan

yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah makanan yang baik dan memiliki
nilai gizi yang
tinggi.

Selain itu ketersediaan akses berupa fasilitas pendukung kehidupan khususnya


kesehatan

seperti rumah sakit harus mampu menampung para warga miskin. Fasilitas kesehatan
pada akhirnya

bukan lagi dicap sebagai fasilitas yang hanya dapat dinikmati oleh orang kaya saja,
akan tetapi

dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan posyandu, puskesmas dan


rumah sakit

di daerah perbatan atau kepulauan harus diperbanyak dengan didukung tenaga medis
yang ahli dan

mencukupi jumlahnya, juga dengan sarana kesehatan yang memadai.

PESAN AL-QUR’AN DALAM AYAT-AYAT TENTANG


MAKANAN
A. Makanan Menurut Al-Qur’an
Dalam al-Qur’an term ţa’ām (makanan) dengan berbagai
bentuknya terulang sebanyak 48 kali. Antara lain berbicara
tentang berbagai aspek berkaitan dengan makanan. Selain itu, ada
juga yang digunakan untuk objek yang berkaitan dengan air
minum. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Q.S. al-Baqarah: 249,
dalam ayat ini lafazh ţa’ām diungkapkan secara umum untuk
segala sesuatu yang dapat dimakan dan kadang juga diungkapkan
untuk sesuatu yang dapat diminum. Lafadz ţa’ām juga digunakan
untuk menunjukkan makanan tertentu, yakni tergantung pada
konteks pembicaraan dalam ayat tersebut. Yaitu terdapat dalam
Q.S. al-Ma’idah: 96, yang mempunyai arti ikan dan makluk hidup
lainya yang hidup di air.
Hal tersebut di atas, berkaitan juga dengan makanan Ahli
Kitab dalam surat al-Ma’idah ayat 5 yang secara khusus
mengandung arti binatang sembelihan, semuanya itu merupakan
beberapa makna makanan yang terdapat dalam al-Qur’an. Selain
lafadz ţa’ām, makanan di dalam al-Qur’an disebutkan juga dengan
lafadh mā’idah. Sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. alMa’idah ayat 112 dan 114.
Dari uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan makna lafadh
ţa’ām dan mā’idah, karena lafadh mā’idah hanya digunakan untuk
menunjukkan suatu menu hidangan lengkap yang siap disantap,
misalnya nasi lengkap dengan lauk pauknya yang kemudian siap
disantap.1 Di al-Qur’an selain lafadh ţa’ām, syarab, mā’idah
diungkapkan juga makanan dengan lafadz gidhā’un. Yang
memiliki arti lebih khusus yaitu makanan untuk menu makan
siang sebagaimana yang terdapat dalam Q.S al-Kahfi ayat 62.
      
    
Artinya: “Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah
Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan
kita; Sesungguhnya kita telah merasa letih karena
perjalanan kita ini"
Makanan menurut al-Qur’an dibagi menjadi beberapa
ragam, yaitu diantaranya :
1. Perintah Allah tentang makanan yang dihalalkan
Islam memandang bahwa salah satu hal yang
sangat penting dalam kehidupan manusia adalah
makanan. Karena makanan dalam perkembangan jasmani
dan rohani manusia memiliki pengaruh yang sangat
besar. Sehingga di dalam ajaran Islam banyak terdapat
hal-hal yang berkaitan dengan aturan-aturan tentang
makanan. Mulai dari etika makan, mengatur idealitas
kuantitas makanan dalam perut dan mengatur makanan halal dan haram serta
makanan yang baik (thayyib) untuk
dikonsumsi tubuh manusia. Berkaitan dengan halal dan
haramnya suatu makanan tersebut maka dalam ajaran
Islam mendapatkan perhatian yang besar, hal tersebut
terbukti dengan adanya ayat-ayat al-Qur’an yang
menjelaskan tentang segala hal yang berkaitan dengan
makanan. Bahkan terdapat surat al-Qur’an dinamai
dengan surat al-Ma’idah (hidangan).
Menjadi menarik apabila kita menyimak
bahwasanya semua ayat yang didahuluhi oleh panggilan
mesra Allah untuk ajakan makan, baik yang ditunjukkan
kepada manusia yaitu yā ayyuhan nās, kepada rasul : yā
ayyuhā ar-Rasūl, maupun kepada orang-orang mukmin:
yā ayyuhā al-ladzina āmanū, selalu dirangkaikan dengan
kata halal atau thayyiban (baik). Ini semua menunjukkan
bahwa makanan yang terbaik adalah makanan yang
memenuhi kedua sifat tersebut. Selanjutnya dari beberapa
ayat al-Qur’an yang memerintahkan orang-orang mukmin
untuk makan, ada diantaranya yang menjelaskan dengan
pesan untuk mengingat Allah dan untuk membagikan
makanan-makanan tersebut kepada orang yang
membutuhkan, ada juga makanan dalam kontek memakan hasil sembelihan yang
disebut nama Allah serta
dalam kontek pada waktu berbuka puasa.2
Berdasarkan hal tersebut, di dalam al-Qur’an sudah
dijelaskan secara tegas bahwa manusia sudah
diperintahkan untuk memilih makanan yang akan di
konsumsinya baik itu dari sisi kehalalan maupun kualitas
makanan tersebut. sebagaimana yang terdapat dalam Q.S.
al-Baqarah ayat 168 yaitu:
  

      



 
     
Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh yang nyata bagimu.”(Q.S AlBaqarah: 168)3
Ayat tersebut menjelaskan tentang perintah yang
ditunjukkan kepada manusia untuk memilih dan memilah
makanan yang hendak dikonsumsi, yaitu makanan
tersebut harus bersifat halal. Karena kehalalan suatu
makanan merupakan unsur terpenting yang wajib
diperhatikan oleh umat Islam terutama dalam hal memilih makanannya. Kemudian,
makanan tersebut
harus baik (thayyib) artinya makanan itu tidak berbahaya
bagi tubuh. Maka dalam hal ini Hamka menjelaskan
bahwasanya makanan yang halal adalah lawan dari
makanan yang haram. Sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam al-Qur’an seperti, daging babi, darah, makanan
yang tidak disembelih, yang disembelih untuk berhala
dan lain sebagainya. Apabila dalam al-Qur’an tidak
dijelaskan pantangan-pantangan yang demikian maka
makanan tersebut halal untuk dimakan. Selain itu,
manusia juga harus memperhatikan kualitas yang ada
pada makanan tersebut, seperti daging yang sudah
dikemas, yang kemudian dimakan secara mentah-mentah.
Meskipun daging itu halal akan tetapi tidak baik.4
Menurut Prof.H.M. Hembing Wijaya kusuma,
pakar pengobatan alternative dan akupuntur, bahwa
makanan yang halal dan sehat adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan. Makanan yang halal akan
mencerminkan jiwa yang bersih, serta pikiran dan
jasmani yang segar. Sebaliknya, setiap makanan yang
telah diharamkan oleh Islam mengandung bahaya, baik
lahir maupun batin. Dalam pandangannya bahwa tidak
ada makanan yang dinyatakan haram oleh Islam tiba-tiba
dinyatakan sehat menurut organisasi kesehatan dunia
(WHO), yakni sehat itu berarti sehat jasmani, rohani dan
sosial. Maka, pertimbangan dalam Islam tentang
makanan pastilah dengan melihat semua faktor tersebut.5
Tentang kehalalan dan kebaikan suatu makanan
Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa tidak semua
makanan yang halal itu otomatis baik. Karena tidak
semua yang halal sesuai dengan kondisi masing-masing.6
Ada yang halal buat si A yang mana ia memiliki kondisi
yang sehat, ada juga yang kurang baik untuknya,
walaupun itu baik buat yang lain. Ada pula makanan
yang halal tetapi tidak mengandung gizi yang kemudian
menjadi kurang baik untuk dikonsumsi. Karena yang
diperintahkan dalam al-Qur’an adalah makanan yang
halal lagi baik.
Islam telah menetapkan bahwa yang berhak atau
berwenang menentukan kehalalan segala sesuatu adalah
Allah Swt. Sebab, tidak ada seorangpun yang berhak
melarang sesuatu yang dibolehkan oleh Allah, demikan
pula sebaliknya. Hal ini sebagaimana yang terdapat
dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 59, yaitu:

Artinya:“Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang


rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu
kamu jadikan sebagiannya Haram dan
(sebagiannya) halal". Katakanlah: "Apakah
Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang
ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap
Allah ?" (Q.S Yunus: 59)7
Manusia dalam hal ini tidak mempunyai
kewenangan sedikitpun. Menurutnya, siapa yang
melakukanya berarti telah membuat sekutu bagi-Nya.
Karena sesuatu yang dihalalkan bagi Allah adalah
bermanfaat bagi manusia sendiri, baik bagi jasmani
maupun mental.
Selanjutnya, berkaitan dengan masalah makanan
apa yang dihalalkan oleh Allah untuk dikonsumsi, maka
al-Qur’an menyatakan dalam Q.S. al-Baqarah ayat 29 dan
Q.S. Luqman ayat 20

Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang


ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh
langit. dan Dia Maha mengetahui segala
sesuatu.” (Al-Baqarah: 29)8

Artinya:“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya


Allah telah menundukkan untuk
(kepentingan)mu apa yang di langit dan
apa yang di bumi dan menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan
di antara manusia ada yang membantah
tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu
pengetahuan atau petunjuk dan tanpa
kitab yang memberi penerangan.”(AlLuqman: 20)9
Bertitik tolak pada ayat tersebut, para ulama
berkesimpulan bahwa pada prinsipnya segala sesuatu
yang ada di alam raya ini adalah halal untuk digunakan,
sehingga makanan yang di dalamnya adalah halal.
2. Hewan Sembelihan sebagai makanan
Secara ekplisit di dalam al-Qur’an dijelaskan
bahwa dihalalkan memakan hasil sembelihan Ahli Kitab,
firmannya dalam Q.S. al-Ma’idah ayat 5
         

Artinya: “Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi Al kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka.”(AlMa’idah: 5)10
Dari ayat tersebut di atas, para Ulama
menyimpulkan bahwa penyembelih haruslah dilakukan
oleh seorang yang beragama Islam, atau Ahli Kitab
(Yahudi dan Nasrani). Memang kalau kita menyangkut
tentang Ahli Kitab dikalangan ulama timbul perselisihan
pendapat siapa yang dimaksud dengan Ahli Kitab
tersebut, apakah itu umat Yahudi dan Nasrani masa kini,
ataukah umat Yahudi dan Nasrani masa dahulu?
Berdasarkan hal tersebut mayoritas ulama berpendapat
bahwa mereka tidak termasuk dalam kategori Ahli Kitab
yang diisyarakatkn dalam ayat di atas.
Dalam ayat di atas, Imam Syafi’i menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan Ahli Kitab adalah orangorang Yahudi dan Nasrani
yang berasal dari keturunan
Bani Israel. Sedangkan bangsa-bangsa lain yang ikut-
ikutan mengabdopsi agama Yahudi atau Nasrani sebagai
agamanya, maka tidak termasuk dalam kategori Ahli
Kitab. Dengan alasan bahwa dahulu ketika Nabi Musa a.s
dan Nabi Isa a.s tidak diutus kecuali kepada Bani Israel,
dan dakwanya pun tidak diperuntukkan bagi semua
bangsa di dunia selain bangsa Israel. Pendapat Imam
Syaf’I tersebut berlandaskan pada sebuah hadits Nabi
yang berbunyi: “Adalah Nabi-nabi terdahulu itu diutus
kepada kaumnya (bangsanya) saja, sedangkan aku (Nabi
Muhammad) diutus untuk seluruh manusia.”11
Selain itu, para muffasir dalam memahami ayat di
atas mempunyai pendapat yang sama, walaupun dalam
redaksi yang berbeda. Yaitu makanan orang-orang
Yahudi dan Nasrani halal untuk kita makan, karena yang
ditekankan pada ayat di atas terletak pada penyembelihan
mereka bukan pada makanannya. Sedangkan soal orang
Nasrani dan Yahudi yang mempersekutukan Al-Masih
dengan Tuhan itu masalah yang berdiri sendiri.
Sementara itu, ayat yang dijelaskan di atas merupakan
ayat yang menjelaskan soal makanan. Baik mereka itu 125
Nasrani atau Yahudi yang mempunyai kepercayaan lain,
untuk soal makanan mereka halal untuk memakanya.12
Selain syarat-syarat yang telah diisyaratkan oleh
al-Qur’an, masih ada syarat-syarat tentang cara
menyembelih dengan menyebutkan beberapa cara yang
tidak direstuinya. Seperti dalam Q.S. al-Ma’idah: 3
     
 
… 
     
Artinya: “….Yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh,
yang ditanduk, dan diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kamu menyembelihnya,
dan (diharamkan bagimu) yang disembelih
untuk berhala. . . .” (Q. S. Al-Ma’idah: 3)13
Binatang-binatang yang mati dengan cara-cara di
atas dapat dikategorikan sebagai makanan yang haram.
Karena binatang yang mati karena tercekik, dipukul,
jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas, adalah dapat
dikatakan sebagai bangkai. Karena di al-Qur’an telah
ditegaskan pengharaman memakan bangkai.
Namun, berbeda halnya dengan bangkai hewan
laut atau sungai yang sudah mati dengan sendiriannya,
maka bangkai tersebut halal untuk dimakan. Hal ini berdasarkan ayat al-Qur’an yang
terdapat dalam surat alMa’idah ayat 96. “ Dihalalkan bagimu binatang buruan
laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai
makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang
dalam perjalanan.”
Yang dimaksud dengan “buruan laut” dalam ayat
di atas adalah binatang hidup yang ditangkap atau
diperoleh dengan jalan upaya seperti memancing,
menjaring, dan sebagainya, baik itu dari kolam, sungai,
danau dan lain-lain. Sedangkan “makanan yang berasal
dari laut” adalah bangkai ikan atau hasil tangkapan yang
kemudian digarami dan dikeringkan biasanya juga
dijadikan persedian atau bekal oleh para musaffir dan
orang yang tinggal jauh dari pantai.14
Tentang hukum memakan bangkai ikan para ulama
Fiqih banyak yang berbeda pendapat, menurut Madzhab
Abu Hanifah mengatakan, tidak dibenarkan memakan
bangkai ikan yang sudah mengapung dipermukaan laut
atau sungai dengan alasan ia termasuk bangkai. Karena
madzhab ini berpegang teguh pada ayat mengharamkan
bangkai yaitu pada surat al-Ma’idah ayat 3. Sedangkan
menurut Jumhur Ulama, memperbolehkan memakan ikan
yang mengapung di permukaan air, sebab mereka
berlandaskan ayat ke 96 dalam surat al-Ma’idah. Menurut hemat penulis sendiri,
pendapat yang lebih tepat adalah
pendapat yang dikemukakan oleh Jumhur ulama. Karena
ada sebuah hadis yang dapat menguatkan pendapat
tersebut yaitu
ُ‫ت‬
‫و‬
ْ
: ‫ا ُُل‬
‫ان‬
ِ
َ
‫ت‬
َ
‫ت‬
ْ
‫ي‬
َ
‫ام‬
َ
ْ‫ت لَن‬
‫َّل‬
ُ‫ح‬
ِ
‫ا‬
َ
‫و‬
َ
‫ال‬
َ
‫ر‬
ُ
‫اد‬
َ
,‫و‬
َ
‫د‬
َ
‫م‬
‫ ال َك‬: ‫ِ ان‬
ِ
‫ب‬
ُ
‫د والط‬
َ
‫(حا ُل )رواه امحد‬
15

Artinya: "Dihalalkan untuk kita dua macam bangkai;


ikan dan belalang, dan dua darah: hati dan
limpa.” (H.R. Ahmad)
Dari hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa
bangkai ikan tidak termasuk dalam keumuman ayat yang
mengharamkan bangkai, sebagaimana yang terdapat
dalam surat al-Ma’dah di atas. Oleh karena itu, bangkai
ikan tidak diragukan lagi kehalalanya.
3. Makanan (yang halal) dari protein Nabati dan Hewani
Terkait tentang makanan, dalam hukum Islam
dijelaskan bahwa syarat suatu makanan yang dihalalkan
itu harus bersih, baik bendanya, cara memperolehnya
maupun cara menghidangkannya. Adapun selera manusia
itu suka atau tidak, bergizi apa tidak itu juga masalah
lain, tidak perlu dikaitkan dengan hukum makanan,
karena dalam ajaran Islam dapat dipastikan kehalalan
makanan bersumber dari pada jenis makanan nabati atau
hewani
Dalam Q.S. al-Baqarah: 61, ayat ini menjelaskan
tentang jenis-jenis makanan yang berkaitan dengan kisah
Bani Israil, dimana mereka selalu membangkang dan
mengingkari nikmat-nikmat yang telah Allah berikan
kepada mereka. Bahkan mereka juga mengingkari dan
mendustakan Nabi Musa a.s yang diutus Allah untuk
menyelamatkan mereka dari kekuasaan Fir’aun yang
kejam.16 Namun, ketika mereka tersesat di padang Tih
selama empat puluh tahun (al-Ma’idah ayat 26), Allah
telah meneduhkan dan melindungi mereka dari panas
terik matahari dengan awan, kemudian Allah juga suatu
ketika menurunkan manna dan salwa sebagai makanan
yang lezatdan bergizi. Melalui mukjizat Nabi Musa itu,
Allah memancarkan air dari bebatuan. Namun dari kisah
tersebut mereka tetap masih tidak bersyukur atas nikmat
yang Allah berikan.
Berkenaan dengan hal diatas, maka Allah
menciptakan sesuatu dengan dua cara: pertama,
penciptakan dengan sebab, kedua, penciptaan tanpa
sebab. Maksudnya yang diciptakan secara langsung
dengan kata kun (jadilah) lebih baik dari pada sesuatu
yang diciptakan melalui sebab, karena murni dari Allah,
seperti manna dan salwa yang turun dengan sendirinya dan manusia tinggal
menikmatinya. Sedangkan
penciptaan dengan sebab mengandung campur tangan
manusia, seperti untuk mendapatkan tumbuh-tumbuhan
diatas, yaitu harus melalui proses pembajakan sawah,
menyebar benih dan setelah panen barulah bisa
menikmati hasilnya.
Tidak ada pemberi rezeki selain Allah. Karena
itulah rezeki yang diterima langsung dari Allah tanpa
sebab lebih tinggi dan lebih mulia dari pada rezeki yang
diraih dengan sebab. Namun, bukan berarti makanan
yang mereka inginkan itu tidak mengandung manfaat.
Misalnya sayur-sayuran yang termasuk dalam kategori
baql, seperti mentimun, kacang adas, bawang putih, dan
bawang merah. Semua tumbuh-tumbuhan yang
disebutkan dalam al-Qur’an hanyalah sebagian kecil dari
sekian banyak bahan-bahan makanan nabati yang
disediakan Allah untuk kepentingan manusia. Antara satu
jenis makanan dengan makanan yang lain tentu memiliki
kandungan gizi yang berbeda-beda.
4. Makanan sebagai menu Hidangan
Dalam surat al-Maidah ayat 112 terdapat kisah
pengikut Nabi Isa, a.s yang sangat setia. Pengikut
tersebut bernama al-Hawariyun. al-Hawariyun adalah
pengikut yang mempunyai iman kuat, namun tidak
mempunyai pengetahuan yang dalam tentang
keimanannya. Artinya, mereka hanya sekedar menjadikan
iman sebagai formalitas belaka. Oleh karena itu, alHawariyun banyak meminta
berbagai macam kebutuhan
untuk memenuhi kebutuhan mereka tanpa adanya usaha.
Sehubungan akan diadakannya hari raya, maka alHawariyun meminta makanan
hidangan sebagaimana
terdapat dalam surat al-Maidah ayat 112.
Yang dimaksud makanan hidangan dalam ayat
tersebut adalah semua ragam makanan, seperti roti, buahbuahan, ikan, dan lain
sebagainya. Hidangan tersebut
digunakan untuk kebutuhan merayakan hari saya
tersebut.
Akan tetapi, melihat permintaan al-Hawariyun
tersebut, seakan-akan al-Hawariyun tidak mempercayai
kekuasaan Allah. Hal ini dibuktikan dengan adanya
pernyataan yang menyebutkan, “Sanggupkah Tuhan-Mu
menurunkan hidangan dari langit?”. Padahal, tanpa
meminta pun, Allah akan memberikan segala sesuatu
kepada hamba-Nya sebagaimana usaha yang mereka
lakukan. Seperti dalam surat ar-Ra’ad: 11.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah tidak
akan mengubah keadaan mereka selama mereka tidak
mau mengubahnya sendiri. Begitu pun dengan hal rizki.
Allah akan memberikan rizki kepada Hamba-nya sesuai
dengan usaha yang dilakukan. Dengan demikian, apabila seorang hamba mengubah
dari maksiat kepada taat, maka
Allah akan mengubah keadannya dari kesengsaraan
kepada kebahagiaan.
Jika al-Hawariyun hanya meminta dan meminta,
tanpa adanya usaha. Bahkan, digunakan untuk perbuatan
yang salah atau munkar. Maka, Allah pun akan membalas
sesuai dengan perbuatan mereka. Bahkan, lebih pedih.
Oleh karena itu, agar al-Hawariyun terhindar dari siksa
yang pedih, maka Nabi Isa menyeru al-Hawariyun untuk
bertaqwa kepada Allah. Sebab, dengan bertaqwa kepada
Allah, maka Allah pun akan memberikan rizki yang
cukup dan halal. Akan tetapi, harus pula disertai dengan
usaha dan niat yang benar pula.
Selain menyeru kaumnya untuk bertaqwa, Isa juga
meminta do’a kepada Allah untuk mendatangkan
hidangan kepada kaum-nya. Hal ini dilakukan Isa agar
kaum-Nya percaya akan kekuasaan Allah. Dengan
demikian, keraguan al-Hawariyun terhadap kekuasaan
Allah akan hilang, dan iman yang dimiliki oleh alHawariyun pun akan semakin kuat.

Hikmah Makanan dalam Al-Qur’an


Penjelasan al-Qur’an terkait dengan segala sesuatu yang
berhubungan dengan makanan, baik itu makanan halal dan baik
untuk dikonsumsi, atau makanan yang diharamkan oleh Allah.
Yang mana hal tersebut sesuai dengan ayat al-Qur’an dalam surat
al-Ma’idah ayat 3. Di dalam ayat tersebut dijelaskan secara tegas
bahwasanya jenis-jenis makanan seperti darah, daging babi,
bangkai dan khamr tersebut, merupakan makanan yang dapat
membahayakan tubuh manusia jikalau mereka mengkonsumsinya.
Karena aneka jenis makanan tersebut telah banyak dikemukan
oleh ahli gizi melalui beberapa penelitiannya Hikmah pengharaman Bangkai
Telah kita ketahui bersama, bangkai adalah semua
jenis binatang yang telah mati tanpa melalui penyembelihan
yang sah sesuai dengan kenetuan syar’i. Walaupun binatang
tersebut matinya karena jatuh, tercekik, dipukul, ditanduk
dengan binatang buas lainya. Di dalam al-Qur’an telah
ditegaskan berulang kali sebgaimana dalam Q.S al-Ma’idah
ayat 3, Q.S al-An’am ayat 145 dan Q.S al-Baqarah ayat 173
bahwa bangkai itu haram untuk di makan. Sedangkan hikmah
yang dapat diambil dari pengharaman bangkai karena di
dalam bangkai terdapat darah yang beku yang dapat
membahayakan menusia, dan juga dapat merusak daging
bangkai serta biasanya mudah terkena berbagai macam
penyakit. 145

1. Menurut al-Maraghi dijelaskan bahwa, hikmah


diharamkannya bangkai adalah sebagai berikut:
a. Karena perasaan yang sehat merasa jijik terhadapnya.
b. Sesungguhnya orang yang memakannya akan terhina,
suatu hal yang bertentangan dengan harga dan
kehormatan dirinya.
c. Orang yang mengkonsumsi bangkai terancam bahaya,
baik binatang tersebut mati karena sakit, karena sangat
letih, atau akibat bibit-bibit penyakit (mikroba) yang
menggerogoti kekuatanya.
d. Melatih orang Islam untuk tidak membiasakan makan
sesuatu yang dapat membahayakan atau
menghilangkan jiwanya

Jadi bangkai adalah hewan ternak yang mati di


mana darah kotor yang terdapat dalam hewan ternak
tersebut tidak keluar. Sehingga dalam waktu yang singkat
darah dalam bangkai tersebut akan tercemar oleh berbagai
mikro organisme yang terdapat dalam kotoran hewan
tersebut. dan apabila dikonsumsi manusia, maka
mikroorganisme tersebut akan tercemar di dalam tubuhnya.
Kadar air yang dimiliki bangkai mencapat tingkat
yang tinggi sekitar (nilai air: 0,95-0,99). Dengan kondisi
itulah semua jenis mikroorganisme tumbuh dengan cepat, dan daging bangkai
tersbut akan terdegradasi.28 Adapun
kelompok mikroorganisme yang banyak tumbuh dalam
bangkai pada umumnya adalah jenis bakteri, diantaranya
adalah: bakteri salmonella, shigella, Vibrio cholerea,
staphylococcus aureus, dan bakteri-bakteri lainya. Selain
daging bangkai terdapat berbagai bakteri-bakteri tersebut,
daging bangkai juga dapat menghilangkan seluruh nilai
makanan baik dari segi kandungan gizinya, rasanya, dan
aromanya serta tidak ada manfaat jika seseorang itu
memakanya, malah mendapat dosa karena telah melanggar
larangan Allah SWT.
Berdasarkan hasil penelitian para ahli gizi, maka
dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang
mengkonsumsinya, maka kemungkinan besar akan
memperoleh satu bahkan beberapa penyakit yang
membahayakan, yaitu diantaranya:

a. Terserang penyakit: Tiphus, Kolera, dan disentri.


b. Timbul kekejangan pada bagian perut, yang disertai
dengan gejala; diare, muntah-muntah, serta sakit
kepala, lesu dan sebaginya.
c. Akan timbul beberapa gangguan diantaranya: sintem
syaraf akan terganggu, gangguan pada penglihatan,
dan sulit berbicara yang disebabkan kekumpulan pada
otot tenggorokan. d) Kemungkinan bisa mengakibatkan fatal, yakni
kematian.29
Dengan demikan sangat tepatlah bahwa Islam
mengharamkan umatnya untuk mengkonsumsi daging
bangkai, sebagaimana yang telah Allah tentukan dalam alQur’an.

2. Hikmah Pengharaman Darah


Islam telah mengharamkan darah sejak empat
abad yang lalu. Hal itu merupakan petunjuk yang jelas
akan kebenran agama ini dan bahwa hal tersebut datang
dari Allah SWT. Sebut saja negara-negara non-Islam yang
mengkonsumsi bangkai dan darah, dengan cara yang tidak
sewajarnya seperti mencengkik, atau memberi sengatan
listrik, menengok kembali cara penyembelihan secara
alami, karena ternyata ditemukan manfaat yang besar
dalam menyembelih dan mengalirkan darah hewan. Maha
Suci Allah, Yang Maha Mengetahui, mengetahui apa yang
bermanfaat bagi kita, yang kemudian mengharamkannya.30
Sedangkan yang dimaksud darah disini adalah
darah yang terdapat dalam tubuh manusia maupun darah
yang terdapat dalam hewan ternak. al-Maraghi
mengartikan darah adalah cairan yang bertumpah
(mengalir) yaikni darah yang sudah ditumpahkan dan
dikeluarkan dari tubuh binatang. Berbeda halnya dengan
darah yang aslinya yaitu yang sudah mengental, seperti
anak limpa dan hati, dan darah yang bisasnya ada di selasela daging yang
sesudah disembelih itu tidak termasuk
.(‫ )دما مسفو حا‬mengalir yang darah
Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-An’am
ayat 145, bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang
mengalir, bukan darah yang bersifat beku seperti hati dan
limpa. Karena dua jenis darah ini adalah halal untuk
dimakan. Sedangkan alasan diharamkannya darah,
dikarena banyak para ahli medis dengan berbagai
penelitian dan percobaanya bahwa darah yang keluar dari
tubuh itu mengandung racun. Dan terkadang juga pada
darah yang mengalir terdapat virus penyebab radang hati.
Diantara gejala yang muncul ketika orang meminum darah
yang mengalir tubuh akan terasa capek, mual seakan-akan
mau muntah, ulu hati terasa sakit dan pedih yang sangat
menyiksa, diare, warna air seni berubah menjadi merah dan
hati akan membengkak.31Jadi orang yang meminum darah
itu sama halnya dengan orang yang meminum racun, dan
keduannya dapat mengakibatkan kematian. 3. Hikmah Pengharaman Daging
Babi
Makanan yang secara tegas diharamkan dalam alQur’an adalah daging babi.
Sebab, babi senang dan suka
pada tempat-tempat yang kotor, sehingga banyak ahli tafsir
yang menjelaskan bahwa hikmah diharamkan daging babi
karena dapat membahayakan kesehatan, dan keadaannya
yang kotor dan najis. Makanan yang disukai babi adalah
makanan yang kotor-kotor dan najis sehingga dalam
daging babi tersebut mengandung berbagai kuman-kuma
penyakit. Orang yang memakan daging babi akan timbul
dalam tubuhnya cacing-cacing pita. Yaitu cacing yang
timbul akibat binatang itu memakan bangkai tikus,
sehingga daging babi tersebut sulit dicerna, karena terlalu
banyaknya lemak dalam lapisan-lapisan ototnya. Bahkan
zat lemak yang ada di tempat itu menyebabkan cairan
lambung tak bisa sampai kepada makana, akibatnya
menyulitkan pencernaan zat-zat putih dan memayahkan
lambung.32
Sedangkan Sayyid Qutub berpendapat bahwa
babi itu sudah dari tabiat yang bersih dan lurus. Sehingga
menjadikan jijik orang yang berjiwa bersih dan lurus. Untuk itulah Allah telah
mengharamkan daging tersebut sejak lamanya masa.

Adapun hikmah diharamkannya mengkonsumsi


daging babi karena di dalamnya terdapat bakteri-bakteri
yang membahayakan kesehatan manusia.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :
Gizi merupakan suatu proses yang mempengaruhi perubahan semua jenis
makanan yang masuk ke dalam tubuh, yang dapat mempertahankan kehidupan
(Soenardi, 2006). Nutrisi adalah zat – zat penting yang berasal dari makanan
yang telah dicerna serta diolah oleh tubuh kita menjadi zat yang berguna untuk
membentuk dan memelihara jaringan tubuh, memperoleh tenaga, mengatur
sistem fisiologi organ di dalam tubuh dan melindungi tubuh terhadap serangan
penyakit (Chandra, 2009)
Islam sangat menekankan pentingnya manusia untuk memperhatikan
kesehatan dan makanan yang dikonsumsi. Dalam beberapa literatur klasik
Islam, akan dijumpai uraian-uraian yang menjelaskan pengobatan dan riwayat-
riwayat mengenai kehidupan Nabi yang berkaitan dengan pengobatan dan
makanan. Bahkan dalam sejarah peradaban Islam telah melahirkan para tokoh
Tabib yang terkenal dengan maha karya mereka yang mengupas habis
berbagai aspek kesehatan manusia.
Oleh sebab itu, perhatian Islam terhadap kesehatan dan makanan yang
dikonsumsi manusia menjadi
pembahasan penting karena berhubungan erat dengan nilai-nilai kemanusiaan
dan pendukung dalam beribadah.
Alquran juga memberikan bimbingan dan petunjuk tentang pemenuhan
kebutuhan manusia baik itu fisik maupun non-fisik (Muthi’ah, 2010, p.84).

Saran :
Setelah pembahasan makalah ini, diharapkan mahasiswa pada khususnya dan
umat Islam pada umumnya dapat memahami makna islam dan hubungannya
dengan ilmu gizi, sehingga dapat mengenal Allah SWT serta dapat
mengamalkannya dengan ibadah dan pelaksanaan dalam kehidupan sehari-
hari.
Dengan mengenal Allah SWT sebagai Tuhan yang Esa dan yang patut
disembah, kita akan terhindar dari perbuatan syirik juga memperluas ilmu
pengetahuan tentang kesehatan khususnya di bidang gizi. Mudah-mudahan
kita termasuk orang-orang yang dilindungi Allah SWT dari perbuatan syirik
yang mengantar kita ke neraka jahanam. Amin

Anda mungkin juga menyukai