Anda di halaman 1dari 35

Nama : Lukmanul hakim

NIM : 15421090

RESUME MATERI PERTEMUAN KE 4

“AKAD”

PENGERTIAN AKAD

Menurut Bahasa:

1. al-rabthu wa al-syaddu yaitu ikatan yang bersifat indrawi (hissi) seperti mengikat sesuatu
dengan tali atau ikatan yang bersifat ma’nawi seperi ikatan dalam jual beli.
2. al-Taukid, al-tagliz dan al-tautsiq antara lain seperti disebutkan di dalam al-Qur’an “...walakin
yuaakhizukum bima aqqattumul aimaan ... (al-Maidaah 89).
3. al-Dhaaman dan al-'ahdu seperti disebutkan di dalam al-Qur’an “...wa laa ta'zimuu ‘uqdatan
nikaah hattaa yablugal kitaabu ajalahu... (al-Baqarah ayat 235).
Menurut Istilah Fiqh:

- Kesepakatan antara dua pihak atau lebih, masing-masing pihak terikat dan berkewajiban untuk
melaksanakan kesepakatan tersebut.
- Akad merupakan, pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan Kabul dari pihak
lain yang menimbulkan akibat hokum pada objek akad (Basya, Mursyid al-Hairan ils Ma’rifah
ahwal al-Insan, Kairo: Dar al-Furjani, 1403/1983, pasal 262).upakan keterkaitan

PEMBAGIAN AKAD

A. Akad Tijarah
Akad tijarah terdiri dari dua bagian akad yaitu:
1. Akad Bernama
Yang dimaksud dengan akad bernama ialah akad yang telah ditentukan namanya oleh
Pembuat Hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya
dan tidak berlaku terhadap akad lain. Adapun akad bernama itu meliputi sebagai berikut : 1)
sewa menyewa (al-Ijarah), 2) pesanan (al-Istishna’), 3) jual beli (al-Bai’), 4) penangguhan (al-
Kafalah), 5) pemindahan utang (al-Hiwalah), 6) pemberian kuasa (al-Wakalah), 7) perdamaian
(ash-Shulh) 8) persekutuan (asy-Syirkah), 9) bagi hasil (al-Mudharabah), 10) hibah (al-Hibah), 11)
pemeliharaan tanaman (al-Musaqah), 12) gadai (ar-Rahn), 13) penggarapan tanah (al-
Muzara’ah), 14) Penitipan (al-Wadi’ah), 15) pinjam pakai (al-‘Ariyah), 16) pembagian (al-
Qismah), 17) wasiat-wasiat (al-wasaya), 18) perutangan (al-Qardh).
Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al Islami wa Adillatuh menyebutkan 13 akad bernama.
Ketiga belas akad bernama yang dimaksud ialah : 1) jual beli (al-Bai’), 2) perutangan (al-Qardh),
3) sewa menyewa (al-Ijarah), 4) jualah (al-jualah, sayembara), 5) persekutuan (asy-Syirkah), 6)
hibah (al-Hibah), 7) penitipan (al-ida’), 8) pinjam pakai (al-I’arah), 9) pemberian kuasa (al-
Wakalah), 10) penangguhan (al-Kafalah), 11) pemindahan utang (al-Hiwalah), 12) gadai (ar-
Rahn), 13) perdamaian (ash-shulh).
Ahli hukum klasik lainnya menyebutkan beberapa jenis akad lainnya sehingga secara
keseluruhan menurut perhitungan az-Zarqa’ mencapai 25 jenis akad. Perlu dicatat juga bahwa
aneka ragam akad bernama yang disebutkan az-Zarqa’ mencakup kehendak sepihak seperti
wasiat, akad diluar lapangan hukum harta kekayaan seperti nikah atau bagaian dari suatu akad
seperti pemberian hak pakai rumah yang merupakan bagian dari hibah.

Adapun pembagian dari akad bernama yaitu:


1. Jual Beli (al-Bai’)
A. Pengertian
Jual beli (al-Bai’) menurut bahasa berarti menjual, mengganti, menukar sesuatu
dengan sesuatu yang lain. Sedangkan menurut ulama mazhab Hanafi yaitu, saling
menukar harta dengan harta melalui cara-cara tertentu dan tukar menukar sesuatu yang
dimiliki dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat. Sedangkan
menurut mazhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali jual beli yaitu sebagai saling menukar harta
dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan.
Dasar hukum dari jual beli yaitu terdapat Q.S. Al Baqarah ayat 198, dan Q.S. 4
ayat 29. Dalam Q.S. Al Baqarah ayat 275 . Dan Rasulullah Saw melakukan aktivitas jual
beli dan bersabda “Orang kota tidak boleh menjual untuk orang desa” selain itu sabda
Beliau “Pembeli dan penjual mempunyai pilihan selagi keduanya belum berpisah”
(Muttafaq Alaih).
Hikmah disyariatkannya jual beli ialah seorang muslim bisa mendapatkan apa
yang dibutuhkannya dengan sesuatu yang ada ditangan saudaranya tanpa kesulitan
yang berarti.
B. Rukun dan syarat-Syarat Jual Beli
Menurut Mazhab Hanafi syarat jual beli adalah adanya ijab dan qabul dan rukun
jual beli adalah adanya kerelaan kedua belah pihak. Sedangkan menurut Jumhur Ulama
rukun dan syarat jual beli adalah adanya orang-orang yang berakad, shighat, barang
yang dibeli dan nilai tukar pengganti. Sedangkan menurut ulama mazhab Hanafi orang
yang berakad, barang yang dibeli dan nilai tukar barang termasuk dalam syarat jual beli
bukan rukun.
Adapun syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur
ulama diatas adalah sebagai berikut :
1. Syarat orang yang berakad yakni berakal dan orang yang melakukan akad adalah
orang yang berbeda, artinya seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang
bersamaan sebagai penjual sekaligus pembeli.

2. Syarat yang terkait dengan ijab qabul adalah kerelaan kedua belah pihak hal ini
sesuai dengan kesepakatan ulama fiqh. Ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat
ijab qabul adalah orang yang telah akil baligh, qabul sesuai dengan ijab kemudian
ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis.

3. Syarat barang yang diperjual belikan yakni barang itu ada, dapat dimanfaatkan dan
bermanfaat bagi manusia, milik seseorang dan dapat diserahkan saat akad
berlangsung atau pada waktu yang disepakati ketika transaksi berlangsung dan
syarat nilai tukar atau harga barang.
Sementara menurut ulama fikih syarat-syarat sah jual beli yaitu:
1. Jual beli terhindar dari cacat seperti kriteria barang yang diperjual belikan itu tidak
diketahui baik jenisnya, kualitas, kuantitasnya, jual beli mengandung unsur paksa,
tipuan, mudarat dan lainnya.

2. Jika barang yang diperjual belikan bergerak maka barang itu bisa langsung dikuasai
pembeli dan harga barang dikuasai penjual adapun barang tidak bergerak bisa
dikuasai setelah surat menyurat diselesaikan.
3. Syarat yang terkait dengan pelaksanaan jual beli. Jual beli baru bisa dilaksanakan
apabila yang berakad tersebut punya kekuasaan untuk melakukan jual beli.
Adapun bentuk-bentuk dari jual beli menurut ulama mazhab Hanafi, beliau membagi
jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi :
1. Jual beli sahih yaitu jika jual beli itu disyariatkan, memenuhi rukun dan syarat yang
ditentukan, barang yang diperjual belikan bukan milik orang lain dan tidak terkait dengan
hak khiyar lagi.

2. Jual beli yang bathil yaitu jika jual beli itu salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi
atau jual beli itu dasar dan sifatnya tidak disyariatkan. Misalnya jual beli sesuatu yang tidak
ada, menjual barang yang tidak bisa diserahkan kepada pembeli, jual beli yang mengandung
unsur penipuan, jual beli benda najis dan lainnya.

3. Jual beli fasid yaitu apabila kerusakan pada jual beli itu menyangkut harga barang dan boleh
diperbaiki. Yang termasuk jual beli fasid yaitu jual beli al-majhul yaitu jual beli dimana
barangnya secara global tidak diketahui atau ketidakjelasannya bersifat total, jual beli yang
dikaitkan dengan suatu syarat dan jual beli barang yang tidak ada ditempat atau tidak dapat
diserahkan pada saat jual beli berlangsung, sehingga tidak dapat dilihat oleh pembeli. Jual
beli yang dilakukan oleh orang buta juga termasuk jual beli fasid, jual beli dengan barter
harga yang diharamkan dan lainnya.
Jual beli dalam bentuk khusus diantaranya :
1. Jaul beli murabahah (jual beli diatas harga pokok) yaitu pembelian oleh satu pihak untuk
kemudian dijual kepada pihak lain yang telah mengajukan permohonan pembelian terhadap
satu barang dengan keuntungan atau tambahan harga yang transparan.

2. As Salam/as salaf jual beli dengan pembayaran dimuka. Yaitu merupakan pembelian barang
yang diserahkan kemudian hari sementara pembayaran dilakukan dimuka

3. Al Istishna’ jual beli dengan pesanan. Merupakan salah satu bentuk jual beli salam namun
objek yang diperjanjikan berupa manufacture order atau kontrak produksi. Istishna’
didefinisikan dengan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang.

4. Bai’ al wafa’ yakni jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang disertai dengan syarat bahwa
barang yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu yang
ditentukan telah tiba. Artinya jual beli itu mempunyai tenggang waktu yang terbatas
misalnya 1 bulan, 1 tahun, sehingga jika waktu yang ditentukan itu telah habis maka penjual
membeli barang itu kembali dari pembelinya.
2. Perutangan (al-Qardh)
A. Pengertian
Al Qardhu menurut bahasa ialah potongan, sedangkan menurut syara’ ialah
menyerahkan uang kepada orang yang bisa memanfatkannya. Kemudian ia meminta
pengembaliannya sebesar uang tersebut. Atau pemberian harta kepada orang lain yang
dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan dengan tanpa
mengharapkan imbalan,
Dasar hukum dari Al Qardhu disunnahkan bagi muqridh (kreditur/pemberi
pinjaman) berdasarkan pada firman Allah SWT dalam Q.S. Al Hadid ayat 11. Dan juga
dalam sabda Rasulullah Saw yang artinya “Barang siapa menghilangkan salah satu
kesulitan dunia dari saudaranya maka Allah menghilangkan darinya salah satu kesulitan
pada hari kiamat” (HR. Muslim).
Adapun al qardhu bagi kreditur/pemberi pinjaman maka diperbolehkan, karena
Rasul Saw meminjam unta kepada Abu Bakar r.a dan mengembalikannya dengan unta
yang lebih baik. Rasul Saw bersabda yang artinya “Sesungguhnya manusia yang paling
baik ialah orang yang paling baik pengembalian (hutangnya)” (HR. Bukhari).
B. Diantara Hukum-Hukum Al Qardhu
1. Al qardhu (pinjaman) dimiliki dengan diterima. Jadi, jika mustaqridh
(debitur/peminjam) telah menerimanya, ia memilikinya dan menjadi
tanggungannya.

2. Al qardhu (pinjaman) boleh sampai batas waktu tertentu tapi jika tidak sampai batas
waktu tertentu itu lebih baik karena itu meringankan mustaqridh (debitur).

3. Jika barang yang dipinjamkan itu tetap utuh seperti ketika saat di pinjamkan, maka
dikembalikan utuh seperti itu. Namun jika telah mengalami perubahan, kurang atau
bertambah maka dikembalikan dengan barang lain sejenisnya jika ada dan jika tidak
ada maka dengan uang seharga barang tersebut.

4. Jika pengembalian al qardhu tidak membutuhkan biaya transportasi maka boleh


dibayar ditempat manapun yang diinginkan muqridh (kreditur). Jika merepotkan,
maka muqtaridh (debitur) tidak harus mengembalikannya ditempat lain.
5. Muqridh (kreditur) haram mengambil manfaat dari al qardhu, dengan penambahan
jumlah pinjaman, atau meminta pengembalian pinjaman yang lebih baik, atau
manfaat lainnya yang keluar dari akad pinjaman jika itu semua disyaratkan, atau
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Tapi jika penambahan pengembalian
pinjaman itu bentuk iktikad baik dari mustaridh (debitur) itu tidak ada salahnya.
Karena Rasul Saw memberi Abu Bakar unta yang lebih baik dari unta yang
dipinjamnya.
C. Syarat-Syarat Al Qardhu
1. Besarnya al qardhu (pinjaman) harus diketahui dengan takaran, timbangan atau
jumlahnya.

2. Sifat al qardhu dan usianya harus diketahui jika dalam bentuk hewan.
3. Al qardhu (pinjaman) berasal dari orang yang layak dimintai pinjaman. Jadi al
qardhu tidak sah dari orang yang tidak memiliki sesuatu yang bisa dipinjam atau
orang yang tidak normal akalnya.
3. Sewa Menyewa (al-Ijarah)
A. Pengertian
Ijarah berarti upah, sewa, jasa atau imbalan. Al ijarah merupakan salah satu
bentuk kegiatan mu’amalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa
menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.
Secara terminologi ijarah berarti transaksi terhadap suatu manfaat dengan
imbalan ini menurut ulama Hanafiah. Sedangkan meneurut ulama Syafi’iyah ijarah
berarti transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan
boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu. Ulama Malikiyah mendifinisikan ijarah
sebagai pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu
imbalan.
B. Dasar Hukum Al Ijarah
Para ulama fiqh mengatakan yang menjadi dasar dibolehkannya akad al ijarah
adalah Q.S. az-Zukhruf ayat 32. Para ulama fiqh juga mengemukakan Sabda Rasulullah
Saw sebagai dasar hukum al-ijarah yaitu yang mengatakan “Berikanlah upah/jasa
kepada orang yang kamu pekerjakan, sebelum kering keringat mereka” (HR. Abu Ya’la,
Ibnu Majah, ath-Thabrani dan at-Tirmizi).
C. Rukun al Ijarah
Menurut ulama Hanafiah rukun al ijarah itu hanya satu yaitu ijab dan qabul.
Tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa rukun al ijarah itu ada empat yaitu orang yang
berakad, sewa/imbalan, manfaat dan shiggah (ijab dan qabul). Ulama Hanafiah
menyatakan bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan, dan manfaat termasuk syarat-
syarat al ijarah bukan rukunnya.
D. Syarat-Syarat Al Ijarah
Adapun syarat-syarat akad al ijarah adalah :
1. Untuk kedua orang yang berakad menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanbaliyah
disyaratkan telah balig dan berakal.

2. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad al
ijarah. Apabila salah seorang diantaranya terpakasa melakukan akad itu, maka
akadnya tidak sah.

3. Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna, sehingga tidak
muncul perselisihan dikemudian hari. Apabila manfaat yang akan menjadi objek al
ijarah itu tidak jelas, maka akadnya tidak sah.

4. Objek al ijarah itu boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak
bercacat. Oleh sebab itu para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa tidak boleh
menyewakan sesuatu yang tidak boleh diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh
penyewa.

5. Objek al ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’. Oleh sebab itu, para ulama
fiqh sepakat menyatakan tidak boleh menyewa seseorang untuk mengajarkan ilmu
sihir, untuk membunuh orang lain (pembunuh bayaran), dan orang Islam tidak boleh
menyewakan rumah kepada orang non muslim untuk dijadikan tempat ibadah
mereka.

6. Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa. Misalnya menyewa orang
untuk melaksanakan sholat untuk diri penyewa dan menyewa orang yang belum haji
untuk menggantikan haji penyewa. Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa
sewa menyewa seperti ini tidak sah karena sholat dan haji merupakan kewajiban
bagi orang yang disewa.

7. Upah/ sewa dalam akad al ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai
harta. Oleh sebab itu para ulama sepakat menyatakan bahwa khamar dan babi tidak
boleh menjadi upah dalam akad ijarah, karena benda itu tidak bernilai harta dalam
Islam.

8. Ulama Hanafiah mengatakan upah/sewa itu tidak sejenis dengan manfaat yang
disewa
E. Macam-macam Al ijarah
1. Besifat manfaat misalnya sewa menyewa rumah, toko, kendaraan. Apabila manfaat
itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan maka para
ulama fiqh sepakat boleh dijadikan objek sewa menyewa.

2. Bersifat pekerjaan (jasa) ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk


melakukan suatu pekerjaan.
F. Berakhirnya Akad Al ijarah
Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad al ijarah akan berakhir apabila:
1. Objek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar, atau baju yang dijahitkan hilang.

2. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al ijarah telah berakhir. Apabila yang
disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila
yang disewa itu adalah jasa seseorang, maka ia berhak menerima upahnya. Kedua
hal ini disepakati oleh seluruh ulama fiqh.

3. Menurut ulama Hanafiah wafatnya salah seorang yang berakad karena akad al
ijarah menurut mereka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama
akad al ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad, karena
manfaat menurut mereka boleh diwariskan dan al ijarah sama dengan jual beli,
yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.

4. Menurut ulama Hanafiah, apabila ada uzur dari salah satu pihak seperti rumah yang
disewakan negara karena terkait utang yang banyak maka akad al ijarah batal.
4. Persekutuan (Asy-Syirkah)
A. Pengertian
Secara etimologi asy syirkah berarti percampuran yaitu campur atau
percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan. Asy syirkah
termasuk salah satu bentuk kerjasama dagang dengan rukun dan syarat tertentu, yang
dalam hukum positif disebut dengan perserikatan dagang.
Secara terminologi ada beberapa difinisi sirkah yang dikemukakan ulama fiqh
yakni :
1. Ulama Malikiyah mendifinisikan syirkah sebagai suatu keizinan untuk bertindak
secara hukum bagi dua orang yang bekerja sama terhadap harta mereka.

2. Ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah, menurut mereka syirkah adalah hak bertindak
hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.

3. Ulama Hanafiyah, mendifinisikan syirkah sebagai akad yang dilakukan oleh orang-
orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan.
B. Dasar Hukum Asy syirkah
Akad asy syirkah dibolehkan, menurut ulama fiqh berdasarkan firman Allah SWT
dalam Q.S. an-Nisa’ ayat 12, yang artinya “….maka mereka berserikat dalam sepertiga
harta….” Ayat ini menurut mereka berbicara tentang perserikatan harta dalam
pembagian warisan.
C. Macam-macam Asy Syirkah
1. Syirkah al Amlak. Menurut ulama fiqih yang dikatakan syirkah al amlak adalah dua
orang atau lebih memiliki harta bersama tanpa melalui akad asy syirkah. Asy Syirkah
terbagi kepada dua bentuk yaitu:
a) Syirkah ikhtiar ialah perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang
yang berserikat, seperti dua orang yang bersepakat membeli suatu barang, atau
mereka menerima harta hibah, wasiat atau wakaf dari orang lain, lalu mereka
menerimanya dan menjadi milik mereka secara berserikat.

b) Syirkah jabar ialah perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan
orang yang berserikat artinya sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang
atau lebih tanpa kehendak dari mereka seperti harta warisan.
2. Syirkah al ‘Uqud, yaitu akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk
mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungannya. Menurut ulama
Hambali yang tergolong dalam syirkah ‘uqud yaitu:
a) Syirkah al inan ialah penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang
tidak selalu sama jumlahnya

b) Syirkah al mufawadhah ialah perserikatan yang modal semua pihak dan bentuk
kerjasama yang mereka lakukan baik kualitas maupun kuantitasnya harus sama
dan keuntungan dibagi rata

c) Syirkah al abdan ialah perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi
bersama

d) Syirkah al wujuh ialah perserikatan tanpa modal akan tetapi keduanya sama-
sama berusaha

e) Syirkah al mudharabah ialah bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan


seseorang yang punya kepakaran dagang, dan keuntungan perdagangan dari
modal itu dibagi bersama
Ulama kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah menolak syirkah al mudharabah dimasukkan
sebagai syirkah dan menerima bentuk syirkah ‘uqud yang lainnya. Sedangkan ulama Hanafiah
membagi syirkah menjadi tiga bentuk yaitu syirkah al amwal (perserikatan dalam
modal/harta), syirkah al-a’mal (perserikatan dalam kerja), dan syirkah al wujuh (perserikatan
tanpa modal).
D. Rukun dan Syarat Asy Syirkah
Menurut ulama Hanafiyah rukun syirkah yaitu ijab dan kabul. Adapun yang
lainnya seperti dua orang yang berakad dan harta benda diluar pembahasan akad
seperti terdahulu dalam akad jual beli.
Syarat dari syirkah yaitu:
1. Perserikatan itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan. Artinya salah satu
pihak jika bertindak hukum terhadap obyek perserikatan itu dengan izin pihak lain
dianggap sebagai wakil seluruh pihak yang berserikat.
2. Persentase pembagian keuntungan untuk masing-masing pihak yang berserikat
dijelaskan ketika berlangsungnya akad.

3. Keuntungan itu diambilkan dari hasil laba harta perserikatan, bukan dari harta lain.
E. Berakhirnya Akad Asy Syirkah
1. Salah satu pihak mengundurkan diri karena menurut pakar fiqh akad perserikatan
itu tidak bersifat mengikat, dalam artian tidak boleh dibatalkan.

2. Salah satu pihak yang berserikat meninggal dunia.

3. Salah satu pihak kehilangan kecakapannya untuk bertindak hukum, seperti gila yang
sulit disembuhkan.

4. Salah satu pihak murtad dan melarikan diri ke negeri yang berperang dengan negeri
muslim, karena orang seperti ini dianggap sebagai orang yang telah wafat.

5. Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibatkan tidak kuasa lagi atas harta yang
menjadi saham syirkah.

6. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.
5. Hibah (al-Hibah)
A. Pengertian
Hibah berarti pemberian atau hadiah. Jumhur ulama mendifinisikan hibah
sebagai akad yang mengakibatkan pemilikan harta, tanpa ganti rugi yang dilakukan
seseorang dalam keadaan hidup kepada orang lain secara sukarela. Sedangkan definisi
yang lebih rinci dikemukakan oleh ulama Hambali yaitu pemilikan harta dari seseorang
kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan
hukum terhadap harta itu, baik harta itu tertentu maupun tidak, bendanya ada dan
boleh diserahkan yang penyerahannya ketika pemberi masih hidup, tanpa
mengharapkan imbalan.
B. Dasar dan Hukum Hibah
Hibah sebagai salah satu bentuk tolong-menolong dalam rangka kebajikan
antara sesama manusia sangat bernilai positif. Para ulama fiqh sepakat mengatakan
bahwa hukum hibah adalah sunat berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S. an Nisa’
ayat 4. Para ulama juga beralasan dengan sabda Rasulullah saw yang artinya “saling
memberi hadiahlah kemudian saling mengasihi”(HR. Bukhari, an Nasa’I, al Hakim dan al
Baihaqi).
C. Rukun dan Syarat Hibah
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa rukun hibah itu adalah adanya ijab dan
qabul. Jumhur ulama mengungkapkan bahwa rukun hibah itu ada empat yaitu:
1. orang yang menghibahkan,

2. harta yang dihibahkan,

3. lafaz hibah, dan

4. orang yang menerima hibah.


Sedangkan syarta barang yang dihibahkan adalah :
1. Harta yang akan dihibahkan ada ketika akad hibah berlangsung

2. Harta yang dihibahkan itu bernilai harta menurut syara’

3. Harta itu merupakan milik orang yang menghibahkannya

4. Menurut ulama Hanafiyah apabila harta yang dihibahkan itu berbentuk rumah harus
bersifat utuh, sekalipun rumah itu boleh dibagi. Akan tetapi ulama malikiyah,
Syafi’iyah dan Hanbaliyah mengatakan bahwa menghibahkan sebagian rumah boleh
saja dan hukumnya sah.

5. Harta yang dihibahkan itu terpisah dari yang lainnya dan tidak terkait dengan harta
atau hak lainnya, karena prinsip barang yang dihibahkan itu dapat dipergunakan
oleh penerima hibah setelah akad dinyatakan sah.

6. Harta yang dihibahkan itu dapat langsung dikuasai penerima hibah. Menurut
sebagian ulama Hanafiah dan sebagaian ulama Hanbaliyah, syarat ini
malahdijadikan rukun hibah, karena keberadannya sangat penting.
D. Pencabutan Hibah
Ulama Hanafiah mengatakan bahwa akad hibah tidak mengikat. Oleh sebab itu,
pemberi hibah boleh saja mencabut kembali hibahnya. Alasannya didasari kepada sabda
Rasulullah Saw yang artinya “orang yang menghibahkan hartanya lebih berhak terhadap
hartanya, selama hibah itu tidak diiringi ganti rugi”(HR. Ibnu Majah, ad-Daruquthni, ath-
Thabrani, dan al-Hakim).
Ada hal-hal lain yang menghalangi pencabutan hibah yaitu :
1. Apabila penerima hibah memberi imbalan harta/uang kepada pemberi hibah dan
penerima hibah menerimanya, karena dengan diterimanya imbalan harta/uang itu
oleh pemberi hibah, maka tujuannya jelas untuk mendapatkan ganti rugi, dalam
keadaan begini hibah itu tidak boleh dicabut kembali.

2. Apabila imbalannya bersifat maknawi, bukan bersifat harta, seperti mengharapkan


pahala dari Allah, untuk mempererat hubungan silaturrahmi dan hibah dalam
rangka memperbaiki hubungan suami istri, maka dalam kasus seperti ini hibah
menurut ulama Hanafiah tidak boleh dicabut.

3. Hibah tidak dapat dicabut menurut ulama Hanafiah apabila penerima hibah telah
menambah harta yang dihibahkan itu dengan tambahan yang tidak boleh dipisahkan
lagi, baik tambahan itu hasil dari harta yang dihibahkan maupun bukan.

4. Harta yang dihibahkan itu telah dipindah tangankan penerima hibah melalui cara
apapun, seperti menjualnya, maka hibah itu tidak boleh dicabut.

5. Wafatnya salah satu pihak yang berakad hibah. Apabila penerima hibah atau
pemberi hibah wafat maka hibah tidak boleh dicabut.

6. Hilangnya harta yang dihibahkan atau hilang disebabkan pemanfaatannya maka hibah
pun tidak boleh dicabut.
6. Penitipan (Al-Wadi’ah)
A. Pengertian
Secara etimologi kata wadi’ah berarti menempatkan sesuatu yang ditempatkan
bukan pada pemiliknya untuk dipelihara. Secara terminologi menurut ulama Hanafi
wadi’ah adalah mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan
ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat. Menurut ulama Maliki,
Syafi’I dan Hanbali atau jumhur ulama wadi’ah adalah mewakilkan orang lain untuk
memelihara harta tertentu dengan cara tertentu. Dasar hukum wadi’ah terdapat dalam
Q.S. al Baqarah ayat 283. Hadis Rasulullah Saw yang artinya “serahkanlah amanat orang
yang mempercayai engkau, dan jangan kamu menghianati orang yang telah
menghianati engkau”(HR. Abu Dawud, at Tirmizi dan al Hakim)
B. Rukun dan Syarat Al Wadi’ah
Ulama Hanafiah menyatakan bahwa rukun al wadi’ah hanya satu yakni ijab dan
qabul. Akan tetapi, jumhur ulama fiqh mengatakan bahwa rukun al wadi’ah yaitu orang
yang berakad, barang titipan, shigat ijab dan qabul, baik secara lafal atau melalui
tindakan. Rukun pertama dan kedua menurut ulama Hanafiah termasuk syarat, bukan
rukun. Menurut ulama Hanafiah yang menjadi syarat bagi kedua belah pihak yang
melakukan akad wadi’ah yaitu harus orang yang berakal. Sedangkan menurut jumhur
ulama pihak-pihak yang melakukan akad wadi’ah disyaratkan telah balig, berakal dan
cerdas karena akad al wadi’ah yang banyak mengandung resiko penipuan. Sayarat
kedua akad al wadi’ah adalah bahwa barang titipan itu jelas dan boleh dikuasai,
maksudnya barang yang dititipkan itu boleh diketahui identitasnya dengan jelas dan
boleh dikuasai untuk dipelihara.
Sifat dari akad wadi’ah sebagai akad yang bersifat amanah, yang imbalannya
hanya mengharap ridha Allah, para ulama fiqh juga membahas kemungkinan perubahan
sifat akad al wadi’ah dari sifat amanah menjadi sifat ad-dhaman (ganti rugi). Para ulama
fiqh mengemukakan beberapa kemungkinan tentang hal ini, yakni :
1. Barang itu tidak dipelihara oleh orang yang dititipi. Apabila seseorang merusak
barang itu dan orang yang dititipi tidak berusaha mencegahnya, padahal ia mampu,
maka ia dianggap melakukan kesalahan, karena memelihara barang itu merupakan
kewajiban baginya. Atas kesalahan ini ia dikenakan ganti rugi.

2. Barang titipan itu diterima oleh penerima titipan kepada orang lain atau kepada
pihak ketiga yang bukan keluarga dekat dan bukan pula menjadi tanggung jawabnya.
Resiko tetap ditanggung pihak kedua atau penerima titipan tersebut. Apabila barang
itu hilang atau rusak, dalam kasus seperti ini, orang yang dititipi dikenakan ganti
rugi.
3. Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi. Jika barang titipan tersebut
rusak ketika digunakan/dimanfaatkan oleh pihak yang dititipi, maka pihak yang
dititipi tersebut wajib mengganti kerusakan yang ditimbulkan meskipun
kerusakannya diluar kekuasaan. Karena barang titipan itu dititipkan hanya untuk
dipelihara saja, dengan demikian pemanfaatan barang titipan dianggap suatu
penyelewengan.

4. Orang yang dititipi mengingkari wadi’ah itu. Para ulama sepakat, apabila pemilik
barang meminta kembali barang titipannya kepada orang yang ia titipi, lalu orang
yang dititipi menolak tanpa alasan yang jelas, maka ia dikenakan ganti rugi.

5. Orang yang dititipi mencampurkan barang titipan dengan harta pribadinya, sehingga
sulit untuk dipisahkan.

6. Orang yang dititipi melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan, maka ia


dikenakan ganti rugi, kecuali syarat seperti tempat pemindahannya sama dengan
syarat-syarat yang dikemukakan penitipan barang.

7. Barang titipan dibawa bepergian jauh.


7. Pinjam Pakai (Al-Ariyyah)
A. Pengertian
Menurut etimologi al ariyyah berarti pinjaman atau sesuatu yang dipinjam,
pergi dan kembali atau beredar. Sedangkan menurut terminologi fiqh terdapat beberapa
definisi yang dikemukakan ulama fiqh yaitu menurut ulama Malikiyah dan Imam as-
Syarakhsi, tokoh fiqh Hanafi mendifinisikan sebagai pemilikan manfaat sesuatu tanpa
ganti rugi. Dan menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanbaliyah yaitu kebolehan
memanfaatkan barang orang lain tanpa ganti rugi. Dasar hukum ‘ariyyah Al Qur’an surat
al-Maidah ayat 2. Hadits Rasulullah Saw dikatakan bahwa “Rasulullah Saw meminjam
kuda Abi Talhah dan mengendarainya”(HR. al Bukhari dan Muslim dari Shafwan ibn
Umaiyah).
B. Rukun Al Ariyyah
Ulama Hanafiyah mengatakan rukun al ariyyah itu hanya satu, yaitu ijab dan
qabul tidaklah menjadi rukun. Adapun menurut jumhur ulama ada empat yaitu orang
yang meminjamkan, orang yang meminjam, barang yang dipinjam, dan lafal
peminjaman. Bagi ulama Hanafiyah orang yang meminjamkan, orang yang meminjam,
dan barang yang dipinjam termasuk kedalam syarat bukan rukun.
C. Syarat-syarat Al Ariyah
Adapun syarat-syarat al ariyah menurut ulama fiqh sebagai berikut :
1. Orang yang meminjam itu haruslah orang yang telah berakal dan cakap bertindak
hukum, karena orang yang tidak berakal tidak dapat dipercayai memegang amanah,
sedangkan barang al ariyyah ini pada dasarnya amanah yang harus dipelihara oleh
orang yang memanfaatkannya.

2. Barang yang dipinjam itu bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis
atau musnah seperti makanan.

3. Barang yang dipinjamkan itu harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam.
Artinya, dalam akad al ariyyah pihak peminjam harus menerima langsung barang itu
dan dapat ia manfaatkan secara langsung pula.

4. Manfaat barang yang dipinjam itu termasuk manfaat yang mubah atau yang
dibolehkan syara’
Menurut Hanafiyah, akad al ariyyah yang semula bersifat amanah boleh
berubah menjadi akad yang dikenakan ganti rugi dalam hal sebagai berikut :
1. Apabila barang itu secara sengaja dimusnahkan atau dirusak.

2. Apabila barang itu disewakan atau tidak dipelihara sama sekali

3. Apabila pemanfaatan barang pinjaman itu tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang
berlaku, atau tidak sesuai dengan syarat yang disepakati bersama ketika
berlangsungnya akad

4. Apabila pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan syarat yang
ditentukan sejak semula dalam akad.
8. Pemberian Kuasa (Al-Wakalah)
A. Pengertian
Secara etimologi wakalah berarti al-hifdh (pemeliharaan) seperti firman Allah
dalam Q.S. ali Imran ayat 173, Q.S. Hudayat 56. Menurut para fuqaha, wakalah berarti
pemberian kewenangan/kuasa kepada pihak lain tentang apa yang harus dilakukannya
dan penerima kuasa secara syara’ menjadi pengganti pemberi kuasa selama batas waktu
yang ditentukan.
B. Dasar Hukum
Al Qur’an surah Al kahfi ayat 19. Dan dalam hadits Rasulullah Saw pernah
mewakilkan kepada para sahabat untuk berbagai urusan. Diantaranya untuk
membayarkan utangnya, menetapkan hukuman-hukuman dan melaksanakannya dan
lain-lain.
C. Macam-macam Al Wakalah
1. Wakalah Muqayyadah atau khusus yaitu pendelegasian terhadap pekerjaan
tertentu. Dalam hal ini seorang wakil tidak boleh keluar dari wakalah yang
ditentukan.

2. Wakalah Mutlaqah yaitu pendelegasian secara mutlak misalnya sebagai wakil dalam
berbagai pekerjaan. Maka, seseorang wakil dapat melaksanakan wakalah secara
luas.
D. Berakhirnya Al Wakalah
Adapun hal yang membuat wakalah itu berakhir masa berlakunya yaitu sebagai
berikut :
1. Muwakkil mencabut wakalahnya kepada wakil. Sebagian ulama Hanafi dan Maliki
berpendapat hendaklah wakil mengetahui pencabutan akad tersebut.

2. Wakil mengundurkan diri dari akad wakalah. Menurut mazhab Maliki jika dalam
akad wakalah tak ada kesepakatan fee, maka wakil boleh mencabut atau
mengundurkan diri dari akad itu.

3. Muwakkil meninggal dunia, maka akad wakalah itu berakhir ketika berita kematian
itu sampai kepada wakil.

4. Waktu kesepakatannya sudah berakhir.

5. Ketika tujuan wakalah terlaksana.


6. Ketika sesuatu atau barang yang menjadi obyek wakalah tidak menjadi milik
muwakkil. Misalnya barang itu diambil alih oleh negara.

9. Penangguhan (Al-Kafalah)
A. Pengertian
Secara etimologi kafalah berarti jaminan, hamalah (beban), dan za’amah
(tanggungan). Sedangkan menurut istilah para ulama fiqh mengemukakan definisi yang
berbeda-beda antara lain adalah menggabungkan suatu zimah (tanggung jawab) kepada
zimah yang lain dalam penagihan, dengan jiwa, utang atau zat benda.
Menurut mazhab Hanafi istilah kafalah adalah memasukkan tanggung jawab
seseorang kedalam tanggung jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum. Sedangkan
menurut mazhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali kafalah adalah menjadikan seseorang
penjamin ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam pelunasan atau
pembayaran utang dan dengan demikian keduanya dipandang berutang. Ulama sepakat
dengan bolehnya kafalah karena sangat dibutuhkan dalam mu’amalah dan agar yang
berpiutang tidak dirugikan karena ketidakmampuan yang berutang.
B. Dasar Hukum
Dalam QS surat Yusuf ayat 66. Hadis Rasulullah Saw HR. Abu Daud :
“Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar” dan juga
terdapat dalam HR. Abu Daud, At Tirmizi, disahihkan Ibnu Hibban : “…bahwa penjamin
adalah orang yang berkewajiban membayar”
C. Macam-macam Al Kafalah
1. Kafalah dengan jiwa yang dikenal dengan kafalah bi al wajhi yaitu adanya kesediaan
pihak penjamin (al-kafil, al-dhmin, atau al-za’im) untuk menghadirkan orang yang ia
tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (makful lah).

2. Kafalah dengan harta merupakan kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin
atau kafil dengan pembayaran atau pemenuhan berupa harta. Kafalah harta ada
tiga macam yakni :

a) Kafalah bi al-dayn yaitu kewajiban membayar utang yang menjadi beban orang
lain, dalam hadits Salamah bin Aqwabahwa Nabi Saw tidak mau menshalatkan
mayat yang mempunyai kewajiban membayar hutang, Qathadah r.a berkata:
“shalatkanlah dia dan saya akan membayar utangnya, Rasulullah Saw
kemudian menshalatkannya”.Dalam kafalah utang disyaratkan sebagai berikut :
1) Utang tersebut bersifat mengikat/tetap (mustaqir) pada waktu terjadinya
transaksi jaminan seperti utang qiradh, upah dan mahar. Sementara Abu
Hanifah, Malik dan Abu Yusuf berpendapat, bahwa seseorang boleh
menjamin suatau utang yang belum mengikat.

2) Hendaklah barang yang dijamin diketahui. Menurut mazhab Syafi’I dan Ibnu
Hazm, seseorang tidak sah menjamin barang yang tidak diketahui, sebab
perbuatan tersebut adalah gharar, sementara Abu Hanifah, Malik dan
Ahmad berpendapat bahwa seseorang boleh menjamin sesuatu yang tidak
diketahui.
b) Kafalah dengan penyerahan benda yaitu kewajiban menyerahkan benda-benda
tertentu yang ada ditangan orang lain, seperti menyerahkan jualan kepada
pembeli.

c) Kafalah dengan ‘aib, maksudnya adalah jaminan jika barang yang dijual ternyata
mengandung cacat, karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-hal lainnya,
maka penjamin (pembawa barang) bersedia memberi jaminan kepada penjual
untuk memenuhi kepentingan pembeli (mengganti barang yang cacat tersebut).
D. Diantara Hukum-Hukum Al Kafalah
1. Dalam kafalah, kafil (penjamin) disyaratkan kenal dengan makful (orang yang
dijamin) terutama dalam kafalah idhar (jaminan menghadirkan hak di pengadilan).

2. Dalam kafalah, disyaratkan kerelaan pihak kafil

3. Jika seseorang menjamin dalam bentuk jaminan uang, kemudian makful meninggal
dunia, maka kafil menanggung uang tersebut. Jika ia menjamin dalam bentuk
kafalah ihdhar (jaminan menghadirkan hak dipengadilan) kemudian makful
meninggal dunia maka kafil tidak terkena kewajiban apa-apa.

4. Kafalah tidak diperbolehkan kecuali dalam hal-hal yang boleh digantikan. Misalnya
dalam masalah uang. Adapun pada masalah-masalah yang tidak bisa digantikan
misalnya dalam masalah hudud (hukuman) atau qishas, maka kafalah tidak
dibenarkan didalamnya, karena Rasulullah Saw bersabda yang artinya “tidak ada
kafalah dalam masalah hudud (hukuman)”
E. Pelaksanaan Al Kafalah
Kafalah dapat dilaksanakan dengan tiga bentuk, yaitu:
1. Munjaz (Tanjiz), ialah tanggungan yang ditunaikan seketika, seperti seseorang
berkata: “saya tanggung si fulan dan saya jamin si fulan sekarang”

2. Mu’allaq (ta’liq),ialah menjamin sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu, spserti


seseorang berkata: “jika kamu mengutangkan pada anakku, maka aku akan
membayarnya”

3. Mu’aqqat (Taukit), ialah tanggungan yang harus dibayar dengan dikaitkan pada
suatu waktu, seperti ucapan seseorang: “bila ditagih pada bulan Ramadhan, maka
aku yang menanggung pembayaran utangmu”.
10. Pemindahan Utang (Al-Hiwalah)
A. Pengertian
Hiwalah adalah akad memindahkan atau mengoper. Dan dapat diartikan juga
pemindahan utang piutang satu pihak kepada pihak lain. Dalam hal ini ada tiga pihak
yang terlibat, yaitu muhil atau madin, pihak yang memberi utang (muhal atau da’in) dan
pihak yang menerima pemindahan (muhal a’alih). Dasar hukum hiwalah dibenarkan
oleh Rasulullah Saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh mayoritas jumhur ulama
dengan lafal yang berbeda “memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan orang
kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang
yang mudah membayar utang, maka hendaklah ia beralih”. Disamping itu terdapat
kesepakatan ulama atau ijma’ yang menyatakan bahwa tindakan hiwalah boleh
dilakukan.
B. Rukun Dan Syarat Al Hiwalah
Syarat Hiwalah menurut Hanafiyah, yaitu:
1. Orang yang memindahkan utang (muhilf), adalah orang yang berakal

2. Orang yang menerima hutang (rah al-dayn), adalah orang yang berakal
3. Orang yang dhiwalahkan (mahal’alah), adalah orang yang berakal dan disyaratkan
juga dia meredhainya

4. Adanya utang muhil kepada muhal alaih


Syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (al muhal bih) yaitu:
1. Sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang pasti. Jika yang dialihkan
belum merupakan utang piutang yang pasti misalnya, mengalihkan utang yang
timbul akibat jual beli yang masih berada dalam masa khiyar maka hiwalah tidak
sah.

2. Apabila pemgalihan utang dalam bentuk hiwalah mukayyadhah semua ulama fiqh
sepakat, bahwa baik utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak
ketiga kepada pihak pertama meskilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika terdapat
perbedaan jumlah dan kualitas maka hiwalah tidak sah. Namun jika pengalihan itu
dalam bentuk hiwalah mutlaqah maka kedua utang itu tidak mesti sama.

3. Ulama dari mazhab syafi’I menambahkan bahwa kedua utang itu mesti sama waktu
jatuh tempo pembayarannya. Jika terdapat perbedaan, maka hiwalah tidak sah.
C. Macam Al Hiwalah
Hiwalah jika ditinjau dari segi obyek akad menurut mazhab Hanafi membagi dua
bentuk hiwalah yaitu :
1. Hiwalah al haq (pemindahan haq) yaitu apabila yang dipindahkan merupakan hak
menuntut utang

2. Hiwalah ad dain (pemindahan utang) yaitu jika yang dipindahkan itu kewajiban
untuk membayar utang.
Hiwalah jika ditinjau dari sisi lain hiwalah terbagi dua pula yaitu :
1. Pemindahan sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak
kedua, yang disebut hiwalah muqayyadhah (pemindahan bersyarat).

2. Pemindahan utang yang tidak ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran utang pihak
pertama kepada pihak kedua yang disebut hiwalah muthlaqah (pemindahan mutlak)
D. Akibat Hukum Al Hiwalah
Jika akad hiwalah telah terjadi, maka timbul akibat hukum, yaitu sebagai berikut
:
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama untuk membayar
utang kepada pihak kedua secara otomatis menjadi terlepas. Sedangkan menurut
sebagian ulamam mazhab Hanafi kewajiban tersebut masih tetap ada selama pihak
ketiga belum melunasi utangnya kepada pihak kedua. Hal ini karena mereka
memandang bahwa akad itu didasarkan atas prinsip saling percaya, bukan prinsip
pengalihan hak dan kewajiban.

2. Lahirnya hak bagi pihak kedua untuk menuntut pembayaran utang kepada pihak
ketiga.

3. Menurut mazhab Hanafi jika akad hiwalah mutlaqah terjadi karena inisiatif dari
pihak pertama, maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak ketiga
yang mereka tentukan ketika melakukan akad utang piutang sebelumnya masih
tetap berlaku, khususnya jika jumlah hutang piutang antara ketiga pihak tidak sama.
E. Berakhirnya Al Hiwalah
Menurut ulama fiqh berakhirnya akad hiwalah jika terjadi hal-hal sebagai
berikut :

1. Salah satu pihak yang sedang berakad membatalkan akad hiwalah sebelum akad itu
berlaku secara tetap. Dengan demikian, pihak kedua kembali berhak menuntut
pembayaran utang kepada pihak pertama. Demikian pula pihak pertama kepada
pihak ketiga.

2. Pihak ketiga melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.

3. Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi
harta pihak kedua.

4. Pihak kedua menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan utang


dalam akad hiwalah itu kepada pihak ketiga.
5. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar utang
yang dialihkan itu.

6. Hak pihak kedua, menurut ulama Hanafi tidak dapat dipenuhi karena pihak ketiga
mengalami bangkrut, wafat dalam keadaan bangkrut atau dalam keadaan tidak ada
bukti autentik tentang bukti hiwalah, sedangkan pihak ketiga mengingkari akad itu.
Sedangkan menurut ulama Maliki, Syafi’I dan Hanbali selama akad hiwalah sudah
berlaku tetap karena persyaratan yang ditetapkan sudah terpenuhi maka akad
hiwalah tidak dapat berakhir karena hal-hal di atas.
11. Gadai (Ar-Rahn)
A. Pengertian
Ar rahn yaitu penetapan dan penahanan. Secara istilah ar rahn ialah menjamin
hutang dengan barang dimana hutang dimungkinkan bisa dibayar dengannya, atau hasil
dari penjualannya. Ulama Malikiyah mendefinisikan ar rahn sebagai harta yang dijadikan
pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat. Sedangkan ulama Hanafiah
mendefinisikan ar rahn yaitu menjadikan sesuatu atau barang sebagai jaminan terhadap
hak atau piutang yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak atau piutang itu, baik
seluruhnya maupun sebagiannya. Dasar hokum rahn dibolehkan berdasarkan Al Qur’an
surat Al Baqarah ayat 283. Dan sabda Rasulullah Saw yang artinya “rahn tidak boleh
dimiliki dari orang yang menggadaikannya” (diriwayatkan Imam Syafi’I dan Ibnu Majah
dan Daruqutni). Selain itu juga terdapat dalam hadits Anas bin Malik r.a berkata
“Rasulullah saw menggadaikan baju besinya kepada salah seorang yahudi Madinah dan
Beliau mengambil sya’ir (sejenis gandum) untuk keluarganya” (HR. Bukhari).
B. Rukun Ar rahn
Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun ar rahn. Menurut
jumhur ulama rukun ar rahn itu ada empat yaitu shigat, orang yang berakad, harta yang
dijadikan agunan dan utang. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rukun ar rahn itu
hanya ijab dan qabul. Disamping itu menurut mereka untuk sempurna dan mengikatnya
akad ar rahn ini maka diperlukan al-qabdh (penguasaan barang) oleh pemberi utang.
Adapun kedua orang yang melakukan akad, harta yang dijadikan agunan, dan utang
menurut ulama Hanafiah termasuk syarat-syarat ar rahn bukan rukunnya.
C. Syarat-syarat Ar rahn
Para ulama fiqh mengungkapkan syarat-syarat ar rahn sesuai dengan rukun ar
rahn itu sendiri, yaitu meliputi :
1. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum,
kecakapan bertindak hukum menurut jumhur ulama adalah orang yang balig dan
berakal, (menurut ulama Hanafi tidak balig tetapi cukup berakal saja).

2. Syarat shigat (lafal)

3. Syarat al-marhum bihi (utang) adalah merupakan hak yang wajib dikembalikan
kepada orang tempat berutang, utang itu boleh dilunasi dengan agunan itu dan
utang itu jelas dan tertentu.

4. Syarat al-marhun (barang yang dijadikan agunan). Menurut para pakar fiqh yaitu
barang jaminan atau agunan itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang,
barang jaminan itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan, barang jaminan itu jelas
dan tertentu, agunan itu milik sah orang yang berutang, barang jaminan itu tidak
terkait dengan hak orang lain, barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak
bertebaran dalam beberapa tempat dan barang jaminan itu boleh diserahkan baik
materinya maupun manfaatnya.
D. Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang dibutuhkan
untuk pemeliharaan barang jaminan itu menjadi tanggung jawab pemiliknya. Para ulama
fiqh juga sepakat mengatakan bahwa barang yang dijadikan barang jaminan itu tidak
boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali karena tindakan ini
termasuk tindakan menyia-nyiakan harta yang dilarang Rasulullah saw. Jumhur ulama
fiqh selain ulama Hanabilah berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tidak boleh
memanfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak
pemegang barang jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan piutang yang
ia berikan, dan apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya barulah ia
boleh menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi piutangnya.
Persoalan lain adalah apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah binatang
ternak. Menurut sebagian ulama Hanafiah al murtahin boleh memanfaatkan hewan
ternak itu apabila mendapat izin dari pemiliknya. Syafi’iyah dan sebagian ulama
Hanafiayah berpendirian bahwa apabila hewan itu dibiarkan saja tanpa diurus oleh
pemiliknya maka al murtahin boleh memanfaatkannya, baik seizin pemiliknya maupun
tidak karena membiarkan hewan itu tersia-sia termasuk kedalam larangan Rasulullah
Saw yang diriwayatkan oleh at Tirmizi.
E. Resiko Kerusakan Marhun
Jika marhun hilang di bawah pengawasan murtahin, maka murtahin tidak wajib
menggantinya, kecuali jika kerusakan marhun atau hilangnya marhun karena kelalaian
murtahin atau karena disia-siakan, seperti murtahin bermain dengan api kemudian
marhun terbakar, atau gudang marhun tidak dikunci, kemudian marhun hilang, maka
dalam hal ini murtahin harus bertanggung jawab untuk menggantinya. Menurut ulama
Hanafi murtahin wajib mengganti marhun, baik terjadi karena kelalaian dari murtahin
maupun tidak.
12. Perdamaian (Ash-Shulh)
A. Pengertian
Shulh ialah akad diantara dua pihak yang berperkara untuk memutuskan
pertengkaran atau memecahkan perselisihan yang terjadi diantara keduanya. Menurut
Sayyid Sabiq shulh adalah suatu akad yang bertujuan untuk mengakhiri perselisihan atau
pertengkaran. Dasar hukum shulh firman Allah SWT dalam Q.S. an Nisa’ ayat 128. Dan
Sabda Rasulullah Saw yang artinya “perdamaian (shulh) itu diperbolehkan diantara
kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan sesuatu yang halal atau
menghalalkan sesuatu yang haram” (diriwayatkan Abu Daud dan at Tirmizi.)
B. Rukun dan Syarat Al Shulh
1. Mushalih, yaitu masing-masing pihak yang melakukan akad perdamain untuk
menghilangkan permusuhan. Syaratnya, para pihak tersebut tindakannya
dinyatakan sah menurut hukum.

2. Mushalis ‘anhu, yaitu persoalan yang diperselisihkan. Dengan syarat termasuk hak
manusia yang boleh digantikan sekalipun tidak berupa harta.

3. Mushalih’alaihi, yaitu hal-hal yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap
lawannya untuk memutuskan perselisihan. Tidak diperlukan syarat untuk
mengetahui dengan jelas.
4. Shigat, yaitu ijab dan qabul diantara dua pihak yang melakukan akad perdamaian.
Dengan syarat dapat dilakukan dengan lafaz atau dengan apa saja yang dapat
menunjukkan adaanya ijab dan qabul
C. Akibat Hukum Shulh
1. Shulh terhadap sesuatu yang dituduhkan dengan tidak boleh mengambil konfensasi
darinya adalah seperti jual beli sesuatu yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan
memanfaatkannya.

2. Jika salah satu dari pihak yang berdamai mengetahui kebohongan dirinya, maka
shulh menjadi batal dan apa yang ia ambil karena shulh adalah haram.

3. Barang siapa mengakui hak yang ada pada dirinya, namun menolak membayarnya
kecuali jika ia diberi sesuatu dari hak tersebut maka tidak diperbolehkan.
D. Jenis-jenis Shulh
Shulh kedalam harta benda terbagi dalam tiga jenis yaitu :
1. Shulh karena pengakuan. Misalnya si A mengaku mempunyai piutang kepada si B
dan ia mengakuinya, kemudian si A memberi sesuatu kepada si B sebagai bentuk
perdamaian karena si B tidak membantah piutang yang ada padanya, misalnya
dengan memotong sebagian hutang yang diakui si B, atau menghadiahkan kepada si
B sebagaian barang yang diakuinya, atau si A mengakui memiliki hewan pada si B
dan ia mengakuinya kemudian si A memberi si B pakaian dan lain sebagainya.

2. Shulh karena penolakan. Misalnya si A mengaku mempunyai piutang pada si B,


namun si B tidak mengakuinya. Kemudian si B berdamai dengan si A agar
membatalkan pengakuannya dan menghindarkannya dari perselisihan dan sumpah
diwajibkan jika terjadi penolakan dari salah satu pihak.

3. Shulh karena diam. Misalnya si A mengaku mempunyai piutang pada si B kemudian


si B diam, tidak mengakui dan tidak menjawab, kemudian si B berdamai dengan si A
dengan sesuatu yang membatalkan pengakuan dan meninggalakan perselisihannya.

4. Perdamaian antara muslimin dengan kafir, yaitu membuat perjanjian untuk


meletakkan senjata dalam masa tertentu atau gencatan senjata, secara bebas atau
dengan mengganti kerugian yang diatur dalam UU yang disepakati dua belah pihak
5. Perdamaian antara kepala negara dengan pemberontakan, yaitu membuat
perjanjian mengenai keamanan dalam negara yang harus ditaati

6. Perdamaian antara suami istri,, yaitu dengan membuat perjanjian pembagian nafkah
13. Mudharabah atau Qiradh
A. Pengertian
Mudharabah secara bahasa berpergian atau berjalan. Sementara secara istilah
akad antara dua pihak saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya
kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan pembagian keuntungan, seperti
seperdua, sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Menurut ulama Syafi’i
mudharabah ialah akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada
yang lain untuk ditijarahkan. Dan menurut Sayyid Sabiq mudharabah ialah akad antara
dua belah pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk
diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian. Dasar
hukumnya ialah dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah dari Shuhaib r.a,
bahwa Rasulullah Saw, bersabda, yang artinya: “ada tiga perkara yang diberkati: jual
beli yang ditangguhkan, memberi modal,dan mencampur gandum dengan jelai untuk
keluarga, bukan untuk dijual”
B. Rukun dan Syarat Mudharabah
Menurut ulama Syafi’i rukun mudharabah yaitu:
1. Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya, dengan syarat barang yang
diserahkab tu berbentuk uang tunai, dapat membedakan antara modal yang
diperdagangkan dengan laba dari perdagangan tersebut

2. Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang,
dengan syarat mampu melakukan tasharruf, maka batal akad yang dilakukan oleh
anak kecil, orang gila

3. Aqad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang, dengan syarat
melafazkan ijab dari pemilik modal, kemudian bersifat mutlak

4. Mal, yaitu harta pokok atau modal

5. Amal, yaitu pekerjaan pengelola harta sehingga menghasilkan laba


6. Keuntungan, dengan syarat harus menjelaskan persentasenya
C. Pembatalan Mudharabah
Mudharabah menjadi batal apabila ada perkara-perkara sebagai berikut:
1. Tidak terpenuhinya salah satu syarat mudharabah

2. Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal dan


bertentangan dengan tujuan akad

3. Meninggalnya salah seorang pemilik modal


14. Musaqah
A. Pengertian
Musaqah, yaitu seseorang bekerja pada pohon supaya mendatangkan
kemaslahatan dan mendapatkan bagian dari hasil yang diurus sebagai imbalan.
Sedangkan menurut istilah musaqah ialah akad untuk pemeliharaan pohon kurma,
tanaman atau pertanian dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu. Menururt
Malikiyah sesuatu yang tumbuh di tanah, yaitu pohon yang berakar kuat dan berbuah
seperi pohon anggur dan zaitun, berakar tetap tetapi tidak berbuah seperti karet dan
jati, pohon tidak berakar kuat tetapi berbuah dan dapat dipetik seperti padi dan lain
sebagainya. Menurut Syafi’iyah musaqah ialah memberikan pekerjaan orang yang
memiliki pohon tamar dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya
dengan menyiram, memelihara, menjaganya dan pekerja memperolah bagian dari buah
yang dihasilkan oleh pohon tersebut. Sementara menurut Hambal musaqah ialah
seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanam, kemudian
penggarap memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya. Dasar
hukumnya terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Amr,
bahwa Rasulullah Saw bersabda yang artinya “memberikan tanah Khaibar dengan
bagian separoh dari penghasilan,baik buah-buahan maupun pertanian (tanaman). Pada
riwayat lain dinyatakan bahwa Rasul menyerahkan tanah Khaibar itu kepada Yahudi,
untuk diolah dan modal dari hartanya, penghasilan separohnya untuk Nabi”.
B. Rukun dan Syarat Musaqah
1. Shigah, dengan syarat dengan lafaz dan tidak cukup dengan perbuatan saja

2. Al ‘aqidain, dengan syarat ahli atau mampu untuk melakukan akad, baligh, berakal
3. Kebun dan semua pohon yang berbuah , dengan syarat pembagian hasilnya jelas

4. Masa kerja, dengan syarat ditentukan lama waktu yang akan dikerjakan

5. Buah, dengan syarat ditentukan bagian masing-masing


C. Berakhirnya Musaqah
1. Jika penggarap sakit keras dan berpergian jauh secara mendadak, kecuali dalam
kontrak dijelaskan bahwa akan ada penggantinya, jika terjadi halangan

2. Penggarap tidak mampu untuk bekerja mengurusnya, karena telah kehilangan


kemampuan untuk menggarapnya
15. Muzara’ah

A. Pengertian
Muzara’ah secara bahasa melemparkan tanaman atau modal. Menurut Hambali
muzara’ah ialah pemilik tanah menyerahkan tanahnya untuk digarap dan bibit dari
pemilik tanah. Pemahan tentang muzara’ah hampir sama dengan mukhabarah.
Persamaannya yaitu sama-sama bergerak dalam bidang pertanian, pemilik tanah
menyerahkan tanahnya kepada penggarap untuk digarap. Perbedaanya terletak pada
pemberian modal, jika modal dari pemilik tanah disebut dengan muzara’ah dan jika
tanah dari penggarap disebut dengan mukhabarah. Dasar hukum muzara’ah yang
banyak digunakan akan kebolehan muzara’ah ialah dari hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a yang artinya “Sesungguhnya Nabi Saw
menyatakan tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya
yang sebagian menyayangi bagian yang lai, dengan katanya, barang siapa yang
memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada
sudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu”
B. Rukun dan Syarat Muzara’ah
Rukun dari muzara’ah terdiri dari:
1. Al ‘aqidain, haruslah berakal

2. Tanah, harus dapat ditanami dan diketahui batasannya

3. Perbuatan pekerjaan, haruslah jelas pembagian hasilnya


4. Modal atau tanaman, haruslah adanya penentuan jenis apa saja yang akan ditanam

5. Alat-alat untuk menanam, disyaratkan berupa hewan dan yang lainnya yang
diserahkan kepada pemilik tanah
16. Wasiat

A. Pengertian
Wasiat adalah penyerahan harta secara suka rela dari seseorang kepada pihak
lain yang berlaku setelah orang tersebut wafat, baik harta itu berbentuk materi maupun
berbentuk manfaat. Dasar hukum wasiat terdapat dalam QS Al-Baqarah ayat 180, An
Nisaa’ ayat 11 dan 12. Adapu dalam sunnah Rasulullah Saw yang artinya “Sesungguhnya
Allah bersedekah kepada kamu tatkala kamu akan menghadapi kematian untuk
berwasiat sepertiga dari amalan kamu”(HR Al Bukhari dan Muslim).
Hukum wasiat jika dilihat dari dasar hukum wasiat itu sendiri mengandung
makna bahwa wasiat itu sangat dianjurkan atau sunnah. Dan satu riwayatpunn yang
menjelaskan akan wajibnya wasiat. Jika dilihat pada sisi harta yang ada pada pemilik
harta dan orang yang akan menerima wasiat, ulama menetapkan hukum yang berbeda
bagi para individu yang akan berwasiat, sesuai dengan objek wasiat tersebut. Hukum
wasiat akan menjadi wajib apabila berkenaan dengan hak-hak Allah SWT, seperti zakat,
fidyah, kafarat. Dan sama halnya jika berkaitan dengan penunaian hak-hak pribadi yang
hanya bisa diketahui melalui wasiat seperti mengembalikan harat titipan, dan utang.
Hukum wasiat menjadi sunnah, jika ditujukan kepada karib kerabat yang tidak
mendapat bagian warisan atau kepada orang yang membutuhkan. Hukum wasiat
menjadi mubah, jika ditujukan kepada orang yang kaya dengan tujuan persahabatan
atau balas jasa. Hukum wasiat menjadi haram, jika ditujukan kepada sesuatu yang
bersifat maksiat seperti mewasiatkan khamar. Hukum wasiat menjadi makruh, jika harta
orang berwasiat itu sedikit, sedangkan ahli warisnya banyak.
B. Rukun dan Syarat Wasiat
1. Orang yang berwasiat, dengan syarat ahliyyah, berakal, baligh, wasiat dilakukan
secara sadar dan suka rela, dan tidak mempunyai utang yang jumlahnya sebanyak
harta yang akan ditinggalkannya.
2. Penerima wasiat, dengan syarat benar ada, identitasnya jelas, orang/lembaga yang
cakap menerima hak/milik, bukan orang yang membunuh pemberi wasiat, bukan
orang yang kafir, dan wasiat tidak bermaksud merugikan ummat.

3. Harta yang diwasiatkan, dengan syarat bernilai harta secara syara’, sesuatu yang
bisa dijadikan milik baik berupa materi/manfaat, milik pemberi wasiat dan tidak
melebihi sepertiga dari harta pemberi wasiat.

4. Shighat akad, dengan syarat ijab qabul dalam wasiat harus jelas dan ijab qabul harus
sejalan.
Wasiat diberikan kepada orang yang bukan berhak menerima warisan dari
pemberi wasiat, kecuali dibolehkan sama ahli waris lainnya. Jumlah harta yang boleh
diwasiatkan adalah sepertiga dari jumlah harta pemberi wasiat. Jika lebih dari sepertiga
harus mendapat persetujuan dari ahli waris. Sifat dari akad wasiat ini sah jika telah
memenuhi rukun dan syarat dari wasiat. Walaupun demikian ulama fikih sepakat
mengatakan bahwa wasiat itu bersifat tidak mengikat. Dikalangan ulama dikenal dengan
istilah wasiat wajibah, yaitu suatu wasiat yang diperuntukkan kepada ahli waris atau
kepada kerabat yang tidak memperolah bagian harta warisan dari orang yang wafat,
karena ada halangan syara’. Seperti berwasiat kepada ayah dan ibu yang beragama non
Islam, karena beda agama menjadi penghalang bagi seseorang untuk menerima warisan,
atau cucu yang tidak mendapat warisan karena terhalang oleh paman.
C. Hal-Hal Yang Membatalkan Wasiat

1. Al musi atau pemberi wasiat mencabut wasiatnya

2. Al musi menyatakan penolakannya terhadap wasiat

3. Harta yang diwasiatkan musnah

4. Al musa lebih dahulu wafat dari Al musi

5. Syarat yang ditentukan dalam akad wasiat tidak terpenuhi

6. Al musi kehilangan kecakapannya dalam bertindak hukum


7. Al musi maupun al musa murtad ini menurut Hanafi dan Syafi’i

8. Al musa membunuh al musi baik berdasarkan persetujuan ahli waris, ini menurut
mazhab Hanafi dan Hambali

9. Warisan diberikan kepada ahli waris, meskipun mendapat persetujuan dari ahli
waris lainnya ini menurut mazhab Maliki. Akan tetapi lain halnya dengan pendapat
mazhab Syafi’i dan Hambali, hal ini dibolehkan
17. Istishna’

A. Pengertian
Istishna’ adalah memesan kepada perusahaan untuk memproduksi barang atau
komoditas tertentu untuk pembeli/pemesan. Kegiatan dari istishna’ ini ialah sebuah
perusahaan mengerjakan untuk memproduksi barang yang dipesan dengan bahan baku
dari perusahaan. Akad istishna’ akan menjadi sah jika harga harus ditetapkan di awal
transaksi dan barang harus memiliki spesifikkasi yang jelas sesuai dengan kesepakatan
bersama. Dalam istishna’ pembayaran boleh dimuka, dicicil sampai selesai atau
dibelakang. Jika perusahaan telah melakukan pembuatan barang sesuai dengan pesanan
dan tiba-tiba pihak pembeli membaalkan kontrak, maka dalam hal ini pembatalan
kontrak tidak berlaku. Pembatalan kontrak berlaku jika proses pembuatan barang belum
terlaksana. Adapun proses pembiayaan akad istishna’ yaitu pembeli menemui pihak
perusahaan kemudian melakukan pesanan dengan spesifikasi, adanya negosiasi dan
akad istishna’, pemebeli membayar dengan dimuka, dicicil, produksi sesuai dengan
pesanan, dan produsen mengirim barang ke konsumen atau pembeli. Istishna’
merupakan salah satu bentuk jual beli dengan pemesanan yang mirip dengan salam
yang merupakan bentuk jual beli forward yang dibolehkan oleh syari’ah. Rukun dari
akad istishna’ yaitu:
1. Pelaku akad, yaitu mustashni (pembeli) dan shani’ (penjual)

2. Objek akad (mashnu’)

3. Shigha akad
Antara istishna’ dan salam terdapat perbedaan, perbedaan dari kedua akad ini
yaitu:
a. Objek istishna” selalu barang yang diproduksi, sedangkan salambisa untuk barang
apa saja baik diproduksi lebih dahulu maupun belakangan

b. Harga dalam akad salam harus dibayar penuh dimuka, kalau akad istishna” tidak
mengharuskan pembayaran dimuka bahkan dapat dicicil

c. Akad salam tidak dapat diputuskan secara sepihak, sementara akad istishna’ dapat
diputus sebelum perusahaan mulai memproduksi

d. Waktu penyerahan merupakan bagian tertentu dalam akad salam, sementara akad
istishna’ waktu penyerahan tidak merupakan keharusan
18. Al Qismah
Qismah merupakan pambagian. Adapun pembagiannya terdiri dari:
a. Qismah al-a’yan, ialah pembagian benda

b. Qismah al-manafi, ialah pembagian manfaat

c. Qismah al-tarikah, ialah pembagian pusaka

2. Akad Ghairu Musamma Atau Akad Tak Bernama


Akad ghairu musamma ialah akad yang belum diberi nama tertentu dalam syara' dan juga
hukum-hukum yang mengaturnya. Artinya akad yang tidak ditentukan oleh Pembuat Hukum
namanya yang khusus dan tidak ada pengaturan tersendiri mengenainya. Akad ini dibuat oleh
sendiri sesuai dengan kebutuhannya. Akad yang dibuat sendiri ini termasuk apa yang disebut
dengan asas kebebasan berakad. Akad-akad ini terjadi karena perkembangan kemajuan peradaban
manusia yang dinamik. Contohnya perjanjian, periklanan dan lain sebagainya. Jumlahnya sangat
banyak dan tidak terbatas seperti baiul wafâ' dan bermacam-macam jenis syirkah (musyârakah)
lain-lain.
Baiul wafa’ merupakan jual beli opsi yang dalam hukum Islam timbul dari praktek dan
merupakan percampuran antara gadai dengan jual beli, meskipun dalam hal ini unsur gadai lebih
menonjol. Dalam baiul wafa’ ini boleh memanfaatkan barang gadai akan tetapi tidak boleh dijual,
pengambilan manfaat ini gunanya untuk jaminan bagi orang yang memberikan pinjaman.
B. Akad Shahih
Akad shahih adalah akad yang diselenggarakan dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya.
Hukumnya adalah akad ini berdampak pada tercapainya realisasi yang dituju oleh akad tersebut
yaitu perpindahan hak milik. Menurut mazhab Hanafi dan Maliki akad ini terbagi dua macam yaitu:
a) Akad yang nafiz, akad yang dilangsungkan dengan memenuhi dengan rukun dan syaratnya dan
tidak ada penghalang untuk melaksanakannya. Akad yang bebas dari faktor yang mengakibatkan
tidak terlaksananya akad tersebut. Jadi akad ini sah dan langsung menimbulkan akibat hukum
saat terjadinya pelaksanaan akad.
b) Akad mauquf, akad yang dilakukan oleh orang yang cakap hukum, akan tetapi tidak memiliki
kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad tersebut. Seperti akad yang dilakukan
oleh anak kecil.
C. Akad Ghairu Shahih
Akad tidak shahih, ialah akad yang terdapat kekurangan rukun dan syarat akad. Hukumnya
adalah bahwa akad tersebut tidak memiliki dampak apapun, tidak terjadi pemindahan kepemilikan
dan akad dianggap batal seperti jual-beli bangkai, darah atau daging babi. Dengan kata lain dalam
pandangan hukum tidak terjadi transaksi. Dalam akad tidak shahih ini terdapat dua bagian yaitu:
a. Akad batal, ialah apabila akad itu tidak memenuhi salah satu rukun dan syarat akad atau ada
larangan langsung dari syara’. Seperti jual beli ikan yang masih dalam kolam atau lautan. Akad
batil, berarti hampa, sia-sia, tidak ada substansi dan hakikatnya. Hukum dari akad batil ialah
tidak ada wujudnya secara syar’i, wajib dikembalikan kepada keadaan semula pada saat
sebelum dilaksanakannya akad batil tersebut, tidak berlaku pembenaran dengan cara memberi
izin, tidak perlu difasakh (dilakukan pembatalan), ketentuan lewat waktu tidak berlaku terhadap
pembatalan.
b. Akad fashid, ialah akad yang telah memenuhi rukun dan syarat akad, hanya saja dalam
prakteknya terdapat kesalahan atau sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Seperti jual beli rumah
yang tidak dijelaskan tipe, bentuk dan jenis dari rumah tersebut. Akad fasid, berarti rusak,
busuk. Menurut mazhab Hanafi akad fasid ialah akad yang menurut syarat sah pokoknya, tetapi
tidak sah sifatnya. Bedanya dengan akad batil ialah bahwa akad batil tidak sah baik pokok
maupun sifatnya. Dari pendapat mayoritas tidak membedakan antara akad batil ataupun akad
fasid. Akad fâsid, pada prinsipnya dibenarkan secara syar'i tetapi sifatnya tidak dibenarkan.
Misalnya akad tersebut dilakukan oleh orang yang memiliki kapabilitas, barang yang
ditransaksikan dibenarkan oleh syara' namun ada sifat yang dilarang oleh syara' seperti menjual
suatu barang yang belum jelas kondisinya sehingga akan dapat menimbulkan persengketaan
ketika akad tersebut dilakukan. Akad fâsid memiliki dampak syara' dalam transaksi artinya
terjadi perpindahan kepemilikan. Namun akad ini dapat dibatalkan atau fasakh oleh salah satu
pihak yang melakukan transaksi atau dari hakim yang mengetahui duduk persoalan yang
sebenarnya.
D. Akad Tabarru’
Ialah akad yang tertunda artinya dalam pelaksanaannya akad ini ditunda sampai
dibolehkan oleh walinya atau orang dewasa. Seperti wakaf dan zakat. Wakaf artinya penahanan
harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan disertai dengan memutuskan penggolongan
dalam penjagaannya atas pengelola yang dibolehkan. Jadi wakaf adalah menahan sesuatu benda
yang kekal zatnya dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya untuk diberikan pada jalan
kebaikan. Dasar hukum dari wakaf yaitu QS Al-Hajj ayat 77 yang artinya “Berbuatlah kamu akan
kebaikan agar kamu dapat kemenangan”.
Akad tabarru’ yang maksdu dalam wakaf ini adalah tertundanya penerimaan wakaf
sampai pemberi wakaf membolehkan hartanya untuk dimanfaatkan dan atau sampai harta
wakaf tersebut terlepas dari pemberi wakaf. Dan akad tabarru’ pada kajian zakat ialah
tertundanya pembagian zakat sampai muzakki telah mengeluarkan zakatnya dan telah sampai
waktunya pembagian zakat.

Anda mungkin juga menyukai