Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Ciri utama dari suatu negara yang mempraktekkan demokrasi adalah

dilaksanakannnya Pemiluhan Umum (Pemilu) secara periodik dalam

tenggang waktu tertentu. Dikatakan sebagai indikator utama negara

demokrasi, karena dalam Pemilu rakyat menggunakan suaranya,

melaksanakan hak politiknya dan menentukan pilihannya secara langsung

dan bebas.

Secara nasional ada tiga macam Pemilu, yaitu Pemilihan Anggota

Legislatif (Pileg),  selain Pileg, diselenggarakan Pemilihan Presiden dan

Wakil Presiden (Pilpres). Disamping itu, untuk memilih Kepala Daerah.

(Gubernur/Bupati/Walikota) di masing-masing daerah dilaksanakan Pemilihan

Kepala Daerah (Pemilukada).

Partisipasi masyarakat dalam politik adalah kegiatan seseorang atau

sekelompok orang untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan politik,

antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau

tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).

Masyarakat merupakan faktor sentral dalam suatu negara demokrasi. Untuk

ketiga jenis Pemilu tersebut periode waktunya sama, yaitu dilaksanakan

1
2

setiap lima tahun sekali. Sebenarnya masih ada satu lagi jenis pemilihan,

yaitu Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), namun sesuai peraturan perundang-

undangan, Pilkades tidak dikategorikan sebagai bagian dari rejim Pemilihan

Umum. Tanpa adanya partisipasi masyarakat, demokrasi tidak akan dapat

diwujudkan, karena hakekat demokrasi adalah dari, oleh dan untuk rakyat.

Hak rakyat untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara

langsung merupakan buah dari reformasi politik yang telah bergulir di negara

ini sejak tahun 1998. Pada masa-masa sebelumnya hak-hak politik

masyarakat sering didiskriminasi dan digunakan untuk kepentingan politik

penguasa dengan cara mobilisasi dan rakyat tidak diberi hak politik untuk

memilih Presiden dan Wakil Presiden, maka setelah reformasi melalui

Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, yaitu amandmen pertama hingga keempat pada tahun 1999 sampai

dengan 2002, rakyat mendapatkan hak untuk memilih Presiden dan Wakil

Presiden secara langsung.

Amandemen UUD 1945 telah merubah pula kelembagaan politik

negara ini. Disamping itu, perubahan UUD 1945 mengakibatkan perubahan

terhadap undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah, yaitu dengan

disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, menggantikan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. UU 23 tahun 2014 tersebut memberikan hak politik

rakyat untuk memilih Gubernur/Wakil Gubernur dan Bupati/ Walikota beserta

Wakil Bupati/Wakil Walikota secara langsung. Dengan demikian hak politik


3

masyarakat untuk melakukan partisipasi politik secara langsung menjadi

terbuka lebar, karena rakyat berhak memilih secara langsung para

pemimpinnya pada jalur eksekutif dan menentukan sendiri para wakilnya

pada lembaga-lembaga legislatif.

Partisipasi politik sebagai aktualisasi kedaulatan rakyat adalah suatu

hal yang sangat fundamental dalam proses demokrasi, maknanya sangat

penting bagi perkembangan kultur politik dan sistem demokrasi. Tingkat

partisipasi politik masyarakat yang tinggi, akan berimbas positif terhadap

proses pembangunan dan selanjutnya hal ini akan menjadi stimulus yang

signifikan bagi kemajuan bangsa dan negara.Namun demikian yang perlu kita

garis bawahi adalah bahwa partisipasi politik yang bermakna positif seperti itu

adalah partisipasi politik yang memenuhi syarat dari segi kualitatif maupun

kuantitatif. Partisipasi politik yang kualitatif adalah partisipasi politik yang

konstruktif dan mampu mendorong proses politik secara dewasa dan menjadi

input yang baik bagi implementasi kebijakan penguasa. Sedangkan kuantitas

partisipasi politik berkaitan dengan tingkat keterlibatan masyarakat dalam

proses politik dan dukungan terhadap implementasi kebijakan. Oleh

karenanya tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum,

termasuk Pemilihan Umum Kepala Daerah merupakan hal yang sangat

penting untuk diperhatikan, karena tinggi rendahnya partisipasi politik dapat

mendeskripsikan tingkat demokratisasi dan merupakan pengejawantahan

dari kedaulatan rakyat.


4

Partisipasi politik itu banyak ragam jenis dan implementasinya dan

berkaitan erat dengan kesadaran politik. Partisipasi politk bisa bersifat

individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik,

secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak

efektif. Partisipasi politik masyarakat didorong oleh keyakinan bahwa melalui

kegiatan yang dilakukan (misal pemberian suara), kepentingan mereka akan

dapat disalurkan atau sekurang-kurangnya diperhatikan dan mereka

berkeyakinan bahwa tindakan mereka akan dapat mempengaruhi pemegang

otoritas membuat keputusan yang memihak kepentingan mereka. Dengan

kata lain, mereka percaya bahwa apa yang mereka lakukan akan mempunyai

efek politik (political effect). Keberhasasilan pelaksanaan Pemilu ditentukan

oleh banyak faktor. Salah satu faktor dominan yang mempengaruhi

adalah pemilih. Meskipun dalam gelaran Pemilu semua warga negara yang

memenuhi syarat diberikan hak pilih, namun tidak semua warga negara

menggunakan hak pilihnya.

Peran masyarakat dalam Pemilu (Pileg,Pilpres,Pemilukada)

merupakan faktor yang sangat penting, karena salah satu indikator

keberhasilan Pemilu adalah tingkat partisipasi masyarakat dalam

menggunakan hak pilihnya. Pemilu merupakan mekanisme politik penting

yang menandai implementasi kedaulatan rakyat. Negara yang berkedaulatan

rakyat akan menggelar Pemilu sesuai ketentuan yang berlaku untuk

melembagakan dan membumikan demokrasi. Pemilu digelar dengan

mekanisme dan sistem yang menjamin adanya keadilan, kesamaan hak,


5

transparansi, berkesinambungan dan akuntabilitas. Oleh karena itu, rakyat

menjadi tertarik berpartisipasi dalam Pemilu.

Negara yang seperti ini merupakan negara yang dikategorikan sebagai

negara yang tingkat demokrasinya baik, namun sebaliknya apabila suatu

negara tidak melaksanakan Pemilu atau tidak mampu melaksanakan Pemilu

dengan baik, yaitu terjadi berbagai manipulasi, kecurangan, permainan kotor

dan  diskriminasi, maka negara itu dinilai sebagai negara yang anti demokrasi

atau tingkat demokrasinya berkategori rendah. Pada rezim pemerintahan

orde baru dimana pada masa ini demokrasi yang di usung sebenarnya

hanyalah demokrasi diatas kertas. Karena sebenarnya yang terjadi

dilapangan adalah mobilisasi suara untuk golongan pemerintah dalam hal ini

golongan karya (GOLKAR).

Pada rezim ini kekuasaan pemerintah sangat kuat dalam pengaruhnya

terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, sampai pada hal partisipasi

masyarakat pun secara langsung maupun tidak langsung dimobilisir. Keran

demokrasi ditutup baik dalam hal kebebasan pers, mengemukakan saran

pendapat yang dianggap mengkritisi pemerintah, bahkan dalam hal

percaturan politik yang dimana dua partai (PDI dan PPP) yang ada seakan

hanya sebagai pelengkap agar secara kasat mata demokrasi masih ada,

namun pada kenyataannya kedua partai ini sebenarnya dibonsai karena

kedua partai ini tetap hidup dan berjalan namun tidak dapat berkembang

karena dominasi Golkar.


6

Pada era reformasi yang menjunjung tinggi nilai demokrasi penulis

melihat bahwa Strategi untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat

dapat dilakukan melalui :

1.       Pendidikan politk

2.       Memaksimalkan fungsi partai politik

3.       Memaksimalkan sosialisasi oleh penyelenggaran pemilu

Sebuah Negara yang demokratis menghendaki adanya pemaksimalan

keterlibatan masyarakat dalam proses penyelenggaran Negara. Penciptaan

berbagai model penerapan gagasan demokrasi menjadi salah satu upaya

untuk mempercepat hal tersebut. Proses penyelenggaraan Negara harus

tunduk pada produk yang dihasilkan oleh rakyat. Melalui perwakilannya di

lembaga legislatif, rakyat menciptakan sebuah aturan yang pada nantinya

akan dijadikan sebuah pedoman dalam penyelenggaraan Negara. Untuk itu,

tentunya sistem demokrasi. Di lain sisi, juga terdapat instrument lain yang tak

kalah penting dan dapat digunakan dengan mudah untuk melihat

demokratisasi dalam sebuah Negara seperti yang telah disampaikan oleh

penulis diatas tadi, yaitu penyelenggaran Pemilu secara berkala.

Pemilu menjadi indikator yang paling mudah dalam menentukan sebuah

Negara tersebut demokratis atau tidak, karena Pemilu memberikan sebuah

momentum kepada masyarakat untuk menentukan arah perkembangan

sebuah Negara. Pada Pemilu, masyarakat dapat memilih para wakilnya dan

menentukan siapa yang akan memimpin sebuah Negara pada nantinya.

Untuk itu, momentum Pemilu juga membutuhkan sebuah pemkasimalan


7

keterlibatan masyarakat. Tanpa adanya pemaksimalan pelibatan masyarakat,

maka Pemilu hanya akan menjadi instrumen formal dan indikator penilaian

demokrasi saja, tanpa adanya substansi. Dengan demikian, partisipasi

masyarakat dalam proses penyelenggaran Pemilu harus terus ditingkatkan.

Proses pembumian demokrasi dan pengembalian kepercayaan rakyat

terhadap sistem dan perwakilannya merupakan salah satu hal penting untuk

dilakukan. Secara sederhana, kita dapat melandaskan cara-cara tersebut

pada ketentuan Pasal 246 UU Nomor 08/2012 tentang Pemilu Anggota

Legilatif. Terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan instrument untuk

meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pemilu. Dalam ketentuan

tersebut, dapat diketahui bahwa partisipasi masyarakat dapat dilakukan

menjadi empat bentuk, yaitu sosialiasi, pendidikan bagi pemilih, survei atau

jajak pendapat dan penghitungan cepat.

Keberhasasilan pelaksanaan Pemilu ditentukan oleh banyak faktor.

Salah satu faktor dominan yang mempengaruhi adalah pemilih. Meskipun

dalam gelaran Pemilu semua warga negara yang memenuhi syarat diberikan

hak pilih, namun tidak semua warga negara menggunakan hak pilihnya.

Menurut Aspar dalam Gatut Saksono (2013 : 45), golput digunakan untuk

merujuk kepada fenomena berikut : 1. Orang yang tidak menghadiri tempat

pemungutan suara sebagai aksi protes, 2. Orang yang menghadiri tempat

pemungutan suara tetapi tidak menggunakan hak pilihnya secara benar, dan

3.Orang yang menggunakan hak pilihnya namun dengan jalan menusuk

bagian putih dari kartu suara.


8

Golput atau dapat penulis katakan sebagai kekecawaan politik

terjadi karena berbagai persoalan: (1). Kegagalan   elit (politik) terpilih dalam

memberikan pelayanan publik kepada masyarakat, (2). Adanya sikap apatis

terhadap politik dari rakyat, dan (3). Rasionalitas rakyat terhadap politik

semakin tinggi sehingga mereka kini akan berhitung tentang keuntungan riil

yang didapat jika berafiliasi terhadap satu partai politik.

Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman

Orde Baru tahun 1971. Pemakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain

Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah

mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak

ditegakkan, cenderung diinjak-injak. Golput menurut Arif Budiman bukan

sebuah organisasi tanpa pengurus tetapi hanya merupakan pertemuan

solidaritas (Arif Budiman). Sedangkan Arbi Sanit mengatakan bahwa golput

adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem

kebangsaan, sasaran protes dari gerakan golput adalah penyelenggaraan

pemilu. (dalam jurnal pemerintahan Fisip Universitas Maritim,2011 : 3)

Mengenai golput alm. KH. Abdurrahaman Wahid juga pernah

mengatakan “ kalau tidak ada yang bisa di percaya, ngapain repot repot ke

kotak suara? Dari pada nanti kecewa (Abdurrahamn Wahid, dkk, 2009;1).

Sementara Eep Saefulloh Fatah, juga mengklasifikasikan golput atas empat

golongan, yakni :
9

1. Golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis

tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain)

berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka

yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah.

2. Golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar

sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain

(lembaga statistik, penyelenggara pemilu).

3. Golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari

kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada

akan membawa perubahan dan perbaikan.

4. Golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada

mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya

entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan

politik-ideologi lain.

Menurut pandangan penulis terhadap point terakhir terkait pengaruh

fundamentalisme agama dalam partisipasi politik adalah hal yang tidak bijak

dan dapat dikatakan berpemikiran “sempit” karena seharusnya masalah

keyakinan tidak perlu dicampuradukkan ke dalam urusan politik yang

kemudian berdampak pada partisipasi.

Hasil evaluasi Pemilu sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat

partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu selalu menurun. Hal

ini dapat diketahui dengan semakin meningkatnya angka pemilih yang tidak

menggunakan hak pilihnya/menjadi golongan putih (golput) dalam Pemilu.


10

Pada tahun 1955, angka golput mencapai hampir 13 persen, pada Pemilu

tahun 1971, jumlah pemilih yang tidak hadir mencapai 6,67 persen. Pada

Pemilu 1977 jumlah golput naik menjadi 8,40 persen dan kemudian angka

golput sedikit turun pada Pemilu 1987 yaitu 8,39 persen. Namun angka

golput ini kembali mengalamai kenaikan pada Pemilu 1992 yaitu 9,05 persen

dan semakin naik pada Pemilu 1997 dengan angka 12,07 persen.

Angka golput terus meningkat pada pemlu 1999 yang mencapai 10,4

persen dan pada Pemilu 2004 sebesar 23,34 persen, serta Pemilu Anggota

Legislatif pada tahun 2009 mencapai angka 29,01 persen. Tingginya angka

golput ini sungguh mengkhawatirkan, karena penurunan tingkat golput telah

mencapai hampir 30%. Tingkat golput dalam gelaran Pilpres 2014 mencapai

29,8% atau 56.732.857 suara. Angka golput Pilpres 2014 lebih parah

dibanding Pilpres 2009 yang mencapai 27,7%. Bahkan lebih buruk dibanding

Pilpres 2004 yang hanya mencapai 24%.

Data KPU menyebut, total warga yang berhak menggunakan hak

pilihnya dan masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pilpres 2014

adalah 190.307.134. Namun yang menggunakan hak pilihnya sebanyak

133.574.277 suara.

Melihat Hasil survei dari kalangan LSM (lembaga swadaya

masyarakat) pada Pemilukada serentak 2015 merata-ratakan total partisipasi

politik rakyat dalam Pemilukada serentak 2015 hanya mencapai angka

sekitar 50-65 persen. Bahkan, dibeberapa daerah ada yang dibawah 50

persen. Padahal, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebelumnya menargetkan


11

partisipasi pemilih di 264 daerah yang melaksanakan Pilkada serentak 2015

adalah 77,5 persen dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang berjumlah

100.461.890 jiwa. (sumber : www.kpu.go.id)

Demikian halnya yang terjadi pada pemilukada kota kupang tahun

2012 lalu. Dimana angka golput bahkan melampaui jumlah perolehan suara

para pasangan calon yakni : pasangan calon Jonas Salean-Herman Man

dengan nama sandi politiknya "Salam" meraih total perolehan suara sebesar

87.452 atau (57.76persen) dari jumlah pemilih sesuai Daftar Pemilih Tetap

(DPT) sebanyak 233.045 pemilih., serta pasangan Jefri Riwu Kore-Kristo

Blasin dengan simbol politiknya "Jeriko" sebagai peraih suara terbanyak

kedua dengan perolehan 66.627 atau (43,24 persen) dari total suara sah,

sementara itu sebanyak 74.574 atau sekitar 32.08 persen dari total 233.045

pemilih di ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), tidak menggunakan

hak politiknya (Golput) dalam Pilkada Kota Kupang pada 25 juni 2012 atau

total sekitar hanya 67.02 persen tingkat partisipasi dalam pilkada kali ini.

Fenomena rendahnya partisipasi masyarakat (golput) dalam pemilu ini

disebabkan oleh beberapa hal yang diantaranya dapat dikatakan sebagai

alasan klasik yakni kertas suara yang rusak atau tidak sah, alasan

administratif lainnya seperti tidak adanya nama dalam daftar pemilih tetap

(DPT). Namun menurut pandangan penulis ada satu alasan yang paling

nyata yakni menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik

yang dipandang tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya secara baik.

Dimata masyarakat awam para elit politik yang rata-rata merupakan penghuni
12

partai hanya mementingkan kepentingan individu dan kelompok saja ketika

sudah berada dalam comfort zone, konstituen hanya dijadikan media

penabur janji palsu pada saat masa kampanye ditambah dengan pemberian

uang receh dimana yang dia bawa pulang setelah menjabat adalah

berkarung-karung.

Selain partai politik seperti yang tertuang dalam pasal 9 dan 10

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun

2015 tentang pemilu, yang mengatur tentang tugas dan wewenang KPU

dalam penyelenggaraan pemilu. Tepatnya pada pasal 10 huruf b yang

berbunyi “menyampaikan semua info penyelenggaraan pemilihan kepada

masyarakat”.

Dari tiap pasal dan poin yang telah penulis jabarkan diatas secara

implisit dapat dikatakan bahwa KPU mempunyai peran yang strategis dalam

upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu,

terkususnya pemilukada kota kupang tahun 2017. KPU tentu saja tidak dapat

mewujudkan gagasan menjadikan pemilu sebagai sebuah arena

penyelenggaraan pesta demokrasi sesuai ekspektasi seluruh stakeholder itu

sendirian. Semua pihak yang memiliki kepentingan dengan pemilu, harus

turut memainkan perannya masing-masing dengan elegan dan cara-cara

yang soft.

Menyikapi fenomena diatas seberapa jauh pihak-pihak terkait yang

berperan dalam peningkatkan partisipasi politik masyarakat kota kupang

khususnya memberikan pendidikan politik, melakukan komunikasi politik, dan


13

memberikan informasi yang baik tentang penyelenggraan pemilukada kota

kupang kepada masyarakat di kota kupang yang akan menyalurkan hak

politiknya sebagai pemilih.

Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka penulis kemudian

tertarik untuk meneliti mengenai kinerja unsur-unsur terkait dalam

meningkatkan partisipasi politik masyarakat dengan mengajukan judul

penelitian :

UPAYA PENINGKATAN PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT

(STUDI KASUS PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH KOTA KUPANG

TAHUN 2017)

1.2 Ruang Lingkup, Lokasi dan Fokus Penelitian Magang

1.2.1 Ruang Lingkup Magang

Ruang lingkup dalam penelitian ini, dimana penulis memberikan

gambaran-gambaran, batasan-batasan, dari dimensi yang akan diteliti yang

berkaitan dengan fokus penelitian. Adapun penulis membatasi pada masalah

tentang upaya peningkatan partisipasi politik masyarakat kota kupang (studi

kasus pemilihan umum kepala daerah kota kupang tahun 2017)

1.2.2 Lokasi Magang

Pad8a penelitian ini, penulis melaksanakan kegiatan magang pada

Kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Kupang


14

1.2.3 Fokus Penelitian Magang

Adapun fokus magang pada kegiatan magang kali ini adalah penulis

berfokus pada pembatasan masalah tentang Upaya peningkatan partisipasi

politik masyarakat (studi kasus pemilihan kepala daerah kota kupang tahun

2017), yang meliputi :

1. Bagaimana upaya dalam meningkatkan pertisipasi politik

masyarakat ?

2. Pihak-pihak mana saja yang terkait dalam rangka peningkatan

partisipasi politik masyarakat ?

3. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam upaya

peningkatan partisipasi politik masyarakat ?

1.3 Maksud dan Tujuan Magang


1.3.1 Maksud Magang

Berdasarkan latar belakang dan fokus magang yang telah

dikemukakan diatas, maka maksud magang ini adalah untuk mempelajari

dan menganalisis dan mencari informasi dan data-data sejauh mana upaya

pihak terkait dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat dalam rangka

menyongsong pemilihan umum kepala daerah kota kupang tahun 2017.

1.3.2 Tujuan Magang

Setiap penelitian memiliki tujuan tertentu yang ingin dicapai, karena

tujuan akan memberikan arah, pegangan, serta tolak ukur dalam melakukan

suatu penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam magang ini adalah :
15

1. Untuk mengetahui pihak-pihak terkait dalam peningkatan

partisipasi politik masyarakat kota kupang

2. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam upaya

peningkatan partisipasi politik masyarakat kota kupang

1.4 Kegunaan
1.4.1 Kegunaan Teoretis
Kegunaan teoretis dari kegiatan magang ini adalah :

1. sebagai sumbangan pemikiran untuk meningkatkan dan

memperkaya khasanah keilmuan didalam bidang disiplin ilmu

politik pemerintah khususnya yang berkaitan langsung dengan

partisipasi masyarkat dalam proses pemilihan umum

2. Sebegai bahan penggembangan dan pengkajian konsep-konsep

tentang berbagai aspek dalam meningkatkan partisipasi politik

masyarakat dalam kegiatan politik dan pemerintah

1.4.2 Kegunaan Praktis

Kegunaan praktis dalam kegiatan magang ini adalah :

1. Bagi pemerintah daerah, hasil penelitian dalam kegiatan magang

ini diharapkan sebagai bahan masukan kepada pemerintah

daerah kota kupang dalam penyelenggaraan pemilihan umum

kepala daerah (pemilukada) kota kupang

2. Bagi praja, hasil penelitian ini merupakan bahan kajian bagi praja

untuk dapat membuka pikiran dan mengetahui betapa pentingnya


16

untuk ikut serta berpartisipasi dalam menentukan arah

pemerintahan kedepan yang lebih baik

3. Bagi lembaga, hasil penelitian ini dapat menjadi wadah bagi

penulis mengaplikasikan hasil dari proses pembelajaran di

kampus. Serta diharapkan dapat menambah dan memperkaya

pengembangan ilmu pengetahuan di Fakultas Politik

Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri

4. Bagi penulis, penelitian ini merupakan sarana peningkatan

kemampuan ilmiah penulis dari teori-teori yang telah didapat

dalam aspek pemerintahan serta langkah-langkah praktis dalam

dunia pemerintahan sesugguhnya untuk dapat disingkronkan

Anda mungkin juga menyukai