Anda di halaman 1dari 12

GANGGUAN SISTEM HEMATOLOGI

Nama : mohammad fauzy dermawan

Stambuk: P211 19 094

Kelas : Gizi B

Tugas : Resume patofisiologi defesiensi dan ifeksi

(255-304)

PROGRAM STUDI GIZI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS TADULAKO

2020
A. Gangguan Sel Darah Merah
Sel darah merah atau eritrosit adalah cakram bikonkaf tidak berinti yang kira kira
berdiameter 8 µm, tebal bagian tepi µm, dan ketebalannya berukuran dibagian tengah
mejadi hanya 1 mm atau kurang (Gbr 17_1), karena lunak dan lentur maka selama
melewati mikrosirkulasi sel sel ini mengalami perubahan konfigurasi.
1. Anemia
Adalah berkurangnya hinggah dibawahnya nilai normal jumlah SDM, kuantitas
hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml darah.
Dengan demikian , anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan
perubahan patofisiologi yang mendasarkan yang di uraikan melalui anamnesis yang
seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium. Anemia dapat
menimbulkan manifestasi klinis yang luas, bertanggung jawab pada:
1. Kecepatan timbulnya anemia
2. Usia individu
3. Mekanisme kompensasi
4. Tingkat Aktivitasnya
5. Keadaan penyakit yang mendasarinya
6. Beratnya Anemia.

2. Klasifikasi Anemia

Anemia dapata di klasifikasikan menurut (1) faktor faktor morfologik SDM dan
indeks indeksnya atau (2) etelogi. Pada klasifikasinya morfologik anemia, mikro-
menunjukakkan ukuran SDM dan kromik untuk menunjukan warnanya. Sudah di
kenal tiga kategori besar.

Pertama anemia hormokromik normositik, SDM memiliki ukuran dan bentuk normal
serta mengandung jumlah hemoglobin normal ( mean corpuscular volume MCV dan
mean corpuscular hemoglobin concentration MCHC normal atau normal rendah).
Penyeybab penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut, hemolysis,
penyakit kronis yang meliputi indekai gangguan endokrin, gangguan ginjal,
kegagalan sumsum tulang, dan penyakit penyakit infiltrative memastikan pada
sumsum tulang.

Kategori kedua adalah anemia normal kromik makrositik, yang memiliki SDM lebih
besar dari normal tetapi normokromik karena konsetrasi hemoglobin normal (MCV
meningkat : MCHC normal) (Gbr , 17-2).

Kategori ketiga adalah anemia hipokromik mikrositik. Mikrositik berasal dari sel
kecil , dan hipokromik berarti pewarna yang berkurang. Karena warna berasal dari
hemoglobin, sel sel ini mengandungn hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari
normal (penurunan MCV; penururnan MCHC). Anemia dapat juga diklasifikasikan
menurut etiologi. Penyebab utama yang difikirkan adalah (1) peningkatan hilangnya
SDM dan (2) penurunan atau kelainan pembentukan sel.

3. Anemia Defesiensi Besi

Secara marfologis, keadaan ini diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik


hipokromik dengan penurunan kuantitatif sintesis hemoglobin. Defesiensi besi
menurunkan kuantitatif sintesis hemoglobin. Defesiensi besi merupakan penyebab
utama anemia di dunia dan terutama sering di jumpai pada perempuan usia subur,
disebabkan oleh kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan
besi selama kehamilan penyebab penyebab lainnya defesiensi besi adalah (1) asupan
besi yang tidak cukup , missal, pada bayi bayi yang hanya diberi diet susu saja
selama 12-24 bulan dan pada individu individu lainnya tertentu yang vegetarian
ketat; (2) gangguan absorpsi setelah gasterktomi; dan (3) kehilangan darah menetap,
seperti pada perdarahan saluran cerna lambat akibat polipi, neoplasma, gastristis,
varises esophagus, igesti aspirin, dan hemoroid.

4. Anemia Defesiensi Besi

Secara morfologis, keadaan ini diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik


hemoglobin dengan penurunan kuantitatif sintesis hemoglobin

.
5. Anemia Megaloblastik

Anemia megaloblastik (SDM besar) diklasifikasikan secara morfologis anemia


magrositik normokromik. Anemia megaloblastik sering disebabkan oleh defesiensi
vitamin B12 dan asam folat yang mengakibatkan gangguan sintesis DNA, disertai
kegagalan malurasi dan pembelahan inti (Guyton, 2001).

6. Anemia sel sabit

adalah anemia akibat kelainan genetik, yaitu ketika bentuk sel darah merah tidak
normal, sehingga mengganggu fungsinya untuk membawa darah yang kaya oksigen
ke seluruh tubuh. Pada keadaan normal, bentuk sel darah merah adalah bundar dan
lentur sehingga dapat dengan mudah bergerak dalam pembuluh darah. Pada anemia
sel sabit, sel darah merah berbentuk seperti sabit yang kaku dan mudah menempel
pada pembuluh darah kecil. Akibatnya, aliran darah yang mengandung hemoglobin
pembawa oksigen menjadi terganggu dan mengakibatkan timbulnya rasa nyeri dan
kerusakan jaringan.  sel sabit disebabkan mutasi gen yang diturunkan dari kedua
orangtua (harus keduanya) atau disebut resesif autosomal. Pada anak yang mewarisi
mutasi gen hanya dari salah satu orangtua saja, akan menjadi pembawa penyakit
anemia sel sabit dan tidak menunjukkan gejala apa pun. Mutasi gen yang terjadi pada
pengidap anemia menimbulkan berbagai gangguan pada tubuh. Hal tersebut terjadi
karena produksi sel darah merah berbentuk tidak normal.

Berikut ini gejala umum dari anemia sel sabit, yaitu:

 Timbul sejak usia 4 bulan dan umumnya terlihat pada usia 6 bulan.
 Gejala umum yang dialami pengidap di antaranya pusing, pucat, jantung
berdebar, terasa mau pingsan, lemas, serta mudah lelah.
 Pada anak-anak, gejala dapat ditandai dengan pembesaran organ limpa.
 Munculnya rasa nyeri akibat krisis sel sabit, sebagai gejala lain. Rasa nyeri timbul
karena sel darah merah yang berbentuk sabit menempel pada pembuluh darah dan
menghambat aliran darah, saat melalui pembuluh darah kecil di dada, perut, sendi,
maupun tulang.
 Rentan terserang penyakit infeksi mulai dari yang ringan hingga yang berat,
akibat dari kerusakan organ limpa yang bertugas melawan infeksi.
 Pertumbuhan anak-anak yang mengidap anemia sel sabit dapat terhambat, karena
tubuh kekurangan sel darah merah sehat yang membawa nutrisi dan oksigen.
 Terjadinya kerusakan retina dan menyebabkan gangguan penglihatan. Hal ini
dikarenakan aliran darah terhambat di dalam mata.

Diagnosis anemia sel sabit dilakukan dengan pemeriksaan analisis Hb untuk melihat
keberadaan haemoglobin S atau hemoglobin cacat yang menyebabkan anemia sel sabit.
Untuk menentukan seberapa berat anemia, jumlah dari Hb yang normal juga akan
diperiksa, sehingga dapat mengarahkan ke pemeriksaan selanjutnya untuk melihat
kemungkinan komplikasi. Sementara pengambilan sampel air ketuban untuk mencari
keberadaan gen sel sabit, bisa dilakukan untuk mendiagnosis anemia sel sabit pada
janin sejak dalam kandungan.

Berikut ini pengobatan yang dapat dilakukan untuk menangani gejala anemia sel sabit,
antara lain:

 Transplantasi sumsum tulang. Metode ini merupakan satu-satunya penanganan


yang dapat mengobati penyakit ini hingga tuntas.
 Penanganan krisis sel sabit dengan menghindari faktor pemicunya. Beberapa upaya
untuk mencegah pemicunya adalah dengan minum banyak cairan untuk
menghindari dehidrasi, mengenakan pakaian yang cukup hangat agar tidak kedinginan,
menghindari perubahan suhu secara tiba-tiba, tidak berolahraga berat, hindari merokok
dan alkohol, serta usahakan tetap tenang dan tidak stres. Dokter akan memberikan obat
jika krisis sel sabit berlanjut.
 Rasa nyeri ditangani dengan cara mengompres bagian yang sakit dengan handuk
hangat, mengalihkan pikiran dari rasa sakit, minum banyak cairan untuk melancarkan
aliran darah yang tersumbat, serta mengonsumsi obat pereda nyeri seperti paracetamol
yang dijual bebas di apotek.
 Mengatasi anemia, hal tersebut dilakukan dengan merangsang produksi sel darah
merah dengan konsumsi suplemen asam folat. Sementara, jika gejala anemia sudah
berat, maka jumlah sel darah merah harus ditingkatkan dengan tranfusi darah.

7. Polisitemia
Polisitemia adalah suatu keadaan yang ditandai oleh peningkatan abnormal sel darah,
terutama sel darah merah, disertai peningkatan konsentrasi hemoglobin perifer. Keadaan ini
harus dibedakan dengan polisitemia relatif, di mana terjadi peningkatan hemoglobin yang
tidak disertai peningkatan jumlah sel darah merah, misalnya karena dehidrasi dan luka bakar.
Berdasarkan penyebabnya, polisitemia dapat dibagi menjadi polisitemia vera (primer) dan
polisitemia sekunder. Polisitemia vera adalah gangguan sel punca yang ditandai dengan
kelainan sumsum tulang panhiperplastik, maligna, dan neoplastik. Pada polisitemia vera,
akan didapatkan peningkatan massa sel darah merah akibat produksi yang tidak terkontrol.
Peningkatan ini juga diikuti dengan peningkatan produksi sel darah putih (myeloid) dan
platelet (megakariotik) akibat klon abnormal sel punca hematopoietik.

Polisitemia sekunder adalah peningkatan jumlah sel darah merah akibat suatu
penyakit dasar. Polisitemia sekunder lebih cocok disebut sebagai eritrositosis atau
eritrositemia sekunder. Sedangkan istilah polisitemia biasanya mengarah pada
polisitemia vera. Jenis ini biasanya dipicu oleh keadaan hipoksemia kronis, seperti
pada emfisema dan penyakit jantung bawaan sianotik, yang menyebabkan
peningkatan produksi eritropoietin di ginjal. Pengidap polisitemia vera biasanya tidak
sadar bahwa dia memiliki penyakit ini karena penyakit ini dapat muncul dan diam
selama bertahun-tahun tanpa menimbulkan gejala. Pada beberapa pengidap, gejala-
gejala seperti berikut dapat muncul:

 Nyeri kepala.
 Pusing.
 Lemah, letih, dan lesu.
 Pandangan kabur.
 Produksi keringat berlebih.
 Gatal pada kulit terutama setelah mandi.
 Nyeri dan bengkak pada satu sendi, yang paling sering pada jempol kaki.
 Sesak napas.
 Sensasi baal, kesemutan, rasa terbakar, atau kelemahan pada tangan
maupun kaki.
 Demam.
 Perut kembung, begah dan terasa penuh akibat pembesaran limpa.
 Perdarahan minor, seperti munculnya memar pada kulit.
 Penurunan berat badan signifikan yang tidak direncanakan.

Diagnosis Polisitemia Vera

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang. Melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, dokter akan mencari gejala
dari penyakit pada pengidap, kemudian dokter melakukan pemeriksaan penunjang
untuk membantu dalam penegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan antara lain adalah:

 Pemeriksaan laboratorium darah.


 Melalui pemeriksaan laboratorium darah, dokter dapat melihat beberapa hal yang
dapat membantu diagnosis, seperti:

o Peningkatan sel darah merah yang berlebihan.


o Peningkatan persentase dari sel darah merah.
o Peningkatan Hb yang berlebihan.
o Rendahnya kadar hormon eritropoetin.
o Aspirasi dan Biopsi sumsum tulang.
o Pemeriksaan gen.

B. Gangguan Sel Darah putih dan Sel Plasma


Pertahanan tubuh melawan infeksi adalah peran utama leukosit atau sel darah putih
(SDP). Batas normal jumlah sel darah putih berkisar dari 4000 sampai 10.000/mm3.
Lima jenis sel darah putih yang sudah diidentifikasi dalam darah perifer adalah
1) Neutrofit (50% sampai 75% SDP total)
2) Euosional (1% sampai 2%
3) Basofil (0,5% sampai 1% )
4) Monosit (6%)
5) Limfosit (25% sampai 33%).

Gangguan sel darah putih, leukositosis menunjukan peningkatan leukosit yang umumnya
melebihi 10.000/mm3. Granulositosis menunjukan peningkatan granulosit. Leukosit
meningkatkan sebagai respons fisiologis untuk melindungi tubuh dari serangan
mikroorganisme. Karena permintaan yang meningkatkan ini, bentuk neutrophil imatur,
yaitu yang dinamakan neutrophil batang , yang memasuki sirkulasi meningkat, proses ini
dinamakan pergeseran ke kiri.

1. Neutrofilia adalah jenis sel darah putih yang disebut juga leukosit polimorfonuklear.
Terdapat dua jenis gangguan yang terjadi jika neutrofil mengalami kelainan, yaitu
neutropenia dan neutrofilia. Granulosit dilepaskan dari kelompok marginal sehingga
jumlah granulosit yang dapat di tarik ke dalam alat penentuan sampah bertambah.
Eosinofilia terjadi pada gangguan kulit seperti mikosis fungoides dan eksema
keadaan elergi seperti asma dan reaksi obat dan infestasi parasite . Eosinofilia juga
ditemukan pada keganasan dan gangguan mieloproliferalif , seperti pada basofelia.

Monositosis ditemukan pada fase penyembuhan infeksi dan pada penyanyian


granuloma kronik seperti tuberkulososi dan sarkoidosis. Limfositosis menunjukan
jumlah limposit atipik yang lebih besar pada mononucleosis, campak, parolitis,
beberapa reaksi elergi. Selain Limfositosis , pasien ini sering menunjukan
pembesaran hati, lien, dan kelenjar getah bening, yang semuanya merupakan tempat
pembentukan limposit.
2. Leukemia menunjukan jumlah leukosit yang menurun, dan neutrophia menunjukan
penurunan jumlah absolut neutrophil. Karena peran neutrophil pada pertahanan
penjamu, maka jumlah neutrophil absolut yang kurang dari 1000/mm3 merupakan
predisposisi tertkena infeksi jumlah di bawah 500/mm3 merupakan predisposisi
terhadap infeksi yang mengancam kehidupan yang sangat berbahaya.

Agranulosisitosis adalah keadaan yang sangat serius yang di tandai dengan jumlah
leukosit yang sangat rendah dan tidak adanya neutrophil. Obat obat yang sering dikaitkan
adalah agen agen kemoterapi mielosupresif (Menentukan sumsum tulang) yang
digunakan pada pengobatan keganasan hematologi dan keganasan lainnya.

C. Gangguan Koagulasi
1. Kelainan Vaskular
Berbagai kelainan dapat terjadi pada tiap tingkat mekanisme hermostatik . Pasien
dengan kelainan pada system vascular biasanya datang dengan pendarahan kulit, dan
sering mengenai membran mukosa. Pendarahan dapat diklasifikasikan menjadi
purpura elergi dengan purapura nonalergi. Pada kedua keadaan ini, fungus trombosit
dan faktor koagulasi adalah normal.
Terdapat banyak bentuk purpura nonalergi, yaitu pada menyakit penyakit ini tidak
terdapat elergi sejatih tetapi terjadi berbagai bentuk vaskulasi. Jaringan penyokong
pembuluh darah yang mengalami perburukan, dan tidak efektif, yang terjadi seiring
proses penuaan, mengakibatkan purpura senilis. Bentuk purpura vascular yang
dominan autosomal,telangiectasia hemoragik herediter (Penyakit Oslerweber Rendu),
terhadap pada epistakis dan perdarahan saluran cerna yang interminet dan hebat.
Purpura elergik atau purpura anafilaktoid diduga diakibatkan oleh kerusakan
imunologik pada pembuluh darah, di tandai dengan perdarahan petekie pada bagian
tubuh yang tergantung dan juga mengenai bokong.

2. Trombositosis dan Trombositopenia,


trombosit yang melekat pada kolagen yang terpanjang pada pembuluh yang cederah,
mengerut dan melepaskan ADP serta faktor 3 trombosit, penting untuk mengawali
system pembekuan. Kelainan jumlah untuk fungsi trombosit (atau keduannya) dapat
menggangu koagulasi darah. Trombosit yang terlalu banyak atau terlalu sedikit
mengganggu koagulasi darah. Keadaan yang di tandai dengan trombosit berlebihan
dinamakan trombositosis atau trombositemia. Trombositosis primer timbul dalam
bentuk trombositemia primer yang terjadi proliferasi abnormal megakariosit, dengan
jumlah trombosit melebihi 1 juta. Trombosisitosis primer juga ditemukan dengan
gangguan mieloproliferalif lain, seperti polisitemia vera atau leukemia granulogistik
kronis, yang terjadi proliferasi abnormal megakariosit, bersama dengan jenis sel sel
lain, di dalam sumsum tulang belakang. Fatofisiologinya masih belum jelas tetapi
diyakini berkaitan dengan kelainan kualitatif intrinsik fungsi trombosit, serta akibat
peningkatan massa trombosit.
Trombositosis sekunder terjadi sebagai akibat adanya penyebab penyeba lain,
baik secara sementaras setelah stress atau olahraga dengan pelepasan trombosit dari
sumber cadangan ( dari lien), atau dapat menyertai keadaan meningkatnya permintaan
sumsum tulang seperti pada perdarahan, anemia hemolitik, atau anemia defesiensi
besi.Trombosit juga dapat dihancurkan oleh produksi antibody yang diinduksi oleh
obat, seperti yang ditemuantibodi yang diinduksi oleh obat, seperti yangditemukan
pada quinidine dan emas. Anti bodi anti bodi ini ditemukan pada penyakit penyakit
seperti lupus eritematosus leukemia limfositik kronis, limfoma tertentu, dan pura pura
trombositopenik indiopatik (ITP). Fungsi trombosit dapat berupa (trombositopati)
melalui berbagai cara, yang mengakibatkan semakin lamanya perdarahan. Pengaruh
aspirin dosis tunggal dapat berlangsung selama 7 hingga 10 hari.
Protein Plasma, seperti yangditemukan pada makroglobulinemia dan
mielomia multiple menyelubungi trombosit, mengganggu adhesa trombosit, retraksi
bekuan, dan polimerisasi fibrin. Pada semua keadaan ini, dengan memperbaiki
gangguan yang mendasarinya akan memperbaiki fungsi trombosit abnormal tersebut.
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter atau didapat yang paling
sering dijumpai, bermanifestasi sebagai episode perdarahan intermiten. Intervensi dini
pada saat timbul gejala gejala atau tanda tanda perdarahan paling awal, serta
pergantian faktor praoperatif pada persiapan untuk prosedur pembedahan, penting
dilakukan pada pasien pasien ini. Pengobatan ditunjukan untuk meningkatkan faktor
atau aktivitas yang berkurang ke tingkat normal dan dengan demikian mencegah
komplikasi. Sebagian besar pasien sekarang dipantau di pusat pusat pengobatan
hemophilia yang ditunjukan pada kebutuhan global para pasien, dan pasien pasien
tersebut memperoleh manfaat konsultasi dari tim perawatan kesehatan konpherehensif.
Kemajuan dalam perawatan preventif, terapi fisik, dan mengajari ke biasaan kesehatan
yang baik serta pemberian sendiri konsentrat faktor faktor yang dilakukan dirumah
sangat memajukan kualitas hidup pada populasi pasien pasien ini. Penghambat
antibody yang ditunjukan untuk faktor koagulasi spesifik terjadi pada 5% sampai 10%
pasien dengan defesiensi faktor VIII dan lebih jarang pada faktor IX.
Penyakit von Willebrand adalah gangguan koagulasi herediter yang paling
sering terjadi. Dikenal berbagai subtype, tetapi yang paling sering adalah tipe I.
Kecuali tipe II dan III yang autosomal resesif, semua tipe diturunkan secara dominan
autosomal, sama sama terjadi pada laki laki dan perempuan. Bergantung pada subtype
dan beratnya penyakit, spectrum perdarahan dapat jarang terjadi, perdarahan
mukokutaneus (kulit dan membrane mukosa) ringan sampai sedang perdarahan akibat
trauma atau perbedaan atau perdarahan saluran yang mengancam jiwa. Sering terjadi
perdarahan saluran cerna, epistaksis, dan menorangi.
3. Defisiensi faktor plasma didapat (Koagulasi Intravaskular Diseminata/DIC)
Defesiensi faktor plasma didapat berkaitan dengan penularan produksi faktor faktor
koagulasi, seperi yang ditemukan pada penyakit hati atau defesiensi vitamin K, atau
peningkatan konsumsi yang menyertai koagulasi intravascular diseminati (DIC) atau
fibrinolysis. Karena hati merupakan tempat umum sintesis faktor faktor II,V,VII,IX,X,
gangguan hati berat (yaitu,sirosis) akan mengubah respons hemostatik. Hipertensi
porta pada penyakit hati mengakibatkan splenomegaly konggestif disertai
trombositopenia, serta varises esophagus. Keadaan keadaan ini, bersama dengan
gangguan koagulasi, dapat menyebabkan perdarahan massif.PT,PTT, dan masa
perdarahan memanjang.
 Koagulasi Intravaskular Diseminata
Koagulasi intravascular diseminata (DIC) adalah suatu sindrom kompleks yang terdiri
atas banyak segi, yang system homeostatic dan fisiologik normalnya mempertahankan
darah tetap cair berubah menjadi suatu system patologik yang menyebabkan
terbentuknya trombi fibrin difus, yang menyumbat mikrovaskular tubuh.
 DIC
bukan merupakan penyakit , tetapi akibat proses penyakit yang mendasarinya.
Perubahan pada segala komponen system vascular , yaitu dinding pembuluh
darah, protein plasma, dan trombosit dapat menyebabkan suatu gangguan
konsumtif . Masuknya zat atau aktivitas prokoagula kedalam sirkulasi darah
mengawali sindrom tersebut dan dapat terjadi pada segala kondisi yang
tromboplasin jaringannya dengan inisialisasi jalur pembekuan ekstrinsik. Maka
salah satu penyebab tersering DIC adalah solusio plasenta (solusi plasenta,
plasenta lepas secara dini). Keadaan ini menyebabkan retensi produk produk
konsepsi (plasenta, janin)nyang menyebabkan nekrosis dan kerusakan jaringan
lebih lanjut. Penanganan ditunjukan pada perbaikan mekanisme yang
mendasarinya, yang mungkin memerlukan penggunaan antibiotic, agen agen
kemoterapeutik, dukungan kardiovaskular, serta pada keadaan retensioplasenta,
ini uterus dikeluarkan. Bila terjadi pendarahan yang hebat , peran heparin, yang
merupakan suatu antikoagulan antitrombin yang kuat, masih sangat
kontroversial. Heparin menentralkan aktivitas thrombin , dan dengan demikian
menghambat penggunaan faktor faktor pembekuan dan pengendapan fibrin.
Heparin dosis rendah telah berhasil digunakan bersama dengan agen
kemoterapeutik pada penghambatan leukemia promielositik , untuk mencegah
DIC akibat perlepasan tromboplastin oleh granula leukosit. Dapat terjadi juga
dengan keadaan hiperkoagulasi yang disertai dengan peningkatan insiden
thrombosis.

Anda mungkin juga menyukai