Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PANCASILA DI ERA PRAKEMERDEKAAN ,

ERA KEMERDEKAAN, ERA ORDE LAMA, ERA ORDE


BARU DAN REFORMASI

DOSEN PEMBIMBING :

DISUSUN OLEH :

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA SEHAT PPNI
KABUPATEN MOJOKERTO
Jl. Raya Jabon Km 6 Mojokerto
Tahun 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah swt yang telah memberikan cinta
kasih, rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “makalah peka budaya suku mbojo”.

Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas praktek laboratorium mata kuliah
Keperawatan psikososial.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
terlaksananya penyusunan makalah ini terutama kepada

1. Penanggung jawab Mata Kuliah serta team dosen psikososial yang telah
memberikan bimbingan dan arahannya kepada penulis.
2. Pembimbing akademik yang telah menyempatkan waktu untuk memberikan
bimbingan kepada penulis.
3. Orang tua kami yang senantiasa memberikan dorongan, semangat dan restu
sehingga makalah ini dapat disusun dengan lancar
4. Teman-teman yang telah memberikan masukan dan semangat kepada kami

Tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan makalah yang kami susun.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
demi perbaikan untuk tugas-tugas berikutnya.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................

KATA PENGANTAR......................................................................................

DAFTAR ISI....................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................

A. Latar Belakang.................................................................................
B. Tujuan..............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................

BAB III PENUTUP..........................................................................................

A. Kesimpulan......................................................................................
B. Saran.................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebudayaan atau disebut juga kultur merupakan keseluruhan cara hidup
manusia sebagai warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya. Dalam
tiap kebudayaan terdapat berbagai kepercayaan yang berkaitan dengan kesehatan.
Terdapat kebudayaan yang bertentangan dengan kesehatan namun, di sisi lain ada
kebudayaan yang sejalan dengan aspek kesehatan. Dalam arti kebudayaan yang
berlaku tersebut tidak bertentangan bahkan saling mendukung dengan aspek
kesehatan. Dalam hal ini petugas kesehatan harus mendukung kebudayaan tersebut.
Tetapi kadangkala rasionalisasinya tidak tepat sehingga peran petugas kesehatan
adalah meluruskan anggapan tersebut.
Di Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa anak sakit dilihat dari keadaan
fisik tubuh dan tingkah lakunya yaitu jika menunjukkan gejala misalnya panas,
batuk pilek, mencret, muntah -muntah, gatal, luka, gigi bengkak, badan kuning,
kaki dan perut bengkak. Seorang pengobat tradisional yang juga menerima
pandangan kedokteran modern, mempunyai pengetahuan yang menarik mengenai
masalah sakit-sehat. Baginya, arti sakit adalah sebagai berikut: sakit badaniah
berarti ada tanda-tanda penyakit di badannya seperti panas tinggi, penglihatan
lemah, tidak kuat bekerja, sulit makan, tidur terganggu, dan badan lemah atau sakit,
maunya tiduran atau istirahat saja. Pada penyakit batin tidak ada tanda -tanda di
badannya,tetapi bisa diketahui dengan menanyakan pada yang gaib. Pada orang
yang sehat, gerakannya sorot mata cerah, tidak mengeluh lesu, lemah, atau sakit-
sakit badan.
Penyebabnya adalah salah makan, makan kacang terlalu banyak, makan makanan
pedas, makan udang, ikan, anak meningkat kepandaiannya, susu ibu basi, encer,
dan lain-lain. Penanggulangannya dengan obat tradisional misalkan dengan pucuk
daun jambu dikunyah ibunya lalu diberikan kepada anaknya (Bima) obat lainnya
adalah Larutan Gula Garam (LGG), Oralit, pil Ciba dan lain -lain. Larutan Gula
Garam sudah dikenal hanya proporsi campurannya tidak tepat.
Suku Mbojo merupakan salah satu suku di Indonesia yang telah mengalami
modernisasi dalam hal pola kehidupan, budaya maupun interaksi. Untuk itu kami
akan membahas pola kehidupan, budaya serta pola makan dari Suku Mbojo.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui kebudayaan suku Mbojo
2. Untuk mengetahui kebudayaan suku mbojo dalam masalah kesehatan
C. Manfaat
1. Menambah wawasan dan informasi tentang kebudayaan suku Mbojo
BAB II PEMBAHASAN

a. Kerajinan serta rumah adat suku khas Bima


1. Gelas Songga
Merupakan produk khas daerah Bima-Nusa Tenggara Barat yang
digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit.
Gelas songga ( nama ilmiah: Eurycoma longifolia) terbuat dari kayu
obat alami yang yang tumbuh di Pegunungan Bima, Dompu. Biasa juga
disebut dengan Kayu " Bidara Laut" atau di daerah lain kadang disebut "
pasak bumi" atau " tongkat ali".
Adapun manfaat dari kayu songga atau gelas songga antara lain:
a. Menurunkan kadar gula darah bagi penderita diabetes
b. Mengatasi asam urat, darah tinggi, darah koto
c. Mengobati Malaria
d. Mengobati kurang nafsu makan
e. Mengobati radang lambung, kurang nafsu makan, cacar air, badan
lemah dan badan panas atau dingin
f. Serta berbagai penyakit dalam lainnya.
Songga/ Bidara Laut mengandung zat-zat :
Logarin, Silikat, Styrikhnos, Mangan, Lemak, Zat Samak, Tembaga,
Protein, Alkoloida / Strich in Bruin

Cara Penggunaan :

- Masukan air hangat ke dalam Gelas Kayu Songga


- Biarkan sampai 1-5 Menit
- Minum air larutan dalam Gelas sebagai pengobatan 1-2 kali sehari
- Gelas bisa dipakai minum berulang-ulang sampai dengan rasa pahit yang
dihasilkan sudah tidak terasa.

Perhatian :

- Jangan diisi air panas atau air es, dapat menyebabkan gelas pecah
- Khusus penderita darah rendah agar tidak terlalu banyak mengkonsumsi
2. Tembe
Kota Bima merupakan suatu daerah kaya akan kekayakan budaya dan
adat istiadat. Orang Bima mengenal tenunan sejak bedirinya Negara islam di
Bima pada 15 rabiul awal 1050 hijriah. Awal pertama kali masyarakat Mbojo
mengenal pembuatan tenunan biasa mereka menyebutnya dengan ”Tembe’
dimana tujuan utama pembuatan tembe tersebut sebagi pakaian yang menutup
auratnya serta sebagai motivasi peradaban keagamaan mereka pada zaman
dulu.
Dimana tembe ini dikenal bebrapa jenis yaitu tembe nggoli, tembe
songket, tembe kafa na’e, tembe me’e, tenunan ini merupakan salah satu hasil
kerajinan khas daerah Mbojo Bima yang dikenal di beberapa daerah.
Mengapa dikatakan tenunan tradisional karena alat-alatnya di buat
secara tradisional seperti tampe, tandi, ku’u, poro’ cau, lihu, lira lili, dll.
Pekerjaaan tenunan ini dilakukan oleh kaum perempuan remaja dan ibu-ibu.
Adapun proses pembuatan tenunan tersebut cukup rumit di mulai dari :
a. Menggulung benang-benang pada seruas bambu dengan menggunakan
alat sederhana.
b. Benang yang digulung tadi kemudian dililitkan pada sebuah benda yang
dirancang khusus seperti garpu, biasanya garpu yang satu terdiri dari tiga
garpu, sedangkan yang lainnya empat garpu.Setelah lilitanya selesai baru
ujung-ujung benang tadi diselipkan ke sisir (cau) serta alat-alat lain yang
diperlukan.
c. Benang-benang yang sudah dipasang tadi ditarik lurus sekencang-
kencangnya untuk mengetahui apakah ada benang yang salah ataupun
dimasukan kedalam sisir tadi.
d. Benang itu digulung dengan rapi dan siap untuk di tenun.

Tidak semua orang Bima dapat bertenun sarung, hanya orang-orang


yang memiliki kosentrasi dan ketelilitian yang tinggi kalau tidak maka bagian
tepi sarungnya tidak rata. Tetapi apalah yang tidak bisa kita lakukan kalau
kita memiliki keamauan untuk berlatih dan tekun belajar maka pastilah bisa.

Ragam motif tenunan Bima relatif sedikit bila dibandingkan dengan


Jawa dan Bali. Motif tenunan Bima hanya menampilkan satu dari sekitar
sembilan ragam motif hiasan dalam satu lembar sarung atau pakaian.
Misalnya kalau hiasan bunga sekuntum (Bunga Satako) tidak dapat disertakan
dengan Bunga Aruna( Bunga Nenas).Berikut beberapa motif dan makna dari
ragam hiasan dalam tenunan khas Bima.

1. Bunga Samobo (bunga Sekuntum), sebagai mahluk sosial manusia


selain bermanfaat bagi dirinya, juga harus bermanfaat bagi orang lain,
laksana sekuntum bunga yang memberikan aroma harum bagi
lingkungannya.
2. Bunga Satako (Bunga Setangkai), sebagai simbol kehidupan keluarga
yang mampu mewujudkan kebahagiaan bagi anggota keluarga dan
masyarakat. Bagaikan setangkai bunga yang selalu menebar keharuman
bagi lingkungannya.
3. Bunga Aruna (Bunga Nenas). Nenas yang terdiri dari 99 sisik(helai)
merupakan simbol dari 99 sifat utama Allah yang wajib dipedomani
dan diteladani oleh manusia dalam menjalankan kehidupan agar
terwujud kehidupan bahagia dunia dan akhirat.
4. Bunga Kakando (Rebung) mengandung makna hidup yang penuh
dinamika yang mesti jalani dengan penuh semangat.

Disamping mengenal motif bunga, tenunan Bima juga mengenal motif


geometri seperti Gari(garis), Nggusu Tolu atau Pado Tolu( Segitiga), Nggusu
Upa (Segi empat, Pado Waji (Jajaran Genjang), serta Nggusu Waru ( Segi
Delapan ). Motif Gari(Garis) mengandung makna bahwa manusia harus
bersikap jujur dan tegas dalam melaksanakan tugas, seperti lurusnya garis.
Nggusu Tolu(Segitiga) berbentuk kerucut mengandung makna bahwa
kekuasaan tertinggi ada di tangan Allah yang disimbolkan dalam puncak
kerucut yang lancip. Nggusu Upa atau segi empat merupakan simbol
kebersamaan dengan tetangga dan kerabat. Motif Pado Waji hampir sama
maknanya dengan Nggusu Tolu, tetapi selain mangakui kekuasaan Allah juga
harus mengakui kekuasaan pemimpin yang dilukiskan dengan dua sudut
tumpul bagian kiri kanannya. Sedangkan Nggusu Waru, idealnya seorang
pemimpin harus memenuhi delapan persyaratan yaitu :Beriman Dan
Bertaqwa, Na Mboto Ilmu Ro Bae Ade ( Memiliki ilmu dan pengetahuan
yang luas), Loa Ra Tingi ( Cerdas Dan Terampil), Taho Nggahi Ra Eli
(Bertutur kata yang halus dan sopan), Taho Ruku Ro Rawi (Bertingkah Laku
Yang Sopan), Londo Ro Dou (Berasal Dari Keturunan Yang Baik),Hidi Ro
Tahona ( Sehat Jasmani Dan rohani), Mori Ra Woko (  Mampu memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari).
Berkaitan dengan warna, unsur warna dalam seni rupa Bima terdiri dari
dana kala(warna merah), dana monca(warna kuning), Dana Owa(Warna
Biru), Dana Jao (Warna Hijau), Dana Keta (Warna Ungu), Dana Bako (warna
merah jambu), Dana Me’e (Warna Hitam) dan Dana Lanta (Warna Putih).
Setiap warna memiliki makna. Merah mengandung nilai keberanian. Putih
mengandung nilai kesucian. Biru simbol kedamaian dan keteguhan hati.
Kuning bermakna kejayaan dan kebesaran. Hijau melambangkan kesuburan
dan kemakmuran. Warna Ungu,merah jambu dan hitam melambangkan
kesbaran dan ketabahan. Sedangkan coklat melambangkan kesabaran dan
ketabahan kaum perempuan dalam menjalankan tugas. Dalam Seni Rupa
Bima warna paling dominan adalah hitam sebagai simbol Bumi (Tanah)
bermakna kesabaran .

a. Rumah Lengge
Lengge merupakan salah satu rumah adat tradisional Bima yang
dibuat oleh nenek moyang suku Bima(Mbojo) sejak zaman purba. Sejak
dulu, bangunan ini tersebar di wilayah Sambori, Wawo dan Donggo.
Khusu di Donggo terutama di Padende dan Mbawa terdapat rumah yang
disebut Uma Leme. Dinamakan demikian karena rumah tersebut sangat
runcing dan lebih runcing dari Lengge. Atapnya mencapai hingga ke
dinding rumah. Namun saat ini jumlah Lengge  atau Uma Lengge
semakin sedikit. Di kecamatan Lambitu, Lengge dapat ditemukan di desa
Sambori yang berjarak sekitar 40 km sebelah tenggara kota Bima.
Meskipun ada juga di desa lain seperti di Kuta, Teta, Tarlawi dan Kaboro
dalam wilayah kecamatan Lambitu.
Uma Lengge terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama digunakan
untuk menerima tamu dan kegiatan upacara adat. Lantai kedua berfungsi
sebagai tempat tidur sekaligus dapur. Sedangkan lantai ketiga digunakan
untuk menyimpan bahan makanan seperti padi, palawija dan umbi-
umbian. 
Pintu masuknya terdiri dari tiga daun pintu yang berfungsi
sebagai bahasa komunikasi dan sandi untuk para tetangga dan tamu.
Menurut warga Sambori, jika daun pintu lantai pertama dan kedua
ditutup, hal itu menunjukan bahwa yang punya rumah sedang berpergian
tapi tidak jauh dari rumah. Tapi jika ketiga pintu ditutup, berarti pemilik
rumah sedang berpergian jauh dalam tempo yang relatif lama. 

Hal ini tentunya merupakan sebuah kearifan yang ditunjukkan


oleh leluhur orang-orang Bima. Ini tentunya memberikan sebuah
pelajaran bahwa meninggalkan rumah meski meninggalkan pesan
meskipun dengan kebiasaan dan bahasa yang diberikan lewat tertutupnya
daun pintu itu. Disamping itu, tamu atau tetangga tidak perlu menunggu
lama karena sudah ada isyarat dari daun pintu tadi.

Bentuk Lengge mirip bangunan rumah panggung yang dibangun


menggunakan bahan kayu dengan atap dari ilalang. Ukurannya sekitar 4
kali 4 meter, dengan tinggi hingga puncaknya mencapai 7 meter. Lengge
ditopang empat kaki kayu, setinggi 1 meter. Di atas kaki kayu itu, ada
semacam bale-bale tanpa dinding dengan 4 penyangga kayu setinggi 1,5
meter. Di atas bale-bale, ada ruangan berdinding kayu, tempat
penyimpanan persediaan pangan. Atapnya dari ilalang yang berbentuk
mengerucut ke atas.

A. Pengertian sehat dan sakit


Pengertian Sehat Sakit Menurut Keluarga Suku Mbojo yang Tinggal di
Lombok
Pak Qisman dan Pak mempunyai persepsi yang sama tentang konsep sehat
sakit. Menurut mereka sehat adalah suatu keadaan dimana sesorang dapat memenuhi
semua kebutuhannya dan dapat beraktifitas sehari-hari sedangkan sakit adalah suatu
keadaan dimana seseorang tidak dapat beraktifitas dan tidak dapat memenuhi
kebutuhannya.
Pada saat sekarang, masyarakat suku Mbojo sudah mau berobat ke puskesmas
ataupun rumah sakit yang ada, ini menandakan bahwa masyarakat suku Mbojo telah
mengenal adanya fasilitas kesehatan yang ada pada saat kini dan meninggalkan
kebiasaan kuno yang berobat pada dukun atau orang pintar.
B. Kebiasaan dan pola makan
a. Kebiasaan dan Pola Makan Keluarga Pak Qisman
Awalnya keluarga Pak Qisman sulit beradaptasi dengan makanan lombok
sehingga Pak Qisman tetap mengkonsumsi makanan bima yang diperoleh dari
kiriman keluarganya. Namun, mereka sadar tidak selamanya mengkonsumsi
makanan dari bima sehingga mereka beradaptasi dengan lingkungan dan seiring
berjalannya waktu mereka terbiasa dengan makanan lombok tanpa melupakan
makanan khas bima.
Makanan yang biasa dihidangkan oleh keluarga Pak Qisman adalah
sambal doco, oi mangge, uta karamba, uta mbeca saronco, uta mbeca maci
seperti uta mbeca parongge, bohi dungga, mangge mada, uta palumara, tumis
sepi dan tota fo’o. Tetapi makanan yang paling disering dikonsumsi oleh
keluarga Pak adalah tumis sepi, karamba dan uta mbeca parongge.
Meskipun anak-anak Pak Qisman dilahirkan dilombok tetapi tetap
mengenalkan makanan khas bima. Anak-anaknya tetap mengkonsumsi makanan
lombok dan menyukai makanan khas bima.
b. Kebiasaan dan Pola Makan Keluarga Pak Adi
Awalnya keluarga Pak Adi sulit beradaptasi dengan makanan lombok.
Namun, keadaan mengharuskan mereka mengkonsumsi makanan lombok
sehingga keluarga Pak Adi lebih cepat beradaptasi dibandingkan dengan
keluarga Pak Adi.
Meskipun mereka sudah terbiasa dengan makanan lombok tetapi mereka
tidak melupakan makanan khas bima. Makanan khas bima yang dihidangkan
oleh keluarga Pak Adi adalah uta mbeca saronco, uta mbeca parongge, tota fo’o,
dan doco tomat.
C. Tabu, pantangan terhadap makanan serta tahayul pada suku mbojo
a. Tabu dan Pantangan
1. Telur dan Mie
Telur dan mie merupakan salah satu bahan makanan yang sangat
disukai noleh masyarakat pada umumnya. Namun pada masyarakat suku
Mbojo menganggap bahwa telur dan mie dengan konsumsi terlalu banyak
dapat menyebabkan gatal – gatal pada anak balita.
2. Ikan
Ikan merupakan salah satu bahan makanan hewani yang setiap hari
dikonsumsi oleh masyarakat pada umumnya. Namun, menurut masyarakat
suku Mbojo menganggap jika terlalu mengkonsumsi banyak ikan maka anak
balita akan kecacingan.
3. Lutut sapi
Menurut suku Mbojo apabila ada luka pada bagian lutut kemudian
mengkonsumsi lutut sapi maka akan lama proses penyembuhannya.
b. Tahayul pada suku Mbojo
1. Tidak boleh keluar atau bermain pada saat maghrib
Menurut suku Mbojo, anak-anak dilarang keluar atau bermain pada
saat maghrib. Ini dilakukan sejak lama dan turun temurun.
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Begitu banyak ragam budaya dan khas makanan bima membuat orang Bima
begitu mencintai daerahnya. Bahkan bagi masyarakat Bima yang merantaupun tetap
berusaha mempertahankan adat dan pola makan seperti di Bima meskipun tidak
sepenuhnya (atau dicampur dengan kebiasaan setempat). Contohnya masyarakat
Bima yang tinggal di Lombok, masih mempertahankan adat Bima dalam rangka
merayakan upacara-upacara tertentu.Orang Bima meskipun tinggal di Lombok,
mereka tetap menyukai makanan-makanan khas Bima yang biasa disajikan dalam
masakan keluarga sehari-hari, bahkan mereka tetap memperkenalkan makanan
Bima kepada anak-anaknya meskipun anaknya lahir di Lombok.Orang Bima
membiasakan diri makan makanan Lombok dalam upaya beradaptasi, karena
mereka sadar tidak selamanya mereka mengkonsumsi makanan khas Bima di
lingkungan baru yang mereka tempati.
Jadi, dimanapun orang Bima tinggal. Mereka tidak akan pernah melupakan
adat dan makanan khas mereka. Meskipun mereka terbiasa dengan makanan di
daerah setempat, namun makanan khas tetap menjadi makanan favorit mereka.
B. Saran
Inilah yang dapat kelompok kami tulis meskipun tulisan ini belum dapat
dikatakan sempurna dan kami membutuhkan kritik/saran agar menjadi motivasi
kami untuk belajae lagi agar lebih baik pada tulisan selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai