Anda di halaman 1dari 12

+Small Group Discussion Blok Medical Compromised semester VIII

10Juni 2020
Topik 19

Disusun Oleh:
SGD 5
Viata Da Silva Pinto (1402405049)
Elsa Chintia Simamora (1602551003)
Nyoman Mutiara Puspa (1602551010)
Made Jayadi Mahardika (1602551025)
Ni Ketut Sri Adiningsih (1602551030)
Ni Kadek Armini (1602551035)
Ida Ayu Trisna (1602551036)
Henaria Mikha Teresa (1602551038)
Christian Yonathan Wiratmo (1602551041)

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN GIGI DAN PROFESI DOKTER


GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2020
TOPIK 19. Bedah Saraf
1. Anatomi, topografi dari otak
Jawab: Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk oleh
mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria dan dura mater disingkirkan, di
bawah lapisan arachnoid mater kranialis dan pia mater kranialis terlihat gyrus, sulkus, dan
fisura korteks serebri. Sulkus dan fisura korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi
daerah lebih kecil yang disebut lobus (Moore & Argur, 2007).

1. Serebrum (Otak Besar)

Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer. Hemisfer kanan
berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan hemisfer kiri berfungsi untuk
mengontrol bagian tubuh sebelah kanan. Masing-masing hemisfer terdiri dari empat lobus.
Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut
sulkus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalah lobus frontal, lobus parietal, lobus
oksipital dan lobus temporal (CDC, 2004).

a. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum.

Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan bagian belakang oleh garis
yang ditarik dari sulkus parieto-oksipital ke ujung posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah
ini berfungsi untuk menerima impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan
dengan segala bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatik (Ellis, 2006).

b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan dari serebrum.
Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral dari Rolando. Pada daerah ini
terdapat area motorik untuk mengontrol gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca
sebagai pusat bicara; dan area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual
(Ellis, 2006).

c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus oksipital oleh garis yang
ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas sulkus lateral. Lobus temporal berperan
penting dalam kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk
suara

(Ellis, 2006).
d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal.

Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu
melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata (Ellis, 2006).

Apabila diuraikan lebih detail, setiap lobus masih bisa dibagi menjadi beberapa area yang
punya fungsi masing-masing, seperti terlihat pada gambar di bawah ini.

2. Serebelum (Otak Kecil)

Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak. Serebelum terletak di
bagian bawah belakang kepala, berada di belakang batang otak dan di bawah lobus oksipital,
dekat dengan ujung leher bagian atas. Serebelum adalah pusat tubuh dalam mengontrol
kualitas gerakan. Serebelum juga mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya:
mengatur sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan
tubuh. Selain itu, serebelum berfungsi menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan
otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis,
gerakan mengunci pintu dan sebagainya (Clark, 2005).

3. Batang Otak

Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar dan
memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak bertugas untuk mengontrol tekanan darah,
denyut jantung, pernafasan, kesadaran, serta pola makan dan tidur. Bila terdapat massa pada
batang otak maka gejala yang sering timbul berupa muntah, kelemahan otat wajah baik satu
maupun dua sisi, kesulitan menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun (CDC, 2004).

Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:

a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian

teratas dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum. Saraf kranial III dan
IV diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon
penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran

(Moore & Argur, 2007).

b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain

dan medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf


Kranial (CN) V diasosiasikan dengan pons (Moore & Argur, 2007).

c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak yang akan
berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata terletak juga di fossa kranial posterior.
CN IX, X, dan XII disosiasikan dengan medulla, sedangkan CN VI dan VIII berada pada
perhubungan

dari pons dan medulla (Moore & Argur, 2007).

2. Etiologi trauma kepala, edema serebri


Jawab:
 Trauma kapitis (trauma kepala) adalah trauma mekanik yang mengenai kepala baik
secara langsung maupun tidak langsung yang dapat mengakibatkan luka pada kulit
kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, kerusakan jaringan otak, serta
gangguan fungsi neurologis, yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik
bersifat temporer maupun permanen
 Etiologi trauma kepala dibagi menjadi:
1) Trauma primer yaitu trauma yang terjadi akibat benturan langsung maupun tidak
langsung
2) Trauma sekunder yaitu trauma yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson
meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea / hipotensi sistemik. Trauma
sekunder merupakan trauma yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang
timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema
otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan
perubahan neurokimiawi.

3. Patofisiologi, gambaran klinis cedera kapitis


Jawab:
Kerusakan pada jaringan saraf yang diakibatkan oleh cedera kapitis (traumatic brain
injuries) dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu cedera primer (diakibatkan karena gaya
mekanis saat terjadinya cedera) dan cedera sekunder (yang mengacu ke kerusakan sel dan
jaringan tingkat lanjut setelah tahap cedera primer) (Ng dan Lee, 2019).
Cedera primer:
• Fokal = terjadi fraktur tengkorak dan memar pada bagian tengah dari daerah yang
mengalami trauma (Schmidt dkk, 2004; Ng dan Lee, 2019). Terdapat daerah nekrotik
yang memiliki pasokan darah rendah berisi sel neuron dan sel glial di daerah yang
mengalami memar, sehingga terjadi hematoma, pendarahan di epidural – subdural –
intracerebral di otak (Ng dan Lee, 2019).
• Diffuse = terjadi robekan dan regangan di jaringan otak. Gaya Tarik yang kuat merusak
akson pada neuron, oligodendrosit, dan pembuluh darah sehingga terjadi edema otak dan
kerusakan otak secara iskemik (Smith dkk, 2003; Ng dan Lee, 2019). Ciri utamanya
adalah kerusakan akson secara meluas di daerah subkortikal dan sumsum otak (white
matter) misalnya di batang otak atau corpus callosum, sehingga menyebabkan gangguan
pada sistem transportasi akson dan degradasi pada cytoskeleton dari akson (Ng dan Lee,
2019).
Cedera sekunder:
• Proses biokimia, seluler, dan fisiologis yang terjadi saat cedera primer seringkali
berkembang menjadi cedera sekunder bersifat kronis yang dapat berlangsung beberapa
jam hingga bertahun-tahun (Ng dan Lee, 2019). Beberapa faktor secara mekanis
berperan dalam cedera sekunder seperti eksitotoksisitas, disfungsi mitokondria, stress
oksidatif, peroksidasi lipid, inflamasi saraf, degenerasi akson, dan kematian sel secara
apoptosis (Ray dkk, 2002; Ng dan Lee, 2019).

Gambaran klinis dari cedera kepala (traumatic brain injuries) meliputi koma
berkepanjangan, sakit kepala, mual, kejang, amnesia, afasia, dan perubahan perilaku
misalnya agresifitas dan kecemasan (Bruns dan Hauser, 2003; Andriessen dkk, 2010; Ng dan
Lee, 2019).

4. Pemeriksaan penunjang diagnosis


Jawab:
• Konvensional radiografi (X-ray)
Pada cedera kepala ringan, x-ray tengkorak jarang menunjukkan temuan yang signifikan,
sedangkan pada cedera kepala berat tidak adanya kelainan pada x-ray tengkorak tidak
menyingkirkan cedera intrakranial utama.
• Computed Tomography Scanner (CT Scan)
CT scan dapat memberikan gambaran cepat dan akurat lokasi perdarahan, efek
penekanan, dan komplikasi yang mengancam serta apabila membutuhkan intervensi
pembedahan segera.
• Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa.
MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada
pemeriksaan CT scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer,
atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk
untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT scan awal normal dan
tekanan intrakranial terkontrol baik.

5. Work-up penderita yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik & penunjang


Jawab:
a. Anamnesis
Pada anamnesis yang paling penting adalah mekanisme terjadinya trauma kapitis.
Tanyakan secara rinci mekanisme trauma, seperti ketinggian jatuh, apakah kepala
membentur sesuatu. Jika kecelakaan lalu lintas tanyakan mekanisme kecelakaan,
apakah memakai helm pelindung, apakah pasien terlempar, posisi jatuh, terbentur atau
tidak.
 Bagian tubuh mana yang mengalami trauma, apakah terdapat trauma multipel.
 Jika pasien anak, apakah anak menangis setelah trauma, apakah terdapat
penurunan kesadaran, berapa lama terjadi penurunan kesadaran.
 Adakah kehilangan ingatan (amnesia), sampai berapa lama penderita tidak
dapat mengingat kejadian.
 Apakah ada sakit kepala, muntah-muntah, kejang, perdarahan/keluar cairan
dari hidung, telinga atau mulut.
 Adakah benjolan kepala setelah jatuh, adakah tanda tulang yang retak.
 Apakah terdapat patah tulang leher, bahu maupun ekstremitas.
 Apakah sudah terdapat gangguan neurologis sebelum trauma.
 Apakah terdapat gangguan perdarahan.
 Apakah terdapat penyalahgunaan obat atau alkohol (pada anak remaja)
 Pada bayi dan anak, jika terdapat inkonsistensi antara riwayat trauma dengan
kondisi anak pikirkan kemungkinan child abuse.
b. Pemeriksaan Fisik (Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis)
Pada trauma kapitis perlu dilakukan penilaian kesadaran menggunakan Glasgow.
Oma Scale. Berdasarkan alat ukur ini, trauma kapitis dapat dibagi menjadi minimal,
ringan, sedang, dan berat.
Tidak semua trauma kapitis perlu dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih
lanjut. Indikasi ke rumah sakit adalah:4
 Nilai GCS<15 pada pemeriksaan awa. Jika diduga karena alkohol observasi
selama 2 jam dan bawa ke rumah sakit bila nilai GCS tetap 15.
 Terdapat post-traumatic seizure.
 Terdapat tanda-tanda defisir neurologi
 Terdapat tanda fraktur tengkorak (adanya cairan serebrospinal dari hidung
atau telinga, hemotimpani, memar di belakamg artikula, atau memar di
pperiorbital.
 Penurunan kesadaran
 Rasa baal pada tubuh
 Nyeri kepala berat dan persisten
 Muntah berulang (>2 kali)
 Adanya amnesia post-traumatik (>5 menit)
 Terdapat amnesia retrogard (>30 menit)
 Mekanisme trauma yang berisiko besar, seperti kecelakaan lalu lintas, jatuh
dari ketinggian.
Komponen utama pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala sebagai
berikut: 1. Bukti eksternal trauma: laserasi dan memar.
2. Tanda fraktur basis cranii: hematom periorbital bilateral, hematom pada
mastoid (tanda Battle), hematom subkonjungtiva (darah di bawah konjungtiva
tanpa adanya batas posterior, yang menunjukkan darah dari orbita yang mengalir
ke depan), keluarnya cairan serebrospinal dari hidung atau telinga (cairan jernih
tidak berwarna, positif mengandung glukosa), perdarahan dari telinga.
3. Tingkat kesadaran (GCS)
4. Pemeriksaan neurologis menyeluruh, terutama reflek pupil, untuk melihat
tanda–tanda ancaman herniasi tentorial
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiografi kranium: untuk mencari adanya fraktur, jika pasien mengalami gangguan
kesadaran sementara atau persisten setelah cedera, adanya tanda fisik eksternal yang
menunjukkan fraktur pada basis cranii fraktur fasialis, atau tanda neurologis fokal
lainnya. Fraktur kranium pada regio temporoparietal pada pasien yang tidak sadar
menunjukkan kemungkinan hematom ekstradural, yang disebabkan oleh robekan
arteri meningea media.
2. CT scan kranial: segera dilakukan jika terjadi penurunan tingkat kesadaran atau jika
terdapat fraktur kranium yang disertai kebingungan, kejang, atau tanda neurologis
fokal. CT scan dapat digunakan untuk melihat letak lesi, dan kemungkinan
komplikasi jangka pendek seperti hematom epidural dan hematom subdural.
6. Jenis-jenis cedera kepala
Jawab:
Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan Glasgow
Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974. GCS yaitu
suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan
neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye
opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor
respons).
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS yaitu:
1. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan berdasarkan
CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat di rumah sakit < 48
jam.
2. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada CT scan
otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat di rumah sakit
setidaknya 48 jam.
3. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma, score GCS < 9.
7. Jenis komplikasi cedera kapitis
Jawab:
Penderita cedera sedang hingga kepala berat sangat rentan mengalami komplikasi, baik
sesaat setelah trauma atau beberapa minggu setelahnya jika tidak ditangani dengan baik.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah:
 Penurunan kesadaran, seperti penurunan kesadaran hingga koma, kematian sel otak
(brain death), locked-in syndrome, dan kondisi vegetatif.
 Kejang-kejangberulang atau disebut juga dengan epilepsi pasca-trauma.
 Kerusakan saraf yang dapat memicu masalah lainnya seperti kelumpuhan otot
wajah, penglihatan ganda hingga kehilangan kemampuan melihat, gangguan bicara
(afasia), sulit menelan, dan kerusakan pada indra penciuman.
 Kerusakan pembuluh darah yang berpotensi memicu stroke dan pembekuan darah.
 Infeksi akibat bakteri yang masuk diantara luka atau tulang yang patah. Jika tidak
diobati, kondisi ini dapat menyerang sistem saraf lainnya dan menyebabkan penyakit
meningitis.
 Pembendungan cairan otak di mana cairan serebrospinal terkumpul pada ruang
ventrikel otak dan menimbulkan peningkatan tekanan otak.
 Penyakit degenerasi otak, meliputi demensia pugilistika, penyakit Alzheimer, dan
penyakit Parkinson.
8. Perawatan penderita cedera kepala
Jawab:
Penanganan:
- Meperbaiki oksigenasi sel otak
- Memperbaiki brain perfusion
- Memperbaiki cerebral perfusion pressure
- Cegah hipoksia dan hipotensi
Prinsip penanganan:
- Airway+c-spine control (trauma leher)
- Breathing+ ventilation support
- Circulation+ bleeding control#
- Disavility
- Exposure
Observasi tiap 15 mnit selama 6 jam pertama kemudia 30 mnit setelah 6 jam berupa
keluhan subjektif, vital sign, mini neurologis(GCS, pupil, motoric).

Perawatan secara keseluruhan :


- Dilakukan CT Scan dan X-ray
- Memantau tekanan dalam tengkorak
- Pencegahan kejang
- Pemeliharaan cairan elektrolit
- Keseimbangan nutrisi tubuh
- Bed rest/istirahat
- Mobilisasi bertahap

Sumber:
Andriessen, T. M., Jacobs, B., and Vos, P. E. (2010). Clinical characteristics and
pathophysiological mechanisms of focal and diffuse traumatic brain injury. J. Cell.
Mol. Med. 14, 2381–2392. doi: 10.1111/j.1582-4934.2010.01164.x
Atmadja, AS. 2016. Indikasi Pembedahan pada Trauma Kapitis. CDK-236, 43(1):29-33.
Bruns, J.Jr., and Hauser, W. A. (2003). The epidemiology of traumatic brain injury: a review.
Epilepsia 44, 2–10. doi: 10.1046/j.1528-1157.44.s10.3.x
Mangunatmadja I., Handraystuti S., Rita Dewi M. 2016. Rekomendasi Penatalaksanaan
Trauma Kepala. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Ng SY and Lee AYW (2019) Traumatic Brain Injuries: Pathophysiology and Potential
Therapeutic Targets. Front. Cell. Neurosci. 13:528. doi: 10.3389/fncel.2019.00528
Ray, S. K., Dixon, C. E., and Banik, N. L. (2002). Molecular mechanisms in the pathogenesis
of traumatic brain injury. Histol. Histopathol. 17, 1137–1152. doi: 10.14670/HH-
17.1137
Schmidt, O. I., Infanger, M., Heyde, C. E., Ertel, W., and Stahel, P. F. (2004). The role of
neuroinflammation in traumatic brain injury. Eur. J. Trauma 30, 135–149. doi:
10.1007/s00068-004-1394-9
Smith, D. H., Meaney, D. F., and Shull, W. H. (2003). Diffuse axonal injury in head trauma.
J. Head Trauma Rehabil. 18, 307–316. doi: 10.1097/00001199- 200307000-00003

Anda mungkin juga menyukai