10Juni 2020
Topik 19
Disusun Oleh:
SGD 5
Viata Da Silva Pinto (1402405049)
Elsa Chintia Simamora (1602551003)
Nyoman Mutiara Puspa (1602551010)
Made Jayadi Mahardika (1602551025)
Ni Ketut Sri Adiningsih (1602551030)
Ni Kadek Armini (1602551035)
Ida Ayu Trisna (1602551036)
Henaria Mikha Teresa (1602551038)
Christian Yonathan Wiratmo (1602551041)
Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer. Hemisfer kanan
berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan hemisfer kiri berfungsi untuk
mengontrol bagian tubuh sebelah kanan. Masing-masing hemisfer terdiri dari empat lobus.
Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut
sulkus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalah lobus frontal, lobus parietal, lobus
oksipital dan lobus temporal (CDC, 2004).
Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan bagian belakang oleh garis
yang ditarik dari sulkus parieto-oksipital ke ujung posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah
ini berfungsi untuk menerima impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan
dengan segala bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatik (Ellis, 2006).
b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan dari serebrum.
Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral dari Rolando. Pada daerah ini
terdapat area motorik untuk mengontrol gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca
sebagai pusat bicara; dan area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual
(Ellis, 2006).
c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus oksipital oleh garis yang
ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas sulkus lateral. Lobus temporal berperan
penting dalam kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk
suara
(Ellis, 2006).
d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal.
Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu
melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata (Ellis, 2006).
Apabila diuraikan lebih detail, setiap lobus masih bisa dibagi menjadi beberapa area yang
punya fungsi masing-masing, seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak. Serebelum terletak di
bagian bawah belakang kepala, berada di belakang batang otak dan di bawah lobus oksipital,
dekat dengan ujung leher bagian atas. Serebelum adalah pusat tubuh dalam mengontrol
kualitas gerakan. Serebelum juga mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya:
mengatur sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan
tubuh. Selain itu, serebelum berfungsi menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan
otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis,
gerakan mengunci pintu dan sebagainya (Clark, 2005).
3. Batang Otak
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar dan
memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak bertugas untuk mengontrol tekanan darah,
denyut jantung, pernafasan, kesadaran, serta pola makan dan tidur. Bila terdapat massa pada
batang otak maka gejala yang sering timbul berupa muntah, kelemahan otat wajah baik satu
maupun dua sisi, kesulitan menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun (CDC, 2004).
a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian
teratas dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum. Saraf kranial III dan
IV diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon
penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran
b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain
c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak yang akan
berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata terletak juga di fossa kranial posterior.
CN IX, X, dan XII disosiasikan dengan medulla, sedangkan CN VI dan VIII berada pada
perhubungan
Gambaran klinis dari cedera kepala (traumatic brain injuries) meliputi koma
berkepanjangan, sakit kepala, mual, kejang, amnesia, afasia, dan perubahan perilaku
misalnya agresifitas dan kecemasan (Bruns dan Hauser, 2003; Andriessen dkk, 2010; Ng dan
Lee, 2019).
Sumber:
Andriessen, T. M., Jacobs, B., and Vos, P. E. (2010). Clinical characteristics and
pathophysiological mechanisms of focal and diffuse traumatic brain injury. J. Cell.
Mol. Med. 14, 2381–2392. doi: 10.1111/j.1582-4934.2010.01164.x
Atmadja, AS. 2016. Indikasi Pembedahan pada Trauma Kapitis. CDK-236, 43(1):29-33.
Bruns, J.Jr., and Hauser, W. A. (2003). The epidemiology of traumatic brain injury: a review.
Epilepsia 44, 2–10. doi: 10.1046/j.1528-1157.44.s10.3.x
Mangunatmadja I., Handraystuti S., Rita Dewi M. 2016. Rekomendasi Penatalaksanaan
Trauma Kepala. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Ng SY and Lee AYW (2019) Traumatic Brain Injuries: Pathophysiology and Potential
Therapeutic Targets. Front. Cell. Neurosci. 13:528. doi: 10.3389/fncel.2019.00528
Ray, S. K., Dixon, C. E., and Banik, N. L. (2002). Molecular mechanisms in the pathogenesis
of traumatic brain injury. Histol. Histopathol. 17, 1137–1152. doi: 10.14670/HH-
17.1137
Schmidt, O. I., Infanger, M., Heyde, C. E., Ertel, W., and Stahel, P. F. (2004). The role of
neuroinflammation in traumatic brain injury. Eur. J. Trauma 30, 135–149. doi:
10.1007/s00068-004-1394-9
Smith, D. H., Meaney, D. F., and Shull, W. H. (2003). Diffuse axonal injury in head trauma.
J. Head Trauma Rehabil. 18, 307–316. doi: 10.1097/00001199- 200307000-00003