Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah lingkungan menjadi salah satu isu utama di dalam hubungan

internasional kontemporer. Hal ini terjadi seiring dengan semakin meningkatnya

kesadaran publik dan politik atas masalah lingkungan yang melanda dunia.
Upaya-upaya pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dan industrialisasi turut

menjadi penyebab permasalahan tersebut. Kesadaran manusia secara global


tersebut terutama muncul ketika isu perubahan iklim mulai berkembang, yaitu

pada akhir tahun 1970-an.1 Masalah tersebut telah memberikan pengaruh yang

cukup besar dalam kehidupan politik dan sosial di dunia . Oleh sebab itu,
kerjasama antar negara dan juga masyarakat internasional menjadi penting untuk

dilakukan guna merespon masalah lingkungan tersebut.


Beberapa pertemuan dan konferensi yang bertujuan untuk membahas
masalah lingkungan telah dilakukan, di antaranya ialah Pertemuan Stockholm
1972, Konvensi Wina 1985, Pertemuan Montreal 1987, Pertemuan Rio 1992,

dan juga pertemuan penting pada tahun 1997, yaitu Pertemuan Kyoto.Pertemuan
di Kyoto tersebut menghasilkan suatu protokol persetujuan yang dikenal dengan
Protokol Kyoto yang berisi mengenai langkah-langkah komprehensif yang perlu
dilakukan negara-negara dalam mengatasi masalah lingkungan untuk

mencegahnya terulang kembali. Terhitung telah terdapat 192 pihak (191 negara
anggota PBB dan 1 regionalisme -Uni Eropa-) yang telah menandatangani dan

meratifikasi Protokol ini hingga saat ini.2 Pada masa berikutnya, pertemuan-

1
J Vogler, “Environment”, dalam Issues in World Politics, ed. B.White, R. Little dan M. Smith
(New York: Palgrave, 2001), 192
2
United Nations Framework Convention on Climate Change, Status of Ratification of the Kyoto
Protocol, http://unfccc.int/kyoto_protocol/status_of_ratification/items/2613.php [diakses 19 Juni
pertemuan yang membahas mengenai isu lingkungan global masih tetap
diadakan secara rutin di dalam kerangka Conference of Parties (COP) di dalam

United Nations Climate Change Conference (UNCCC).


Pada Desember 2015, 196 negara akan bertemu di Paris untuk
membahas dan berunding mengenai perubahan iklim dalam Conference of

Parties ke-20 UNFCCC. Konferensi yang merupakan bagian dari konferensi


tahunan UNCCC diharapkan dapat berujung pada tercapainya agreement atau

kesepakatan yang berpengaruh di dalam isu global environment. Kesepakatan


yang dibuat di Paris diharapkan bukan hanya menjadi “macan kertas”, namun
mampu menjadi kesepakatan yang menentukan dan benar-benar mampu menjadi

alat untuk menanggulangi krisis lingkungan.


Untuk menyongsong Konferensi di Paris ini, negara-negara negara yang
mengikuti pertemuan di Desember akan diharapkan untuk mempersiapkan diri
untuk memastikan bahwa mereka siap untuk melaksanakan hasil yang

diharapkan dari pertemuan tersebut. Dalam laporan terakhir, terdapat 66 negara,


yang merepresentasikan 88 persen penghasil emisi global, yang sudah

melakukan perubahan aturan di tingkat legislatif masing-masing negara.3


Pihak penyelenggara Konferensi Paris sendiri sudah memunculkan

ekspektasi bahwa kesepakatan yang muncul akan memiliki arti yang besar.
Seperti yang tercantum dalam artikel yang dikeluarkan oleh Non-Governmental
Organization (NGO) yang mendukung pelaksanaan Konferensi Paris

To ensure meaningful action on climate change, the deal must contain the
following elements: 4
• ambitious action before and after 2020
• a strong legal framework and clear rules
• a central role for equity
• a long term approach
2015]
3
GLOBE International, GLOBE climate legislation study, fourth edition: review of climate
change legislation in 66 countries (January 2014)
4
Rebecca Willis, Paris 2015: getting a global agreement on climate change A report by
Christian Aid, Green Alliance, Greenpeace, RSPB, and WWF (2014), 6

2
• public finance for adaptation and the low carbon transition
• a framework for action on deforestation and land use
• clear links to the 2015 Sustainable Development Goals

Dalam poin pertama di atas terdapat poin yang mengindikasikan

keinginan untuk membuat rencana yang decisive pada periode setelah 2020. Hal

ini berkaitan dengan kesepakatan Durban yang disetujui pada tahun 2011 .
Kesepakatan ini menyatakan adanya persetujuan untuk membentuk sebuah
komitmen bagi kesepakatan iklim global yang baru, setelah terdapat kepastian

dalam kegagalan pemenuhan Protokol Kyoto.


Komitmen Durban 2011, yang merupakan hasil akhir dari rangkaian COP
ke-17, ini merupakan komitmen internasional baru pertama, pasca gagalnya
pertemuan di Kopenhagen pada 2009, pasca kepastian kegagalan pemenuhan

komitmen Protokol Kyoto. Dan dari konferensi ini terbentuk kesepakatan bahwa
akan ada kesepakatan baru yang memiliki legal binding dalam mengurangi emisi
karbon global dan dampak climate change yang akan disetujui atau
ditandatangani pada tahun 2015 –bertepatan dengan COP di Paris- dan

diimplementasikan pada tahun 2020.5 Pada tahun berikutnya di Doha, terdapat


kesepakatan baru untuk melanjutkan komitmen Protokol Kyoto di periode kedua
dari tahun 2013 s/d 2020, tanpa merubah ide prinsip dan mekanisme dalam

Protokol.
Konferensi Paris sendiri pada akhirnya menjadi penanda bagi negara-
negara yang tergabung dalam UNFCCC untuk merumuskan rencana lingkungan

mereka pasca tahun 2020. Dan negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat
dan China, juga sedang berupaya untuk mempersiapkan diri untuk menyongsong
Konferensi Paris dengan juga mengumumkan rencana pengurangan emisi

nasional pasca tahun 2020.


5
Ottmar Edenhofer et al., Harvard Project on Climate Agreements, Identifying options for a new
international climate regime arising from the Durban platform for enhanced action, October
2013,
http://belfercenter.ksg.harvard.edu/publication/23528/identifying_options_for_a_new_internatio
nal_climate_regime_arising_from_the_durban_platform_for_enhanced_action.html, [diakses 3
Agustus 2015]

3
Sebagai dua negara penghasil gas karbon terbesar, tindakan yang
dilakukan oleh Amerika Serikat dan China ini akan menjadi sangat vital dalam

menentukan hasil akhir dari pembuatan kesepakatan. Tindakan keduanya


menjadi memiliki kekuatan pivotal untuk menentukan preferensi tindakan

negara lain. Hal ini terbukti dengan tindakan Amerika Serikat yang telah
menandatangani protokol Kyoto pada tahun 1998 namun kemudian menyatakan
mundur setelah mengalami kegagalan di proses ratifikasi pada 2001. 6 Hal ini
kemudian menjadi penghambat bagi kemajuan progres upaya penurunan emisi

global.
Di dalam (UNFCCC) pertama tahun 1992 sendiri, China merupakan
negara pertama yang merintis pembentukan bentuk negosiasi multilateral
7
UNFCCC di Konferensi Rio. Sementara dalam Protokol Kyoto tahun 1997
China juga merupakan salah satu negara yang menandatanganinya pada tahun

1998 dan kemudian meratifikasinya pada tahun 2002.8


Berbeda dengan Amerika Serikat yang dianggap sebagai negara maju dan
dikategorikan dalam annex 1, China termasuk dalam kategori negara Non-Annex

1 berdasarkan kesepakatan dari UNFCCC. Hal ini terjadi karena meskipun


China mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup besar, namun secara per
kapita masih banyak dari penduduknya yang hidup dengan penghasilan dibawah
1,25 dollar per hari sehingga mereka meminta agar dimasukkan ke dalam
9
kategori negara berkembang. China berhasil melakukan lobi di negosiasi
pembuatan Protokol Kyoto agar dimasukkan dalam negara yang tidak memiliki
kewajiban terhadap pemenuhan Protokol Kyoto.

6
Agrawala and Andresen, “U.S. Climate Policy: Evolution and FutureProspects,” Energy and
nvironment, 2001.
7
The National Development and Reform Commission, “China’s Policies and Actions for
Addressing
Climate Change,” The People’s Republic of China, 2013.
8
United Nation Framework Convention on Climate Change, Status of Ratification of the Kyoto
Protocol.
9
Action for Our Planet, Top 10 Polutting Countries (online),
http://www.actionforourplanet.com/#/top-10-polluting-countries/4541684868>, diakses 18 April
2015

4
Status China sebagai negara berkembang ini kemudian menjadikan usaha
pengentasan kemiskinan di China masih menjadi prioritas utama, dengan solusi
utama yang ditawarkan adalah semakin digiatkannya industrialisasi dengan batu

bara sebagai solusi utama masalah kebutuhan energi . Hal tersebut membuat
China menjadi negara nomor 1 sebagai penghasil green house gases (GHG)
terbesar pasca Protokol Kyoto ditandatangani, dan diproyeksikan akan terus
mengalami peningkatan jika tidak ada tindakan yang akan berdampak buruk
bagi keadaan alam di China sendiri maupun belahan dunia lain secara

keseluruhan.10
Tindakan mundur dari negara maju seperti Amerika Serikat juga
mempengaruhi negara lain, seperti misalnya Kanada yang telah meratifikasi
protokol ini pada tahun 2002 dan justru kemudian secara resmi menyatakan diri

menarik diri dari protokol ini pada tahun 2011.11 Tindakan Kanada untuk
mundur dari Protokol Kyoto salah satunya didasari oleh aksi dari Amerika
Serikat. Kanada menganggap bahwa tidak adanya partisipasi dari Amerika
Serikat dalam pemberlakuan Protokol Kyoto akan membuat tujuan awal dari
protokol tidak akan pernah tercapai. Hal ini akibat posisi Amerika Serikat
sebagai negara emitter GHG terbesar di dunia, dan tidak adanya partisipasi aktif
Amerika Serikat untuk mengurangi emisi hanya akan membuat upaya negara-
negara annex-1 lain, yang dibebani kewajiban untuk mengurangi emisi, hanya
akan berakhir dengan sia-sia.12
Negara lain yang juga mengubah tindakan dalam Protokol Kyoto sebagai
reaksi dari tindakan Amerika Serikat adalah Rusia. Rusia yang melihat
penolakan Amerika Serikat terhadap ratifikasi Protokol Kyoto kemudian
memilih untuk melakukan ratifikasi pada tahun 2004.13 Tindakan Rusia ini
berarti mengaktifkan Protokol Kyoto ke dalam proses implementasi atau fase

pemenuhan kewajiban. Hal ini karena tindakan ratifikasi yang dilakukan Rusia

10
Ibid
11
BBC, Canada to Withdraw from Kyoto Protocol, http://www.bbc.co.uk/news/world-us-
canada-16151310,[diakses 19 Juni 2015]
12
Ibid
13
Jessica E. Tipton, Why did Russia Ratify the Kyoto Protocol? “Slovo, Vol. 20 No. 2, Autumn
2008, 67–96” School of Slavonic and East European Studies, University College London

5
membuat negara-negara annex memenuhi kuota minimal 55% dari total emisi
global sebagai syarat berlakunya waktu pemenuhan Protokol Kyoto.
Tindakan tidak kooperatif kedua negara ini menjadi ganjalan dalam tidak
terpenuhinya fase pemenuhan kewajiban Protoko Kyoto dan penanganan isu

climate change. Namun, seiring berjalannya waktu, China dan Amerika Serikat

nampak mengubah preferensi tindakannya di dalam isu lingkungan. Hal ini


dibuktikan dengan keberhasilan China dan Amerika Serikat membuat
kesepakatan bilateral bersama mengenai global climate change dalam joint
14
iniciatives pengurangan gas rumah kaca pada 11 November 2014 . Dalam
kesepakatan bilateral tersebut, China dan Amerika Serikat mengumumkan tujuan
dan posisi mereka untuk berkomitmen dalam mengatasi global warming sebagai

dampak perubahan iklim.


Kesepakatan ini mencanangkan tujuan untuk menguatkan komitmen
masing-masing negara dalam mengurangi mengurangi emisi karbon nasional

masing-masing. China mengklaim akan melakukan kalkulasi agar mencapai


level puncak pelepasan emisi karbon (peak carbon emissions) nasional pada

tahun 2030 atau sebelumnya. Sekaligus akan meningkatkan penggunaan energi


nol-emisi atau energi bersih hingga 20% dari total energi nasional pada tahun

2030.
Di lain pihak, dalam kesepakatan ini Amerika Serikat bermaksud untuk

mengurangi emisi hingga level 17% di tahun 2020. Rencana ini kemudian
diproyeksikan akan berlanjut hingga 26-28% di bawah level emisi pada tahun

2005 pada tahun 2025. Pengurangan ini akan menyamai penurunan level emisi
hingga 9,6-12% dari level emisi di tahun 1990, seperti yang direncanakan dalam

Protokol Kyoto.15

14
The White House, Fact sheet: US-China Joint Announcement on Climate Change and Clean
Energy Cooperation, 11 November 2014, http://www.whitehouse.gov/the-press-
office/2014/11/11/fact-sheet-us-china-joint-announcement-climate-change-and-clean-energy,
[diakses 3 Agustus 2015]
15
ibid

6
Dalam kesepakatan ini juga diumumkan bahwa telah terjadi kesepakatan
bilateral antar kedua negara untuk melakukan kerjasama di dalam pembangunan
energi berkelanjutan (clean energy development), usaha manajemen karbon
(carbon capture and storage) dan mengurangi emisi gas rumah kaca (mitigate

greenhouse gas emissions). Kesepakatan ini juga bagian dari rencana baru untuk
menunjukkan komitmen mengenai isu lingkungan yang akan dilaporkan dalam

konferensi di Paris pada 2015.16


Tindakan yang dilakukan China dan Amerika Serikat untuk

mempersiapkan diri menghadapi Konferensi Paris patut mendapat apresiasi . Hal


ini setidaknya menunjukkan adanya perubahan tren yang terjadi sebelumnya di
dalam upaya penanggulangan isu global, yang sebelumnya stagnan akibat
keengganan negara-negara maju di annex-1 untuk mengikuti prosedur
kesepakatan yang tercantum dalam Protokol Kyoto, menjadi lebih berkomitmen

untuk mengatasi krisis lingkungan. Karena untuk meningkatkan komitmen dunia


dalam mengatasi masalah lingkungan tersebut, setidaknya negara-negara yang
turut berkontribusi dalam kerusakan lingkungan dan atau negara-negara besar
tersebut seharusnya memberikan contoh dan menunjukkan kontribusi yang

konstruktif dalam menghadapi masalah tersebut.


China dan Amerika Serikat sebagai negara dengan tingkat ekonomi yang
sangat besar dan menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca, keduanya

menjadi sorotan dunia dalam masalah lingkungan tersebut . Dalam memenuhi


kebutuhan rakyatnya yang berjumlah besar dan membangun pertumbuhan
industri, China dan Amerika Serikat memberikan kontribusi yang cukup besar

dalam perusakan lingkungan. Hal tersebut kemudian menjadikan China dan


Amerika Serikat memiliki signifikansi yang besar dan posisi yang penting dalam

penyelesaian permasalahan lingkungan hidup. Pada kenyataannya, tindakan


China dan Amerika Serikat dalam menanggapi isu lingkungan, baik di tingkat

nasional, maupun di tingkatan global menjadi hal yang patut untuk dianalisis .
Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan faktor-faktor domestik dan
16
The New York Times, China, America and our warming planet [Op-ed],
http://mobile.nytimes.com/2014/11/12/opinion/john-kerry-our-historic-agreement-with-china-
on-climate-change. html [diakses 19 Juni 2015]

7
struktur internasional diantara China dan Amerika Serikat dalam
negosiasi di UNFCCC, serta faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi
dominant strategy yang diambil China dan Amerika Serikat dalam isu

tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dari permasalahan dalam skripsi yang akan

diteliti, maka didapatkan permasalahan utama di dalamnya.


Mengapa China - Amerika Serikat beralih dari negosiasi multilateral di
UNFCCC ke negosiasi bilateral dalam menghadapi isu lingkungan?
Mengapa kedua negara mengambil aksi/tindakan yang berbeda pada saat
proses pemenuhan komitmen Protokol Kyoto?

1.3 Landasan Konseptual

8
1.3.1 Teori Permainan (Game Theory)

Kegagalan negara-negara yang meratifikasi Protokol Kyoto dalam


memenuhi target di tahun 2012 terjadi akibat ketidakmampuan negara-negara
yang bernegosiasi dalam konferensi Kyoto dalam merumuskan formulasi

kebijakan yang tepat. Hasil akhir pembuatan kebijakan yang tercantum dalam
Protokol Kyoto ternyata tidak memecahkan masalah fundamental dalam isu
lingkungan sehingga pada akhirnya tidak menjadi sebuah kebijakan yang

decisive dalam mengantisipasi permasalahan tersebut. Hal inilah yang kemudian


mendasari bergesernya proses negosiasi dari yang semula melibatkan banyak

negara (multilateral) menuju ke arah level negosiasi yang lebih kecil (bilateral).

1.3.1.1 Prisoner’s Dilemma

Konsep Prisoner’s dilemma merupakan salah satu teori permainan yang


mampu menjelaskan bagaimana tindakan strategis dari aktor yang terlibat dalam

sebuah kondisi kerjasama ataupun non-kerjasama. Meskipun UNFCCC berada


dalam kerangka multilateral, konsep ini dapat menangkap kalkulasi rasional
yang timbul dari dua peserta (n=2), yakni Amerika Serikat dan China, dan
memberikan insight tentang struktur pay-off yang timbul di dalam komitmen

Protokol Kyoto. Seperti bisa kita lihat pada tabel di bawah:

Tabel Struktur Pay-off Prisoner’s Dilemma


China

9
Cooperate Defect
3 4

3 -1

-1 0

4 0

AS
Cooperate

Defect

Struktur Pay-off di dalam kondisi prisoner’s dilemma memberikan insentif

yang paling besar bagi pihak yang melakukan pengingkaran . Sehingga dalam
kondisi ini aktor rasional akan melakukan aksi defection sebagai tindakan yang

paling menguntungkan. Para aktor akan menjadikan tindakan defection sebagai

dominant strategy.
Dalam Prisoner’s dilemma akan terbentuk preferensi DC > CC > DD >
CD. Dimana tindakan defection akan mendapatkan keuntungan atau pay-off
terbesar, tanpa melihat tindakan yang dilakukan oleh pihak lain. Insentif untuk
melakukan defection akan lebih besar, meskipun mereka sudah melakukan
sebuah konsesi. Dan setiap pihak tahu hal tersebut - bahwa mereka akan
mendapatkan keuntungan lebih besar melalui defection.
Namun Prisoner’s Dilemma sendiri merupakan game yang penuh dengan
ironi. Masalah kemudian terjadi apabila semua aktor yang terlibat kemudian

sama-sama melakukan defection. Tidak adanya kerjasama mengakibatkan


adanya equilibrium yang sub-optimal, dimana akan menyebabkan kedua aktor
mengalami kerugian, atau mendapatkan pay-off yang paling sedikit

dibandingkan dengan kemungkinan lain (pareto inefficient).

10
Isu lingkungan secara default merupakan Prisoner’s dilemma.17 Hal ini
disebabkan karena setiap negara yang dihadapkan pada permasalahan
lingkungan global selalu mengharapkan negara lain yang akan menangani
masalah tersebut (every country wants global emission reductions, but would
prefer that someone else take on the burden).18
Jika di konsep prisoner's dilemma semua pihak tidak ingin masuk
penjara, maka di kasus isu lingkungan global semua negara tidak menginginkan
perlambatan ekonomi nasional. Di dalam kasus isu lingkungan global, setiap
negara tidak menginginkan perlambatan ekonomi di tengah dinamika isu
lingkungan global. Sehingga setiap negara memiliki kecenderungan untuk
melakukan defection dengan lebih memprioritaskan kepentingan ekonomi
pribadi dibandingkan dengan mencoba mengusahakan kepentingan bersama di
bidang ekologi.
Sikap negara-negara yang memilih untuk melakukan aksi non-kooperatif
terlihat dalam pembuatan Protokol Kyoto, dimana setiap negara akan melakukan
emission game.19 Dalam emission games, negara yang sudah menandatangani
atau signatories tidak dapat keluar dari perundingan. Namun mereka dapat
bertindak non-kooperatif dengan tidak melaksanakan compliance terhadap
Protokol Kyoto dan tetap menghasilkan emisi yang sama layaknya negara yang
tidak terikat perjanjian.20
Kedua negara melakukan emission games, dimana posisi mereka sebagai
peserta dan signatories dari Protokol Kyoto tidak membuat mereka melakukan
compliance namun tetap melakukan tindakan non-kooperatif dengan tetap
menghasilkan emisi yang sama layaknya negara yang tidak terikat kewajiban
pemenuhan Protokol Kyoto. Dan pada akhirnya mereka menjadi negara yang
tidak memiliki concern apapun terhadap Protokol Kyoto dengan tetap terus
melakukan aktivitas yang menimbulkan emisi rumah kaca dan dianggap
menyimpang dari tujuan Protokol Kyoto.

17
http://www.scientificamerican.com/article.cfm?id=game-theorist-predicts-failure-at-climate-
talks
18
Ibid
19
Self-Enforcing International Environmental Agreements Revisited* Santiago J. Rubio and
Alistair Ulph. pg 7
20
ibid

11
Karena institutional design UNFCCC yang menerapkan prinsip broad
membership, setiap negara pada akhirnya akan masuk dalam rencana dari
negosiasi yang dilakukan. Setiap negara pada akhirnya akan menjadi signatories
dalam hasil perundingan di UNFCCC. Namun hal bukan berarti setiap negara
akan mematuhi dan melaksanakan hasil perundingan tersebut.
Dan pada kenyataannya, negara-negara yang yang melakukan negosiasi
dalam UNFCCC melakukan minimum trade-off atau pengorbanan minimal
dalam upaya mengantisipasi dampak negatif isu lingkungan, sambil berharap
negara lain yang akan mengambil alih kewajiban tersebut. 21 Adanya godaan dari
keuntungan jangka pendek dalam ekonomi cukup untuk membuat negara untuk
melepaskan pengorbanan jangka panjang di bidang lingkungan, dan
menyerahkan kewajiban di bidang ekologi kepada negara lain sementara mereka
berusaha untuk tidak membebani diri mereka sendiri dengan regulasi dan
peraturan untuk mengurangi emisi.
Protokol Kyoto tidak mampu mengatasi permasalahan fundamental dalam
isu lingkungan global. Mekanisme pelaksanaan Protokol Kyoto tidak mampu
mengubah preferensi awal negara-negara yang mengikuti Protokol tersebut.
Negara-negara yang sejak semula enggan untuk mengikuti pemenuhan Protokol
Kyoto (compliance) tidak pernah mengubah preferensi tindakan tersebut selama
masa pemenuhan Protokol Kyoto yang ke-1 pada tahun 2005 s/d 2012.
Kebijakan multilateral dalam Protokol Kyoto tidak mampu mengeluarkan
negara-negara peserta negosiasi UNFCCC dari situasi “prisoner’s dilemma”
yang terdapat dalam isu lingkungan karena pada akhirnya dalam pelaksanaannya
sebagian besar negara, tidak semuanya, di dalam proses negosiasi memiliki
dominant strategy di awal perundingan untuk tidak mengikuti konsesi.
Mekanisme pemberlakuan Protokol Kyoto juga tidak mengubah preferensi untuk
melakukan cooperation dibandingkan defection. Protokol Kyoto dan Prisoner’s
dilemma tidak mampu menghadirkan social order di tengah-tengah kondisi
anarkis dalam perundingan UNFCCC.
Preferensi dominant strategy negara-negara peserta untuk tidak melakukan
compliance tidak pernah berubah meskipun negara-negara tersebut memiliki
kewajiban atau legally binding terhadap Protokol Kyoto. Jika pun ada yang

21
http://www.scientificamerican.com/article.cfm?id=game-theorist-predicts-failure-at-climate-
talks

12
berubah, seperti Rusia, hal itu terjadi akibat adanya self-compliance dan
political will dari negara yang bersangkutan.
Masalah Prisoner’s dilemma banyak terjadi di kasus yang menyangkut
barang publik (public goods), yakni barang atau komoditas yang dapat
dimanfaatkan oleh setiap pihak namun akan menjadi masalah ketika satu atau
lebih pihak menggunakannya secara berlebihan. 22 Emisi rumah kaca merupakan
salah satu contoh public goods karena setiap negara dapat menghasilkan emisi
sebesar-besarnya, terutama untuk kepentingan ekonomi. Namun ketika setiap
negara melakukan hal tersebut dan menyebabkan tingkat emisi global di atas
ambang normal, hal inilah yang kemudian menjadi problem lingkungan yang
berbahaya.
Terdapat collective goods dilemma di dalam masalah global warming di
UNFCCC yakni; keuntungan ekologis yang muncul akan dibagi secara global,
namun biaya untuk mengatasi masalah lingkungan harus ditanggung secara
individual oleh masing-masing negara (benefits are shared globally but costs

must be extracted from each state individually).23 Negara-negara annex-1 harus


menanggung beban lebih besar dibandingkan negara non annex-1 dalam usaha
menurunkan emisi global. Dan hal inilah yang menimbulkan permasalahan free-
riding yang belum bisa dipecahkan hingga sekarang.
Ketidakmampuan untuk mengatasi free-rider di dalam negosiasi multilateral
membuat sebagian negara merasakan tidak adanya upaya bersama secara global

dalam menangani masalah lingkungan. Ditambah dengan ketiadaan compliance

atau enforcement mechanism di dalam rezim Protokol Kyoto dan UNFCCC . Hal
ini mengakibatkan adanya keengganan negara-negara untuk menaati peraturan

yang berujung pada kegagalan untuk memenuhi komitmen . Komitmen untuk


melaksanakan kewajiban Protokol Kyoto hanya bergantung pada willingness
negara yang bersangkutan

Hal ini terbukti di dalam tindakan Amerika Serikat dan China dalam masa
pemenuhan komitmen Protokol Kyoto, dimana kedua negara mengalami kondisi
dimana struktur pay-off untuk tidak berkooperasi lebih besar dibandingkan

22
Joshua Goldstein & Jon C. Pevehouse, International Relation, (Pearson, 2014), 391
23
Ibid, 392

13
ketika melakukan aksi kooperatif. Kedua negara sejak awal lebih memilih untuk
mengutamakan kepentingan sendiri di bidang ekonomi dibandingkan
kepentingan bersama dalam isu lingkungan global.
Di dalam kasus Amerika Serikat, meskipun awalnya mereka bersepakat
dalam Protokol Kyoto, namun pada akhirnya mereka tidak mampu menolak

keinginan untuk defect dan mundur dan tidak melakukan ratifikasi pada 2001.24
Keputusan di dalam level internasional tidak mampu mempengaruhi kebijakan
dalam negeri, terutama dalam tahap kongresional, untuk melakukan compliance
terhadap hasil negosiasi Kyoto. Tingkat emisi AS juga semakin meningkat jauh
di tingkat ekspektasi yang ditujukan terhadap mereka di Protokol Kyoto.25
Sementara China, yang tidak termasuk dalam negara annex-1, tetap
melanjutkan keuntungan yang mereka peroleh dalam status-quo di Protokol
Kyoto dengan tidak ikut serta menetapkan komitmen nasional dalam masalah

lingkungan pada saat jangka waktu pemenuhan komitmen . Dan secara praktikal,
China menjadi negara penghasil emisi yang paling besar diantara negara-negara
dunia dalam 25 tahun terakhir –termasuk dalam jangka waktu setelah munculnya
Protokol Kyoto.26 Dan tingkat emisi China juga mengalami pertumbuhan
tercepat diantara negara-negara lain seiring dengan pertumbuhan ekonomi
mereka yang semakin tinggi.27

24
Agrawala and Andresen, “U.S. Climate Policy: Evolution and FutureProspects,” Energy and
nvironment, 2001.
25
JGJ Olivier et.al, 2011, Long-Term Trend in Global CO2 Emissions: 2011 Report, PBL
Netherlands
Environmental Assesment Agency, The Hague, 2011 and European Union, p.14.
26
Ibid
27
Ibid

14
1.3.1.2 Stag Hunt
Kebijakan bilateral untuk mengatasi permasalahan lingkungan dapat
dibingkai dalam konsep stag hunt. Stag hunt sendiri merupakan salah satu
variasi dari konsep coordination game, seperti yang terlihat dalam tabel:

Tabel Struktur Pay-off Stag Hunt


China
Cooperate Defect
3 1

3 -1

-1 1

1 1

AS
Cooperate

Defect

Struktur pay-off yang timbul dari kerangka stag hunt memberikan


kesempatan bagi pihak yang berkoordinasi untuk mendapatkan imbalan paling

tinggi. Tindakan koordinasi yang dilakukan kedua aktor menghasilkan

equilibrium paling tinggi dibandingkan dengan kemungkinan lainnya. Sehingga


dalam game ini, dominant strategy yang akan dilakukan oleh aktor rasional

adalah melakukan tindakan kooperasi secara bersama-sama.


Dalam Stag hunt akan terbentuk preferensi CC > DC > DD > CD. Dimana
tindakan cooperation akan mendapatkan keuntungan/pay-off terbesar, dengan
juga mengharapkan tindakan kooperatif yang dilakukan oleh pihak lain. Dalam
situasi stag hunt terdapat peluang untuk mendapatkan insentif pay-off terbesar
(pareto optimal) dengan melakukan kerjasama. Namun juga terdapat godaan

15
untuk keluar dari kerjasama, terutama godaan pribadi untuk mendapatkan
keuntungan jangka pendek. Dan temptation atau godaan inilah yang
mengakibatkan dalam situasi ini harus tercipta koordinasi dari kedua belah pihak
untuk mendapatkan keuntungan atau pay-off optimal yang telah dijanjikan
sebelumnya.

Dalam konsep stag hunt terdapat 2 equilibrium, dengan satu pareto optimal
dimana equilibrium tersebut lebih baik dibandingkan equilibrium yang lain –
yang memiliki pay-off yang lebih besar dibandingkan yang lain. Tetapi satu
pihak baru akan mengambil opsi tersebut apabila mereka percaya jika pihak
yang lain juga akan mengambil opsi yang sama. Oleh karena itu opsi untuk
melakukan tindakan kooperasi dipengaruhi oleh ekspektasi terhadap apa yang
akan dilakukan oleh pihak lain.
Kooperasi menjanjikan pay-off yang optimal apabila kedua pihak mau
melaksanakan komitmen dan tidak terpengaruh godaan untuk melakukan
defection. Dengan melakukaan kerjasama, kedua pihak dapat memperoleh pay-
off yang lebih besar dibandingkan mencoba untuk bertindak secara sendiri-

sendiri. Namun kedua negara pada akhirnya juga harus melakukan koordinasi
agar komitmen mereka untuk bekerjasama menjadi kredibel dan dapat dilihat
oleh pihak lain, karena ketidakmampuan untuk melakukan koordinasi dapat
menyebabkan satu pihak lari dari konsesi -melakukan defection- dan

mengakibatkan pihak yang lain mengalami kerugian.


Struktur pay-off dalam stag hunt hampir mirip seperti struktur dalam
prisoner’s dilemma. Namun terdapat pengurangan pay-off dalam matriks untuk
tindakan defection yang tidak memiliki pay-off sebesar di Prisoner’s Dilemma.
Penurunan Pay-off pada defection terjadi karena presumptions of pay-offs yang
berbeda yang dirasakan oleh para pembuat kebijakan, dimana para pembuat
kebijakan di sudah memiliki clear conscience terhadap realitas yang terjadi.
Dalam kasus negosiasi bilateral AS-China, perbedaan ini mengacu pada kondisi
domestik yang terjadi di kedua negara.
Negosiasi bilateral Amerika Serikat - China dapat dilihat dalam kerangka
stag hunt, karena kedua negara memiliki preferensi awal untuk sama-sama
berkooperasi demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan

16
dengan melakukan solitary action demi keuntungan yang relatif lebih kecil.
Kedua negara juga mengetahui preferensi pihak lain, yang lebih terbuka pada
kemungkinan kooperasi, dan memilih mengambil risiko dengan melakukan
kerjasama dengan pihak tersebut. Kedua pihak harus menjalankan tindakan
kooperasi secara bersama-sama sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan
(sucker). Untuk itulah AS mengajak China dalam untuk beralih ke jalur bilateral
treaty –untuk menjaga komitmen china.

Hal ini dapat dilihat dari latar belakang yang terjadi di sekitar negosiasi ini .
Kesepakatan bilateral AS-China mencanangkan tujuan untuk menguatkan
komitmen masing-masing negara dalam mengurangi mengurangi emisi karbon

nasional masing-masing. Kesepakatan ini tercipta setelah kedua negara


mengetahui preferensi pihak lain dalam isu lingkungan, setelah melihat
komitmen domestik yang diungkapkan ke publik. Seperti yang diungkapkan
oleh David Victor bahwa “Having a treaty can be extremely valuable when you
worry about country defecting and in the other hand you reduce the incentive to
break out. However, The treaty is there, but it wont be achieved without the self
political-will from both country at the first place.”28
Pemerintah China pada tahun 2012 mengeluarkan kebijakan strategis baru
pasca transisi kepemimpinan eksekutif. Presiden baru China, Xi Jinping,
meluncurkan kebijakan untuk mencapai “impian China” (Chinese Dream),29
frase yang diciptakan sendiri oleh Xi Jinping untuk menampung aspirasi dari
warga China yang menginginkan peningkatan standar hidup dan menjadikan
China sebagai negara superpower.
Sementara Pemerintahan Presiden Obama yang dimulai pada 2008 sejak
semula mulai menjadikan isu perubahan lingkungan sebagai prioritas nasional
utama bagi AS. Obama menjanjikan penurunan emisi gas rumah kaca hingga 17
persen di bawah level emisi tahun 2005 sebelum tahun 2020. 30 Tetapi kebijakan
lingkungan pemerintahan Obama tersendat dengan munculnya krisis ekonomi di
28
David G. Victor. Toward Effective International Cooperation on Climate Change: Numbers,
Interests and Institutions, the Massachusetts Institute of Technology, 2006
29
President Xi Jinping, Full Text of Speech by New Communist Party General Secretary Xi
Jinping at the Politburo Standing Committee Members’ Meeting with the Press at the Great Hall
of the People in Beijing, BBC, November 15, 2012, accessed on March 23, 2015,
http://www.bbc.com/news/world-asia-china-20338586
30
Executive Office of the President, “The President’s Climate Action Plan,” June 2013.

17
awal pemerintahannya, dan gagalnya cap-and-trade bill di senat. Namun setelah
terpilih lagi pada tahun 2012, Obama langsung mengembalikan lagi prioritas
lingkungan di pemerintahannya dan menggunakan kekuasaan eksekutifnya
untuk mengeluarkan The 2013 Executive Climate Action Plan.31

Adanya perubahan ke arah kooperatif yang timbul dari domestik kemudian


menimbulkan reaksi dari pihak lain, yang berupa kesepahaman untuk melakukan
komitmen yang lebih besar diantara kedua negara. Kedua negara berhasil
memanfaatkan momentum ketika di waktu yang bersamaan dua negara ini
mempunyai komitmen yang sama untuk bekerja sama, dan rela untuk
mengambil risiko dengan menguatkan komitmen di level internasional.
Penguatan komitmen yang terjadi dalam kerjasama bilateral ini pada akhirnya

adalah cerminan permainan koordinasi (game coordination).


Dalam komitmen ini, China mengklaim akan melakukan kalkulasi agar
mencapai level puncak pelepasan emisi karbon (peak carbon emissions) nasional

pada tahun 2030 atau sebelumnya. Ini merupakan kali pertama China mau
memberikan komitmen terhadap isu lingkungan, terutama masalah manajemen

karbon, semenjak Protokol Kyoto bergulir.32


Di lain pihak, dalam kesepakatan ini Amerika Serikat berkomitmen untuk

mengurangi emisi hingga level 17% di tahun 2020. Rencana ini kemudian
diproyeksikan akan berlanjut hingga 26-28% di bawah level emisi pada tahun

2005 pada tahun 2025. Komitmen dari Amerika Serikat ini juga merupakan
yang pertama kali dilakukan pasca mundurnya negara tersebut dari komitmen

Protokol Kyoto. Dan nampaknya komitmen Amerika Serikat kali ini lebih kuat
karena adanya dukungan dari kongres, satu hal hal yang tidak terdapat dalam

komitmen sebelumnya.33

31
Ibid
32
The White House, Fact sheet: US-China Joint Announcement on Climate Change and Clean
Energy Cooperation, 11 November 2014, http://www.whitehouse.gov/the-press-
office/2014/11/11/fact-sheet-us-china-joint-announcement-climate-change-and-clean-energy,
[diakses 3 Agustus 2015]
33
Ibid

18
1.3.2 Two-Level Game

Robert Putnam menjelaskan dalam tulisannya bahwa pembuatan


kebijakan internasional melibatkan baik dari level maupun dari level

internasional. Dalam arti lain pembuatan kebijakan adalah gabungan dari faktor

yang berasal dari luar negara maupun dari domestik di dalam sebuah negara .

Kedua faktor ini saling berinteraksi dan dapat mempengaruhi satu sama lain.
Putnam dalam tulisannya menyatakan:
At the national level (Level II), domestic groups pursue their interests by
pressuring the government to adopt favorable policies, and politicians seek

powerby constructing coalitions among those groups. At the international level


(Level I), national governments seeks to maximize their own ability to satisfy
domestic pressures, while minimizing the adverse consequences of foreign

developments.34
Konsep two level game dapat menjelaskan bagaimana sebenarnya
kondisi domestik dan internasional kedua negara, Amerika Serikat dan China,
saling berhubungan. Seperti yang diutarakan Putnam, two level game lebih
menitikberatkan pada maksimalisasi pemenuhan kepentingan domestik sekaligus
meminimalisasi konsekuensi negatif di level internasional. Hal ini senada
dengan pendapat Plano dan Olton yang menyebutkan bahwa foreign policy is a
continuation of domestic policy because it serves and reflects national
interests.35 Dalam konsep two level games, terdapat usaha untuk memperoleh
kepentingan yang diinginkan oleh publik di ranah domestik, tanpa harus

34
Robert D. Putnam, “Diplomacy and Domestic Politics: the Logic of Two-Level Games,”
International Organization, Summer 1988, Vol. 42: 3, 434.
35
JC. Plano & R. Olton, 1969, International Relations Dictionary. New York: Holt, Rinehart &
Winston. hal. 127

19
melewati limit atau batas toleransi yang dapat membawa konsekuensi negatif
pada level internasional.
Secara praktikal, struktur pay-off yang terjadi di dalam hubungan antara
Amerika Serikat dan China terjadi di isu ekonomi, dimana dalam isu ini terjadi

tarik ulur antara kepentingan jangka panjang dan jangka pendek . Di dalam
kondisi multilateral Protokol Kyoto, kedua negara mengesampingkan faktor
ekonomi jangka panjang dari terciptanya green economy demi mempertahankan

pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Kedua negara juga masih belum


memperhatikan akumulasi modal politik dari kepemimpinan di dalam isu

lingkungan global.
Namun seiring berjalannya waktu, terdapat perubahan dalam struktur
politik domestik di China dan Amerika Serikat yang mempengaruhi kalkulasi

dalam pembuatan kebijakan. Adanya perubahan kepemimpinan di dalam negeri


dan desakan dari aktor-aktor di luar negara membuat perubahan dalam

mengakomodasi stakeholder terkait.


Adanya perubahan situasi politik di dalam lingkup domestik dan
internasional membuat kedua negara mengalami perubahan kebijakan. Hal ini
terlihat sebagaimana dalam kasus Amerika Serikat dan China yang mengalami
shifting position dari yang semula enggan berkomitmen dalam pemenuhan
kewajiban Protokol Kyoto periode pertama kemudian mengambil sikap
kooperatif dengan berkomitmen untuk melakukan compliance di periode
selanjutnya.
Perbedaan pendekatan (approach) dalam membingkai proses negosiasi
terjadi akibat perbedaan preferensi di dalam dominant strategy. Para pembuat
kebijakan di kedua negara akan memiliki presumption mengenai pay-off yang
mungkin akan didapatkan dengan melihat dari struktur payoff. Ekspektasi inilah
yang kemudian akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan diantara
para elit tersebut, tanpa memperhatikan apakah ekspektasi pay-off akan sesuai
dengan hasil yang didapat dalam realita.
Hal inilah yang membuat Amerika Serikat dan China mulai bergeser dari
proses negosiasi multilateral di UNFCCC ke lingkup negosiasi yang lebih kecil
di tingkat bilateral untuk mengatasi permasalahan global warming. Pada
akhirnya, perubahan geometri dalam negosiasi antara AS dan China terjadi

20
akibat berubahnya kalkulasi dari para pembuat kebijakan di level domestik dari
kedua negara dalam proses pembuatan kebijakan di dalam isu lingkungan.

1.4 Hipotesis

Protokol Kyoto membawa konsekuensi bagi para signatories yang


tergabung dalam UNFCCC. Negara - negara maju yang tergabung dalam
kelompok annex-1 dan terlibat dalam Protokol Kyoto seperti Amerika Serikat
mendapat pengaruh dan tanggung jawab yang besar dari perjanjian Protokol
Kyoto ini, yaitu untuk ikut menjaga kelestarian lingkungan dengan berusaha

mengurangi emisi gas dari hasil industri mereka.


Hal ini didasarkan pada ekspektasi terhadap mereka sebagai salah satu
dari negara besar di dalam struktur internasional, dengan posisi tersebut AS
dapat mendemonstrasikan kekuatan leadership untuk menjawab persoalan yang

dianggap semakin signifikan. Posisi Amerika Serikat sebagai negara emitter


terbesar akan secara signifikan mempengaruhi jalannya upaya mengurangi
jumlah emisi global dan menanggulangi efek negatif pemanasan global.
Namun hal yang berbeda dirasakan juga negara besar lain seperti China

yang tidak ikut berkomitmen dalam Protokol Kyoto. China memiliki posisi unik
dalam UNFCCC karena mereka masih mengkategorikan diri sebagai negara
berkembang meskipun memiliki angka pertumbuhan ekonomi dan GDP yang
besar atau dapat dikategorikan sebagai negara maju.
Namun kedua negara tidak mampu memenuhi ekspektasi dari Protokol
Kyoto. Hal ini juga disebabkan karena Protokol Kyoto tidak mampu mengatasi
permasalahan fundamental dalam isu lingkungan global. Mekanisme
pelaksanaan Protokol Kyoto tidak mampu mengubah preferensi awal negara-
negara yang mengikuti Protokol tersebut. Kebijakan multilateral dalam Protokol
Kyoto tidak mampu mengeluarkan negara-negara peserta negosiasi UNFCCC
dari situasi “prisoner’s dilemma” yang terdapat dalam isu lingkungan karena
pada akhirnya dalam pelaksanaannya sebagian besar negara, walau tidak

21
semuanya, di dalam proses negosiasi memiliki dominant strategy di awal
perundingan untuk tidak mengikuti konsesi.
Namun adanya perubahan dalam cara melihat atau membingkai negosiasi
membuat kedua negara mulai mengubah pendekatan dalam isu global warming.
Kedua negara mulai melihat insentif lebih besar yang mungkin bisa mereka
dapatkan dalam kerangka negosiasi bilateral, sehingga AS mengajak China
untuk berunding secara bilateral untuk menjaga komitmen China dalam isu
lingkungan global.
Kondisi politik domestik membuat kedua negara mulai mengubah
preferensi tindakan dalam isu lingkungan internasional di dalam negosiasi

UNFCCC ke dalam lingkup negosiasi yang lebih kecil di tingkat bilateral . Pada
akhirnya, AS dan China mulai beralih dari negosiasi multilateral di UNFCCC ke
negosiasi yang lebih kecil di tingkat bilateral akibat adanya perubahan strategi

dan kalkulasi dari kedua negara sebagai aktor rasional.

1.5 Jangkauan Penelitian

Adapun jangkauan penelitian ini adalah semenjak munculnya Protokol


Kyoto pada 1997 dan dinamika yang terjadi dari kedua negara -China dan
Amerika Serikat- hingga terjalinnya kerjasama bilateral antar kedua negara di

tahun 2014.
Serta akan akan dilakukan analisis terhadap proses pembentukan rezim
dalam negosiasi multilateral di UNFCCC dan negosiasi secara bilateral oleh

China - Amerika Serikat.

1.6 Sistematika Penulisan

Penulisan akan dilakukan dalam lima bab, dengan perincian sebagai


berikut:

22
Bab Pertama, akan menjelaskan pendahuluan yang mencakup latar belakang
adanya perjanjian bilateral antara China dan Amerika Serikat dan relevansinya
dengan rezim lingkungan internasional di UNFCCC serta menjelaskan kerangka
berpikir yang digunakan untuk menjelaskan rumusan masalah yang menjadi

acuan dasar dalam melakukan penelitian.


Bab Kedua, akan menjelaskan latar belakang terbentuknya rezim lingkungan
internasional di UNFCCC, latar belakang munculnya Protokol Kyoto, serta
peran Amerika Serikat dan China dalam negosiasi tersebut.
Bab Ketiga, akan menganalisa mengapa terjadi perubahan dominant strategy
diantara China - Amerika Serikat dalam negosiasi di UNFCCC serta
menjelaskan bagaimana proses perubahan tersebut terjadi dengan menguraikan
faktor-faktor domestik dan struktur internasional yang menjadi dasar preferensi

dari tindakan China dan Amerika Serikat di dalam isu lingkungan.


Bab Keempat, akan menjabarkan kesimpulan dari rangkaian penelitian

sehingga dapat menjawab rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya.

23

Anda mungkin juga menyukai