Anda di halaman 1dari 11

Title : Democracy and Diplomacy

Author : Hassan Wirajuda


Publisher : New Zealand International Review
Year : N/A
Annotation :

Pada masa pemerintahan Soeharo di Era Orde Baru, Indonesia menikmati pertumbuhan
ekonomi yang pesat dan sempat dikenal sebagai salah satu Macan Asia. Kemajuan di bidang
tersebut diiringi dengan stabilitas politik serta persatuan dan keamanan nasional yang dijaga
dengan amat ketat sehingga justru seringkali membatasi hak-hak masyarakat Indonesia.
Jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang dipicu dengan momentum krisis moneter 1997-1998
akhirnya mengubah sistem pemerintah Indonesia ke arah yang lebih demokratis yang
ditunjukkan dengan keberhasilan dalam melaksanakan pemilihan kepala negara dan kepala
daerah secara langsung. Akan tetapi Wirajuda menegaskan bahwa “… That democracy is not just
a matter of successful elections. The challenge is how to make democracy work, and make it
deliver a better life for the people.” Di samping itu, ia juga menambahkan bahwa “And since 2002,
Indonesia has made the promotion of democracy an important agenda of its diplomacy.”
Untuk merealisasikan hal tersebut, Indonesia mulai lebih aktif mengusung nilai-nilai
demokrasi dalam hubungan luar negerinya. Di tingkat regional, ketika Singapura muncul
dengan resep ASEAN Economic Security sebagai respon untuk mengatasi krisis ekonomi,
Indonesia menawarkan resep ASEAN Political and Security Community untuk mengimbangi ide
tersebut mengingat masih banyak negara-negara ASEAN yang berada dalam kondisi defisit
demokrasi. Promosi mengenai demokrasi dan HAM yang kemudian diinstitusionalisasi dalam
ASEAN Charter, cetak biru ASEAN Community serta pembentukan ASEAN Intergovernmental
Commission on Human Rights menunjukkan bahwa kedua hal tersebut menjadi bagian integral
dari ASEAN. Sebagaimana dinyatakan oleh Wirajuda bahwa, “… there can be no democracy
without human rights and vice versa.”
Pada tingkat yang lebih luas, penyelenggaraan Bali Democracy Forum (BDF) yang
dilakukan sejak 2008 makin mengukuhkan keseriusan Indonesia untuk mewujudkan agenda
tersebut di kawasan Asia Pasifik. Forum pertemuan antarpemerintah ini dirancang sebagai
sarana diskusi para pemimpin negara untuk bertukar pengalaman dan informasi tentang best
practices dalam pembangunan politik di masing-masing negaranya. Forum ini akhirnya
melahirkan Institute for Peace and Development (IPD) yang bertindak sebagai implementing
agency. BDF dan IPD mempertahankan eksistensi mereka dengan berupaya menjembatani
beberapa konflik demokrasi dan HAM seperti yang terjadi di Myanmar dan fenomena Arab
Springs.
Pada akhirnya, upaya yang dilakukan Indonesia dengan menjadikan demokrasi sebagai
salah satu alat diplomasi menunjukkan terjadinya transformasi yang besar dalam waktu yang
cukup singkat. Transformasi tersebut tidak hanya memicu perubahan internal, namun juga
mampu mempengaruhi demokratisasi regional. Sebagaimana dinyatakan oleh Wirajuda bahwa,
“The promotion of democracy in the region should be part and parcel of intensified regional
cooperation and integration – for the promotion of democracy helps create peace and stability in
the increasingly important Asia-Pacific region, and consequently in the world at large.”

1
Title : Reforming Indonesia’s Foreign Ministry: Ideas, Organization and Leadership
Author : Greta Nabbs-Keller
Publisher : ISEAS
Year : 2013
Annotation :

Politik luar negeri Indonesia telah mengalami banyak pembingkaian ulang dan
bertransformasi semenjak era reformasi. Salah satu faktor yang bisa namun jarang digunakan
untuk melihat hal tersebut adalah dengan membedah perubahan-perubahan yang terjadi di
dalam institusi Kementerian Luar Negeri dan mengkaji sosok Menteri Luar Negeri yang berada
di balik perubahan itu sendiri. Sebagaimana dinyatakan oleh Nabbs-Keller bahwa, “… the role of
the foreign ministry is crucial because it has transformed itself into an entrepreneur of new ideas
ad foreign policy practices (h. 57).” Dalam hal ini, Hassan Wirajuda dan reformasi birokrasi yang
dilakukannya dalam tubuh Kementerian Luar Negeri RI pada tahun 2001-2009 menjadi objek
kajian utama dalam tulisan.
Pada bagian pertama, Nabbs-Keller mengambarkan situasi dalam tubuh Deplu pasca
insiden 30 September 1965 ketika peralihan kekuasaan sedang terjadi dari Orde Lama ke Orde
Baru. Kecurigaan dan kewaspadaan yang tinggi terhadap infiltrasi golongan komunis membuat
pemerintahan Soeharto menempatkan petinggi-petinggi militernya di dalam jabatan-jabatan
strategis, termasuk pos-pos penting di Deplu dan misi-misi luar negeri. Sistem kekaryaan dan
Dwifungsi ABRI menjadi justifikasi bagi golongan militer untuk semakin terlibat dalam berbagai
sektor pengambilan keputusan. Namun ditegaskan oleh Nabbs-Keller bahwa, “But the loci of
foreign policy influence lay not so much in these ABRI officers embedded in Deplu, but in the
military’s broader dominance over state policy, a fact recognized in the relatively sparse literature
on the foreign ministry during the New Order (h. 59).”
Pada bagian kedua, Nabbs-Keller mengidentifikasi bagaimana liberalisasi politik
Indonesia memungkinkan pembentukan agenda politik luar negeri yang baru dan terjadinya
reformasi organisasional. Politik luar negeri RI pada masa Habibie pada dasarnya adalah
damage control yang djelaskan dengan “… trying to restore international investor confidence and
manage the serious diplomatic fallout from the military-orchestrated violence in East Timor
following a vote for independence in September 1999 (h. 63).” Setelah itu, beralih ke masa
kepemimpinan Abdurrahman Wahid yang digambarkan “… whose erratic leadership style was
reflected in somewhat unorthodox approach to foreign policy making (h. 63).” Sementara itu,
pada masa pemerintahan Megawati, penunjukan Wirajuda dianggap sebagai “… a highly positive
development for the foreign ministry and for the country’s international reputation more
generally (h. 64).”
Salah satu hal penting yang disampaikan oleh Nabbs-Keller adalah, “Among the key
reforms in civil-military relations to impact on the operation of the foreign ministry were the end
of kekaryaan in 1998 and the termination of ABRI’s dwifungsi two years later (h. 64).” Dari segi
regulasi, ada dua undang-undang yang cukup penting diluncurkan pada masa pasca jatuhya
Soeharto. Yakni UU No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU No 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional. Kedua UU ini mengklarifikasi tanggung jawab kebijakan
luar negeri dan memperkuat fungsi legislatif.
Menindaklanjuti kedua UU di atas, pada tahun 2001 Wirajuda menginisiasi reformasi
komprehensif di dalam Kemlu dan misi-misi diplomatiknya melalui ‘proses benah diri’. Proses
ini menargetkan pembenahan dalam 3 unsur utama, yakni: “the restructure of the department;
the restructure of overseas diplomatic missions; and the improvements to the diplomatic

2
profession (profesi diplomat). (h. 67)” Pada dasarnya restrukturisasi dilakukan untuk
menciptakan good governeance dan democratic public service di dalam tubuh Kemlu. Akan
tetapi, pencapaian terbesar yang diraih oleh retrukturisasi ini adalah berakhirnya 36 tahun
institusionalisasi militer dalam Kemlu. Walaupun keberadaan pejabat militer tidak serta merta
hilang dalam pos-pos kedutaan, namun jumlah mereka menurun secara signifikan setelah
reformasi. Restrukturisasi dan reformasi internal juga meningkatkan kapasitas misi-misi
diplomatik dan profesionalisme layanan diplomatik Indonesia menjadi lebih terkoordinasi dan
efektif seiring dengan meningkatnya kapasitas organisasi dan SDM.
Pada akhirnya, Wirajuda mengedepankan total diplomacy dalam pelaksanaan politik
luar negeri melalui 3 kunci utama, yakni demokrasi, Islam moderat, dan pluralisme. Hal ini
diwujudkan dengan pembentukan Direktorat Jendral Informasi dan Diplomasi Publik pada
tahun 2001 untuk mengakomodir kepentingan tersebut. Sementara total diplomacy yang
dimaksud oleh Kemlu sendiri diartikan sebagai “instrument and manner utilized in diplomacy
through the involvement of all stakeholders and exploitation of all means of influence (linin
kekuatan) or multitrack diplomacy (h. 69).” Dalam hal ini perlindungan terhadap TKI mulai
menjadi salah satu perhatian utama Kemlu karena selaras dengan nilai-nilai demokrasi dan
penegakan HAM. “The protection of its citizens abroad was elevated to one Indonesia’s highest
foreign policy priorities, alongside “advancing democracy, human rights and the environment. ” (h.
70)”
Akan tetapi, dalam bagian ketiga tulisannya, Nabbs-Keller menjelaskan perlunya
memahami motivasi di balik program-program reformasi birokrasi tersebut dengan
keberadaan demokrasi dan HAM di dalam prioritas kebijakan luar negeri Indonesia.
“In instrumental terms, these motivations can be understood as attempts to regain civilian
control over foreign policy decision-making ant o ameliorate widespread bureaucratic
inefficiencies within the ministry (rebadges from a department, Deplu, to a ministry,
Kemlu, in November 2009). (h. 70)”
Di samping itu, perubahan positif tersebut bukan berarti lepas dari efek negatif. Salah satunya
adalah kenyataan yang harus dihadapi oleh Indonesia dengan adanya multiple centers of powers
yang bisa mempengaruhi kebijakan luar negeri pasca berkurangnya dominasi militer dalam
pemerintahan, seperti DPR, media, organisasi masyarakat sipil, maupun opini publik.
Salah satu simpulan Nabbs-Keller dalam tulisan ini, “Indonesia’s newly democratic status,
when combined with Islam and pluralism, provided the key to its new “soft power” appeal, as well
as its broader currency in international diplomacy. Political liberalization provided the
opportunity for civilian diplomats, under Wirajuda’s leadership, to reassert Indonesia’s regional
leadership and seek global gravitas in a project framed by democratic norms. (h. 73).” Sedangkan
sebagai penutup, ia menyampaikan, “Moreover, the raft of reforms initiated and implemented
under Wirajuda’s leadership, suggest that the agency of individual foreign minister constitutes a
key variable influencing the performance of foreign ministries and their carriage of international
diplomacy. (h. 74)”

3
Title :
Author :
Publisher :
Year :
Annotation :

4
Title :
Author :
Publisher :
Year :
Annotation :

5
Title :
Author :
Publisher :
Year :
Annotation :

6
Title :
Author :
Publisher :
Year :
Annotation :

7
Title :
Author :
Publisher :
Year :
Annotation :

8
Title :
Author :
Publisher :
Year :
Annotation :

9
Title :
Author :
Publisher :
Year :
Annotation :

10
Title :
Author :
Publisher :
Year :
Annotation :

11

Anda mungkin juga menyukai