Dosen Pembimbing:
drg. Helmi Hirawan Sp. BM
Disusun Oleh:
Ghina Nurul ‘Adilah
G4B019012
Komponen
Pembelajaran
Resume Diskusi
Daring
Nilai &
Tanggal
Tanda
Tangan DPJP
Pencabutan gigi adalah suatu proses pengeluaran gigi dari alveolus, dimana
gigi sudah tidak dapat dilakukan perawatan lagi (Lande dkk., 2015). Pencabutan
gigi yang ideal adalah pencabutan tanpa rasa sakit satu gigi utuh, atau akar gigi
dengan trauma minimal terhadap jaringan pendukung gigi, sehingga bekas
pencabutan dapat sembuh dengan sempurna dan tidak terdapat masalah prostetik
pascaoperasi di masa mendatang (Howe, 1999). Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pencabutan gigi.
A. Keadaan Pasien
Tindakan pencabutan gigi perlu memerhatikan terlebih dahulu keadaan
lokal maupun keadaan umum penderita (Lande dkk., 2015).
1. Pemeriksaan subjektif
Pemeriksaan subjektif berupa anamnesa. Anamnesa dapat menggali
penilaian terhadap kondisi umum pasien, memperhatikan ukuran mulut dan
rahang pasien serta kebersihan rongga mulut pasien (Howe, 1999).
Pemeriksaan subjektif juga perlu memperhatikan perawatan yang telah
dilakukan sebelumnya sebagai gambaran kondisi gigi yang akan dicabut.
2. Pemeriksaan objektif
Pemeriksaan objektif dapat memberikan informasi tentang gigi yang
mungkin mempunyai tambalan atau karies yang besar, miring atau rotasi,
kencang atau goyang, dengan struktur penunjang yang terkena penyakit atau
hipertrofi. Gigi tanpa pulpa biasanya memiliki akar gigi yang telah teresorpsi
dan sering amat rapuh (Howe, 1999).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiografi yang dilakukan
apabila terdapat indikasi, yakni sebagai berikut (Howe, 1999):
a. Adanya riwayat kesulitan dalam pencabutan gigi sebelumnya,
b. Adanya gigi yang secara abnormal menghambat pencabutan gigi dengan
tang gigi,
c. Bila setelah pemeriksaan klinis diputuskan untuk mencabut gigi dengan
pembelahan,
d. Adanya gigi atau akar gigi yang berdekatan dengan antrum (sinus
maksilaris), saraf alveolaris inferior dan saraf mentalis,
e. Semua gigi molar ketiga bawah, termasuk premolar atau gigi kaninus
yang berubah posisinya, bentuk akar gigi – gigi tersebut biasanya
abnormal,
f. Gigi dengan restorasi besar atau tidak berpulpa lagi. Gigi ini secara
normal sangat rapuh,
g. Gigi yang terkena penyakit periodontal disertai sklerosis tulang
pendukungnya, gigi seperti ini terkadang mengalami hipersementasi dan
rapuh,
h. Gigi dengan riwayat trauma. Fraktur dari akar gigi dan atau tulang
alveolar daapat terjadi,
i. Gigi molar atas yang terisolasi, khususnya bila gigi tersebut tidak
mempunyai antagonis dan supra erupsi. Tulang pendukung dari gigi
tersebut sering diperlemah dengan adanya sinus maksilaris yang besar.
Ini dapat menyebablan terbentuknya hubungan oro-antral atau fraktur
tuber maksilaris,
j. Gigi dengan erupsi sebagian atau gigi tidak erupsi atau akar gigi yang
tersisa,
k. Gigi dengan mahkota gigi abnormal atau erupsi terlambat, mungkin
menunjukkan adanya dilaserasi, geminasi atau odontoma yang besar,
l. Setiap keadaan yang memicu abnormalitas gigi atau tulang alveolar,
seperti :
1) Osteitis deformans, yaitu akar gigi hipersementosis dan terdapat
kecendrungan osteomyelitis kronis.
2) Disostosis kleido – kranial, karena pada keadaan ini terjadi pseudo -
anodonsia dan akar gigi yang membengkok.
3) Pasien yang menerima terapi radiasi pada rahang biasanya memiliki
kecenderungan osteoradionekrosis.
Osteoporosis, yang menyebabkan pencabutan gigi menjadi sulit dan
cenderung menimbulkan osteomyelitis kronis.
4. Pemilihan anestesia
Pemilihan anestesia menurut Howe (1999) di dasarkan atas faktor lokal
dan faktor umum. Faktor umum yang mempengaruhi anestesi, seperti penyakit
sistemik pasien, kebiasaan konsumsi alkohol, umur pasien, kondisi fisik pasien,
keadaan pasien. Faktor lokal yang menentukan pilihan anestesi, seperti
kontraindikasi, keuntungan dan kerugian dari anestesi lokal dan umum.
Posisi yang digunakan untuk melakukan ekstraksi gigi rahang atas dan
rahang bawah kiri adalah operator berdiri menghadap pasien tapi tidak terlalu
dekat dengan posisi operator berada di arah jam 6 sampai jam 9. Kaki kiri
maju, sehingga kedua kaki dapat menompang tubuh dengan stabil, serta lengan
sedikit membungkuk. Tangan kiri untuk mendukung rahang sementara tangan
kanan untuk memegang tang (forceps). Tetapi pada ekstraksi gigi rahang
bawah kanan, operator berada di belakang pasien. Posisi operator berada di
arah jam 9 sampai jam 12. Kaki kanan sedikit lebih maju kedepan dan kaki
kanan ditempatkan di sekeliling kepala pasien untuk menopang rahang bawah
(Moore, 2001; Pedersen, 1996).
Gambar 4. Posisi operator: (a) ekstraksi gigi rahang atas; (b) ekstraksi gigi
rahang bawah kanan; (c) ekstraksi gigi rahang bawah kiri.
D. Teknik Ekstraksi
Aplikasi penggunaan elevator, yakni aplikasi pararel dan aplikasi
vertikal. Aplikasi pararel digunakan dengan cara menginsersikan elevator lurus
pada regio mesio – gingivo interproksimal, pararel dengan permukaan akar
(aplikasi pararel) untuk menghantarkan tekanan yang terkontrol. Elevator
diorientasikan dengan konkavitas bilah menghadap gigi yang akan cabut.
Aplikasi vertikal digunakan dengan cara menginsersikan bilah ke dalam celah
interproksimal mesial pada dataran yang vertikal terhadap gigi yang akan
dicabut. Alat ini ditumpukan pada lingir alveolar dengan konkavitas bilah
menghadap ke distal (ke arah gigi yang akan dicabut) (Pederson, 1996).
Ekspansi alveolus terjadi pada saat menggoyangkan gigi, dan biasanya
didukung dengan sedikit fraktur pada jaringan tulang pendukung yang dicapai
dengan tekanan terkontrol. Tekanan terkontrol berarti tidak ada cedera yang
berlebih pada gigi di dekatnya atau struktur pendukung gigi. Prosesus
alveolaris yang dalam, padat, dan sangat termineralisasi dengan ruangan
ligamen periodontal yang sempit nyata-nyata membutuhkan tekanan yang lebih
besar dibanding dengan alveolus yang dangkal dengan ruang periodontalyang
cukup lebar (Pederson, 1996). Elevator bekerja dengan mendorong kuat antara
gigi dan tulang untuk mengikuti titik penerapan. Namun bila mengangkat gigi,
gaya yang digunakan dikontrol dengan hati-hati dan tidak boleh melebihi yang
dapat diterapkan dengan memutar instrumen antara jari dan ibu jari. Bila ini
tidak cukup untuk memindahkan gigi, tindakan lain seperti pengangkatan
tulang atau pembagian gigi mungkin diperlukan (Moore, 2001).
Gambar 6. Posisi tangan stabilisasi: (a) ekstraksi gigi rahang atas; (b) ekstraksi
gigi rahang bawah kanan; (c) ekstraksi gigi rahang bawah kiri.
Gambar 7. Potongan melintang dari molar bawah dengan karies servikal pada
permukaan bukal. Beaks diletakkan pada soket gigi (A); pergerakan
ke arah bukal dilakukan pertama kali (B).
Distal
Gambar 8. Pandangan oklusal dari molar bawah menggambarkan gerakan
‘angka 8’
1. Kasus
a. Identitas Pasien
1) Jenis Kelamin : Perempuan
2) Umur : 39 tahun
b. Pemeriksaan Subjektif
1) Chief Complain : Pasien datang dengan keluhan sakit pada gigi
atas belakang kir
2) Present Illness : Pasien merasa sakit pada gigi 27 selama 8 hari
3) Past Dental History : Pasien sebelumnya melakukan perawatan
saluran akar pada gigi 27 dan tidak mau melanjutkan perawatan karena
sakit.
4) Past Medical History : tidak disebutkan dalam kasus
5) Family History : tidak disebutkan dalam kasus
6) Social History : tidak disebutkan dalam kasus
c. Pemeriksaan Objektif
1) Pemeriksaan Ekstraoral : tidak disebutkan dalam kasus
2) Pemeriksaan Intraoral : tidak disebutkan dalam kasus
d. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan radiografi terlihat ada file endodontik yang disaluran
mesial molar, yang meluas ke luar akar.
Gambaran Panoramik sebelum Perawatan
2. Diagnosis
Diagnosis pasien berdasarkan kasus terseebut adalah pulpitis irrreversibel
pada gigi 27 karena pasien sebelumnya sudah melakukan perawatan saluran
akar pada gigi tersebut
3. Prognosis
Prognosis pasien adalah buruk karena pasien tidak kooperatif untuk
melanjutkan perawatan saluran akar dan pengambilan file pada saluran akar
sulit.
4. Rencana Perawatan
Rencana perawatannya adalah ekstraksi gigi 27 post perawatan saluran
akar dengan trauma minimal dan tanpa kerusakan file endodontik
5. Prosedur Perawatan
Kunjungan 1
a. Pemeriksaan awal berupa pemeriksaan subjektif, objektif, dan radiografi.
Pemeriksaan subjektif berupa anamnesa. Anamnesa dapat menggali
informasi mengenai kebersihan rongga mulut pasien, perawatan
sebelumnya, oabat-obatan sedang dilakukan pasien, riwayat penyakit,
riwayat pwnyakit keluarga paien, kebiasaan pasien, dan lain sebagainya.
Pemeriksaan objektif dilakukan pemeriksaan ekstraoral dan intraoral.
Pemeriksaan ekstraoral dilakukan dengan memperhatikan kondisi wajah,
mata, leher, TMJ, dan limfonodi adakah kelainan atau tidak. Pemeriksaan
intraoral dilakukan untuk melihat kebersihan dan kondisi rongga mulut
pasien, melihat kondisi (inspeksi, palpasi, mobilitas, dan vitalitas) dan
jaringan sekitar gigi 27. Pemeriksaan radiografi sangat diperlukan untuk
melihat kondisi akar gigi 27 serta jaringan pendukungnya. Perawatan
dilakukan diawali dengan persetujuan pasien melalui inform consent
b. Pasien diberikan KIE untuk menjelaskan tujuan dan prosedur selama
perawatan.
c. Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan
Alat: Bahan:
- Diagnosis set - APD
- Bein lurus - Povidone iodine
- Tang mahkota gigi posterior - Kassa steril
rahang atas dewasa - Tampon
- Kuret - Cotton pellet
- Bone file - Disposable syringe
- Pehachain
- Semen dual-curing resin
d. Persiapan posisi pasien dan operator.
Pasien duduk di dental unit dengan ketinggin yang disesuaikan dengan
operator, sehingga akses visualisasi didapatkan dengan posisi dengan
nyaman, tanpa membungkuk atau strees otot. Dental unit diposisikan sekitar
1200 terhadap lantai dan bidang oklusal rahang atas pasien kira-kira
diposisikan membentuk sudut 450 terhadap bidang horizontal ketika mulut
pasien terbuka.
e. Bersikan debris yang masih melekat pada gigi dengan menggunakan
mikrobrush dan atau menggunakan 0,2% chlorhexidine gluconate
f. Asepsis menggunakan povidone iodine pada daerah yang akan dilakukan
injeksi bahan anastesi dengan gerakan memutar dari dalam keluar.
g. Anastesi menggunakan lidocaine 2% dengan epinefrin 1: 80000. Anastesi
dilakukan dengan teknik infiltrasi dan injeksi blok saraf nasopalatine.
Infiltrasi dilakukan dengan jarum pada mukobukofold kearah apeks gigi 27
dan bevel menghadap ke tulang. Aspirasi dan deponir sebanyak 0,5 cc untuk
menganastesi nervus alveolaris superior posterior yang menginervasi gigi
27. Injeksi blok saraf nasopalatina dilakukan dengan menginsersikan jarum
pada papila insisivus sedalam ± 5 mm dengan bevel meghadap ke tulang.
Aspirasi dan deponir sebanyak 0,5 cc untuk menganastesi nervus
nasopalatinus yang menginervasi gingiva dan mukosa palatal daerah
anterior premolar. Evaluasi setelah dilakukan anastesi tidak ada alergi,
pasien merasa kesemutan, dan tes anatesi menggunakan instrumen
h. Menghilangkan perlektan gingiva dan ligamen periodontal dengan
menggunakan excavator
i. Luksasi gigi menggunakan bein lurus untuk melebarkan soket tulang,
menghilangkan perlektan gingiva dan ligamen periodontal
j. Cengkram pada daerah servikal dengan tang, gerakkan ke arah bukal dan
lingual kemudian ambil gigi 27 dari arah bukal. Ekstraksi gigi dilakukan
dengan lembut menggunakan forsep, kemudian struktur gigi diperiksa
dengan cermat dan ditemukan bahwa garis fraktur dari apeks dan meluas ke
koronal.
k. Cek soket apabila masih ada sisa akar yang tertinggal, palpasi bila masih
ada tulang yang tajam, lakukan kuretase untuk menghilangkan jaringan
nekrotik. Irigasi dengan saline dan debridemen dengan povidone iodine.
Deep dengan kassa steril atau tampon.
Pencabutan gigi yang ideal adalah pencabutan seluruh gigi, atau disertai
dengan akar tanpa rasa sakit, dengan trauma minimal sehingga luka sembuh
dengan cepat dan tidak ada komplikasi pasca pencabutan. Pencabutan gigi harus
dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir. Pencabutan gigi permanen karena
berbagai alasan seperti karies gigi, alasan ortodontik, penyakit periodontal, gigi
impaksi, perawatan gigi yang gagal, pertimbangan pra-prostetik, dan lainnya.
Kriteria yang dipertimbangkan sebelum pencabutan adalah mobilitas gigi,
perencanaan prostetik, tingkat keparahan perlekatan kehilangan, keterlibatan
furkasi, lesi endodontik-periodontal, kehilangan tulang radiografi (lebih dari
50%), gigi dengan karies. Komplikasi yang muncul saat melakukan pencabutan
adalah patah gigi, patah tulang lempeng kortikal, osteitis alveolar, trismus, nyeri
pasca operasi, perdarahan, dehiscence luka. Komplikasi yang jarang terjadi adalah
keseleo gigi yang berdekatan, fraktur tuberositas maksila, dan perpindahan gigi ke
dalam ruang jaringan yang berdekatan. Kasus sebelumnya merupakan kasus
ekstraksi yang sulit. Hal ini desebabkan karena gigi yang sudah dilakukan
perawatan endodontik rentan terhadap kegagalan endodontik, file yang patah dan
tertinggal, perforasi iatrogenik, dan fraktur akar vertikal. Maxillary cow horn
forceps digunakan untuk ekstraksi. Gigi diekstraksi dengan trauma minimal dan
tanpa kerusakan file endodontik.
DAFTAR PUSTAKA