Anda di halaman 1dari 22

RESUME BIDANG ILMU BEDAH MULUT

EKSTRAKSI AKAR GANDA RAHANG ATAS DEWASA

Dosen Pembimbing:
drg. Helmi Hirawan Sp. BM

Disusun Oleh:
Ghina Nurul ‘Adilah
G4B019012

Komponen
Pembelajaran
Resume Diskusi
Daring

Nilai &
Tanggal

Tanda
Tangan DPJP

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER GIGI
PURWOKERTO
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Pencabutan gigi adalah suatu proses pengeluaran gigi dari alveolus, dimana
gigi sudah tidak dapat dilakukan perawatan lagi (Lande dkk., 2015). Pencabutan
gigi yang ideal adalah pencabutan tanpa rasa sakit satu gigi utuh, atau akar gigi
dengan trauma minimal terhadap jaringan pendukung gigi, sehingga bekas
pencabutan dapat sembuh dengan sempurna dan tidak terdapat masalah prostetik
pascaoperasi di masa mendatang (Howe, 1999). Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pencabutan gigi.
A. Keadaan Pasien
Tindakan pencabutan gigi perlu memerhatikan terlebih dahulu keadaan
lokal maupun keadaan umum penderita (Lande dkk., 2015).
1. Pemeriksaan subjektif
Pemeriksaan subjektif berupa anamnesa. Anamnesa dapat menggali
penilaian terhadap kondisi umum pasien, memperhatikan ukuran mulut dan
rahang pasien serta kebersihan rongga mulut pasien (Howe, 1999).
Pemeriksaan subjektif juga perlu memperhatikan perawatan yang telah
dilakukan sebelumnya sebagai gambaran kondisi gigi yang akan dicabut.
2. Pemeriksaan objektif
Pemeriksaan objektif dapat memberikan informasi tentang gigi yang
mungkin mempunyai tambalan atau karies yang besar, miring atau rotasi,
kencang atau goyang, dengan struktur penunjang yang terkena penyakit atau
hipertrofi. Gigi tanpa pulpa biasanya memiliki akar gigi yang telah teresorpsi
dan sering amat rapuh (Howe, 1999).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiografi yang dilakukan
apabila terdapat indikasi, yakni sebagai berikut (Howe, 1999):
a. Adanya riwayat kesulitan dalam pencabutan gigi sebelumnya,
b. Adanya gigi yang secara abnormal menghambat pencabutan gigi dengan
tang gigi,
c. Bila setelah pemeriksaan klinis diputuskan untuk mencabut gigi dengan
pembelahan,
d. Adanya gigi atau akar gigi yang berdekatan dengan antrum (sinus
maksilaris), saraf alveolaris inferior dan saraf mentalis,
e. Semua gigi molar ketiga bawah, termasuk premolar atau gigi kaninus
yang berubah posisinya, bentuk akar gigi – gigi tersebut biasanya
abnormal,
f. Gigi dengan restorasi besar atau tidak berpulpa lagi. Gigi ini secara
normal sangat rapuh,
g. Gigi yang terkena penyakit periodontal disertai sklerosis tulang
pendukungnya, gigi seperti ini terkadang mengalami hipersementasi dan
rapuh,
h. Gigi dengan riwayat trauma. Fraktur dari akar gigi dan atau tulang
alveolar daapat terjadi,
i. Gigi molar atas yang terisolasi, khususnya bila gigi tersebut tidak
mempunyai antagonis dan supra erupsi. Tulang pendukung dari gigi
tersebut sering diperlemah dengan adanya sinus maksilaris yang besar.
Ini dapat menyebablan terbentuknya hubungan oro-antral atau fraktur
tuber maksilaris,
j. Gigi dengan erupsi sebagian atau gigi tidak erupsi atau akar gigi yang
tersisa,
k. Gigi dengan mahkota gigi abnormal atau erupsi terlambat, mungkin
menunjukkan adanya dilaserasi, geminasi atau odontoma yang besar,
l. Setiap keadaan yang memicu abnormalitas gigi atau tulang alveolar,
seperti :
1) Osteitis deformans, yaitu akar gigi hipersementosis dan terdapat
kecendrungan osteomyelitis kronis.
2) Disostosis kleido – kranial, karena pada keadaan ini terjadi pseudo -
anodonsia dan akar gigi yang membengkok.
3) Pasien yang menerima terapi radiasi pada rahang biasanya memiliki
kecenderungan osteoradionekrosis.
Osteoporosis, yang menyebabkan pencabutan gigi menjadi sulit dan
cenderung menimbulkan osteomyelitis kronis.
4. Pemilihan anestesia
Pemilihan anestesia menurut Howe (1999) di dasarkan atas faktor lokal
dan faktor umum. Faktor umum yang mempengaruhi anestesi, seperti penyakit
sistemik pasien, kebiasaan konsumsi alkohol, umur pasien, kondisi fisik pasien,
keadaan pasien. Faktor lokal yang menentukan pilihan anestesi, seperti
kontraindikasi, keuntungan dan kerugian dari anestesi lokal dan umum.

B. Alat dan Bahan


Peralatan cabut didesain dengan baik sehingga mempunyai keuntungan
mekanis untuk melipatgandakan tekanan yang diberikan sampai mencapai
tingkat yang cukup untuk menyelesaikan tugasnya. Peralatan pencabutan
sederhana, yakni sebagai berikut (Pederson, 1996).
a. Elevator
Elevator digunakan untuk mengetes anestesi, untuk memisahkan,
perlekatan epitel dan mengawali dilatasi atau ekspansi alevolus. Elevator
memiliki dua desain dasar, yakni elevator lurus dengan bilah, tangkai dan
pegangan paralel dan elevator bengkok dengan bilah membentuk sudut
terhadap tangkai dan pegangan. Bilah dari elevator lurus adalah cembung atau
cekung (dalam potongan melintang) dengan ujung tajam sedangkan bilah dari
ujung sampai ke tangkai merupakan dataran miring. Bilah ini mempunyai lebar
bervariasi yaitu 2 – 3,5 mm atau 4 mm (Pederson, 1996). Pencabutan akar gigi
tunggal dengan mahkota yang sudah rusak dilakukan dengan bantuan elevator
lurus (Fragiskos, 2007).
b. Tang
Pencabutan dengan tang mempunyai tujuan yaitu menghantarkan tekanan
terkontrol pada gigi sehingga mengakibatkan dilatasi alveolus dan luksasi, serta
pencabutan. Desain umum dilengkapi pegangan, engsel dan paruh. Pegangan
bisa horizontal (dua sisi) atau vertikal.tang horizontal tersedia untuk rahang
atas dan rahang bawah, sedangkan desain vertikal hanya untuk rahang bawah
saja. Angulasi paruh terhadap pegangan menunjukkan fungsi. Apabila paruh
relatif paralel dengan pegangan maka tang digunakan untuk rahang atas,
sedangkan yang mempunyai sudut hampir 90° terhadap pegangan digunakan
untuk rahang bawah (Pederson, 1996).
c. Kuretase
Pasca pencabutan, dokter gigi harus melakukan prosedur kuretase dengan
menggunakan kuret (Lucas atau Molt). Kuretase dilakukan tergantung pada
kondisi dinding alveolus dan tepi oklusal alveolus, serta adanya jaringan lunak
patologis. Selain itu dokter gigi harus melakukan kompresi dengan menjepit
daerah bekas pencabutan dengan ibu jari dan telunjuk. Perlakuan ini
merupakan bentuk alveoplasti yang paling sederhana (Pederson, 1996).
d. Tampon
Pasca pencabutan akan menyebabkan suatu ketidaknyamanan, yakni
salah satunya perdarahan, maka dari itu tampon merupakan salah satu bahan
yang diperlukan pasca pencabutan dalam menghentikan perdarahan (Pederson,
1996).
e. Pemilihan anestesia
Pemilihan anestesia menurut Howe (1999) di dasarkan atas faktor lokal
dan faktor umum. Faktor umum dan faktor lokal menentukan pilihan anestesi
untuk mencabut gigi – gigi tertentu, operator harus benar – benar
memperhatikan kedua faktor tersebut apabila ingin menentukan pilihan
anestesi. Faktor umum yang mempengaruhi anestesi, seperti penyakit sistemik
pasien, kebiasaan konsumsi alkohol, umur pasien, kondisi fisik pasien, keadaan
pasien. Faktor lokal yang menentukan pilihan anestesi, seperti kontraindikasi,
keuntungan dan kerugian dari anestesi lokal dan umum.

C. Posisi Pasien dan Operator


Pasien duduk di dental unit dengan ketinggin yang disesuaikan sehingga
akses visualisasi didapatkan dengan posisi dengan nyaman, tanpa
membungkuk atau strees otot. Pada ekstraksi gigi rahang atas, dental unit
diposisikan sekitar 1200 terhadap lantai. Selain itu bidang oklusal rahang atas
pasien kira-kira diposisikan membentuk sudut 450 terhadap bidang horizontal
ketika mulut pasien terbuka. Pada ekstraksi gigi rahang bawah kiri, rongga
mulut harus sejajar atau dibawah siku dengan kursi disndarkan kira-kira 30 0
terhadap lantai. Sedangkan pada pencabutan gigi rahang bawah kanan, posisi
pencabutan harus 15 cm dengan kursi sedikit diturunkan dibawah siku operator
(Fragiskos, 2007; Moore, 2001; Sitanaya, 2016). Apabila hendak dilakukan
pencabutan gigi atas, kursi pasien harus disesuaikan sehingga daerah kerja
lebih kurang 8 cm di bawah operator. Selama pencabutan gigi bawah, tinggi
kursi pasien harus diatur sehingga gigi yang akan dicabut lebih kurang 16 cm
di bawah siku operator. Bila operator berdiri di belakang pasien, kursi pasien
harus direndahkan secukupnya agar dokter gigi melihat jelas daerah kerja dan
memperoleh posisi kerja yang nyaman (Pedersen, 1996).

Gambar 3. Posisi dental unit

Posisi yang digunakan untuk melakukan ekstraksi gigi rahang atas dan
rahang bawah kiri adalah operator berdiri menghadap pasien tapi tidak terlalu
dekat dengan posisi operator berada di arah jam 6 sampai jam 9. Kaki kiri
maju, sehingga kedua kaki dapat menompang tubuh dengan stabil, serta lengan
sedikit membungkuk. Tangan kiri untuk mendukung rahang sementara tangan
kanan untuk memegang tang (forceps). Tetapi pada ekstraksi gigi rahang
bawah kanan, operator berada di belakang pasien. Posisi operator berada di
arah jam 9 sampai jam 12. Kaki kanan sedikit lebih maju kedepan dan kaki
kanan ditempatkan di sekeliling kepala pasien untuk menopang rahang bawah
(Moore, 2001; Pedersen, 1996).
Gambar 4. Posisi operator: (a) ekstraksi gigi rahang atas; (b) ekstraksi gigi
rahang bawah kanan; (c) ekstraksi gigi rahang bawah kiri.

D. Teknik Ekstraksi
Aplikasi penggunaan elevator, yakni aplikasi pararel dan aplikasi
vertikal. Aplikasi pararel digunakan dengan cara menginsersikan elevator lurus
pada regio mesio – gingivo interproksimal, pararel dengan permukaan akar
(aplikasi pararel) untuk menghantarkan tekanan yang terkontrol. Elevator
diorientasikan dengan konkavitas bilah menghadap gigi yang akan cabut.
Aplikasi vertikal digunakan dengan cara menginsersikan bilah ke dalam celah
interproksimal mesial pada dataran yang vertikal terhadap gigi yang akan
dicabut. Alat ini ditumpukan pada lingir alveolar dengan konkavitas bilah
menghadap ke distal (ke arah gigi yang akan dicabut) (Pederson, 1996).
Ekspansi alveolus terjadi pada saat menggoyangkan gigi, dan biasanya
didukung dengan sedikit fraktur pada jaringan tulang pendukung yang dicapai
dengan tekanan terkontrol. Tekanan terkontrol berarti tidak ada cedera yang
berlebih pada gigi di dekatnya atau struktur pendukung gigi. Prosesus
alveolaris yang dalam, padat, dan sangat termineralisasi dengan ruangan
ligamen periodontal yang sempit nyata-nyata membutuhkan tekanan yang lebih
besar dibanding dengan alveolus yang dangkal dengan ruang periodontalyang
cukup lebar (Pederson, 1996). Elevator bekerja dengan mendorong kuat antara
gigi dan tulang untuk mengikuti titik penerapan. Namun bila mengangkat gigi,
gaya yang digunakan dikontrol dengan hati-hati dan tidak boleh melebihi yang
dapat diterapkan dengan memutar instrumen antara jari dan ibu jari. Bila ini
tidak cukup untuk memindahkan gigi, tindakan lain seperti pengangkatan
tulang atau pembagian gigi mungkin diperlukan (Moore, 2001).

Gambar 5. Aplikasi elevator pada ekstraksi gigi molar bawah kanan

Tangan kanan memegang tang dengan posisi telapak tangan menghadap


ke bawah untuk pencabutan gigi bawah dan menghadap ke atas untuk gigi atas.
Tangan kiri sebagai sabilisasi atau tumpuan dalam mendukung tindakan
ekstraksi. Teknik pinch grasp untuk ekstraksi rahang atas dengan memegang
prosesus alveolaris diantara ibu jari dan telunjuk, serta jari yang lainnya
membantu meretraksi pipi, stabilisasi kepala, mendukung prosesus alveolaris,
dan meraba tulang bukal. Teknik sling grasp untuk ekstraksi gigi rahang bawah
dengan memegang mandibula diantara ibu jari dan jari telunjuk, serta jari
lainnya memungkinkan retraksi pipi, lidah, dan memberikan dukungan
terhadap mandibula. Hal ini membuat TMJ terlindungi dari tekanan tang yang
berlebihan (Pederson, 1996).

Gambar 6. Posisi tangan stabilisasi: (a) ekstraksi gigi rahang atas; (b) ekstraksi
gigi rahang bawah kanan; (c) ekstraksi gigi rahang bawah kiri.

Kunci keberhasilan pencabutan gigi molar adalah pencabutan gigi molar


adalah keterampilan menggunakan elevator untuk luksasi dan ekspansi
alveolus, sebelum menggunakan tang. Tekanan yang diperlukan untuk
mencabut gigi molar biasanya lebih besar dari gigi premolar. Tekanan
dikombinasikan dengan tekanan lateral, yaitu ke arah bukal dan lingual akan
menyebabkan terungkitnya bifurkasi (Pedersen, 1996).
Tang cabut dipegang pada bagian handle dan beaks dimasukkan ke
dalam soket sedalam mungkin. Pinch grasp dan telapak tangan ke atas
digunakan untuk gigi rahang atas, sedangkan sling grasp dan telapak tangan ke
bawah digunakan untuk gigi rahangg bawah. Pada ekstaksi gigi rahang atas,
tekanan pencabutan utama adalah ke arah bukal, yaitu arah pengeluaran gigi,
sedangkan ekstraksi gigi rahang bawah, tekanan lateral permulaan untuk
mencabut gigi molar adalah ke arah lingual. Tulang bukal yang
tebalmenghalangi gerakan ke bukal dan pada awal pencabutan gerakan ini
hanya mengimbangi tekanan lingual yang lebih efektif. Gigi molar sering
dikeluarkan ke arah lingual (Sitanaya, 2016).
Menggoyangkan gigi dari dalam soketnya dilakukan dengan memegang
kuat akar gigi dengan beaks tang, gerakan ke arah bukolingual dan
linguobukal. Tekanan pada gerakan ini harus kuat perlahan dan terkontrol serta
dapat dilakukan dengan gerakan tangan operator dari pinggang, dan bukan
dengan gerakan dari siku. Penggerakan pergelangan tangan dan putaran telapak
tangan ke atas dan ke bawah juga penting tapi berperan lebih sedikit selama
pencabutan dengan tang (Howe, 1999).

Gambar 7. Potongan melintang dari molar bawah dengan karies servikal pada
permukaan bukal. Beaks diletakkan pada soket gigi (A); pergerakan
ke arah bukal dilakukan pertama kali (B).

Teknik pencabutan diperlukan untuk mengeluarkan gigi dari socketnya.


Terdapat empat gerakan dalam pencabutan gigi, yaitu gerakan rotasi, luksasi,
ekstraksi dan gerakan kombinasi (Sitanaya, 2016).
a. Gerakan rotasi, yaitu gigi diputar secara sejajar sumbu panjang gigi ke
arah mesiopalatinal, distopalatinal, mesiobukal, disto bukal kurang lebih
100. Dengan gerakan ini, membran periodontal akan sobek atau putus dan
melepaskan akar dari tulang alveolar (Sitanaya, 2016).
b. Gerakan luksasi, yaitu gigi digoyangkan ke jurusan palatinal dan bukal,
palatinal labial, lingual bukal, lingual labial. Dengan gerakan ini, tulang
alveolar menjadi lebih besar atau lebar sehingga memudakan pencabutan.
c. Gerakan ekstraksi, yaitu gerakan mencabut gigi sejajar sumbu panjang
gigi, dilakukan setelah gigi goyang (Sitanaya, 2016).
d. Gerakan pencabutan kombinasi, yaitu kombinasi antara gerakan
pencabutan rotasi-luksasi, gerakan rotasi-ekstraksi, dan atau gerakan
luksasi-ekstraksi (Sitanaya, 2016).
Secara normal, setelah beberapa kali pergerakan ke arah lateral, gigi
terasa goyang dan mulai muncul ke atas dari soketnya. Bila terjadi
kegoyangan, pergerakan rotasi dan ‘angka 8’ akan mengeluarkan gigi dalam
periode yang singkat. Gigi dikeluarkan dan diperiksa bahwa gigi tersebut telah
dicabut utuh, soket gigi yang terbuka ditekan dengan ibu jari dan telunjuk kiri
untuk mengurangi distorsi baik dari jaringan keras maupun jaringan lunak
pendukung gigi. Tindakan sederhana tersebut juga dapat membantu
penyembuhan (Howe, 1999).
Mesial

Distal
Gambar 8. Pandangan oklusal dari molar bawah menggambarkan gerakan
‘angka 8’

Kuretase socket gigi dilakukan setelah pencabutan untuk melepaskan


keping-keping atau potongan tulang, jaringan granulasi, dinding granuloma dan
atau kista (Pedersen, 1996).
E. Post pencabutan
a. Medikasi
Setelah ekstraksi gigi biasanya diikuti dengan rasa sakit, perdarahan, dan
pembengkakan. Hal tersebut dapat diatasi dengan pemberian beberapa obat-
obatan. Rasa sakit dapat doredakan dengan pemberian obat-obatan
analgesik, seperti ibu profen, acetaminophen, dan aspirin, baik tunggal
maupun dikombinasikan dengan kodein atau golongan narkotik yang lain.
Pemberian analgesik disarankan diberikan dalam jumlah kecil kurang lebih
sebanyak 6-12 tablet yang diminum 3-4 jam sekali. Hindari pemberian
analgesik golongan NSAID karena akan menggangu proses koagulasi darah.
Selain diberikan obat analgesik, pasien juga diberikan antibiotik untuk
mencegah terjadi infeksi.
b. Instruksi pasien
1. Pasien diinstruksikan agar tidak mengunyah makanan pada sisi yang
telah dilakukan ekstraksi
2. Pasien diinstruksikan agar tidak sering meludah dengan keras pasca
ekstraksi karena dapat menyebabkan tertundanya proses penutupan luka
3. Pasien diinstruksikan untuk tidak memakan makanan yang panas
4. Pasien dinstruksikan untuk memakan makanan yang lunak terlebih
dahulu agar mempercepat penyembuhan
5. Pasien diinstruksikan pada daerah bekas pencabutan tidak boleh
dimainkan dengan lidah ataupun benda lain
6. Pasien dintruksikan untuk berkumur dengan air garam hangat (Pederson,
2012; Pedlar dan Frame, 2007).
c. Edukasi
1. Apabila terjadi pembengkakan maka kompres dengan air es pada pipi
atau bibir daerah pencabutan gigi
2. Dokter mengedukasi pasien untuk menghubungi dokter gigi jika terjadi
perdarahan terus-menerus ataupun timbul komplikasi lainnya setelah
perawatan ekstraksi
3. Dokter mengedukasi pasien agar menjaga kebersihan rongga mulutnya
dengan cara menggosok gigi dengan teratur minimal setelah makan pagi
dan sebelum tidur. Selain itu dapat menggunakan larutan saline untuk
menjaga daerah rongga mulut dari infeksi
4. Dokter mengedukasi pasien agar meminum obat yang diberikan dan
sesuai dengan petunjuk yang telah diresepkan dokter kepada pasien.
5. Dokter mengedukasi pasien mengenai kemungkinan terjadinya
komplikasi pasca pencabutan, seperti bengkak, perdarahan, dry socket,
dan komplikasi pasca pencabutan yang lain (Pedlar dan Frame, 2007).
BAB II
LAPORAN KASUS

1. Kasus
a. Identitas Pasien
1) Jenis Kelamin : Perempuan
2) Umur : 39 tahun
b. Pemeriksaan Subjektif
1) Chief Complain : Pasien datang dengan keluhan sakit pada gigi
atas belakang kir
2) Present Illness : Pasien merasa sakit pada gigi 27 selama 8 hari
3) Past Dental History : Pasien sebelumnya melakukan perawatan
saluran akar pada gigi 27 dan tidak mau melanjutkan perawatan karena
sakit.
4) Past Medical History : tidak disebutkan dalam kasus
5) Family History : tidak disebutkan dalam kasus
6) Social History : tidak disebutkan dalam kasus

c. Pemeriksaan Objektif
1) Pemeriksaan Ekstraoral : tidak disebutkan dalam kasus
2) Pemeriksaan Intraoral : tidak disebutkan dalam kasus

d. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan radiografi terlihat ada file endodontik yang disaluran
mesial molar, yang meluas ke luar akar.
Gambaran Panoramik sebelum Perawatan

2. Diagnosis
Diagnosis pasien berdasarkan kasus terseebut adalah pulpitis irrreversibel
pada gigi 27 karena pasien sebelumnya sudah melakukan perawatan saluran
akar pada gigi tersebut

3. Prognosis
Prognosis pasien adalah buruk karena pasien tidak kooperatif untuk
melanjutkan perawatan saluran akar dan pengambilan file pada saluran akar
sulit.

4. Rencana Perawatan
Rencana perawatannya adalah ekstraksi gigi 27 post perawatan saluran
akar dengan trauma minimal dan tanpa kerusakan file endodontik

5. Prosedur Perawatan
Kunjungan 1
a. Pemeriksaan awal berupa pemeriksaan subjektif, objektif, dan radiografi.
Pemeriksaan subjektif berupa anamnesa. Anamnesa dapat menggali
informasi mengenai kebersihan rongga mulut pasien, perawatan
sebelumnya, oabat-obatan sedang dilakukan pasien, riwayat penyakit,
riwayat pwnyakit keluarga paien, kebiasaan pasien, dan lain sebagainya.
Pemeriksaan objektif dilakukan pemeriksaan ekstraoral dan intraoral.
Pemeriksaan ekstraoral dilakukan dengan memperhatikan kondisi wajah,
mata, leher, TMJ, dan limfonodi adakah kelainan atau tidak. Pemeriksaan
intraoral dilakukan untuk melihat kebersihan dan kondisi rongga mulut
pasien, melihat kondisi (inspeksi, palpasi, mobilitas, dan vitalitas) dan
jaringan sekitar gigi 27. Pemeriksaan radiografi sangat diperlukan untuk
melihat kondisi akar gigi 27 serta jaringan pendukungnya. Perawatan
dilakukan diawali dengan persetujuan pasien melalui inform consent
b. Pasien diberikan KIE untuk menjelaskan tujuan dan prosedur selama
perawatan.
c. Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan
Alat: Bahan:
- Diagnosis set - APD
- Bein lurus - Povidone iodine
- Tang mahkota gigi posterior - Kassa steril
rahang atas dewasa - Tampon
- Kuret - Cotton pellet
- Bone file - Disposable syringe
- Pehachain
- Semen dual-curing resin
d. Persiapan posisi pasien dan operator.
Pasien duduk di dental unit dengan ketinggin yang disesuaikan dengan
operator, sehingga akses visualisasi didapatkan dengan posisi dengan
nyaman, tanpa membungkuk atau strees otot. Dental unit diposisikan sekitar
1200 terhadap lantai dan bidang oklusal rahang atas pasien kira-kira
diposisikan membentuk sudut 450 terhadap bidang horizontal ketika mulut
pasien terbuka.
e. Bersikan debris yang masih melekat pada gigi dengan menggunakan
mikrobrush dan atau menggunakan 0,2% chlorhexidine gluconate
f. Asepsis menggunakan povidone iodine pada daerah yang akan dilakukan
injeksi bahan anastesi dengan gerakan memutar dari dalam keluar.
g. Anastesi menggunakan lidocaine 2% dengan epinefrin 1: 80000. Anastesi
dilakukan dengan teknik infiltrasi dan injeksi blok saraf nasopalatine.
Infiltrasi dilakukan dengan jarum pada mukobukofold kearah apeks gigi 27
dan bevel menghadap ke tulang. Aspirasi dan deponir sebanyak 0,5 cc untuk
menganastesi nervus alveolaris superior posterior yang menginervasi gigi
27. Injeksi blok saraf nasopalatina dilakukan dengan menginsersikan jarum
pada papila insisivus sedalam ± 5 mm dengan bevel meghadap ke tulang.
Aspirasi dan deponir sebanyak 0,5 cc untuk menganastesi nervus
nasopalatinus yang menginervasi gingiva dan mukosa palatal daerah
anterior premolar. Evaluasi setelah dilakukan anastesi tidak ada alergi,
pasien merasa kesemutan, dan tes anatesi menggunakan instrumen
h. Menghilangkan perlektan gingiva dan ligamen periodontal dengan
menggunakan excavator
i. Luksasi gigi menggunakan bein lurus untuk melebarkan soket tulang,
menghilangkan perlektan gingiva dan ligamen periodontal
j. Cengkram pada daerah servikal dengan tang, gerakkan ke arah bukal dan
lingual kemudian ambil gigi 27 dari arah bukal. Ekstraksi gigi dilakukan
dengan lembut menggunakan forsep, kemudian struktur gigi diperiksa
dengan cermat dan ditemukan bahwa garis fraktur dari apeks dan meluas ke
koronal.
k. Cek soket apabila masih ada sisa akar yang tertinggal, palpasi bila masih
ada tulang yang tajam, lakukan kuretase untuk menghilangkan jaringan
nekrotik. Irigasi dengan saline dan debridemen dengan povidone iodine.
Deep dengan kassa steril atau tampon.

l. Pasien diresepkan beberapa obat


R/ Amoxicillin tab 500mg No. XXI
S. 3 dd. tab I p.c.
R/ Ibuprofen tab 400mg No. XXVIII
S.p.r.n. 3 dd. tab I p.c.
R/ Chlorhexidine 0,2 % 60 ml garg lag No. II
S. 2 dd. collut. in. or. 10 ml p.c.

m. Instruksi dan edukasi pasca pencabutan.


 apabila terjadi pembengkakan maka kompres dengan air es pada daerah
pencabutan gigi
 menghubungi dokter gigi jika terjadi perdarahan terus-menerus ataupun
timbul komplikasi lainnya setelah perawatan
 menjaga kebersihan rongga mulutnya dengan cara menggosok gigi
dengan teratur minimal setelah makan pagi dan sebelum tidur. Selain itu
dapat menggunakan larutan saline untuk menjaga daerah rongga mulut
dari infeksi
 meminum obat sesuai dengan petunjuk yang telah diresepkan dokter
kepada pasien
BAB III
PEMBAHASAN

Pencabutan gigi yang ideal adalah pencabutan seluruh gigi, atau disertai
dengan akar tanpa rasa sakit, dengan trauma minimal sehingga luka sembuh
dengan cepat dan tidak ada komplikasi pasca pencabutan. Pencabutan gigi harus
dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir. Pencabutan gigi permanen karena
berbagai alasan seperti karies gigi, alasan ortodontik, penyakit periodontal, gigi
impaksi, perawatan gigi yang gagal, pertimbangan pra-prostetik, dan lainnya.
Kriteria yang dipertimbangkan sebelum pencabutan adalah mobilitas gigi,
perencanaan prostetik, tingkat keparahan perlekatan kehilangan, keterlibatan
furkasi, lesi endodontik-periodontal, kehilangan tulang radiografi (lebih dari
50%), gigi dengan karies. Komplikasi yang muncul saat melakukan pencabutan
adalah patah gigi, patah tulang lempeng kortikal, osteitis alveolar, trismus, nyeri
pasca operasi, perdarahan, dehiscence luka. Komplikasi yang jarang terjadi adalah
keseleo gigi yang berdekatan, fraktur tuberositas maksila, dan perpindahan gigi ke
dalam ruang jaringan yang berdekatan. Kasus sebelumnya merupakan kasus
ekstraksi yang sulit. Hal ini desebabkan karena gigi yang sudah dilakukan
perawatan endodontik rentan terhadap kegagalan endodontik, file yang patah dan
tertinggal, perforasi iatrogenik, dan fraktur akar vertikal. Maxillary cow horn
forceps digunakan untuk ekstraksi. Gigi diekstraksi dengan trauma minimal dan
tanpa kerusakan file endodontik.
DAFTAR PUSTAKA

Fragiskos, F., 2007, Oral Surgery, Springer, Berlin


Howe, G.F., 1999, Pencabutan Gigi Geligi, Edisi 2, Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
Lande, R., Kepel, B.J., Siagian, K.V., 2015, Gambaran faktor risiko dan
komplikasi pencabutan gigi di RSGM PSPDG-FK UNSRAT, Jurnal e-
GiGi (eG), 3(2): 476-481.
Majd, N.M., Akhtari, F., Araghi, S., Homayouni, H., 2012, Treatment of root
fracture using dual curing resin cement: case report, Hindawi Publishing
Corporation, 1-5.
Moore, U. J., 2001, Principles of Oral And Maxillofacial Surgery, Blackwell
Science, Australia.
Moule, A.J., 1999, Diagnosis and management with vertical root fractures,
Australiasn Dental Journal, 44(2): 75-87.
Pedersen, G, W., 1996, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, Buku Kedokteran EGC,
Jakarta
Pedlar, J., Frame, J. W., 2007, Oral and Maxillofacial Surgery An Objective-
based Testbook, Elsevier, China.
Silva, E.J.N., Santos, G.R., Krebs, R.L., Filho, T.S.C., 2012, Surgical Alternative
for Treatment of Vertical Root Fracture: A case Report, Iran Endod J.,
7(1): 40-44.
Sitanaya, R. I., 2016, Exodontia Dasar-Dasar Ilmu Pencabutan Gigi, Deepublish,
Yogyakarta.
Yuwono, B., 2010, Penatalaksanan pencabutan gigi dengan kondisi sisa akar
(gangren radik), Stomatognatic (J.K.G. Unej), 7(2): 89-95.

Anda mungkin juga menyukai