Anda di halaman 1dari 29

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Preeklampsia

Preeklampsia adalah suatu sindrom spesifik pada kehamilan berupa

berkurangnya perfusi organ akibat vasokontriksi dan aktivasi endotel yang

ditandai dengan adanya hipertensi disertai proteinuria setelah usia kehamilan di

atas 20 minggu (Cunningham dkk., 2010). Hipertensi adalah tekanan darah

sistolik dan diastolik ≥ 140/90 mmHg, yang pengukurannya dilakukan sekurang-

kurangnya 2 kali dalam selang waktu 4 jam. Sedangkan proteinuria adalah adanya

protein dalam urin ≥ 300 mg selama 24 jam atau sama dengan ≥ 1 + dipstick.

Meskipun secara historis edema merupakan bagian dari trias diagnosis untuk

preeklampsia, yang mana hal itu merupakan sebuah gambaran umum dari

kehamilan normal, sehingga mengurangi kegunaannya sebagai tanda spesifik

patologi dari preeklampsia. Namun, edema parah yang timbul secara mendadak,

terutama edema tangan dan wajah dapat sebagai gambaran penting gejala penyakit

tersebut dan terkadang satu-satunya perubahan yang dapat di deteksi oleh pasien

(Angsar, 2010; Maynard & Karumanchi, 2011).

Preeklampsia masih merupakan penyebab utama dari morbiditas dan

mortalitas maternal serta neonatal, dimana insidennya meningkat di seluruh dunia

(Maynard & Karumanchi, 2011; Eiland dkk., 2012). Manifestasi klinis

preeklampsia pada ibu hamil bervariasi dari sindroma ringan dengan adanya

proteinuria dan hipertensi yang meliputi hipertensi ringan, hipertensi berat, krisis

hipertensi, hingga penyakit yang berat dengan disfungsi endotel yang luas dan

kerusakan organ akhir seperti terjadinya sindroma HELLP (Hemolysis, Elevated

Liver Enzyme, Low Platelet), kejang/eklampsia hingga kematian. Selain itu dapat

juga terjadi komplikasi preeklampsia yang tidak umum namun serius yang berupa

gagal ginjal akut, edema pulmonal, dan gagal hati akut. Dikatakan bahwa ibu yang

mengalami preeklampsia akan meningkatkan risiko 3-25 kali untuk terjadinya

komplikasi obstetri yang berat. Di Amerika Serikat, disebutkan bahwa sekitar 2%

dari wanita dengan preeklampsia mengalami kejang (eklampsia). Walaupun

eklampsia sering terjadi pada situasi keadaan dengan hipertensi, proteinuria, dan

adanya keterlibatan sistem saraf pusat (seperti sakit kepala dan hiperefleksia),

namun hal itu dapat terjadi tanpa adanya tanda bahaya tersebut. Sedangkan

dampak kelainan ini pada janin juga bervariasi dari kelahiran prematur, PJT

(pertumbuhan janin terhambat), oligohidramnion, abrupsi plasenta hingga

kematian janin. Dikatakan bahwa preeklampsia dihubungkan dengan angka

kematian perinatal dan neonatal sebesar 10% di seluruh dunia (Hawfield &

Freedman, 2009; Angsar, 2010; Maynard & Karumanchi, 2011). Dimana sekitar

15% kelahiran preterm di seluruh dunia merupakan prematuritas iatrogenik akibat

sekunder dari kelahiran pada penderita preeklampsia. Di negara barat diperkirakan

1/3 bayi yang lahir dari penderita preeklampsia mengalami PJT. Preeklampsia

juga meningkatkan kematian perinatal di negara-negara maju hingga 5 kali lipat

(Auer dkk., 2010). Dengan kata lain, ibu yang mengalami preeklampsia akan

melahirkan bayi preterm yang membutuhkan perawatan intensif dan hal ini

tergantung dari ketersediaan dan kemampuan fasilitas kesehatan untuk melakukan

perawatan tersebut. Sehingga hal ini akan berdampak pada tingginya angka

kematian dan kesakitan neonatal.

2.2 Angka Kejadian Preeklampsia

Preeklampsia merupakan salah satu komplikasi medis yang paling sering

dalam kehamilan, kejadian preeklampsia di dunia berkisar antara 5%-10% dari

semua wanita hamil (Valenzuela dkk., 2012) dan menyumbang 10%-15% dari

semua kematian ibu yang disebabkan secara langsung oleh preeklampsia dan

eklampsia, dimana preeklampsia menyebabkan 50.000 kematian ibu tiap tahunnya

(Duley, 2009; WHO, 2011). Kejadian preeklampsia di setiap negara berbeda-

beda, hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan geografis, sosial, ekonomi dan

ras (Varughese dkk., 2010). Di negara Barat dilaporkan berkisar antara 3%-8%

dari kehamilan (Carty dkk., 2010; Duley, 2009), sedangkan di negara berkembang

dimana pelayanan emergensi yang sering tidak adekuat dan kurang kejadiannya

mencapai 10% dari kehamilan (Grill dkk., 2009). Di negara Amerika kejadian

preeklampsia sekitar 3% dari kehamilan (Wallis dkk., 2008; Kuklina dkk., 2009).

Di Indonesia sendiri angka kejadian preeklampsia bervariasi yaitu antara 2,1%-

8,5% dan kelainan ini masih merupakan tiga penyumbang angka kematian ibu

setelah perdarahan dan infeksi (Angsar, 2010). Sementara itu angka kejadian

preeklampsia di RSUP Sanglah Denpasar pada periode 2009-2010 sebesar 7,31%

dari 3.679 persalinan (Surya & Sutopo, 2011).

2.3 Faktor Risiko Preeklampsia

Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya preeklampsia, yang secara

garis besar dapat dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut (Angsar,

2010) :

1) Primigravida, primipaternitas,

2) Hiperplasentosis, seperti mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes

melitus, hidrops fetalis, bayi besar,

3) Umur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun,

4) Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia,

5) Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum kehamilan, dan

6) Obesitas.

Angka kejadian preeklampsia pada nulipara lebih tinggi dari pada

multipara (Cunningham dkk., 2010). Dikatakan bahwa pada nulipara sehat

kejadian preeklampsia berkisar antara 3% hingga 7% sedangkan pada multipara

berkisar antara 1% hingga 3%. Selain itu, nuliparitas dan pasangan baru

merupakan salah satu faktor risiko penting untuk terjadinya preeklampsia (Uzan

dkk., 2011).

Kondisi yang berhubungan dengan peningkatan massa plasenta

mempunyai peranan penting untuk meningkatkan terjadinya preeklampsia, seperti

kehamilan multipel dan mola hidatidosa. Pada kehamilan multipel didapatkan

peningkatan risiko preeklampsia sebesar empat hingga lima kali lipat lebih tinggi

dari pada kehamilan normal. Pada kehamilan kembar dibandingkan dengan

kehamilan tunggal, insidensi hipertensi gestasional adalah 13% berbanding 6%,


10

dan insidensi preeklampsia adalah 13% berbanding 5%. Demikain juga pada

kehamilan triplet, risiko untuk terjadinya preeklampsia meningkat lebih tinggi

dibandingkan kehamilan ganda, walaupun tidak berhubungan dengan zigositasnya

(Cunningham dkk., 2010).

Faktor genetik juga memiliki peran untuk meningkatkan risiko terjadinya

preeklampsia, dimana ibu hamil dengan riwayat preeklampsia pada ibunya

memilki risiko terjadinya preeklampsia dua hingga lima kali lebih tinggi. Selain

itu, riwayat ayah dengan ibu yang mengalami preeklampsia juga memberikan

peningkatan risiko, menunjukkan fakta bahwa plasenta merupakan produk dari

ibu dan ayah. Demikian juga pada ibu yang mengalami preeklampsia pada

kehamilan sebelumnya memiliki risiko tujuh kali untuk terjadinya preeklampsia

pada kehamilan berikutnya (Cunningham dkk., 2010; Maynard & Karumanchi,

2011; Uzan dkk., 2011).

Faktor risiko lainnya yang juga berpengaruh meliputi obesitas, usia ibu

lebih dari 35 tahun, riwayat medis dengan hipertensi kronis, penyakit ginjal, dan

diabetes. Terdapat hubungan yang progresif antara berat badan dengan risiko

terjadinya preeklampsia. Terdapat peningkatan risiko dari 4,3 % pada wanita

dengan Body Mass Index (BMI) < 20 kg/m2 menjadi 13,3 % pada wanita dengan

BMI > 35 kg/m2 (Cunningham dkk., 2010).


11

2.4 Diagnosis Preeklampsia

Kriteria diagnosis preeklampsia yang digunakan adalah menurut National

High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood

Pressure in Pregnancy (2000), yaitu (Angsar, 2010; Cunningham dkk., 2010) :

1. Preeklampsia ringan, ditegakkan berdasarkan atas timbulnya hipertensi

disertai dengan adanya proteinuria setelah kehamilan 20 minggu.

• Hipertensi : tekanan darah sistolik/diastolik ≥ 140/90 mmHg.

• Proteinuria : ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ +1 dipstick.

2. Preeklampsia berat, ditegakkan bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai

berikut :

• Tekanan darah sistolik ≥ 160 dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg,

dimana tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah

dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.

• Proteinuria lebih dari 5 gram/24 jam atau + 4 dalam pemeriksaan

kualitatif.

• Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam.

• Kenaikan kadar kreatinin plasma.

• Gangguan visus dan serebral (penurunan kesadaran, nyeri kepala,

skotoma, dan pandangan kabur).

• Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat

teregangnya kapsula Glisson).

• Edema paru dan sianosis.

• Hemolisis mikroangiopati.


12

• Trombositopenia berat : < 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit

dengan cepat.

• Gangguan hepar (kerusakan hepatoseluler) : peningkatan kadar alanine

dan aspartate aminotransferase.

• Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat.

• Adanya sindrom HELLP.

2.5 Etiopatogensis Preeklampsia

Penyebab utama dari preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui

secara jelas, begitu juga patogenesis terjadinya penyakit ini belum dapat dipahami

sepenuhnya, sehingga disebut sebagai “disease of theories”. Adapun berbagai

teori yang telah dikemukakan tentang terjadinya preeklampsia diantaranya

meliputi (Habli & Sibai, 2008; Angsar, 2010) :

1. teori kelainan vaskularisasi plasenta

2. teori iskemia, radikal bebas dan disfungsi endotel

3. teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin

4. teori adaptasi kardiovaskular

5. teori defisiensi genetik

6. teori defisiensi gizi

7. teori inflamasi.

Berbagai teori telah dikemukakan, tetapi diakui bahwa plasenta merupakan

asal mula timbulnya preeklampsia yang merupakan pusat organ dalam patogenesis

terjadinya preeklampsia dan terbukti dengan pengangkatan dari plasenta dapat


13

menghilangkan kelainan yang disebabkan penyakit tersebut. Secara khusus, sel-

sel tropoblas hanya ditemukan dalam jaringan plasenta. Dimana sinsitiotropoblas

multinukleat, yang membentuk lapisan epitel vili, merupakan salah satu bagian

dari tropoblas yang bersentuhan langsung dengan darah ibu. Selanjutnya

sitotropoblas mononuklear extravili membentuk jaringan antarmuka di dinding

rahim, yang disebut dengan desidua. Sindrom klinis preeklampsia muncul dari

gangguan sirkulasi sistemik sekunder yang dapat berasal dari disfungsi endotel

maternal yang luas. Pengamatan bahwa adanya interaksi abnormal antara jaringan

maternal, paternal, dan fetal sebagai penyebab preeklampsia telah memunculkan

hipotesis bahwa sindrom ini merupakan penyakit yang terdiri dari dua tahap (two-

stage disorder). Dalam skenario tersebut, terdapat dua kategori besar yaitu

preeklampsia maternal atau ibu dan plasenta. Pada preeklampsia plasenta, masalah

bermula dari plasenta yang mengalami kondisi hipoksia disertai dengan adanya

stres oksidatif. Sedangkan pada preeklampsia maternal, muncul dari adanya

interaksi antara plasenta normal dan kondisi maternal yang rentan atau menderita

penyakit mikrovaskuler seperti hipertensi kronis atau diabetes. Namun secara

umum preeklampsia terjadi sebagai kombinasi dari kontribusi plasenta dan

maternal (Cunningham dkk., 2010; Powe dkk., 2011).

Konsep two-stage disorder pada preeklampsia yang dikenalkan oleh

Redman dan kawan-kawan (Gambar 2. 1), menyatakan bahwa pada tahap pertama

disebabkan oleh adanya gangguan remodelling tropoblastik endovaskuler yang

berakhir dengan berkurangnya perfusi plasenta (stage 1) sehingga menghasilkan

faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya manifestasi klinis preeklampsia (stage


14

2) (Roberts & Hubel, 2009). Tahap pertama merupakan tahap preklinik yang

bersifat asimtomatik dan tahap kedua merupakan dampak yang muncul pada ibu

maupun janin sebagai akibat dari iskemia pada plasenta. Pada tahap kedua ini

barulah muncul gejala klinik preeklampsia. Dikatakan juga bahwa tahap kedua

tersebut rentan terhadap modifikasi oleh adanya kondisi ibu sebelumnya seperti

penyakit jantung atau ginjal, diabetes, obesitas, atau pengaruh faktor keturunan

(Hubel, 2009; Cunningham dkk., 2010).

Gambar 2. 1 Konsep Two-Stage Disorder pada preeklampsia


(Roberts & Hubel, 2009)

Tahap awal terjadinya preeklampsia ditandai oleh keadaan plasenta yang

mengalami hipoksia dan disfungsional, yang selanjutnya menyebabkan

peningkatan stres oksidatif pada plasenta. Hipoksia dan atau iskemia pada

plasenta disertai dengan stres oksidatif yang berlebihan memicu pelepasan faktor-

faktor plasenta ke dalam sirkulasi maternal yang kemudian menyebabkan



15

terjadinya respon inflamasi sistemik dan disfungsi endotelium yang merupakan

komponen menonjol pada preeklampsia. Data terbaru menyatakan bahwa

disfungsi endotel yang terjadi pada preeklampsia sebagai akibat dari adanya

ketidakseimbangan angiogenik. Dimana dalam keadaan hipoksia, sinsitiotropoblas

melepaskan banyak faktor bioaktif ke dalam sirkulasi maternal, salah satunya

yaitu soluble receptor untuk vascular endothelial growth factor (sVEGFR-1) yang

disebut dengan soluble Fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt1). Faktor tersebut

merupakan anti-angiogenik yang secara potensial mengikat dan menginaktifkan

faktor pro-angiogenik yaitu vascular endothelial growth factor (VEGF) dalam

sirkulasi dan pada jaringan target lainnya seperti ginjal. VEGF merupakan faktor

kunci dalam ketahanan endotelium dan inaktivasi faktor tersebut memicu

terjadinya disfungsi endotel sistemik (Redman & Sargent, 2009; Eiland dkk.,

2012).

Manifestasi klinis yang timbul pada preeklampsia baik hipertensi maupun

proteinuria melibatkan endotelium sebagai target penyakit tersebut. Hipertensi

pada preeklampsia ditandai oleh vasokonstriksi perifer dan penurunan pemenuhan

arteri. Sedangkan proteinuria pada preeklampsia dihubungkan dengan

patognomonik lesi renalis yang dikenal sebagai endoteliosis glomerular, di mana

sel-sel endotel dari glomerulus membengkak dan hilangnya fenestrasi endotelial.

Podosituria baru-baru ini dikaitkan dengan preeklampsia selama fase klinis dari

penyakit tersebut. Namun, apakah keadaan ini menjadi penyebab atau efek dari

proteinuria tidak diketahui dengan pasti. Pada preeklampsia laju filtrasi

glomerular menurun dibandingkan dengan ibu hamil normotensif, dan dalam


16

kasus yang jarang, dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal akut (Powe dkk.,

2011; Eiland dkk., 2012). Hal tersebut menunjukkan bahwa VEGF mempunyai

peran yang penting dalam memelihara integritas endotelium glomerular agar tetap

normal. Lebih jauh lagi, penelitian angiogenesis in vitro menunjukkan bahwa

VEGF eksogen atau antibodi yang melawan slFt-1 dapat membalikkan efek

antiangiogenik pada plasma preeklampsia. Telah terbukti bahwa cedera podosit

dan berkurangnya ekspresi protein podosit spesifik berkontribusi terhadap

terjadinya proteinuria pada preeklampsia. Dimana pada penelitian yang dilakukan

oleh Wang dkk. menunjukkan bahwa ekskresi urinari dari protein podosit spesifik

seperti podocalyxin, nephrin, dan Big-h3 secara signifikan meningkat pada wanita

preeklampsia (Unemori dkk., 2009; Wang dkk., 2012).

Gambar 2.2 Faktor yang terlibat dalam patogenesis preeklampsia


(Brennan dkk., 2014)


17

Pada gambar 2.2 tersebut diatas, menggambarkan faktor-faktor yang

terlibat dalam mekanisme terjadinya preeklampsia. Invasi yang tidak memadai

dari tropoblas pada arteri spiralis menyebabkan terjadinya perfusi yang tidak

adekuat pada plasenta, yang mana merupakan patologi sentral dari terjadinya

preeklampsia. Oleh karena perfusi yang tidak adekuat tersebut, menyebabkan

terjadinya iskemik atau hipoksia pada plasenta yang selanjutnya merangsang

pelepasan sejumlah faktor kedalam sirkulasi maternal. Faktor-faktor tersebut

meliputi faktor antiangiogenik (sFlt, sEng), mediator inflamasi (sitokin seperti

TNF-a, IL-6), sel-sel imun (neutropil, monosit, sel NK, sel T), angiotensin-1

autoantibody, dan dislipidemia. Molekul-molekul tersebut dalam sirkulasi

maternal menyebabkan terjadinya respon inflamasi yang berlebihan dan

meningkatkan lingkungan oksidatif (ROS, seperti superoksida, dan RNS, seperti

peroksinitrit) dalam pembuluh darah. Rangkaian peristiwa tersebut selanjutnya

menyebabkan aktivasi dan disfungsi endotelium yang ditandai dengan

vasokontriksi yang meningkat, penurunan vasodilatasi dan perubahan proses

angiogenesis. Ketidakseimbangan tersebut menyebabkan terjadinya respon

maternal sistemik berupa meningkatnya tekanan darah dan resistensi vaskular

pada semua organ termasuk plasenta. Meningkatnya kontriksi pada arteri uterus

atau plasenta menyebabkan suatu lengkung feedback negatif, yang menyebabkan

situasi iskemik yang lebih berat lagi pada plasenta (Brennan dkk., 2014).


18

2.6 Plasentasi pada Kehamilan Normal dan Preeklampsia

Plasenta adalah sebuah organ khusus yang mengatur pertumbuhan janin

dan kondisi ibu selama kehamilan, dimana peran sebagai mediator fetomaternal

tersebut segera berakhir setelah melahirkan. Adanya kondisi patologi selama

kehamilan seperti preeklampsia dan pertumbuhan janin terhambat berhubungan

erat dengan terjadinya disfungsi plasenta. Untuk terjadinya suatu kehamilan yang

normal tergantung pada pembentukan plasenta. Dimana plasentasi yang sukses

memerlukan invasi tropoblas yang dalam, adanya vaskularisasi tropoblas yang

membentuk aliran pembuluh darah fetomaternal dan diakhiri dengan remodeling

pembuluh darah maternal yang komplit pada tingkat arteri spiralis untuk

memperoleh sirkulasi uteroplasental yang efektif (Furuya dkk., 2011).

Plasenta manusia secara garis besar terbagi atas tiga lapisan histologi yaitu

(1) basal plate (permukaan maternal) dan anchoring villi (ekstensi paling distal

dari batang vili utama) yang berinteraksi langsung dengan endometrium maternal,

(2) unit vili-vili terminal dimana tempat terjadinya pertukaran gas dan nutrisi

secara aktif, dan (3) chorionic plate (permukaan sisi fetal) dan batang vili yang

terdiri dari jaringan ikat padat yang mengandung pembuluh fetal yang lebih besar.

Amnion dan korion menutupi chorionic plate, dan tali pusat mengumpulkan arteri

dan vena korionik pada chorionic plate (Furuya dkk., 2008) .

Struktur yang mendasar dari plasenta terbentuk selama pertengahan awal

kehamilan. Selama plasentasi normal, terjadi invasi tropoblas ke arteri spiralis

uterus. Invasi sel tropoblas tersebut menyebabkan perubahan pada arteri spiralis

berupa kerusakan lapisan otot, lapisan elastik, dan jaringan saraf yang terdapat


19

pada dinding arteri spiralis dan penggantian sel endotel dengan sel tropoblas.

Interaksi ini bertujuan untuk menginduksi pembentukan pembuluh darah ibu ke

dalam pembuluh dengan kapasitansi tinggi dan resistensi rendah yang dapat

menyediakan akses oksigen ke dalam sirkulasi ibu dan nutrisi untuk plasenta dan

untuk perkembangan janin. Sel tropoblas yang melapisi arteri spiralis

menunjukkan ciri-ciri seperti sel endotel, mengadopsi fenotip endotel, dan

mengekspresikan molekul adesi yang secara klasik ditemukan pada permukaan sel

endotel. Hal ini terjadi melalui diferensiasi sel tropoblas selama invasi. Proses

tersebut disebut dengan pseudovasculogenesis atau epithelial-endothelial

transformation. Jika invasi sel tropoblas tidak mengalami hambatan, maka pada

akhir trimester kedua kehamilan arteri spiralis pada uterus hanya dilapisi oleh sel

tropoblas, sehingga sel endotel tidak didapatkan lagi pada endometrium dan

miometrium bagian superfisial. Remodeling pada arteri spiralis ini mengakibatkan

arteri spiralis mempunyai diameter yang lebih besar dan bertahanan rendah,

sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan suplai darah ke janin yang

sedang berkembang (Furuya dkk., 2011; Powe dkk., 2011).

Pada preeklampsia, proses ini menyimpang, dimana terjadi invasi

sitotropoblas yang tidak sempurna, yaitu hanya terjadi pada bagian proksimal

desidua dan sebagai akibatnya sebanyak 30-50% arteri spiralis pada dasar plasenta

tidak mengalami remodeling. Arteri spiralis yang terdapat pada miometrium tidak

mengalami remodeling sehingga secara anatomi masih utuh, yaitu masih

mempunyai komponen otot, jaringan elastik, dan jaringan saraf. Invasi yang

dangkal ini telah terbukti berkaitan dengan kegagalan dari sitotropoblas untuk


20

mengadopsi sebuah fenotip adesi dari endotel. Demikian juga pada penelitian in

vitro maupun in vivo menujukkan bahwa sel sitotropoblas yang berasal dari

penderita preeklamsia gagal mengalami pseudovasculogenesis. Meskipun banyak

etiologi mengenai insufisiensi invasi tropoblas telah diusulkan, termasuk faktor

lingkungan, genetik dan imunologi, namun penyebab utama invasi sitotropoblas

yang dangkal masih sulit dipahami (Powe dkk., 2011). Mekanisme plasentasi

yang abnormal pada preeklampsia dapa dilihat pada gambar 2.3 di bawah ini.

Gambar 2.3 Plasentasi abnormal pada preeklampsia (Powe dkk., 2011)

Kegagalan remodeling arteri spiralis mengakibatkan pembuluh darah

mempunyai diameter yang lebih kecil (kontriksi) dan memiliki resistensi tinggi,


21

yang terlihat pada pemeriksaan patologi plasenta preeklampsia dibandingkan

dengan kehamilan normal. Selain itu juga terjadi aterosis akut, yaitu adanya

kerusakan endotel yang disertai nekrosis fibrinoid dan penimbunan sel busa yang

berisi lipid serta leukosit yang mengakibatkan arteri spiralis tersumbat sebagian

atau seluruhnya. Kedua hal tersebut diatas yaitu diameter arteri spiralis yang kecil

dan aterosis akut menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang. Aliran darah

yang tidak cukup tersebut menyebabkan kurangnya suplai oksigen dan nutrisi, hal

ini kemudian memicu plasenta melepaskan bahan-bahan kedalam sirkulasi

sistemik ibu yang akhirnya menyebabkan munculnya gejala klinik preeklampsia

(Hubel, 2009; Powe dkk., 2011).

Keadaan hipoksia dapat berkontribusi pada perkembangan plasenta yang

abnormal sebagai akibat dari kegagalan sitotropoblas untuk sepenuhnya

menginvasi dan merubah molekul adhesi yang juga dapat di reproduksi secara in

vitro ketika sitotropoblas dibiakkan di bawah kondisi hipoksia. Konsisten dengan

ini, risiko preeklampsia lebih tinggi pada wanita yang hidup di daerah tinggi.

Selain itu, hipoksia sebagai akibat dari plasentasi abnormal juga berkontribusi

terhadap timbulnya komplikasi yang terjadi pada janin dan ibu. Secara klinis,

bentuk gelombang doppler arteri uterina yang abnormal terlihat pada penderita

preeklampsia, yang menunjukkan terjadinya penurunan perfusi pada plasenta.

Penurunan perfusi plasenta pada kasus yang lebih ekstrim dapat menyebabkan

terjadinya pertumbuhan janin yang terhambat, oligohidramnion, atau kematian

janin intra uteri (Powe dkk., 2011).


22

2.7 Ketidakseimbangan Angiogenik dan Disfungsi Endotel

Angiogenesis merupakan suatu proses komplek yang melibatkan peran

antara faktor-faktor pro-angiogenik dan faktor anti-angiogenik.

Ketidakseimbangan faktor angiogenik endogen tersebut memainkan peran kunci

dalam patogenesis terjadinya preeklampsia. Meningkatnya ekspresi faktor anti-

angiogenik sFlt1, berhubungan dengan menurunnya sinyal faktor pro-angiogenik,

yaitu VEGF dan placental growth factor (PlGF), yang merupakan kelainan

pertama yang terjadi. VEGF menstabilkan sel-sel endotel pada pembuluh darah

matur dan sangat penting dalam menjaga endotelium ginjal, hati dan otak. Sinyal

VEGF melalui dua reseptor utama yaitu Flk dan Flt1. sFlt1 ialah protein anti-

angiogenik, yang merupakan bentuk soluble dari reseptor Flt1 VEGF yang

dihasilkan melalui alternative splicing, dimana disekresikan terutama oleh

sinsitiotropoblas ke dalam sirkulasi maternal. sFlt1 merupakan inhibitor kuat

terhadap aktivitas VEGF dengan mengikatnya dalam sirkulasi dan mencegah

interaksi dengan reseptor endogen (Gambar 2.4). Disebutkan juga bahwa sFlt1

rekombinan dapat menghambat pembentukan tabung endotelial dan memblok

efek vasodilatasi dari VEGF sacara in vitro (Karumanchi & Epstein, 2007; Wang

dkk., 2009; Powe dkk., 2011).


23

Gambar 2.4 Antagonis VEGF oleh sFlt1 pada preeklampsia


(Karumanchi & Epstein, 2007)

Terdapat sejumlah bukti bahwa VEGF dan transforming growth factor

beta-1 (TGF-β1) diperlukan untuk mempertahankan kesehatan endotel di

beberapa jaringan, termasuk ginjal dan plasenta. Selama kehamilan normal,

hemostasis vaskular dipelihara oleh kadar fisiologis sinyal VEGF dan TGF-β1

pada pembuluh darah. Sedangkan pada preeklampsia, plasenta mensekresi dua

protein anti-angiogenik endogen yaitu sFlt1 dan sEng secara berlebihan ke dalam

sirkulasi, yang selanjutnya menghambat sinyal dari VEGF dan TGF-β1 tersebut di

pembuluh darah. Hal ini menyebabkan disfungsi sel endotel, termasuk penurunan

produksi prostasiklin, nitric oxide (NO) dan pelepasan protein prokoagulan (Wang

dkk., 2009).

Konsep yang menyatakan bahwa disfungsi sel endotel sebagai mekanisme

utama dari patogenesis terjadinya sindroma maternal telah dinyatakan sejak akhir

tahun 1980-an. Dimana Roberts dkk., pada tahun 1989, menyatakan hipotesis

bahwa preeklampsia sebagai akibat dari pelepasan faktor-faktor sirkulasi oleh



24

plasenta, yang menyebabkan terjadinya disfungsi endotel vaskular maternal secara

luas. Beberapa bukti terus mendukung pemahaman mengenai penyakit tersebut.

Tanda dan gejala kardinal dari preeklampsia melibatkan pembuluh darah,

khususnya daerah pembuluh darah dengan fenestrasi endotelium. Selain itu,

pembuluh darah yang diisolasi dari jaringan lunak penderita preeklampsia

menunjukkan adanya disfungsi endothelium (Powe dkk., 2011).

Preeklampsia merupakan penyakit yang diawali pada plasenta dan

berakhir pada endotelium maternal. Plasenta yang mengalami hipoksia atau

iskemik dapat melepaskan faktor-faktor plasenta ke dalam sirkulasi maternal.

Dimana pada preeklampsia terjadi pelepasan faktor anti-angiogenik sFlt1 secara

berlebihan. Kadar sFlt1 tersebut meningkat kira-kira 5 minggu sebelum onset dari

preeklampsia, yang diikuti dengan menurunnya kadar VEGF dan PlGF bebas

dalam sirkulasi. Hal ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan angiogenik

yang pada akhirnya terjadi disfungsi sel endotel sistemik dan kemudian

berkontribusi untuk gejala-gejala yang terjadi pada ginjal, kardiovaskular dan

neurologi (Varughese dkk., 2010; Powe dkk., 2011).

Terdapat bukti bahwa adanya penghambatan terhadap VEGF memiliki

peran terhadap terjadinya hipertensi dan proteinuria. VEGF menginduksi NO dan

vasodilator prostasiklin dalam sel endotel, yang menunjukkan peran VEGF dalam

penurunan tonus pembuluh darah dan tekanan darah. Bahkan adanya penurunan

50% dari produksi VEGF di glomerulus ginjal pada tikus mengakibatkan

proteinuria dan glomerular endoteliosis. Pemberian VEGF eksogen telah

ditemukan dapat mempercepat pemulihan ginjal dalam model tikus dari


25

glomerulonefritis dan mikroangiopati trombosis eksperimental. Baru-baru ini,

dinyatakan juga bahwa dengan pemberian eksogen VEGF menunjukkan adanya

perbaikan terhadap hipertensi postcyclosporine-mediated, disfungsi endotel dan

nefropati. Selain itu, dalam uji klinis anti-angiogenik, inhibitor sinyal VEGF dapat

mengakibatkan terjadinya hipertensi dan proteinuria. Secara kolektif, data tersebut

menunjukkan bahwa VEGF adalah penting tidak hanya dalam regulasi tekanan

darah, tetapi juga dalam mempertahankan integritas barier filtrasi glomerulus dan

adanya penghambatan terhadap sinyal VEGF, seperti kadar sFlt1 yang berlebihan,

dapat menyebabkan disfungsi endotel, proteinuria dan hipertensi. Pada gambar 2.5

dibawah ini, memperlihatkan bahwa terjadinya iskemia pada plasenta dapat

menyebabkan terjadinya pelepasan faktor-faktor plasenta, salah satunya yaitu

meningkatnya kadar sFlt1 yang mengikat VEGF sehingga kadarnya menurun

dalam sirkulasi. Hal tersebut menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan

angiogenik yang selanjutnya menyebabkan terjadinya disfungsi endotel melalui

penurunan kadar NO dan pada akhirnya timbul gejala klinis preeklampsia berupa

hipertensi dan proteinuria (Gilbert dkk., 2008; Powe dkk., 2011).


26

Gambar 2.5 Skema ketidakseimbangan angiogenik, disfungsi endotel dan


preeklampsia (Gilbert dkk., 2008)

2.8 Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)

Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) merupakan sekresi

glikoprotein dimerik yang terlibat di dalam vaskulogenesis (suatu proses dimana

pembuluh darah baru terbentuk dalam masa kehidupan embrionik) dan

angiogenesis (suatu proses dimana pembuluh darah bercabang untuk membentuk

pembuluh darah yang baru). Angiogenesis adalah suatu proses biologi yang

penting tidak hanya dalam kondisi fisiologi tetapi juga dalam berbagai penyakit

meliputi kanker, retinopati diabetik dan artritis rheumatoid. Untuk lebih dari satu

dekade, peran VEGF dalam regulasi angiogenesis telah dipelajari dan diteliti.

Signal VEGF mempunyai peran yang penting dalam tahapan fisiologi

angiogenesis. Proses ini penting untuk pertumbuhan pembuluh darah baru selama

perkembangan fetal dan perbaikan jaringan, sebaliknya angiogenesis yang tidak



27

terkontrol menyebabkan penyakit neoplastik dan kelainan lainnya. Implementasi

yang sukses dari proses tersebut tergantung pada keseimbangan dari faktor growth

promoting dan faktor growth inhibitory. Salah satu faktor yang paling spesifik dan

krusial sebagai regulator angiogenesis adalah VEGF (Otrock dkk., 2007; Powe

dkk., 2011).

Pada manusia dan mamalia lainnya, keluarga dari faktor pertumbuhan

tersebut terdiri dari tujuh sekresi glikoprotein yang meliputi VEGF-A, placental

growth factor (PlGF), serta yang lainnya yaitu VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D,

VEGF-E, VEGF-F. VEGF adalah faktor proangiogenik yang memicu proliferasi

dan meningkatkan kelangsungan hidup sel-sel endotel serta menginduksi

permeabilitas vaskular. VEGF mengeluarkan efek biologi melalui interaksi

dengan reseptornya. Reseptor tersebut merupakan tirosin kinase transmembran

yang mengikat ligan pada lapisan domain ekstraseluler reseptor, kemudian

mengaktifkan jalur protein setelah terjadi dimerisasi dan autofosforilasi reseptor

intraseluler tirosin kinase. Adapun reseptor yang telah di identifikasi meliputi

VEGFR-1, VEGFR-2, VEGFR-3 dan neuropilin (NP-1 dan NP-2) (Otrock dkk.,

2007).

VEGF-A (yang akhirnya disebut sebagai VEGF), merupakan faktor yang

pertama kali ditemukan dan diidentifikasi oleh Senger dkk., sebagai sebuah faktor

permeabilitas vaskular yang dikeluarkan oleh sel tumor dan merupakan suatu

protein prototipikal dalam keluarga ini. VEGF-A merupakan karakteristik yang

terbaik dan yang paling sering dipelajari dari anggota keluarga VEGF. Ini adalah

sebuah tumor-secreted cytokine yang mempunyai perang yang penting baik pada


28

proses angiogenesis normal maupun yang berhubungan dengan tumor. Leung dkk.

mengisolasi dan mengklon VEGF-A sebagai suatu endothelial-specific mitogen.

Gen VEGF-A terletak pada lengan pendek dari kromosom 6 (kromosom 6p21.3)

yang terdiri dari 8 ekson yang dipisahkan oleh 7 intron dan digabungkan secara

berbeda untuk menghasilkan empat isoform matur yaitu VEGF121, VEGF165,

VEGF189, dan VEGF206. Penyebutan numerik pada isoform menandakan jumlah

asam amino dalam molekul. Selain itu, terdapat beberapa isoforms yang kurang

umum teridentifikasi, seperti VEGF145 dan VEGF183. VEGF165 adalah isoform

yang utama dan over-expressed di berbagai tumor padat. Baru-baru ini, telah

terbukti bahwa VEGF165 merupakan indikator biologis yang signifikan terhadap

penyebaran dari kekambuhan paska operasi karsinoma hepatoselular. Sementara

VEGF189 merupakan isoform yang paling potensial dalam vaskularisasi berbagai

kanker (Otrock dkk., 2007; Powe dkk., 2011).

Gambar 2.6 Efek biologi interaksi VEGF dengan reseptornya pada sel
endotel (Otrock dkk., 2007)

VEGF memberikan pengaruh biologinya melalui interaksi dengan reseptor

pada permukaan sel (cell-surface reseptors). Reseptor tersebut merupakan



29

reseptor tirosin kinase transmembran yang terdiri dari VEGF receptor-1 (VEGFR-

1; Flt-1) dan VEGFR-2 (Flk-1) atau reseptor KDR, yang secara selektif

diekspresikan pada sel endotel vaskular, dan reseptor neuropilin (NP-1 dan NP-2),

yang diekspresikan pada endotelium vaskular dan neuron (Gambar 2.6). Interaksi

VEGF pada domain ekstraselular dari reseptor, merupakan suatu rangkaian reaksi

protein yang diaktivasi setelah mengalami dimerisasi dan autofosforilasi dari

reseptor intraselular tirosin kinase. Dan tampaknya VEGFR-2 menjadi reseptor

utama yang bertanggung jawab untuk memediasi pengaruh proangiogenik dari

VEGF (Otrock dkk., 2007; Powe dkk., 2011).

VEGF adalah protein pro-angiogenik yang paling potensial. VEGF

memicu terjadinya proliferasi, pertumbuhan, dan pembentukan tabung dari sel

endotel (ECs). Selain itu, VEGF juga merupakan faktor survival yang potensial

untuk ECs dan telah terbukti dapat memicu ekspresi protein anti-apoptosis dalam

sel endothelial. VEGF juga menyebabkan vasodilatasi dengan merangsang nitric

oxide synthase (eNOS) melalui aktivasi AKT/protein kinase B sehingga

meningkatkan produksi NO dan aktivasi produksi prostasiklin (PGI2) dalam ECs

melalui heterodimerisasi antara VEGFR-1 dan VEGFR-2, yang merupakan

vasodilator kuat. In vivo, ekspresi VEGF telah terbukti berhubungan secara

signifikan dalam proses angiogenesis dan vaskulogenesis fisologis. Pada tikus,

adanya delesi dari gen VEGF adalah sangat mematikan, yang menyebabkan defek

pada vaskular dan kelainan pada pembuluh darah jantung. VEGF mempengaruhi

sejumlah proses angiogenik penting termasuk proses penyembuhan luka,


30

pemeliharaan tekanan darah, embriogenesis, pembentukan korpus luteum, ovulasi,

menstruasi dan kehamilan (Otrock dkk., 2007; Robinson dkk., 2010).

2.9 Hubungan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan

Preeklampsia

Preeklampsia merupakan suatu sindrom yang ditandai oleh plasentasi yang

tidak adekuat, yang disebabkan oleh defisiensi invasi tropoblas dari arteri spiralis

uterus. Keadaan defisiensi tersebut menimbulkan hipoksia pada plasenta, sekresi

sitokin proinflamasi, dan pelepasan faktor-faktor angiogenik dan anti-angiogenik.

Keadaan hipoksia pada plasenta tersebut, menyebabkan ketidakseimbangan antara

faktor-faktor pro-angiogenik dan anti-angiogenik. Faktor pro-angiogenik meliputi

VEGF dan PlGF, sedangkan faktot anti-angiogenik meliputi soluble ENG (sENG)

dan soluble VEGR receptor 1 (sVEGF-R1). sVEGF-R1 memiliki dua isoform,

yaitu sFlt1 yang merupakan varian generik dan sFlt1-14 yang merupakan human

specific. sFlt1 dihasilkan oleh vilus tropoblas yang mengalami hipoksia,

merupakan inhibitor VEGF yang kuat dan berperan dalam pengikatan VEGF

bebas dalam sirkulasi maternal hingga di bawah ambang batas yang diperlukan

untuk vaskulogenesis dan pemeliharaan vaskularisasi selama kehamilan. sFlt1-14

yang juga dikenal sebagai sFlt1-e15a, merupakan varian isoform C-terminal dari

sFlt1 dan merupakan inhibitor VEGF paling umum yang dihasilkan oleh plasenta

pada preeklampsia. Pada keadaan hipoksia, sFlt1-14 berakumulasi di dalam

sirkulasi maternal, menetralisir VEGF pada organ-organ jauh dan memperluas


31

dampak dari preeklampsia (Varughese dkk., 2010; Estibalitz dkk., 2012; Masoura

dkk., 2014).

Adanya gangguan atau penghambatan terhadap sinyal VEGF dapat

memediasi terjadinya disfungsi endotel pada preeklampsia. VEGF merupakan

faktor yang sangat penting untuk vaskulogenesis dan angiogenesis embrio. Ablasi

alel tunggal VEGF dapat menyebabkan kelainan yang nyata pada pembuluh

darah, termasuk pembuluh darah plasenta, yang dapat menyebabkan kematian

embrio pada usia 10 sampai 12 hari. Selain perannya yang penting pada plasenta

serta vaskulogenesis dan angiogenesis embrio, VEGF berperan dalam

kelangsungan hidup sel-sel endotel dan homeostasis vaskular pada pembuluh

darah matur dan jaringan. VEGF memiliki peranan yang penting dalam

memelihara kesehatan dari fenestrasi dan sinusoidal endotelium yang terdapat

pada glomerulus ginjal, otak, dan liver, yang merupakan target organ terpengaruh

pada preeklampsia. VEGF diekspresikan secara nyata oleh podosit glomerulus,

dan reseptor VEGF terdapat pada sel endotel glomerulus. Pada tikus dewasa,

VEGF diekspresikan oleh tipe sel yang terletak berdekatan dengan fenestrasi

endotelial, termasuk sel-sel epitel dari pleksus koroid, podosit ginjal, dan

hepatosit. In vitro, VEGF dihasilkan oleh fenestrasi endotel, dimana

penghambatan VEGF pada tikus dewasa mengurangi densitas dari VEGF-

dependent fenestrated capillaries. Dengan demikian, penghambatan VEGF pada

in vivo memicu kelainan berbagai organ dengan fenestrasi endotelial, yang juga

berdampak terhadap terjadinya preeklampsia. Secara khusus, dalam ginjal tikus,

penghambatan VEGF podosit secara selektif pada awal kehidupan menyebabkan


32

terjadinya proteinuria, sindrom nefrotik, endoteliosis, bahkan hilangnya sel-sel

endotel dari lengkung glomerulus, dan rekapitulasi lesi ginjal klasik yang terlihat

pada preeklampsia. Pada hati, penghambatan signal VEGF pada awal kehidupan

menyebabkan perkembangan hati yang abnormal, dengan sel hepatosit yang kecil

dan pembuluh darah sinusoid yang imatur. Pada tikus dewasa, aktivasi reseptor

Flt-1 pada sel endotel sinusoidal hati oleh VEGF memicu faktor pertumbuhan

hepatosit dan perbesaran hati. Selain itu, di otak, penghambatan signal VEGF

mengakibatkan berkurangnya perfusi pembuluh darah pleksus koroid (Powe dkk.,

2011; Maynard & Karumanchi, 2011).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ahmed dkk., dimana mereka

menemukan sebuah model tikus yang dapat menggambarkan suatu keadaan

preeklampsia. Pada model tikus tersebut, menunjukkan adanya

ketidakseimbangan faktor angiogenik, yang ditandai dengan kadar sFlt1 yang

tinggi dan kadar VEGF bebas yang rendah. Adanya ketidakseimbangan tersebut

menyebabkan terjadinya disfungsi endotel yang berperan penting dalam terjadinya

gangguan vaskuar maternal pada preeklampsia. Berdasarkan pada hal tersebut,

dilakukan penelitian mengenai terapi yang dapat mencegah atau memperbaiki

kondisi klinis pada preeklampsia dengan menggunakan model tikus tersebut. Pada

penelitian tersebut menemukan bahwa, pravastatin dapat sebagai kandidat terapi

yang efektif untuk mencegah dan memperbaiki kondisi klinis preeklampsia.

Dimana pravastatin dapat mengembalikan keseimbangan angiogenik dengan

meningkatkan kadar VEGF melalui dua mekanisme yaitu, dengan menghambat


33

pelepasan sFlt1 dari makrofag dan merangsang pelepasan VEGF oleh tropoblas

(Ahmed dkk., 2010).

Terdapat banyak bukti bahwa antagonisme VEGF memiliki peran

patogenik dalam munculnya hipertensi dan proteinuria. VEGF menstabilisasi sel

endotel dewasa pada pembuluh darah dan merupakan hal yang penting dalam

memelihara kesehatan endotelium ginjal, hati, dan otak. VEGF menginduksi NO

dan vasodilator prostasiklin dalam sel endotel, yang menunjukkan suatu peran

fisiologi dalam menurunkan tekanan darah dan kekakuan vaskular. Adanya

hambatan terhadap VEGF signaling pathway (VSP) dapat menginduksi terjadinya

disfungsi endotel, yang selanjutnya menghambat jalur VEGF-dependent

vasodilatory (NO dan PGI2) dan meningkatkan regulasi jalur vasokontriksi

(endothelin-1/ET-1). Selain itu, disfungsi endotel yang terjadi menyebabkan

hilangnya densitas kapiler mikrovaskular melalui mekanisme capillary

rarefaction. Ketiga mekanisme tersebut menyebabkan vasokontriksi sistemik

sehingga menyebabkan peningkatan afterload dan hipertensi. Disfungsi endotel

dan hambatan terhadap signal VEGF juga menyebabkan penurunan tekanan

natriuresis, menyebabkan ekskresi sodium ginjal tidak adekuat sehingga terjadi

kelebihan cairan. Dan mekanisme yang terakhir dikatakan bahwa hambatan

terhadap VEGF dapat menghambat ekskpresi VEGFR-3 pada ECs, yang

selanjutnya menurunkan limfangiogenesis dan mengurangi kapasitas extracellular

fluid (ECF) buffering. Dua mekanisme terakhir tersebut menyebabkan kelebihan

cairan sehingga terjadi peningkatan tekanan darah (Gambar 2.7) (Robinson dkk.,

2010).


34

Penurunan 50% VEGF glomerular memicu terjadinya endoteliosis

glomerular dan menyebabkan proteinuria seperti yang terlihat pada preeklampsia,

dan telah terbukti juga bahwa VEGF dapat memperbaiki hipertensi cyclosporine-

related, disfungsi endotel, dan nefropati. Begitu juga, pada pasien kanker yang

mendapatkan terapi penghambat VEGF menunjukkan terjadinya hipertensi dan

proteinuria bersamaan dengan kerusakan glomerular sebagai efek samping yang

menyerupai preeklampsia. Secara kolektif data tersebut menunjukkan bahwa

VEGF penting tidak hanya dalam pengaturan tekanan darah tetapi juga dalam

mempertahankan barier filtrasi glomerular. Dengan demikian adanya sinyal

antagonisme VEGF, seperti halnya sFlt1 yang berlebih, dapat memicu terjadinya

disfungsi endotel, proteinuria, dan hipertensi yang merupakan gejala klinis dari

preeklampsia (Zhu dkk., 2007; Patel dkk., 2008; Cerdeira & Karumanchi, 2012).

Gambar 2.7 Mekanisme penghambatan VEGF-induced hypertension


(Robinson dkk., 2010)

Anda mungkin juga menyukai