BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
kurangnya 2 kali dalam selang waktu 4 jam. Sedangkan proteinuria adalah adanya
protein dalam urin ≥ 300 mg selama 24 jam atau sama dengan ≥ 1 + dipstick.
Meskipun secara historis edema merupakan bagian dari trias diagnosis untuk
preeklampsia, yang mana hal itu merupakan sebuah gambaran umum dari
patologi dari preeklampsia. Namun, edema parah yang timbul secara mendadak,
terutama edema tangan dan wajah dapat sebagai gambaran penting gejala penyakit
tersebut dan terkadang satu-satunya perubahan yang dapat di deteksi oleh pasien
preeklampsia pada ibu hamil bervariasi dari sindroma ringan dengan adanya
proteinuria dan hipertensi yang meliputi hipertensi ringan, hipertensi berat, krisis
hipertensi, hingga penyakit yang berat dengan disfungsi endotel yang luas dan
Liver Enzyme, Low Platelet), kejang/eklampsia hingga kematian. Selain itu dapat
juga terjadi komplikasi preeklampsia yang tidak umum namun serius yang berupa
gagal ginjal akut, edema pulmonal, dan gagal hati akut. Dikatakan bahwa ibu yang
eklampsia sering terjadi pada situasi keadaan dengan hipertensi, proteinuria, dan
adanya keterlibatan sistem saraf pusat (seperti sakit kepala dan hiperefleksia),
namun hal itu dapat terjadi tanpa adanya tanda bahaya tersebut. Sedangkan
dampak kelainan ini pada janin juga bervariasi dari kelahiran prematur, PJT
kematian perinatal dan neonatal sebesar 10% di seluruh dunia (Hawfield &
Freedman, 2009; Angsar, 2010; Maynard & Karumanchi, 2011). Dimana sekitar
1/3 bayi yang lahir dari penderita preeklampsia mengalami PJT. Preeklampsia
(Auer dkk., 2010). Dengan kata lain, ibu yang mengalami preeklampsia akan
melahirkan bayi preterm yang membutuhkan perawatan intensif dan hal ini
perawatan tersebut. Sehingga hal ini akan berdampak pada tingginya angka
semua wanita hamil (Valenzuela dkk., 2012) dan menyumbang 10%-15% dari
semua kematian ibu yang disebabkan secara langsung oleh preeklampsia dan
beda, hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan geografis, sosial, ekonomi dan
ras (Varughese dkk., 2010). Di negara Barat dilaporkan berkisar antara 3%-8%
dari kehamilan (Carty dkk., 2010; Duley, 2009), sedangkan di negara berkembang
dimana pelayanan emergensi yang sering tidak adekuat dan kurang kejadiannya
mencapai 10% dari kehamilan (Grill dkk., 2009). Di negara Amerika kejadian
preeklampsia sekitar 3% dari kehamilan (Wallis dkk., 2008; Kuklina dkk., 2009).
8,5% dan kelainan ini masih merupakan tiga penyumbang angka kematian ibu
setelah perdarahan dan infeksi (Angsar, 2010). Sementara itu angka kejadian
garis besar dapat dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut (Angsar,
2010) :
1) Primigravida, primipaternitas,
5) Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum kehamilan, dan
6) Obesitas.
berkisar antara 1% hingga 3%. Selain itu, nuliparitas dan pasangan baru
merupakan salah satu faktor risiko penting untuk terjadinya preeklampsia (Uzan
dkk., 2011).
peningkatan risiko preeklampsia sebesar empat hingga lima kali lipat lebih tinggi
10
dan insidensi preeklampsia adalah 13% berbanding 5%. Demikain juga pada
memilki risiko terjadinya preeklampsia dua hingga lima kali lebih tinggi. Selain
itu, riwayat ayah dengan ibu yang mengalami preeklampsia juga memberikan
ibu dan ayah. Demikian juga pada ibu yang mengalami preeklampsia pada
Faktor risiko lainnya yang juga berpengaruh meliputi obesitas, usia ibu
lebih dari 35 tahun, riwayat medis dengan hipertensi kronis, penyakit ginjal, dan
diabetes. Terdapat hubungan yang progresif antara berat badan dengan risiko
dengan Body Mass Index (BMI) < 20 kg/m2 menjadi 13,3 % pada wanita dengan
11
2. Preeklampsia berat, ditegakkan bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai
berikut :
• Tekanan darah sistolik ≥ 160 dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg,
dimana tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah
kualitatif.
• Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat
• Hemolisis mikroangiopati.
12
dengan cepat.
Penyebab utama dari preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui
secara jelas, begitu juga patogenesis terjadinya penyakit ini belum dapat dipahami
7. teori inflamasi.
asal mula timbulnya preeklampsia yang merupakan pusat organ dalam patogenesis
13
multinukleat, yang membentuk lapisan epitel vili, merupakan salah satu bagian
rahim, yang disebut dengan desidua. Sindrom klinis preeklampsia muncul dari
gangguan sirkulasi sistemik sekunder yang dapat berasal dari disfungsi endotel
maternal yang luas. Pengamatan bahwa adanya interaksi abnormal antara jaringan
hipotesis bahwa sindrom ini merupakan penyakit yang terdiri dari dua tahap (two-
stage disorder). Dalam skenario tersebut, terdapat dua kategori besar yaitu
preeklampsia maternal atau ibu dan plasenta. Pada preeklampsia plasenta, masalah
bermula dari plasenta yang mengalami kondisi hipoksia disertai dengan adanya
interaksi antara plasenta normal dan kondisi maternal yang rentan atau menderita
Redman dan kawan-kawan (Gambar 2. 1), menyatakan bahwa pada tahap pertama
14
2) (Roberts & Hubel, 2009). Tahap pertama merupakan tahap preklinik yang
bersifat asimtomatik dan tahap kedua merupakan dampak yang muncul pada ibu
maupun janin sebagai akibat dari iskemia pada plasenta. Pada tahap kedua ini
barulah muncul gejala klinik preeklampsia. Dikatakan juga bahwa tahap kedua
tersebut rentan terhadap modifikasi oleh adanya kondisi ibu sebelumnya seperti
penyakit jantung atau ginjal, diabetes, obesitas, atau pengaruh faktor keturunan
peningkatan stres oksidatif pada plasenta. Hipoksia dan atau iskemia pada
plasenta disertai dengan stres oksidatif yang berlebihan memicu pelepasan faktor-
15
disfungsi endotel yang terjadi pada preeklampsia sebagai akibat dari adanya
yaitu soluble receptor untuk vascular endothelial growth factor (sVEGFR-1) yang
sirkulasi dan pada jaringan target lainnya seperti ginjal. VEGF merupakan faktor
terjadinya disfungsi endotel sistemik (Redman & Sargent, 2009; Eiland dkk.,
2012).
Podosituria baru-baru ini dikaitkan dengan preeklampsia selama fase klinis dari
penyakit tersebut. Namun, apakah keadaan ini menjadi penyebab atau efek dari
16
kasus yang jarang, dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal akut (Powe dkk.,
2011; Eiland dkk., 2012). Hal tersebut menunjukkan bahwa VEGF mempunyai
peran yang penting dalam memelihara integritas endotelium glomerular agar tetap
VEGF eksogen atau antibodi yang melawan slFt-1 dapat membalikkan efek
oleh Wang dkk. menunjukkan bahwa ekskresi urinari dari protein podosit spesifik
seperti podocalyxin, nephrin, dan Big-h3 secara signifikan meningkat pada wanita
17
dari tropoblas pada arteri spiralis menyebabkan terjadinya perfusi yang tidak
adekuat pada plasenta, yang mana merupakan patologi sentral dari terjadinya
TNF-a, IL-6), sel-sel imun (neutropil, monosit, sel NK, sel T), angiotensin-1
pada semua organ termasuk plasenta. Meningkatnya kontriksi pada arteri uterus
situasi iskemik yang lebih berat lagi pada plasenta (Brennan dkk., 2014).
18
dan kondisi ibu selama kehamilan, dimana peran sebagai mediator fetomaternal
erat dengan terjadinya disfungsi plasenta. Untuk terjadinya suatu kehamilan yang
pembuluh darah maternal yang komplit pada tingkat arteri spiralis untuk
Plasenta manusia secara garis besar terbagi atas tiga lapisan histologi yaitu
(1) basal plate (permukaan maternal) dan anchoring villi (ekstensi paling distal
dari batang vili utama) yang berinteraksi langsung dengan endometrium maternal,
(2) unit vili-vili terminal dimana tempat terjadinya pertukaran gas dan nutrisi
secara aktif, dan (3) chorionic plate (permukaan sisi fetal) dan batang vili yang
terdiri dari jaringan ikat padat yang mengandung pembuluh fetal yang lebih besar.
Amnion dan korion menutupi chorionic plate, dan tali pusat mengumpulkan arteri
uterus. Invasi sel tropoblas tersebut menyebabkan perubahan pada arteri spiralis
berupa kerusakan lapisan otot, lapisan elastik, dan jaringan saraf yang terdapat
19
pada dinding arteri spiralis dan penggantian sel endotel dengan sel tropoblas.
dalam pembuluh dengan kapasitansi tinggi dan resistensi rendah yang dapat
menyediakan akses oksigen ke dalam sirkulasi ibu dan nutrisi untuk plasenta dan
mengekspresikan molekul adesi yang secara klasik ditemukan pada permukaan sel
endotel. Hal ini terjadi melalui diferensiasi sel tropoblas selama invasi. Proses
transformation. Jika invasi sel tropoblas tidak mengalami hambatan, maka pada
akhir trimester kedua kehamilan arteri spiralis pada uterus hanya dilapisi oleh sel
tropoblas, sehingga sel endotel tidak didapatkan lagi pada endometrium dan
arteri spiralis mempunyai diameter yang lebih besar dan bertahanan rendah,
sitotropoblas yang tidak sempurna, yaitu hanya terjadi pada bagian proksimal
desidua dan sebagai akibatnya sebanyak 30-50% arteri spiralis pada dasar plasenta
tidak mengalami remodeling. Arteri spiralis yang terdapat pada miometrium tidak
mempunyai komponen otot, jaringan elastik, dan jaringan saraf. Invasi yang
dangkal ini telah terbukti berkaitan dengan kegagalan dari sitotropoblas untuk
20
mengadopsi sebuah fenotip adesi dari endotel. Demikian juga pada penelitian in
vitro maupun in vivo menujukkan bahwa sel sitotropoblas yang berasal dari
yang dangkal masih sulit dipahami (Powe dkk., 2011). Mekanisme plasentasi
yang abnormal pada preeklampsia dapa dilihat pada gambar 2.3 di bawah ini.
mempunyai diameter yang lebih kecil (kontriksi) dan memiliki resistensi tinggi,
21
dengan kehamilan normal. Selain itu juga terjadi aterosis akut, yaitu adanya
kerusakan endotel yang disertai nekrosis fibrinoid dan penimbunan sel busa yang
berisi lipid serta leukosit yang mengakibatkan arteri spiralis tersumbat sebagian
atau seluruhnya. Kedua hal tersebut diatas yaitu diameter arteri spiralis yang kecil
dan aterosis akut menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang. Aliran darah
yang tidak cukup tersebut menyebabkan kurangnya suplai oksigen dan nutrisi, hal
menginvasi dan merubah molekul adhesi yang juga dapat di reproduksi secara in
ini, risiko preeklampsia lebih tinggi pada wanita yang hidup di daerah tinggi.
Selain itu, hipoksia sebagai akibat dari plasentasi abnormal juga berkontribusi
terhadap timbulnya komplikasi yang terjadi pada janin dan ibu. Secara klinis,
bentuk gelombang doppler arteri uterina yang abnormal terlihat pada penderita
Penurunan perfusi plasenta pada kasus yang lebih ekstrim dapat menyebabkan
22
yaitu VEGF dan placental growth factor (PlGF), yang merupakan kelainan
pertama yang terjadi. VEGF menstabilkan sel-sel endotel pada pembuluh darah
matur dan sangat penting dalam menjaga endotelium ginjal, hati dan otak. Sinyal
VEGF melalui dua reseptor utama yaitu Flk dan Flt1. sFlt1 ialah protein anti-
angiogenik, yang merupakan bentuk soluble dari reseptor Flt1 VEGF yang
interaksi dengan reseptor endogen (Gambar 2.4). Disebutkan juga bahwa sFlt1
efek vasodilatasi dari VEGF sacara in vitro (Karumanchi & Epstein, 2007; Wang
23
hemostasis vaskular dipelihara oleh kadar fisiologis sinyal VEGF dan TGF-β1
protein anti-angiogenik endogen yaitu sFlt1 dan sEng secara berlebihan ke dalam
sirkulasi, yang selanjutnya menghambat sinyal dari VEGF dan TGF-β1 tersebut di
pembuluh darah. Hal ini menyebabkan disfungsi sel endotel, termasuk penurunan
produksi prostasiklin, nitric oxide (NO) dan pelepasan protein prokoagulan (Wang
dkk., 2009).
utama dari patogenesis terjadinya sindroma maternal telah dinyatakan sejak akhir
tahun 1980-an. Dimana Roberts dkk., pada tahun 1989, menyatakan hipotesis
24
berlebihan. Kadar sFlt1 tersebut meningkat kira-kira 5 minggu sebelum onset dari
preeklampsia, yang diikuti dengan menurunnya kadar VEGF dan PlGF bebas
yang pada akhirnya terjadi disfungsi sel endotel sistemik dan kemudian
vasodilator prostasiklin dalam sel endotel, yang menunjukkan peran VEGF dalam
penurunan tonus pembuluh darah dan tekanan darah. Bahkan adanya penurunan
25
nefropati. Selain itu, dalam uji klinis anti-angiogenik, inhibitor sinyal VEGF dapat
menunjukkan bahwa VEGF adalah penting tidak hanya dalam regulasi tekanan
darah, tetapi juga dalam mempertahankan integritas barier filtrasi glomerulus dan
adanya penghambatan terhadap sinyal VEGF, seperti kadar sFlt1 yang berlebihan,
dapat menyebabkan disfungsi endotel, proteinuria dan hipertensi. Pada gambar 2.5
penurunan kadar NO dan pada akhirnya timbul gejala klinis preeklampsia berupa
26
pembuluh darah yang baru). Angiogenesis adalah suatu proses biologi yang
penting tidak hanya dalam kondisi fisiologi tetapi juga dalam berbagai penyakit
meliputi kanker, retinopati diabetik dan artritis rheumatoid. Untuk lebih dari satu
dekade, peran VEGF dalam regulasi angiogenesis telah dipelajari dan diteliti.
angiogenesis. Proses ini penting untuk pertumbuhan pembuluh darah baru selama
27
yang sukses dari proses tersebut tergantung pada keseimbangan dari faktor growth
promoting dan faktor growth inhibitory. Salah satu faktor yang paling spesifik dan
krusial sebagai regulator angiogenesis adalah VEGF (Otrock dkk., 2007; Powe
dkk., 2011).
tersebut terdiri dari tujuh sekresi glikoprotein yang meliputi VEGF-A, placental
growth factor (PlGF), serta yang lainnya yaitu VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D,
VEGFR-1, VEGFR-2, VEGFR-3 dan neuropilin (NP-1 dan NP-2) (Otrock dkk.,
2007).
pertama kali ditemukan dan diidentifikasi oleh Senger dkk., sebagai sebuah faktor
permeabilitas vaskular yang dikeluarkan oleh sel tumor dan merupakan suatu
terbaik dan yang paling sering dipelajari dari anggota keluarga VEGF. Ini adalah
sebuah tumor-secreted cytokine yang mempunyai perang yang penting baik pada
28
proses angiogenesis normal maupun yang berhubungan dengan tumor. Leung dkk.
Gen VEGF-A terletak pada lengan pendek dari kromosom 6 (kromosom 6p21.3)
yang terdiri dari 8 ekson yang dipisahkan oleh 7 intron dan digabungkan secara
asam amino dalam molekul. Selain itu, terdapat beberapa isoforms yang kurang
yang utama dan over-expressed di berbagai tumor padat. Baru-baru ini, telah
Gambar 2.6 Efek biologi interaksi VEGF dengan reseptornya pada sel
endotel (Otrock dkk., 2007)
29
reseptor tirosin kinase transmembran yang terdiri dari VEGF receptor-1 (VEGFR-
1; Flt-1) dan VEGFR-2 (Flk-1) atau reseptor KDR, yang secara selektif
diekspresikan pada sel endotel vaskular, dan reseptor neuropilin (NP-1 dan NP-2),
yang diekspresikan pada endotelium vaskular dan neuron (Gambar 2.6). Interaksi
VEGF pada domain ekstraselular dari reseptor, merupakan suatu rangkaian reaksi
endotel (ECs). Selain itu, VEGF juga merupakan faktor survival yang potensial
untuk ECs dan telah terbukti dapat memicu ekspresi protein anti-apoptosis dalam
adanya delesi dari gen VEGF adalah sangat mematikan, yang menyebabkan defek
pada vaskular dan kelainan pada pembuluh darah jantung. VEGF mempengaruhi
30
Preeklampsia
tidak adekuat, yang disebabkan oleh defisiensi invasi tropoblas dari arteri spiralis
VEGF dan PlGF, sedangkan faktot anti-angiogenik meliputi soluble ENG (sENG)
yaitu sFlt1 yang merupakan varian generik dan sFlt1-14 yang merupakan human
merupakan inhibitor VEGF yang kuat dan berperan dalam pengikatan VEGF
bebas dalam sirkulasi maternal hingga di bawah ambang batas yang diperlukan
yang juga dikenal sebagai sFlt1-e15a, merupakan varian isoform C-terminal dari
sFlt1 dan merupakan inhibitor VEGF paling umum yang dihasilkan oleh plasenta
31
dampak dari preeklampsia (Varughese dkk., 2010; Estibalitz dkk., 2012; Masoura
dkk., 2014).
faktor yang sangat penting untuk vaskulogenesis dan angiogenesis embrio. Ablasi
alel tunggal VEGF dapat menyebabkan kelainan yang nyata pada pembuluh
embrio pada usia 10 sampai 12 hari. Selain perannya yang penting pada plasenta
darah matur dan jaringan. VEGF memiliki peranan yang penting dalam
pada glomerulus ginjal, otak, dan liver, yang merupakan target organ terpengaruh
dan reseptor VEGF terdapat pada sel endotel glomerulus. Pada tikus dewasa,
VEGF diekspresikan oleh tipe sel yang terletak berdekatan dengan fenestrasi
endotelial, termasuk sel-sel epitel dari pleksus koroid, podosit ginjal, dan
in vivo memicu kelainan berbagai organ dengan fenestrasi endotelial, yang juga
32
endotel dari lengkung glomerulus, dan rekapitulasi lesi ginjal klasik yang terlihat
pada preeklampsia. Pada hati, penghambatan signal VEGF pada awal kehidupan
menyebabkan perkembangan hati yang abnormal, dengan sel hepatosit yang kecil
dan pembuluh darah sinusoid yang imatur. Pada tikus dewasa, aktivasi reseptor
Flt-1 pada sel endotel sinusoidal hati oleh VEGF memicu faktor pertumbuhan
hepatosit dan perbesaran hati. Selain itu, di otak, penghambatan signal VEGF
tinggi dan kadar VEGF bebas yang rendah. Adanya ketidakseimbangan tersebut
kondisi klinis pada preeklampsia dengan menggunakan model tikus tersebut. Pada
33
pelepasan sFlt1 dari makrofag dan merangsang pelepasan VEGF oleh tropoblas
endotel dewasa pada pembuluh darah dan merupakan hal yang penting dalam
dan vasodilator prostasiklin dalam sel endotel, yang menunjukkan suatu peran
cairan sehingga terjadi peningkatan tekanan darah (Gambar 2.7) (Robinson dkk.,
2010).
34
dan telah terbukti juga bahwa VEGF dapat memperbaiki hipertensi cyclosporine-
related, disfungsi endotel, dan nefropati. Begitu juga, pada pasien kanker yang
VEGF penting tidak hanya dalam pengaturan tekanan darah tetapi juga dalam
antagonisme VEGF, seperti halnya sFlt1 yang berlebih, dapat memicu terjadinya
disfungsi endotel, proteinuria, dan hipertensi yang merupakan gejala klinis dari
preeklampsia (Zhu dkk., 2007; Patel dkk., 2008; Cerdeira & Karumanchi, 2012).