Anda di halaman 1dari 22

Kasih Nilam

“Racun semesta membuatku gila

Efek berupa cinta mengubah delusi serupa nyata

Apa yang harus ku lakukan?

Meregang tak bernyawa atau berjuang menolak hina?.....”

Gemerisik air memanjakan telinga, berpadu dengan hawa dingin pepohonan,


merambat dan merasuki jiwa-jiwa yang lelah. Pelukan alam memberikan ketenangan, seakan
paham bahwa ada insan dibawahnya yang memilih untuk diam dan memeluk resahnya
dalam-dalam. Nilam menceburkan kakinya ke air yang dalam hitungan detik berubah menjadi
merah, tidak ada sedikitpun riak dari wajahnya yang berubah, hanya ada tatapan kosong yang
mengapung ke udara, seakan rasa sakit bukanlah apa-apa. Ia mencari sesuatu di dalam tas
karungnya, mengambil selendang merah bermotif bunga-bunga menarik sedikit lalu
merobeknya dan dengan hati-hati ia membalut luka yang mengaga. Walau setegar apapun,
Nilam tetaplah seorang wanita, tetes demi tetes air bening bak kaca itu tumpah, membasahi
kain yang dijadikannya sebagai pembalut luka. Bukanlah perih dari luka yang membuatnya
menangis, melainkan rasa sakit hati. Kehormatannya sebagai seorang wanita dipermainkan
dan direndahkan. Sungguh kejam dunia, seorang gadis yang baru memasuki usia dewasa
harus dipaksa memangku beban dan kesedihan yang memberatkan jiwa dan raga. Namun
dibalik semua duka, Nilam percaya bahwa Tuhan tak akan pernah ingkar akan janjinya.

Nilam beranjak dari tepian sungai, ia berjalan tertatih diantara rimbunnya pohon karet
dan ara yang selama ini menjadi urat nadi kehidupannya dan adiknya. Nilam telah berkerja
tiga tahun sebagai penoreh pohon karet, semejak ayahnya meninggal karna penyakit malaria.
Bayangkan bagaimana seorang anak berusia 15 tahun kala itu harus belajar secara mati-
matian untuk mengetahui teknik menoreh pohon karet yang benar. Tak terhitung lagi berapa
banyak sabetan arit yang mengenai tangannya, namun apa daya kesakitan itu harus
ditanggung. Ini semua demi adik yang ia sayang, yang menjadi satu-satunya penyemangat
untuk tetap berdiri tegap dibawah sinar matahari mengumpulkan sedikit demi sedikit rejeki.

Tak terasa sudah 50 menit Nilam berjalan kaki, dan sekarang ia sudah sampai
disebuah bangunan yang selama ini ia sebut dengan rumah. Rumah itu tampak ramah dengan
dinding papan beratap seng tua berkarat hasil kerja keras Ayah menjual getah. Bagi Nilam
rumah bukanlah tentang bangunan besar dengan jendala kaca dan tirai indah menjuntai,
melainkan rumah adalah tempat dimana ia bisa menemukan kehangatan dan ketenangan.
Tempat dimana Nilam bisa melepas sedikit beban yang selama ini ia pangku. karna didalam
rumah terdapat orang-orang yang ia cinta, walau hanya menyisakan dirinya dan adiknya. Ibu
yang entah kemana, sekarang hanya menjadi sisa-sisa perjalanan hidup yang akan diabadikan
dan dikenang oleh Nilam seorang. Masih tergambar jelas aliran takdir pada hari itu. Ibu pamit
pada dirinya untuk membelikannya baju baru sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke 9.
Nilam kecil menunggu dengan sabar kepulangan sang ibu, ketika jam sudah menunjukan
pukul 5 sore, Nilam kecil masih saja menunggu di depan pintu, ia bertanya-tanya seberapa
banyak baju yang dibelikan ibunya sampai harus selama ini? Namun, sampai kepulangan
ayah dari kebun ibu juga tak kunjung pulang. Nilam kecil bertanya kepada ayah, kenapa ibu
belum datang dan ia juga berbicara tentang baju baru yang ibunya janjikan saat ia pulang.

Ayah hanya diam dan memandang Nilam dalam-dalam lalu ayah berkata “Aku tak
menyangka kau akan menyerah secepat ini, bahkan kau tidak menunggu sampai khairul
berusia 2 tahun. Nilam... Ibumu mungkin sedang ada urusan, nanti Ayah yang akan
membelikanmu baju baru, sekarang kita makan dulu yaa” Nilam kecil diam tak merespon
apapun, karna ia bingung dengan kalimat pertama sang ayah, di dalam pikirannya bertanya-
tanya, siapa yang menyerah ? ada apa dengan adik kecilnya Khairul? Dan kemana ibunya
sekarang ? Karna sungguh keadaan seperti itu sangat sulit untuk dimengerti olehnya. Hingga
sampai ia beranjak dewasa dan menyadari bahwa ibu bukan pergi untuk membeli baju baru
melainkan ibu pergi untuk mencari kehidupan baru, yang jauh dari dirinya, ayah dan
adiknya. Hal itu sekarang sudah dirterima oleh Nilam seutuhnya, walau rasa rindu itu sering
menerpa mengaduk-ngaduk ulu hatinya, memberikan rasa nyeri dan berujung dengan
genangan air yang jatuh membasahi foto lama yang masih setia ia simpan.”Ibu... dimanapun
kau berada, aku masih setia menunggu baju baru darimu” dan biasanya setelah itu Nilam
akan terlelap berharap ibu akan muncul barang sebentar dalam mimpinya, namun hal itu tidak
pernah terjadi.

Nilam disambut adiknya khairul yang sekarang berusia 9 tahun. Seketika Nilam
tersenyum dengan lebar karna sungguh melihat adiknya adalah kebahagian tersendiri bagi
Nilam. “Kak... apakah kakak tersesat? kenapa lama sekali?” Nilam menghela nafas pelan tak
mungkin jika ia menceritakan tentang kejadian tadi siang dimana ia hampir saja menjadi
korban oleh laki-laki yang tidak tau adab dan ajaran agama.
“kakak tadi hanya beristirahat sebentar” sahut Nilam

“Lalu, kaki kakak kenapa?” Nilam sontak mengedarkan matanya pada luka yang sudah ia
balut.

“Kakak tidak sengaja tersandung batu”

Khairul hanya diam, menerima segala alasan yang diberikan kakaknya. Memang benar
adanya, kaki Nilam terluka karena tersandung batu, Nilam tak lagi melihat jalan yang berada
didepannya. Ia berlari tunggang langgang seperti dikerjar setan, walau secara harfiah yang
mengejarnya memang setan, hanya saja jiwanya melebur dalam jasad manusia.

“Apakah kalian sudah makan ?” Nilam mencoba mengalihkan pembicaraan

“Belum kak, kami menunggumu” suara itu berasal dari adik sepupunya yang tiba-tiba keluar
dari dapur. Dia adalah Rani, umurnya tiga tahun lebih muda dari Nilam, ia adalah anak dari
adik Ayah. Sedari kecil Rani sering dititipkan dirumah mereka karna orang tuanya sibuk
bekerja dan entah sejak kapan, penitipan ini berubah menjadi permanen. Ayah dan Nilam
tidak pernah merasa keberatan akan hal itu, malah Nilam merasa bersyukur. Hadirnya Rani,
membuat ia tidak lagi was-was saat bekerja karna harus meninggalkan Khairul sendirian di
rumah.

Sinar jingga senja berangsur menghilang berganti dengan kegelapan yang menelan.
Matahari turun tahta dan bulan yang siap menjalankan peran, merupakan pertanda bahwa
malam sudah merajai semesta. Malam dirumah kecilnya akan dihabiskan dengan bercanda,
menemani adik-adiknya belajar dan menyiapkan alat-alat untuk pergi ke kebun besok. Saat
jam sudah menunjukan pukul 9, Nilam akan menyuruh adiknya menyudahi semua kegiatan,
karna rehat adalah nikmat yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Nilam melihat
adik-adiknya yang sudah tertidur lelap. Nilam mengambil dompet dalam tasnya, jemari
kurusnya menghitung uang lembar lima ribuuan yang berhasil ia dapatkan hari ini, ia
memasukan setengah uang itu ke dalam kaleng bekas susu dan meletakkannya ke dalam
lemari. Nilam menyimpan sedikit demi sedikit uang untuk membiayai sekolah adik-adiknya.
ia tidak ingin adiknya putus sekolah sepertinya. Adik-adiknya harus keluar dari lingkar
kemiskinan, dan salah satu cara yang diyakini oleh Nilam adalah dengan pendidikan.

“Akan aku pastikan, aku adalah yang terakhir memegang arit” Nilam berucap lirih.
Kehilangan figur orang tua sedikit banyak mengguncang kejiwaannya. Dituntut untuk
tumbuh dewasa sebelum masanya membuat badai di dalam hatinya sering berkecamuk.
Nilam melirik kembali wajah adik-adiknya yang sudah tidur, hal itu selalu menjadi
penyembuh badai didalam dirinya. Nilam merebahkan kepala, merapal doa sebelum akhirnya
terlelap, dengan segenggam mimpi yang selalu ia miliki.

Dinginnya fajar membuat Nilam tersengal, ia mulai membuka matanya mungkin


sekarang masih pukul 3 pagi. Biasanya Nilam terbangung pukul 4 pagi, tidur dengan badan
yang remuk redam jika tidak ia paksakan bangun mungkin ia akan melewatkan shalat subuh.
Ia baru menyadari betapa beratnya menjadi tulang punggung keluarga, kali ini Nilam kembali
diterpa kerinduan pada Ayah, sosok yang paling berarti dalam kehidupannya. Nilam
menjadikan ayahnya sebagai sosok teladan, Ayah tak pernah mengeluh didepannya padahal
kelelahan yang dirasakan Ayah bisa saja berpuluh kali lipat dari yang ia rasa, karna ayah juga
seorang petani yang menanam sayur-sayuran di pekarangan rumahnya, dan semejak Ayah
tiada, kebun itu tak lagi terawat karna Nilam yang fokus bekerja di Kebun karet, Khairul dan
Rani juga bersekolah. Ayah selalu berusaha memberikan segenap apa yang ia punya untuk
Nilam dan adik-adiknya, ayah masih sempat membuatkannya sarapan sebelum mereka pergi
ke sekolah dan hal itu adalah momen-momen yang sangat ia rindukan. Nilam beranjak dari
tempat tidur, dan pergi ke dapur untuk menanak nasi. Setelah selesai ia pergi ke teras, ia
memandang langit luas, sebenarnya ia sangat lelah dengan berbagai rutinitas, ia ingin kembali
bersekolah. Jiwanya masih sangat haus akan ilmu, namun semua itu harus terkubur bersama
orang-orang yang ia cinta.

Matahari mulai beranjak, Nilam kembali menyusuri jalan setapak yang berbatu,
rimbunnya pepohonan menambah kesejukan fajar kali ini. Namun disaat melewati satu jalan,
Nilam mulai merasa takut, atmosfer film horor suzana yang tempo hari ia tonton bersama
adiknya di lapangan sepak bola tiba-tiba menyelimutinya. Nilam mengambil ancang-ancang
dan berlari sekuat tenaga, sesekali ia menoleh kebelakang dan tak sadar ia menabrak
seseorang.

“maaf.... saya tidak sengaja” Nilam menundukan kepalanya dan memunguti barangnya yang
terjatuh

“Sekali lagi maafkan saya, saya permisi dulu” Nilam langsung melanjutkan perjalanannya
dengan sedikit berlari, ia terlalu takut untuk sekedar mendongak. Ia tak ingin mendengar
sumpah serapah pagi-pagi.
Seseorang yang ditabrak Nilam hanya diam membisu, ia tak mengucap satu patah
katapun dan hanya memandang Nilam yang kian menjauh. Karna ia masih terkejut dan
bingung kenapa ada gadis berkeliaran di kebun sepagi ini? namun seulas senyum terukir pada
wajahnya, ia memang tak sempat memandang dengan jelas siapa yang menabraknya namun
ia tahu bahwa yang menabraknya adalah seorang gadis dengan mata yang indah. Pemuda itu
pun melanjutkan perjalananya dan melupakan kejadian tadi, ia melihat rimbunnya pohon
karet dan ara yang menjulang tinggi sesekali ia mendekati pohon tersebut untuk mengecek
keadaan pohon, ia juga menyapa beberapa orang yang sedang menoreh, sudah lama sekali
semejak terakhir kali ia mengunjungi kebun ini, untuk melanjutkan pendidikannya dan
sekarang ia sedang menyusun skripsi dan dia kembali untuk kebutuhan penelitiannya.

Pemuda itu adalah Rizwan, anak angkat Pak Ruli orang yang memiliki kebun
sekaligus taoke yang menampung hasil torehan masyarakat sekitar. Pak Ruli mengangkat
Rizwan bukan karna ia tidak memiliki anak, ia sudah mendapat satu orang putri yang
merupakan kakak Rizwan, namun keinginannya ialah mepunyai seorang putra yang bisa
meneruskan usaha perkebunannya. Sudah lama Pak Ruli menunggu istrinya, namun tak
kunjung dikaruniai lagi setelah kelahiran putri mereka, oleh karena itu Pak Ruli mengangkat
Rizwan yang merupakan keponakannya sendiri, ibu Rizwan meninggal saat melahirkan dan
ayahnya tak keberatan jika Rizwan diangkat menjadi anak oleh Pak Ruli. Pak Ruli lalu
membesarkan Rizwan dengan kasih sayang yang melimpah ia tak pernah membedakan
perlakuan yang ia berikan pada putrinya dan Rizwan. Dan setelah lulus SMA, Rizwan ia
kuliahkan dan mengambil jurusan perkebunan, yang merupakan keinginan Pak Ruli. Rizwan
juga merupakan anak yang penurut ia tidak pernah membantah apapun keputusan paman
yang sekarang menjadi ayahnya itu. Walau sebenarnya Rizwan tidak menginginkan jurusan
perkebunan, ia ingin masuk jurusan seni musik atau tehnik elektro karna kecintaan Rizwan
memainkan alat musik, dan kepandaiannya dalam bongkar pasang mesin. Namun demi
menghormati ayahnya Rizwan menerima apapun pilihan itu walau harus mengubur dalam-
dalam minatnya. Toh kalau hanya untuk memainkan alat musik atau sekedar memperbaiki
sesuatu Rizwan bisa melakukannya secara sambilan, walau ada keterpaksaan dalam
mengambil jurusan perkuliahannya. Rizwan tak pernah menampaknya pada sang ayah.
Rizwan merupakan anak yang cukup pintar, ia merasa tidak terlalu keberatan dalam studinya
walau hal tersebut sama sekali bukan minatrnya.

Hari beranjak siang, Rizwan menyandarkan tubuhnya pada salah satu pohon ia
kembali teringat insiden tadi pagi, ia menyenandungkan sebuah lagu, tembang dangdud
melayu yang syahdu. Dawai asmara merupakan lagu pilihannya saat ini, senandung Rizwan
merambat merdu diantara rimbunnya pepohonan, terik matahari yang masuk melewati celah
dedaunan tak lagi terasa menyengat, dan tanpa diketahui Rizwan ternyata senandung tersebut
telah mencuri perhatian seseorang.

Samar-samar Nilam mendengar nyanyian Rizwan, ia tertarik karna merasa sangat


familiar dengan lagu itu. ya.. itu adalah lagu yang biasa ayah nyanyikan. Ayahnya adalah
penggemar musik dangdud, saban hari ayahnya bernyanyi, entah itu saat menggoreng nasi
untuk sarapan, mencuci baju atau sekedar becermin sebelum pergi ke kebun. Semua memori
itu kembali berputar di dalam otaknya membuat hatinya berdenyut karna terserang penyakit
rindu secara tiba-tiba. Nilam mendekati arah suara itu, dan ternyata pemilik suara itu adalah
seorang pemuda, ia memejamkan matanya. Nilam mengintip dari balik pohon karna tak
berani menampakkan diri lebih jauh, ia masih trauma dengan kejadian tempo hari ia tak ingin
hal mengerikan itu terulang. Nilam masih saja memandangi dan mendengarkan pemuda itu
bernyanyi, ia mengamati wajahnya, Nilam sama sekali tidak pernah melihat permuda itu.
Tapi Nilam akui pemuda ini cukup tampan, ia memiliki kulit kuning langsat dengan lesung
pipi yang menarik hati, alisnya tebal dan hampir bertemu, dengan hidung yang tidak terlalu
mancung namun itu membuat wajahnya semakin menawan. Pemuda itu memiliki rambut
yang agak panjang yang ia sisir rapi. Nilam sebenarnya tidak terlalu menyukai laki-laki yang
memiliki rambut yang panjang, bahkan ia akan memarahi adiknya dan pernah menegur
ayahnhya jika ia melihat rambut adik atau ayahnya itu panjang. Ia beralasan, rambut panjang
adalah rambut yang dimiliki oleh penculik dan ia tidak suka. Namun anehnya, rambut yang
agak panjang yang dimiliki oleh pemuda itu tidak menambah kesan garang dan tidak tepancar
sedikitpun aura penculik darinya.

Namun tampa Nilam sadari pemuda itu melihat Nilam, ia berhenti bernyanyi dan
Nilam pun langsung bersembunyi dibalik Pohon.

“Hey... siapa kamu, kamu yang berada dibalik pohon, keluarlah.”

Nilam yang mendengar itu tiba-tiba berdebar, ia tak berani lagi mengintip, Nilam mematung
sesaat, hening... tidak lagi terdengar senandung ataupun suara pemuda itu. Nilam mengambil
ancang-ancang ia ingin lari dari tempat itu, namun sebelum itu, ia ingin mengintip sebentar
dan alangkah terkejutnya Nilam, pemuda tersebut sudah berada dihadapannya sekarang.
Nertranya mengunci Nilam dalam-dalam dan dalam hitungan detik Nilam terjungkal
kebelakang saking terkejutnya ia terduduk ketanah
“Aduh.... Maafkan saya pak.... ampun, saya tidak akan mengintip lagi”

Nilam menundukan kepalanya tangannya ia rapatkan sambil mengucap maaf berkali-


kali ia tahu bahwa perbuatannya itu lancang. Rizwan yang melihat itu malah terkekeh ia
malah menganggap apa yang dilakukan gadis di depannya ini sangatlah lucu. Ia berpikir
bahwa ia sudah menakuti gadis ini. Rizwan mengulurkan tangannya

“Kau tidak apa-apa?, angkat kepalamu, aku tidak berbahaya”

Rizwan berbicara sambil sedikit tertawa. Ia meperhatikan Nilam, ia baru sadar bahwa gadis
inilah yang menabraknya tadi pagi. Nilam diam sejenak, ia melihat pemuda itu mengulurkan
tangannya, dengan ragu-ragu Nilam menerima uluran tangan itu.

“kau yang menabrakku tadi pagi kan?” tanya Rizwan

“Oh.. ternyata kamu yang saya tabrak tadi pagi, sekali lagi maafkan aku” ucap Nilam pelan

“Ah tidak apa-apa, Ngomong- ngomong , kenapa kau disini?”

“Saya berkerja” ucap Nilam sambil membersihkan pakaiannya

Rizwan membulatkan matanya, bagaimana bisa seorang gadis bekerja dikebunnya?


Bukankah ia terlalu muda, dan terlebih lagi ia seorang wanita. Namun lamunannya hilang
saat ia mendengar suara dari lawan bicaranya

“Kalau begitu saya permisi dulu”

“Tunggu... kenapa buru-buru sekali, kita bahkan belum berkenalan, siapa namamu?”

Tanya Rizwan.

“Nama saya Nilam” jawab Nilam sambil tersenyum

Rizwan yang melihat itu pun tidak bisa menyembunyikan senyumnya, gadis didepannya ini
sungguh memiliki senyum maut. Seketika angin berhembus sedikit kencang, menggoyang
dahan-dahan dengan lembut, dan cukup untuk menjatuhkan daun yang dikehendaki untuk
turun, mereka tak pernah menyangka bahwa pertemuan ini merupakan awal dari kisah
mereka, dengan takdir sebagai pemandunya.

Setelah perkenalan singkat itu, Nilam pamit untuk pergi, ia harus melanjutkan
pekerjaannya. Rizwan menganggukan kepala, Rizwan terus memandangi Nilam sampai
hilang dari pandangannya. “Kuharap kita bertemu lagi Nilam” kata Rizwan sambil
tersenyum.

Nilam terus melanjutkan pekerjaannya, dalam pikiranya hanya satu ia harus


menyelesaikan tugas ini dengan cepat, ia tidak ingin adiknya khawatir. Dan hal ini
berbanding terbalik dengan Rizwan, entah kenapa ia merasa pertemuannya dengan Nilam
bukan hanya sebuah kebetulan. Otaknya dipenuhi dengan kejadian-kejadian yang menimpa
dirinya dan Nilam, walau hanya sebuah insiden kecil namun kenapa, rasanya sangat berbeda.
Rizwan berpikir mungkin dia sudah gila, karna terus memikirkan gadis yang bahkan terlihat
enggan berlama-lama dengannya. Namun sungguh, mulai hari ini, mulai detik ini Rizwan
akhirnya mengakui bahwa cinta pada padangan pertama itu benar adanya. Ia telah jatuh hati
hanya dengan melihat senyumnya. Senyum yang sangat mematikan pikirnya, bahkan
senyumnya itu lebih mempesona dibanding senyum Lita, mantan kekasih yang ia sayangi
yang pada akhirnya mematahkan hatinya, ah bukan patah, tapi remuk ya.. kata remuk
merukapan definisi terbaik untuk menggambarkan kondisi hati nya saat itu. Tanpa ada kata
putus, Lita menyerahkan surat undangan kepadanya, ia mengatakan bahwa dia sudah
mengandung dan itu tentu saja bukan anak Rizwan. Karna ia tidak pernah sekalipun
menyentuh bahkan memikirkannya saja tidak.

Hari sudah menjelang sore, tampak burung-burung terbang memenuhi angkasa untuk
kembali ke sarang. Begitu pula Nilam, ia bergegas kembali kerumah. Namun saat
diperjalanan ia melihat Bik Yani, tetangganya sekaligus rekan satu pekerjaanya.

“Mau kemana bik” tanya Nilam

“Mau jual buku bekas Lam..” sahut Bik Yani

“Buku apa?” entah kenapa rasa penasaran Nilam sangat memuncak jika mendengar kata buku

“Ini... buku bekas anak Ibuk, dia baru lulus SMA buku ini sudah tidak terpakai lagi” jelasnya

Mendengar hal itu, Nilam pun tersenyum lebar

“Bik... bukunya untuk Nilam aja yaa, Nilam yang beli” pujuk Nilam

Bik Yani yang melihat ekspresi senang Nilam, luluh. Ia memberikan buku tersebut kepada
Nilam. Nilam sudah dianggap sebagai anaknya sendiri ia juga merasa kasihan kepada Nilam
yang harus menjadi tulang punggung keluarga saat ini.
“Nilam mau...? ambilah semuanya” ucap Bik Yani sambil memberikan kardus buku

“Terimaksih banyak Bik, berapa semuanya” ucap Nilam

“Untuk anak bibik yang manis ini, bibik kasih gratis”

Nilam yang mendengar hal tersebut semakin girang

“Yang bener Bik ini ga perlu bayar?” jawab Nilam tanpa melepaskan pandangannya pada
kotak yang sudah berpindah tangan kepadanya.

“Iya.. ambil dan pulanglah sekarang”

“Baik bik.. terimakasih banyak”

Nilam pun berlalu ia semakin mempercepat jalannya karna rasa penasaran yang
menggelitik jiwanya, ia penasaran tentang isi buku-buku ini. ia berhenti sekolah saat ia naik
ke kelas 2 SMA, dan mulai kerja sampai sekarang. Akhirnya ia sampai di rumah. Setelah
menjalankan segala rutitas, dan adiknya sudah tertidur, maka inilah waktu yang tepat untuk
bermanja dengan buku-bukunya. Nilam mengambil salah satu buku ia membawa buku
tersebut ke teras, udara malam yang menusuk tak menghentikan niatnya untuk membaca, ia
melihat sekeliling, sungguh hening, sepi dan gelap bahkan bintang tak sudi menemaninya
saat ini ah... ia tak harus memikirkan semua itu. Ia mulai membuka lembar demi lembar isi
buku terbut, rasa ini tak pernah berubah getaran saat membuka lembar demi lembar buku
merupakan kesukaannya. Di bawah temaram lampu ia mulai membaca, ia beberapa kali
tertawa dan tersenyum, semua pengetahuan baru ini sangatlah menarik. Ia sedang membaca
sebuah ensiklopedi sanis yang berbicara tentang galaksi, Nilam tak henti-hentinya takjub
tentang semua penjelasan ini, ia memandang ke langit tak berbintang. Diluar sana selain
Bumi yang kita puja, terdapat jutaan bahkan milyaran semesta lainnya, dengan luasnya
semesta ciptaan Kuasa, maka tak sepaputnya kita berlaku angkuh tentang apa yang kita punya
karna titipan akan selalu kembali pada pemiliknya.

Semilir angin menyapa Rizwan, surai yang ia biarkan memanjang bergoyang seirama
dengan hembusan angin yang menerpa. Rizwan menatap langit, cuaca hari ini kurang
tersenyum pikirnya. Angakasa raya seperti sedang dirundung duka, warnanya tak seindah
biasa, kelabu tanpa sedikit pun guratan biru atau semburat surya yang biasa menerangi perdu.
Namun dengan segala halangan dari semesta atau ramalan cuaca yang menasihatinya untuk
membawa payung, itu semua tidak akan menggeser keinginannya untuk menemui Nilam.
Gadis itu telah kurang ajar pikirnya, bagaimana bisa ia muncul dan memporak-porandakan isi
kepalanya dalam sehari. Hingga Rizwan menghentikan langkahnya disaat ia melihat seorang
gadis sedang beristirahat sendiri di bangku panjang. Gadis itu seperti tengelam dalam
dunianya sendiri dan sedikitpun tidak memperdulikan orang yang berlalu lalang di depannya.
Rizwan melihat Nilam sedang fokus membaca, mata indahnya tampak jenaka, jari-jari lentik
itu dengan manja membuka lembar demi lembar halaman dan ia tersenyum. Ah.. sial aku
terkena serangan tiba-tiba pikir Rizwan. Rizwan mendekati Nilam

“Nilam... lagi apa?” Rizwan mencoba untuk mengatur nafasnya, jantungnya berdetak tak
seirama, jangan sampai Nilam mendegar dentuman ini pikirnya.

Sontak Nilam medongakkan kepala, itu adalah Rizwan ! tapi kenapa dia kesini?

“Rizwan? Aku sedang membaca buku” ucapnya

Kening Rizwan sedikit berkerut mendapat respon sedingin es dari seorang gadis. Nilam
bukannya tidak suka dengan kedatangan Rizwan, hanya saja buku ini mengalihkan semuanya
termasuk pemuda bersuara merdu didepannya ini.

“Apakah aku mengganggumu? Bolehkah aku duduk?” tanya Rizwan dengan hati-hati

“Tidak kau tidak mengganggu, duduklah. Rizwan, kenapa kau ada disini? Tanya Nilam

Rizwan terdiam sejenak ia tidak mungkin mengatakan bahwa ia sengaja pergi ke kebun untuk
menemuinya, dimana ia harus meletakan harga diri dan gengsi sorang Rizwan.

“Aku sedang melakukan penelitian disini, jadi aku akan sering kemari” jawab Rizwan

Nilam hanya mengangguk paham, Rizwan kembali memandangi Nilam. Ingin rasanya ia
merebut buku itu dan membakarnya menjadi abu, karna ia telah mencuri perhatian gadis itu
namun semua itu urung ketika ia melihat Nilam yang sangat menikmati aktivitasnya, Rizwan
heran kenapa sesuatu yang sederhana bisa telihat seindah ini? bagaimana ia bisa luluh hanya
dengan melihat seorang gadis membaca? Namun tak dapat dipungkiri keindahan ini patut
diabadikan, gadis didepannya sangatlah mempesona. Dengan mata coklat yang indah, bulu
mata yang lentik,bibir tipis berwarna merah muda dan kerudung yang ia lilit renggang tidak
menutupi sedikitpun kecantikan alaminya. Namun ada yang mencuri perhatiannya, tangan
Nilam, tangan dengan jari lentik itu ketika dilihat secara dekat ternyata memiliki banyak
sekali bekas sayatan. Pasti sangat menyakitkan, dan tanpa Rizwan sadari ia meringis dan itu
cukup membuat Nilam memandang ke arah yang di tuju dan itu adalah tangannya. Nilam lalu
mengangkat tangannya menggapai udara, ia tersenyum lirih sambil memutar pergelangannya
kau lihat ini? ini adalah lukisan takdir. Rizwan yang mendengar penuturan tulus Nilam hanya
tersenyum lirih, dia bertanya-tanya kesakitan apa yang telah gadis ini lalui.

Nilam sudah menyesaikan pekerjaannya, langit kelabu adalah waktu yang tepat untuk
membaca, oleh karena itu ia memilih duduk dan melanjutkan kegemarannya, bermanja
dengan buku-buku ini. Namun ditengah kegiatannya ia dikejutkan dengan kedatangan
Rizwan walau alasannya bisa diterima namun kenapa ia malah memilih untuk menemaninya
daripada melakukan penelitian seperti yang ia katakan? Namun Nilam tidak terlalu
mempedulikan itu, karna kehadiran Rizwan cukup membuatnya terhibur, ternyata ia cukup
nyaman jika diajak berdiskusi. Rizwan dapat menjawab berbagai pertanyaan yang
mengganjal dipikirannya. Dalam diskusinya terkadang Rizwan membuat Nilam tertawa atas
jawaban dari berbagai pertanyaan ringan yang dilontarkan olehnya. Nilam bertanya tentang
kenapa langit hari ini kelabu namun tak mengundang hujan ? Rizwan berkata bahwa tak
selamanya mendung itu hujan karna saat ini semesta tak rela melunturkan senyumnya yang
indah dan kenapa matahari tak menyinari perdu, itu karna mata Nilam membuat matahari
cemburu, mata yang Nilam punya lebih hangat darinya. Bagi Rizwan semua itu benar
adanya, mata coklat Nilam terlihat indah saat di terpa sinar matahari, seperti memantulkan
kembali cahaya itu dan memberi efek berkilau, sebuah jendela hati yang mangagumkan
menurut Rizwan. Saat Rizwan mengatakan hal tersebut, hal itu mengalir begitu saja, otaknya
seakan berkabut, gengsi yang ia junjung tinggi seakan hilang entah kemana. Bahkan kata-kata
itu tak pernah ia lontarkan kepada mantan kekasihnya dan anehnya bisa dengan mudah ia
berikan kepada Nilam, Si gadis kurang ajar yang memporak-porandakan isi kepalanya.

Nilam hanya tersenyum, ia bukan tipe gadis yang cepat terbang ke atas langit hanya dengan
pujian karna ia selalu menanamkan pada dirinya bahwa pujian adalah tangga menuju jurang
kehancuran jika di kecap sebagai manis saja.

Hari-hari pun berlalu, pertemuan itu bukan hanya sebatas kebetulan yang dikehendaki
semesta. Seperti embun pagi yang menunggangi rumput manila. Bagi Rizwan, bertemu
Nilam sudah seperti penghilang dahaga. Ia hampir tak bisa menahan dirinya untuk tidak
bertemu barang sehari. Ia biasa berkunjung 3 kali dalam seminggu, ia juga harus
menyelesaikan tugas penelitiannya. Saat bertemu, ia terkadang membawakan Nilam buku-
buku dan melihat Nilam membaca dengan mata jenaka, adalah candu baru baginya. Nilam
juga senang karna bisa membaca buku-buku itu. Dalam pertemuan akhir-akhir ini, Rizwan
sering bernyanyi untuknya, tembang dangdud melayu yang menjadi andalan, lagu-lagu
tentang cinta itu cukup bisa melumpuhkan hatinya sesat. sudah lama semejak ayah tiada, ia
tak lagi mendengarnya. Karna sungguh hanya dengan mendengar itu, sama saja dengan
menumpuk rindu setinggi angkasa dan itu cukup menyiksa, namun berlahan Nilam bisa
mengikis semua. Ayah tak pernah mengajarkan untuk berputus asa akan kehendak Kuasa.

Lembar demi lembar kertas berhamburan memenuhi teras rumahnya, ada yang masih
utuh dan ada pula yang tercabik-cabik tak bersisa. Nilam mengacak-ngacak rambut ikalnya.
Sesekali memegang kepala, ia masih tak percaya dengan apa yang ia dapat. Surat cinta?
Bahkan dalam mimpi saja ia tak pernah berharap sejauh itu. Mustahil jika persahabatan dua
insan tidak dibumbui dengan rasa, itu sudah seperti garam dalam sayuran, wajib hukumnya.
Sudah 3 jam ia berada diluar, udara malam tak bisa menembus perasaan hatinya yang sedang
hangat. Kembali ia membaca surat itu, kata-kata di dalamnya selalu bisa membuat Nilam
tertawa. Hanya ada beberapa kalimat romansa di dalamnya, dan sisanya adalah Nilam
merasa Rizwan sudah terlampau mabuk bau getah hingga ia mengatakan hal-hal gila.
Bagaimana bisa ia memiliki rasa kepada seorang gadis sepertinya? Nilam merasa Rizwan
terlampau sempurna untuk gadis putus sekolah yang setiap hari harus banting tulang mencari
nafkah. Dewa amor mungkin memanah orang yang salah pikirnya, namun semua itu mungkin
saja terjadi, cinta adalah hadiah sekaligus siksa dari semesta bagi insan yang bernaung di
bawahnya. Ia akan jatuh pada tempatnya hanya saja butuh dari sekedar rasa untuk
mempertahankan keberadaannya.

Keesokan harinya Rizwan berjalan dengan ringan kerumah, bahkan kakinya tak lagi
terasa menapak ke tanah, ia memandang jauh cakrawala kenapa sesuatu yang biasa saja tiba-
tiba meledakkan pesona? delusi aurora tergambar jelas dimata hitam pekat yang ia punya.
Rizwan memegang dadanya, hatinya berdenyut, perasaan ini tak pernah ia rasakan. Rizwan
mengingat tentang efek narkoba yang membuat pengguna serasa melayang di udara, ia
tertawa rendah, kenapa harus repot-repot menghabiskan uang dan merusak raga jika jatuh
cinta saja memberikan efek serupa, bahkan lebih dahsyat pikirnya. Ia melambai-lambaikan
sepucuk surat dari Nilam, ini adalah balasan surat yang ia tunggu, Rizwan mencurahkan isi
hatinya dalam sepucuk surat yang di titipkan ke Bik Yati karna ia terlalu malu dan baru
pertama kalinya menulis surat cinta. Kembali Rizwan menutup mukanya mengingat saat-saat
Nilam memberikan balasan surat kepadanya, tangannya bergetar seperti baru menerima
raport kenaikan kelas. Sebenarnya ia sangat malu, bagaimana bisa seorang pria tersipu
dengan kuping memerah di depan pujaan hatinya? Terkutuklah senyuman itu ia benar-benar
meruntuhkan seluruh pertahanan jiwaku.

Setelah sampai di ruamahnya, Rizwan langsung menuju kamar, ia bahkan lupa


melepas sandal dan berjalan begitu saja. Teriakan Sang kakak yang menggema bahkan tidak
mengalihkan perhatiannya, ia tetap melenggang tanpa dosa. Sang kakak hanya
menggelengkan kepala, ia tidak tau apa yang telah terjadi sampai adiknya seperti orang gila.
Ah... kakak satu ini ternyata kurang pekka, adikmu itu sedang jatuh cinta! Kak..andai rasa itu
bisa tergambar jelas lewat tulisan dikepala, maka akan ada tulisan “Aku Dimabuk Asmara”
bertengger diatas kepala Rizwan sepanjang 100 meter.

Sreeet... Rizwan mulai membuka kertas itu, tercium bau kapur barus yang wangi,
Nilam memang menyelipkan surat itu di tumpukan baju dan menguncinya dalam lemari. Ia
tidak ingin surat yang telah ia tulis sepenuh hati itu hilang atau dibaca seseorang. Kembali
dada Rizwan berdebar, tangannya kembali bergetar, ia memilih untuk berbaring sambil
mendekap kertas itu dalam-dalam. Ternyata Nilam membalas suratnya dengan puisi

Kasih

Pualam bersambut kelam tuan...

Ia menodongku dengan senapan

Rasamu terlalu keras ku telan

Namun tak rela ku siakan

Jika rasamu bukan canda

Maka ku sanggup menjadi candu


Jika rasamu bukan lara

Maka ku sanggup menghambamu

Terhitung ketika aksara ini terbaca

Bersemayamlah cinta kita

Semoga kuasa merela

Kupinjam satu kasihynya.

Rizwan merasakan matanya memanas, ingin sekali ia berteriak sekencang-


kencangnya, mengabarkan pada seluruh semesta bahwa cintanya bersambut. Hati remuknya
kini sedang ia rekat dan tata, penghuni baru akan mengisi tempat yang sudah lama berdebu ia
yakin bahwa pemilik kali ini bukan hanya singgah dan berakhir jengah. Rizwan menaruh
harapan pasti kepada Nilam, semoga jatuh kali ini tidak membawaku pada hati yang kembali
mati pikirnya.

Setelah tukar menukar surat yang menguras batin, maka di sinilah Nilam dan Rizwan
berakhir, menghadap ke padang sabana luas dengan ilalang tinggi menjulang. Sinar jingga
menerpa wajah bahagia mereka Rizwan yang sedari tadi hanya bersenandung ria sengaja
memanjakan telinga Nilam yang ternyata menyukai gendre musik yang sama, inikah
namanya serasi? Setelah aksi Rizwan yang diyakininya dapat meluluhkan seisi Bumi, Nilam
hanya tersenyum tipis dia memang bahagia, namun pikirannya masih mengapung di udara.
Ada sesuatu yang sesak di dalam hati kecilnya, perasaan ini seperti firasat namun Nilam tak
ingin menghancurkan momen satu kali dalam hidupnya ini.

Rizwan menarik nafasnya dalam, mencoba menimbang sebelum akhirnya berbicara


dengan hati-hati kepada Nilam.

“Nilam aku akan pergi sebentar untuk menyelesaikan studiku, tidak lama hanya 2 bulan saja
dan aku berjanji akan pulang tepat waktu” Rizwan tak berani memandang jauh wajah Nilam .
hingga ia harus dipaksa menatap lawan bicaranya saat Nilam mulai membuka suara

“Pergilah, bawakan aku buku yang banyak” Nilam menatap netra Rizwan dalam, sedikit
tampak kesedihan di mata coklatnya hanya Nilam tak boleh menunjukan hal itu semua. Karna
ia tak ingin menjadi penghalang akan mimpi-mimpinya, Nilam tau rasanya kehilangan itu
semua.

“Benarkah? Apakah kau akan menungguku?” tanya Rizwan. Matanya mulai terasa panas, ia
takut jika Nilam pergi

“Tentu saja, pulanglah tepat waktu” jawab Nilam seraya tertawa pelan, ia melihat kesedihan
yang juga terpancar dari riak wajah Rizwan, ia harus menguatkannya.

Setelah merasa nyawanya hampir hilang kini ia bernafas tenang andai saja jawaban yang
diberikan Nilam tidak maka mungkin ia akan gila. Bayangkan saja ketika sedang dimabuk
asmara tiba-tiba salah satu memilih untuk sirna?

Setelah merasa keadaan tenang, semilir angin memberikan ide gila kepada Rizwan. Ia
merampas buku yang Nilam pegang, ia lalu berlari sambil memainkan bukunya di udara

“Rizwan... Kembalikan” ucap Nilam

Rizwan hanya tertawa renyah, ia kemudian memandang wajah kesal Nilam yang memerah
semu, sangat indah baginya.

“Sini ambil sendiri” Rizwan berlari melewati ilalang yang bergoyang seolah ikut tertawa.
Nilam akhirnya ikut berlari mengerjar Rizwan, sinar surya yang menerpa menghasilkan
gesekan dengan bulir kecil hujan yang beberapa waktu tadi turun, menghasilkan lukisan
bercahaya di angkasa, melengkung indah menaungi dua insan yang asik berlarian.

Setelah beberapa putaran yang melelahkan mereka memutuskan untuk pulang,


Rizwan mengantar Nilam sampai ke rumah, awalnya Nilam menolak namun hal itu urung
karna Rizwan beralasan ingin tahu lebih jauh tentang keluarganya. Sampai di rumah, Nilam
memanggil adik-adiknya. Mereka menatap penuh tanya siapakah gerangan pemuda tampan
ini, Rizwan memperkenalkan dirinya sendiri di depan Rani dan Khairul.

“Panggil abang, Bang Riz” tersenyum lebar hingga lesung pipi itu semakin dalam bagai
sumur.

Riak wajah adik-adik Nilam hanya tersenyum miring, mereka bertanya-tanya


darimana kakaknya menemukan pemuda angkuh ini. Jika dilihat dari cara tersenyumnya,
Rizwan memang terkesan angkuh, lesung pipi itu menyelamatkannya. Rasa percaya diri
yang meluap-luap sering disalah artikan ,namun percayalah jika kau sudah kenal dengan
Rizwan, kau akan menemukan kehangat dan rasa nyaman. Dan benar saja tidak lama untuk
Rizwan meluluhkan hati calon adik-adiknya, ah... jurus apa yang digunakannya, pada intinya
mereka sekarang sudah berteman. Rizwan akhirnya pulang dengan kebanggan, ia bisa lebih
dekat dengan pujaan dan menjadi teman bagi saudara tercintanya.

Suara burung gereja memenuhi jalanan sepi, menemani Nilam yang sedari tadi
menghitung hari, tepat ini adalah hari ke 72 Rizwan pergi. Hatinya nyeri mencoba bertahan,
karena sudah lewat dari waktu yang dijanjikan. Namun Nilam terus mencoba melawan
keraguan, ia percaya kasihnya akan pulang. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada
menahan kerinduan, Nilam sudah terbiasa bergelut dengan rasa itu namun kali ini berbeda,
karna yang ia rindukan akan pulang bukan hanya angan kerinduan yang tidak ber ibu seperti
yang selalu ia tangisi.

Nilam membeku melihat sesosok pemuda termangu di bangku tempat biasa ia


bermanja dengan buku-bukunya. Itu Rizwan!

“Rizwan..” panggil Nilam pelan.

Rizwan hanya mengangkat kepalanya, Nilam bisa menangkap kesedihan yang menggantung
di mata hitamnya. Perasaannya mulai tidak enak, apa yang terjadi?

“Lam... kamu janji jangan pergi yaa” Rizwan menggoyang badan Nilam, Nilam hanya
membisu, masih mencerna dan menyadarkan apa yang sedang ia lihat. Rizwan bergetar
dengan mata memerah, genangan air mata yang mengering juga samar terlihat.

“Ada apa Riz, aku t-tidak akan kemana-mana” Nilam menarik nafasnya panjang,
mengedarkan netranya kesegala arah, lehernya sakit menahan isak. Karna ia bingung apa
yang terjadi.

Riwan mulai menceritakan dongeng panjangnya, hingga akhirnya Nilam tidak bisa
menahan lagi kesedihan yang mencekik, ia terisak pelan. Bagaimana bisa panah asmara
yang menancap dalam itu harus dicabut paksa? Tentu akan meninggalkan bekas luka yang
mengaga. Tubuhnya terasa lunglai, dengan Rizwan yang terus bercerita sambil sesekali
menyeka air mata. Ia tak tau harus merespon apa, dadanya sakit seperti ada seribu duri yang
menari riang menertawai kesedihannya.

“A-ku aku janji Nilam, aku pasti memperjuangkanmu, kamu mau kan, kita berjuang
bersama” Ucapnya sambil terisak.
Sebernarnya Rizwan telah pulang satu hari sebelum janjinya dengan Nilam, ia sengaja untuk
memberikan kasihnya sebuah hadiah dengan kepulangannya. Namun saat ia pulang kerumah
Rizwan malah disambut sumpah serapah dari Ayah nya. Ia ternyata sudah mengetahui
hubungannya dengan Nilam, dan ia tidak suka.

“Lepaskan dia Rizwan... Ayah tidak ingin mendengar apapun”

Itu adalah kalimat pertama yang dilontarkan Pak Ruli saat kepulangannya. Bagai di lempari
berjuta batu kepalanya sakit. Bagaimana ini, ia tidak mungkin meninggalkan kasihnya tapi
bagaimana dengan Ayah?

“Ayah... dia gadis yang baik, sebenarnya aku ingin mengenalkan kau dengannya besok”
tetap Rizwan tak percaya

“Ibunya pergi meninggalkan Ayahnya Rizwan, apa kau ingin bernasib sama?” ia mengaga
tak percaya atas alasan sangat tak masuk akal yang diterimanya, apa hanya karna itu? Ini
tidak bisa diterima pikirnya.

Setelah penuturan itu maka terjadilah perang besar dalam rumahnya, Rizwan yang penurut
berubah menjadi Rizwan yang berhati batu, ia menentang setiap kata yang dilontarkan
Ayahnya

“Tuhan sebagai saksinya Ayah, Nilam itu adalah gadis yang terbaik yang pernah aku
jumpai” tantangnya

“Kau hanya terbuai dengan pesonanya saja Rizwan... sebelum kau menjadi korban” ucap
ayahnya tak kalah lantang. Selain karna alasan yang tidak masuk akal itu, sebenarnya Pak
Ruli dengan sengaja memisahkan Nilam karna ia tidak ingin namanya tercoreng memiliki
mantu dengan kasta yang berbeda. Ia siapa dan aku siapa? Mana bisa ia menerima gadis tak
berpendidikan masuk dalam kartu keluarganya? Cihh aku tak sudi pikirnya. Ia hanya
menimbang dalam segi harta dan kasta, sehingga tak memperhatikan sesuatu yang paling
berharga, yaitu kelembutan, kepatuhan dan kesetiaan yang Nilam miliki. Ia hanya sibuk
mencari banyak permata hingga lupa dengan satu intan yang tergeletak didepan mata. Dunia
hanya berpihak kepada pemilik kuasa dan itu yang sedang Nilam rasakan.

“Nilam Jawab aku” Rizwan menggoyang badan Nilam pelan, ia bisa melihat rasa kecewa
yang mendalam di kedua mata indah itu
“Dia orang tuamu Rizwan”

Seperti tak percaya dengan yang diucapkan Nilam, Rizwan kembali bertanya

“Apa katamu, apa kau menyerah?” suara Rizwan parau karna telah terisak dari tadi

“Dia orang tua mu Riz, aku bukanlah siapa-siapa. Mereka lebih berhak atas hidupmu dari
pada aku Riz, sampaikan salamku kepada mereka, aku pergi dulu” Nilam tak sanggup
menatap Rizwan saat semua kata-kata itu terucap, ia marah sangat marah dan kecewa yang
mendalam bagaimana bisa orang tua Rizwan meragukan kesetiaannya, mungkin ia lupa
dengan darah Ayahnya yang mengalir di Nadinya, sehingga langsung menyamakan Nilam
dengan Ibunya.

Nilam berlari menerobos derasnya hujan, langit kelabu kali ini menumpahkan air
bah, seakan ikut larut dalam badai keresahannya, ia menyeka air mata yang sekarang
bercampur dengan hujan. Udara dingin yang menusuk pelan tak menghentikan langkahnya
menuju arah pulang, sampai saat ini ia masih tak percaya. Rasa sakit di dadanya juga tak
kunjung hilang, malah semakin menusuk dalam. Nilam tenggelam dalam kebimbangan,
“apayang harus aku lakukan Tuhan?” ucapnya pelan yang sekarang sedang terduduk di
tanah meratapi penggalan kisah menyedihkan yang tak kunjung terkikis perlahan.

Tiga hari semejak pengakuan memilukan itu, Rizwan kembali menemui Nilam,
walau harus menghadapi makian dari Ayahnya. Ia tidak bisa membiarkan Nilam hilang.
Rizwan tersenyum lebar ketika mendapati pujaan hati yang sedang beristirahat, nampak
keringat yang membasahi wajahnya.

“Nilam...” panggil Rizwan

Nilam tak menjawab panggilan Rizwan, ia hanya tersenyum penuh arti

“Aku sangat rindu denganmu, dan ini aku membawakanmu sesuatu” ucap Rizwan

“Ini semua untukku” jawab Nilam dengan mata jenakanya, demi apapun Rizwan sangat
senang melihat pemandangan itu, menenangkan gejolak hatinya sesaat

“Tentu.. aku tak mungkin ingar saat aku berjanji Nilam” ucapnya dengan tersenyum lebar,
lesung pipi itu nampak semakin dalam

“Riz... aku akan memantaskan diriku untukmu” ucap Nilam tiba-tiba


“Maksudmu? Kau sempurna bagiku Nilam” sahut Rizwan

“Aku tau, jangan lelah. Aku bukan pasrah, semoga tuhan selalu menyertai kita Rizwan”

Rizwan memiringkan kepalanya, mencoba mencerna kata demi kata yang terasa janggal, ia
hanya berucapa Aamiin seraya memejamkan matanya, ketakutan seakan kembali
menyerang, ia sangat takut kehilangan.

Cahaya pagi menusuk pertahanan mata Rizwan, ia terdiam sejenak mengumpulkan


nyawa yang sekiranya berterbangan entah kemana. Pagi yang biasa ia sambut dengan syukur
beberapa hari ini sangat sendu. Rizwan sudah menyelesaikan sarjana nya dan menuntaskan
keinginan Ayahnya, tapi kenapa ia masih saja belum bisa memegang kuasa akan hidupnya?
Ia paham bahwa Pak Ruli sudah dengan senang hati mengangkatnya menjadi anak dan ia
tidak meragukan kasih sayang yang ia terima selama ini. Semuanya sesuci kasihnya untuk
Nilam. Ia berniat untuk menemui Nilam dengan membawa setangkai edelweis yang ia beli
saat mendaki gunung semeru sebagai perpisahan dengan sahabatnya. Rizwan tentu tidak
memetik secara liar bunga indah ini, karna ia tahu keindahan itu selayaknya dibagi. Ia
membelinya pada petani yang sengaja membudidayakannya. Bunga ini ia anggap sangat
cocok untuk menggambarkan Nilam dan kisah cintanya. Bunga ini di juluki sebagai bunga
keabadian karna terdapat hormon yang mencegah kerontokan pada bunganya. Dan jika
dirawat dengan benar maka bunga ini tidak akan layu. Perumpamaan yang pas untuk
cintanya pada Nilam, walau dipaksa untuk dicabut namun takkan layu dimakan waktu.

Dengan menggenggam setangkai edelweis Rizwan bergegas menyusuri jalan, tak


lupa bersenandung lagu cinta yang dengan sengaja ia dendangkan hitung-hitung pemanasan
suara, karna hari ini ia akan memutuskan untuk menemani dan memanjakan telinga Nilam
dengan lagu maut andalannya. Hingga ia diberhentikan oleh Bik Yati

“Rizwan... Nak tunggu” teriak Bik Yati setengah berlari menghampiri Rizwan

“Iya bik?” tanya Rizwan, ia memberikan Rizwan sebuah amplop berwarwarna merah muda
buku ensiklopedia.

“Ini dari Nilam, sebenarnya surat ini dari semalam bibik pegang. Hanya saja kita baru
ketemu sekarang. Kalau begitu bibik pergi dulu yaa nak Rizwan” ucap nya seraya berlalu
tapa dosa meninggalkan sesosok manusia yang membisu dan dipenuhi tanda tanya, ini apa?
Rizwan kembali berjalan niatnya menguap begitu saja setelah mendapat surat
tersebut, ia melalu jalan setapak menuju padang sabana, sungguh ia butuh ketenangan. Surat
yang ia pegang serasa sangat berat, tidak ada lambaian suka cita, hawa dingin serasa
menyergapnya, ia tak tahan dan mulai berlari. Ilalang panjang bergoyang lembut,
menyambut kedatangan Rizwan seorang. Pemuda itu lalu duduk disebuah dataran yang agak
tinggi seperti dulu saat ia mengucapkan perpisahan untuk kembali merengkuh ilmu. Rizwan
menarik nafas panjang karna pasokan udara yang dirasa semakin hilang entah kemana.
Tangannya bergetar mulai membuka surat itu

Teruntuk Kasihku Rizwan

Aku mengukir namamu di bawah sujud pada Rabbku, mengadahkan tangan

memohon pada pemilik semesta agar pengakuanmu bukanlah sebatas canda.

Diriku yang bisu mendadak semakin pilu ketika takdir memutus rasa ini secara

paksa. Atau mungkin ini memang yang seharusnya ?

Rizwan... seharusnya kita tak membiarkan rasa ini berkembang lebih dari

sebatas hamba kepada tuan. Karna sungguh membunuh rasa yang sudah

menjerat nyawa sama saja dengan tiada. Namun kurasa ini belum terlambat,

benar kata Ayahmu, embun yang bening tak pantas bersanding dengan genangan

keruh sepertiku. Aku bisa saja mencemarimu, tapi aku tidak mau itu. Kau

mungkin bisa saja menantang dunia untuk ku, kau mungkin bisa saja menentang

orang tuamu,namun percayalah hormatku pada mereka tak sebanding dengan

kutuk yang akan kita terima jika kita bersatu Rizwan.

Rizwan.. aku sangat mencintaimu, kau adalah satu-satunya kau istimewa. Aku

ingin memantaskan diriku, dan dengan kepergianku semoga menjadi awal

bahagiamu.

Tertanda

Nilam
Surat dari Nilam itu sekali lagi membuat tubuh Rizwan bergetar. Ia memegang
dadanya, karna sesak yang teramat sangat di ulu hatinya. Berkali-kali ia menarik nafas
panjang untuk mengupulkan udara namun yang ia dapat hanya pengkhianatan yang tak
kunjung memuaskan. Kesedihan dan air mata terasa sudah membanjiri dan memenuhi paru-
parunya dan di detik berikutnya Rizwan ambruk ke tanah, ia mencengkram kertas itu,
matanya nyalang dengan air mata yang terus mengalir dengan deras. Sungguh tak disangka,
perginya Nilam bisa membuat Rizwan lemah tak berdaya. Kasih yang selama ini menjadi
alasan kenapa Rizwan semakin bersemangat untuk hidup telah hilang, berganti dengan
alasan sirna yang tiba-tiba menyerang. Rizwan memandang jauh memanggil nama kasihnya
yang telah pergi entah kemana

“Nilam.... hanya kau yang pantas untukku Nilam..” teriakan pilu itu menggema memenuhi
padang sabana, ilalang tak lagi bergoyang, ia merunduk sendu seakan turut merasa bahwa
prahara cinta dahsyat adanya. Edelweis yang menjadi lambang cintanya pun sudah tak lagi
bersisa bertebaran entah kemana, yang pasti bunga abadi itu terlihat bagai jejak Rizwan
menuju padang.

“Apa salahku kali ini Nilam, sehingga kau menghukumku?”

“Kau membuat hatiku tak lagi remuk, tapi hilang selamanya”

Rizwan membuka buku itu dan ia semakin pilu, ia mengingat kembali kenangan saat awal
jumpa, ia memandang nanar ke depan, masih jelas dalam ingatan ketika ia berlarian dibawah
lengkungan pelangi, saling menguatkan ketika Rizwan berpamitan untuk pergi.

“Kau akan kembali kan Nilam? Kau pasti kembali” Rizwan berucap lirih, ia gontai berjalan
menuju arah pulang, menyeka air mata dan mencoba merapal doa untuk menguatkan
dirinya. Sungguh ini adalah hari yang paling menyiksa

Surya bertengger di tahtanya menegaskan posisi yang tak sudi ia bagi dengan awan
yang sedari tadi menjatuhkan rintik kecilnya. Seorang gadis berparas manis sedang
bersandar melihat lalu lalang kota besar yang masih asing ia pandang. Sesekali air matanya
mengalir, ia rindu kampung halamannya, ia rindu bermanja dengan bukunya, terlebih lagi ia
rindu Rizwan. Namun setiap rindu itu berlahan berubah menjadi pilu, ia tak akan pernah
melupakan kejadian hari itu, hari dimana Pak Ruli datang ke rumah dan berbicara
kepadanya. Jangan salah sangka, Pak Ruli tidak memaki-maki layaknya antagonis di film
drama, ia berbicara alasan kenapa dia tidak merelakan anaknya bersama Nilam. Nilam
sedikit mengerti karna ia ingat dengan temannya dulu, dimana temannya menangis setengah
mati karna kucing peranakan persia hasil pemberian kakaknya yang bekerja sebagai asisten
rumah tangga di jakarta dihamili kucing kampung milik tetangganya. Perkara kucing saja
sudah seperti itu apalagi hubungan dengan anak manusia? Namun cara dengan mematahkan
mental seperti itu juga tidaklah dibenarkan, untung saja Pak Ruli berhadapan dengan Nilam
yang tidak mudah merela ketika direndahkan dan mengganggap itu sebagai tantangan,
sebuah jawaban atas pernyataan kepantasan yang dilontarkan Pak Ruli dengan agkuh dan
hanya di respon dengan seringaian penuh arti dari seorang Nilam. Namun Kuasa tak pernah
tidak mendengar resah hamba-Nya, dan itu semua dibuktikan Nilam. Tepat di titik terendah
ketika ia mencari jalan kebahagiaan, pertolongan datang dalam bentuk Bibi yang pernah
hilang, ia memberi kabar tentang keberadaanya di Kota. Ia ingin mengajak Nilam dan
Khairul bersamanya, mengingat selama ini merekalah yang menemani anaknya Rani.
Awalnya Nilam merasa bimbang tentang kepergiannya, namun datangnya Pak Ruli tentu
harus dibalas dengan kepantasan bukan? Maka dari itu Nilam menerima tawaran Bibinya
denga segala resiko dan rasa besalah yang akan terus menginatkannya dengan janji yang
dilanggar demi mewujudkan janji lain yang lebih besar. Nilam akan mencoba
peruntungannya dengan takdir. Ia memilih berjuang menolak hina.

“Semoga Tuhan selalu menyertai jalan kita Rizwan, aku akan selalu rindu” ucap Nilam
Pelan, sambil mendekap surat kasihnya dalam-dalam.

Anda mungkin juga menyukai