Nilam beranjak dari tepian sungai, ia berjalan tertatih diantara rimbunnya pohon karet
dan ara yang selama ini menjadi urat nadi kehidupannya dan adiknya. Nilam telah berkerja
tiga tahun sebagai penoreh pohon karet, semejak ayahnya meninggal karna penyakit malaria.
Bayangkan bagaimana seorang anak berusia 15 tahun kala itu harus belajar secara mati-
matian untuk mengetahui teknik menoreh pohon karet yang benar. Tak terhitung lagi berapa
banyak sabetan arit yang mengenai tangannya, namun apa daya kesakitan itu harus
ditanggung. Ini semua demi adik yang ia sayang, yang menjadi satu-satunya penyemangat
untuk tetap berdiri tegap dibawah sinar matahari mengumpulkan sedikit demi sedikit rejeki.
Tak terasa sudah 50 menit Nilam berjalan kaki, dan sekarang ia sudah sampai
disebuah bangunan yang selama ini ia sebut dengan rumah. Rumah itu tampak ramah dengan
dinding papan beratap seng tua berkarat hasil kerja keras Ayah menjual getah. Bagi Nilam
rumah bukanlah tentang bangunan besar dengan jendala kaca dan tirai indah menjuntai,
melainkan rumah adalah tempat dimana ia bisa menemukan kehangatan dan ketenangan.
Tempat dimana Nilam bisa melepas sedikit beban yang selama ini ia pangku. karna didalam
rumah terdapat orang-orang yang ia cinta, walau hanya menyisakan dirinya dan adiknya. Ibu
yang entah kemana, sekarang hanya menjadi sisa-sisa perjalanan hidup yang akan diabadikan
dan dikenang oleh Nilam seorang. Masih tergambar jelas aliran takdir pada hari itu. Ibu pamit
pada dirinya untuk membelikannya baju baru sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke 9.
Nilam kecil menunggu dengan sabar kepulangan sang ibu, ketika jam sudah menunjukan
pukul 5 sore, Nilam kecil masih saja menunggu di depan pintu, ia bertanya-tanya seberapa
banyak baju yang dibelikan ibunya sampai harus selama ini? Namun, sampai kepulangan
ayah dari kebun ibu juga tak kunjung pulang. Nilam kecil bertanya kepada ayah, kenapa ibu
belum datang dan ia juga berbicara tentang baju baru yang ibunya janjikan saat ia pulang.
Ayah hanya diam dan memandang Nilam dalam-dalam lalu ayah berkata “Aku tak
menyangka kau akan menyerah secepat ini, bahkan kau tidak menunggu sampai khairul
berusia 2 tahun. Nilam... Ibumu mungkin sedang ada urusan, nanti Ayah yang akan
membelikanmu baju baru, sekarang kita makan dulu yaa” Nilam kecil diam tak merespon
apapun, karna ia bingung dengan kalimat pertama sang ayah, di dalam pikirannya bertanya-
tanya, siapa yang menyerah ? ada apa dengan adik kecilnya Khairul? Dan kemana ibunya
sekarang ? Karna sungguh keadaan seperti itu sangat sulit untuk dimengerti olehnya. Hingga
sampai ia beranjak dewasa dan menyadari bahwa ibu bukan pergi untuk membeli baju baru
melainkan ibu pergi untuk mencari kehidupan baru, yang jauh dari dirinya, ayah dan
adiknya. Hal itu sekarang sudah dirterima oleh Nilam seutuhnya, walau rasa rindu itu sering
menerpa mengaduk-ngaduk ulu hatinya, memberikan rasa nyeri dan berujung dengan
genangan air yang jatuh membasahi foto lama yang masih setia ia simpan.”Ibu... dimanapun
kau berada, aku masih setia menunggu baju baru darimu” dan biasanya setelah itu Nilam
akan terlelap berharap ibu akan muncul barang sebentar dalam mimpinya, namun hal itu tidak
pernah terjadi.
Nilam disambut adiknya khairul yang sekarang berusia 9 tahun. Seketika Nilam
tersenyum dengan lebar karna sungguh melihat adiknya adalah kebahagian tersendiri bagi
Nilam. “Kak... apakah kakak tersesat? kenapa lama sekali?” Nilam menghela nafas pelan tak
mungkin jika ia menceritakan tentang kejadian tadi siang dimana ia hampir saja menjadi
korban oleh laki-laki yang tidak tau adab dan ajaran agama.
“kakak tadi hanya beristirahat sebentar” sahut Nilam
“Lalu, kaki kakak kenapa?” Nilam sontak mengedarkan matanya pada luka yang sudah ia
balut.
Khairul hanya diam, menerima segala alasan yang diberikan kakaknya. Memang benar
adanya, kaki Nilam terluka karena tersandung batu, Nilam tak lagi melihat jalan yang berada
didepannya. Ia berlari tunggang langgang seperti dikerjar setan, walau secara harfiah yang
mengejarnya memang setan, hanya saja jiwanya melebur dalam jasad manusia.
“Belum kak, kami menunggumu” suara itu berasal dari adik sepupunya yang tiba-tiba keluar
dari dapur. Dia adalah Rani, umurnya tiga tahun lebih muda dari Nilam, ia adalah anak dari
adik Ayah. Sedari kecil Rani sering dititipkan dirumah mereka karna orang tuanya sibuk
bekerja dan entah sejak kapan, penitipan ini berubah menjadi permanen. Ayah dan Nilam
tidak pernah merasa keberatan akan hal itu, malah Nilam merasa bersyukur. Hadirnya Rani,
membuat ia tidak lagi was-was saat bekerja karna harus meninggalkan Khairul sendirian di
rumah.
Sinar jingga senja berangsur menghilang berganti dengan kegelapan yang menelan.
Matahari turun tahta dan bulan yang siap menjalankan peran, merupakan pertanda bahwa
malam sudah merajai semesta. Malam dirumah kecilnya akan dihabiskan dengan bercanda,
menemani adik-adiknya belajar dan menyiapkan alat-alat untuk pergi ke kebun besok. Saat
jam sudah menunjukan pukul 9, Nilam akan menyuruh adiknya menyudahi semua kegiatan,
karna rehat adalah nikmat yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Nilam melihat
adik-adiknya yang sudah tertidur lelap. Nilam mengambil dompet dalam tasnya, jemari
kurusnya menghitung uang lembar lima ribuuan yang berhasil ia dapatkan hari ini, ia
memasukan setengah uang itu ke dalam kaleng bekas susu dan meletakkannya ke dalam
lemari. Nilam menyimpan sedikit demi sedikit uang untuk membiayai sekolah adik-adiknya.
ia tidak ingin adiknya putus sekolah sepertinya. Adik-adiknya harus keluar dari lingkar
kemiskinan, dan salah satu cara yang diyakini oleh Nilam adalah dengan pendidikan.
“Akan aku pastikan, aku adalah yang terakhir memegang arit” Nilam berucap lirih.
Kehilangan figur orang tua sedikit banyak mengguncang kejiwaannya. Dituntut untuk
tumbuh dewasa sebelum masanya membuat badai di dalam hatinya sering berkecamuk.
Nilam melirik kembali wajah adik-adiknya yang sudah tidur, hal itu selalu menjadi
penyembuh badai didalam dirinya. Nilam merebahkan kepala, merapal doa sebelum akhirnya
terlelap, dengan segenggam mimpi yang selalu ia miliki.
Matahari mulai beranjak, Nilam kembali menyusuri jalan setapak yang berbatu,
rimbunnya pepohonan menambah kesejukan fajar kali ini. Namun disaat melewati satu jalan,
Nilam mulai merasa takut, atmosfer film horor suzana yang tempo hari ia tonton bersama
adiknya di lapangan sepak bola tiba-tiba menyelimutinya. Nilam mengambil ancang-ancang
dan berlari sekuat tenaga, sesekali ia menoleh kebelakang dan tak sadar ia menabrak
seseorang.
“maaf.... saya tidak sengaja” Nilam menundukan kepalanya dan memunguti barangnya yang
terjatuh
“Sekali lagi maafkan saya, saya permisi dulu” Nilam langsung melanjutkan perjalanannya
dengan sedikit berlari, ia terlalu takut untuk sekedar mendongak. Ia tak ingin mendengar
sumpah serapah pagi-pagi.
Seseorang yang ditabrak Nilam hanya diam membisu, ia tak mengucap satu patah
katapun dan hanya memandang Nilam yang kian menjauh. Karna ia masih terkejut dan
bingung kenapa ada gadis berkeliaran di kebun sepagi ini? namun seulas senyum terukir pada
wajahnya, ia memang tak sempat memandang dengan jelas siapa yang menabraknya namun
ia tahu bahwa yang menabraknya adalah seorang gadis dengan mata yang indah. Pemuda itu
pun melanjutkan perjalananya dan melupakan kejadian tadi, ia melihat rimbunnya pohon
karet dan ara yang menjulang tinggi sesekali ia mendekati pohon tersebut untuk mengecek
keadaan pohon, ia juga menyapa beberapa orang yang sedang menoreh, sudah lama sekali
semejak terakhir kali ia mengunjungi kebun ini, untuk melanjutkan pendidikannya dan
sekarang ia sedang menyusun skripsi dan dia kembali untuk kebutuhan penelitiannya.
Pemuda itu adalah Rizwan, anak angkat Pak Ruli orang yang memiliki kebun
sekaligus taoke yang menampung hasil torehan masyarakat sekitar. Pak Ruli mengangkat
Rizwan bukan karna ia tidak memiliki anak, ia sudah mendapat satu orang putri yang
merupakan kakak Rizwan, namun keinginannya ialah mepunyai seorang putra yang bisa
meneruskan usaha perkebunannya. Sudah lama Pak Ruli menunggu istrinya, namun tak
kunjung dikaruniai lagi setelah kelahiran putri mereka, oleh karena itu Pak Ruli mengangkat
Rizwan yang merupakan keponakannya sendiri, ibu Rizwan meninggal saat melahirkan dan
ayahnya tak keberatan jika Rizwan diangkat menjadi anak oleh Pak Ruli. Pak Ruli lalu
membesarkan Rizwan dengan kasih sayang yang melimpah ia tak pernah membedakan
perlakuan yang ia berikan pada putrinya dan Rizwan. Dan setelah lulus SMA, Rizwan ia
kuliahkan dan mengambil jurusan perkebunan, yang merupakan keinginan Pak Ruli. Rizwan
juga merupakan anak yang penurut ia tidak pernah membantah apapun keputusan paman
yang sekarang menjadi ayahnya itu. Walau sebenarnya Rizwan tidak menginginkan jurusan
perkebunan, ia ingin masuk jurusan seni musik atau tehnik elektro karna kecintaan Rizwan
memainkan alat musik, dan kepandaiannya dalam bongkar pasang mesin. Namun demi
menghormati ayahnya Rizwan menerima apapun pilihan itu walau harus mengubur dalam-
dalam minatnya. Toh kalau hanya untuk memainkan alat musik atau sekedar memperbaiki
sesuatu Rizwan bisa melakukannya secara sambilan, walau ada keterpaksaan dalam
mengambil jurusan perkuliahannya. Rizwan tak pernah menampaknya pada sang ayah.
Rizwan merupakan anak yang cukup pintar, ia merasa tidak terlalu keberatan dalam studinya
walau hal tersebut sama sekali bukan minatrnya.
Hari beranjak siang, Rizwan menyandarkan tubuhnya pada salah satu pohon ia
kembali teringat insiden tadi pagi, ia menyenandungkan sebuah lagu, tembang dangdud
melayu yang syahdu. Dawai asmara merupakan lagu pilihannya saat ini, senandung Rizwan
merambat merdu diantara rimbunnya pepohonan, terik matahari yang masuk melewati celah
dedaunan tak lagi terasa menyengat, dan tanpa diketahui Rizwan ternyata senandung tersebut
telah mencuri perhatian seseorang.
Namun tampa Nilam sadari pemuda itu melihat Nilam, ia berhenti bernyanyi dan
Nilam pun langsung bersembunyi dibalik Pohon.
Nilam yang mendengar itu tiba-tiba berdebar, ia tak berani lagi mengintip, Nilam mematung
sesaat, hening... tidak lagi terdengar senandung ataupun suara pemuda itu. Nilam mengambil
ancang-ancang ia ingin lari dari tempat itu, namun sebelum itu, ia ingin mengintip sebentar
dan alangkah terkejutnya Nilam, pemuda tersebut sudah berada dihadapannya sekarang.
Nertranya mengunci Nilam dalam-dalam dan dalam hitungan detik Nilam terjungkal
kebelakang saking terkejutnya ia terduduk ketanah
“Aduh.... Maafkan saya pak.... ampun, saya tidak akan mengintip lagi”
Rizwan berbicara sambil sedikit tertawa. Ia meperhatikan Nilam, ia baru sadar bahwa gadis
inilah yang menabraknya tadi pagi. Nilam diam sejenak, ia melihat pemuda itu mengulurkan
tangannya, dengan ragu-ragu Nilam menerima uluran tangan itu.
“Oh.. ternyata kamu yang saya tabrak tadi pagi, sekali lagi maafkan aku” ucap Nilam pelan
“Tunggu... kenapa buru-buru sekali, kita bahkan belum berkenalan, siapa namamu?”
Tanya Rizwan.
Rizwan yang melihat itu pun tidak bisa menyembunyikan senyumnya, gadis didepannya ini
sungguh memiliki senyum maut. Seketika angin berhembus sedikit kencang, menggoyang
dahan-dahan dengan lembut, dan cukup untuk menjatuhkan daun yang dikehendaki untuk
turun, mereka tak pernah menyangka bahwa pertemuan ini merupakan awal dari kisah
mereka, dengan takdir sebagai pemandunya.
Setelah perkenalan singkat itu, Nilam pamit untuk pergi, ia harus melanjutkan
pekerjaannya. Rizwan menganggukan kepala, Rizwan terus memandangi Nilam sampai
hilang dari pandangannya. “Kuharap kita bertemu lagi Nilam” kata Rizwan sambil
tersenyum.
Hari sudah menjelang sore, tampak burung-burung terbang memenuhi angkasa untuk
kembali ke sarang. Begitu pula Nilam, ia bergegas kembali kerumah. Namun saat
diperjalanan ia melihat Bik Yani, tetangganya sekaligus rekan satu pekerjaanya.
“Buku apa?” entah kenapa rasa penasaran Nilam sangat memuncak jika mendengar kata buku
“Ini... buku bekas anak Ibuk, dia baru lulus SMA buku ini sudah tidak terpakai lagi” jelasnya
“Bik... bukunya untuk Nilam aja yaa, Nilam yang beli” pujuk Nilam
Bik Yani yang melihat ekspresi senang Nilam, luluh. Ia memberikan buku tersebut kepada
Nilam. Nilam sudah dianggap sebagai anaknya sendiri ia juga merasa kasihan kepada Nilam
yang harus menjadi tulang punggung keluarga saat ini.
“Nilam mau...? ambilah semuanya” ucap Bik Yani sambil memberikan kardus buku
“Yang bener Bik ini ga perlu bayar?” jawab Nilam tanpa melepaskan pandangannya pada
kotak yang sudah berpindah tangan kepadanya.
Nilam pun berlalu ia semakin mempercepat jalannya karna rasa penasaran yang
menggelitik jiwanya, ia penasaran tentang isi buku-buku ini. ia berhenti sekolah saat ia naik
ke kelas 2 SMA, dan mulai kerja sampai sekarang. Akhirnya ia sampai di rumah. Setelah
menjalankan segala rutitas, dan adiknya sudah tertidur, maka inilah waktu yang tepat untuk
bermanja dengan buku-bukunya. Nilam mengambil salah satu buku ia membawa buku
tersebut ke teras, udara malam yang menusuk tak menghentikan niatnya untuk membaca, ia
melihat sekeliling, sungguh hening, sepi dan gelap bahkan bintang tak sudi menemaninya
saat ini ah... ia tak harus memikirkan semua itu. Ia mulai membuka lembar demi lembar isi
buku terbut, rasa ini tak pernah berubah getaran saat membuka lembar demi lembar buku
merupakan kesukaannya. Di bawah temaram lampu ia mulai membaca, ia beberapa kali
tertawa dan tersenyum, semua pengetahuan baru ini sangatlah menarik. Ia sedang membaca
sebuah ensiklopedi sanis yang berbicara tentang galaksi, Nilam tak henti-hentinya takjub
tentang semua penjelasan ini, ia memandang ke langit tak berbintang. Diluar sana selain
Bumi yang kita puja, terdapat jutaan bahkan milyaran semesta lainnya, dengan luasnya
semesta ciptaan Kuasa, maka tak sepaputnya kita berlaku angkuh tentang apa yang kita punya
karna titipan akan selalu kembali pada pemiliknya.
Semilir angin menyapa Rizwan, surai yang ia biarkan memanjang bergoyang seirama
dengan hembusan angin yang menerpa. Rizwan menatap langit, cuaca hari ini kurang
tersenyum pikirnya. Angakasa raya seperti sedang dirundung duka, warnanya tak seindah
biasa, kelabu tanpa sedikit pun guratan biru atau semburat surya yang biasa menerangi perdu.
Namun dengan segala halangan dari semesta atau ramalan cuaca yang menasihatinya untuk
membawa payung, itu semua tidak akan menggeser keinginannya untuk menemui Nilam.
Gadis itu telah kurang ajar pikirnya, bagaimana bisa ia muncul dan memporak-porandakan isi
kepalanya dalam sehari. Hingga Rizwan menghentikan langkahnya disaat ia melihat seorang
gadis sedang beristirahat sendiri di bangku panjang. Gadis itu seperti tengelam dalam
dunianya sendiri dan sedikitpun tidak memperdulikan orang yang berlalu lalang di depannya.
Rizwan melihat Nilam sedang fokus membaca, mata indahnya tampak jenaka, jari-jari lentik
itu dengan manja membuka lembar demi lembar halaman dan ia tersenyum. Ah.. sial aku
terkena serangan tiba-tiba pikir Rizwan. Rizwan mendekati Nilam
“Nilam... lagi apa?” Rizwan mencoba untuk mengatur nafasnya, jantungnya berdetak tak
seirama, jangan sampai Nilam mendegar dentuman ini pikirnya.
Sontak Nilam medongakkan kepala, itu adalah Rizwan ! tapi kenapa dia kesini?
Kening Rizwan sedikit berkerut mendapat respon sedingin es dari seorang gadis. Nilam
bukannya tidak suka dengan kedatangan Rizwan, hanya saja buku ini mengalihkan semuanya
termasuk pemuda bersuara merdu didepannya ini.
“Apakah aku mengganggumu? Bolehkah aku duduk?” tanya Rizwan dengan hati-hati
“Tidak kau tidak mengganggu, duduklah. Rizwan, kenapa kau ada disini? Tanya Nilam
Rizwan terdiam sejenak ia tidak mungkin mengatakan bahwa ia sengaja pergi ke kebun untuk
menemuinya, dimana ia harus meletakan harga diri dan gengsi sorang Rizwan.
“Aku sedang melakukan penelitian disini, jadi aku akan sering kemari” jawab Rizwan
Nilam hanya mengangguk paham, Rizwan kembali memandangi Nilam. Ingin rasanya ia
merebut buku itu dan membakarnya menjadi abu, karna ia telah mencuri perhatian gadis itu
namun semua itu urung ketika ia melihat Nilam yang sangat menikmati aktivitasnya, Rizwan
heran kenapa sesuatu yang sederhana bisa telihat seindah ini? bagaimana ia bisa luluh hanya
dengan melihat seorang gadis membaca? Namun tak dapat dipungkiri keindahan ini patut
diabadikan, gadis didepannya sangatlah mempesona. Dengan mata coklat yang indah, bulu
mata yang lentik,bibir tipis berwarna merah muda dan kerudung yang ia lilit renggang tidak
menutupi sedikitpun kecantikan alaminya. Namun ada yang mencuri perhatiannya, tangan
Nilam, tangan dengan jari lentik itu ketika dilihat secara dekat ternyata memiliki banyak
sekali bekas sayatan. Pasti sangat menyakitkan, dan tanpa Rizwan sadari ia meringis dan itu
cukup membuat Nilam memandang ke arah yang di tuju dan itu adalah tangannya. Nilam lalu
mengangkat tangannya menggapai udara, ia tersenyum lirih sambil memutar pergelangannya
kau lihat ini? ini adalah lukisan takdir. Rizwan yang mendengar penuturan tulus Nilam hanya
tersenyum lirih, dia bertanya-tanya kesakitan apa yang telah gadis ini lalui.
Nilam sudah menyesaikan pekerjaannya, langit kelabu adalah waktu yang tepat untuk
membaca, oleh karena itu ia memilih duduk dan melanjutkan kegemarannya, bermanja
dengan buku-buku ini. Namun ditengah kegiatannya ia dikejutkan dengan kedatangan
Rizwan walau alasannya bisa diterima namun kenapa ia malah memilih untuk menemaninya
daripada melakukan penelitian seperti yang ia katakan? Namun Nilam tidak terlalu
mempedulikan itu, karna kehadiran Rizwan cukup membuatnya terhibur, ternyata ia cukup
nyaman jika diajak berdiskusi. Rizwan dapat menjawab berbagai pertanyaan yang
mengganjal dipikirannya. Dalam diskusinya terkadang Rizwan membuat Nilam tertawa atas
jawaban dari berbagai pertanyaan ringan yang dilontarkan olehnya. Nilam bertanya tentang
kenapa langit hari ini kelabu namun tak mengundang hujan ? Rizwan berkata bahwa tak
selamanya mendung itu hujan karna saat ini semesta tak rela melunturkan senyumnya yang
indah dan kenapa matahari tak menyinari perdu, itu karna mata Nilam membuat matahari
cemburu, mata yang Nilam punya lebih hangat darinya. Bagi Rizwan semua itu benar
adanya, mata coklat Nilam terlihat indah saat di terpa sinar matahari, seperti memantulkan
kembali cahaya itu dan memberi efek berkilau, sebuah jendela hati yang mangagumkan
menurut Rizwan. Saat Rizwan mengatakan hal tersebut, hal itu mengalir begitu saja, otaknya
seakan berkabut, gengsi yang ia junjung tinggi seakan hilang entah kemana. Bahkan kata-kata
itu tak pernah ia lontarkan kepada mantan kekasihnya dan anehnya bisa dengan mudah ia
berikan kepada Nilam, Si gadis kurang ajar yang memporak-porandakan isi kepalanya.
Nilam hanya tersenyum, ia bukan tipe gadis yang cepat terbang ke atas langit hanya dengan
pujian karna ia selalu menanamkan pada dirinya bahwa pujian adalah tangga menuju jurang
kehancuran jika di kecap sebagai manis saja.
Hari-hari pun berlalu, pertemuan itu bukan hanya sebatas kebetulan yang dikehendaki
semesta. Seperti embun pagi yang menunggangi rumput manila. Bagi Rizwan, bertemu
Nilam sudah seperti penghilang dahaga. Ia hampir tak bisa menahan dirinya untuk tidak
bertemu barang sehari. Ia biasa berkunjung 3 kali dalam seminggu, ia juga harus
menyelesaikan tugas penelitiannya. Saat bertemu, ia terkadang membawakan Nilam buku-
buku dan melihat Nilam membaca dengan mata jenaka, adalah candu baru baginya. Nilam
juga senang karna bisa membaca buku-buku itu. Dalam pertemuan akhir-akhir ini, Rizwan
sering bernyanyi untuknya, tembang dangdud melayu yang menjadi andalan, lagu-lagu
tentang cinta itu cukup bisa melumpuhkan hatinya sesat. sudah lama semejak ayah tiada, ia
tak lagi mendengarnya. Karna sungguh hanya dengan mendengar itu, sama saja dengan
menumpuk rindu setinggi angkasa dan itu cukup menyiksa, namun berlahan Nilam bisa
mengikis semua. Ayah tak pernah mengajarkan untuk berputus asa akan kehendak Kuasa.
Lembar demi lembar kertas berhamburan memenuhi teras rumahnya, ada yang masih
utuh dan ada pula yang tercabik-cabik tak bersisa. Nilam mengacak-ngacak rambut ikalnya.
Sesekali memegang kepala, ia masih tak percaya dengan apa yang ia dapat. Surat cinta?
Bahkan dalam mimpi saja ia tak pernah berharap sejauh itu. Mustahil jika persahabatan dua
insan tidak dibumbui dengan rasa, itu sudah seperti garam dalam sayuran, wajib hukumnya.
Sudah 3 jam ia berada diluar, udara malam tak bisa menembus perasaan hatinya yang sedang
hangat. Kembali ia membaca surat itu, kata-kata di dalamnya selalu bisa membuat Nilam
tertawa. Hanya ada beberapa kalimat romansa di dalamnya, dan sisanya adalah Nilam
merasa Rizwan sudah terlampau mabuk bau getah hingga ia mengatakan hal-hal gila.
Bagaimana bisa ia memiliki rasa kepada seorang gadis sepertinya? Nilam merasa Rizwan
terlampau sempurna untuk gadis putus sekolah yang setiap hari harus banting tulang mencari
nafkah. Dewa amor mungkin memanah orang yang salah pikirnya, namun semua itu mungkin
saja terjadi, cinta adalah hadiah sekaligus siksa dari semesta bagi insan yang bernaung di
bawahnya. Ia akan jatuh pada tempatnya hanya saja butuh dari sekedar rasa untuk
mempertahankan keberadaannya.
Keesokan harinya Rizwan berjalan dengan ringan kerumah, bahkan kakinya tak lagi
terasa menapak ke tanah, ia memandang jauh cakrawala kenapa sesuatu yang biasa saja tiba-
tiba meledakkan pesona? delusi aurora tergambar jelas dimata hitam pekat yang ia punya.
Rizwan memegang dadanya, hatinya berdenyut, perasaan ini tak pernah ia rasakan. Rizwan
mengingat tentang efek narkoba yang membuat pengguna serasa melayang di udara, ia
tertawa rendah, kenapa harus repot-repot menghabiskan uang dan merusak raga jika jatuh
cinta saja memberikan efek serupa, bahkan lebih dahsyat pikirnya. Ia melambai-lambaikan
sepucuk surat dari Nilam, ini adalah balasan surat yang ia tunggu, Rizwan mencurahkan isi
hatinya dalam sepucuk surat yang di titipkan ke Bik Yati karna ia terlalu malu dan baru
pertama kalinya menulis surat cinta. Kembali Rizwan menutup mukanya mengingat saat-saat
Nilam memberikan balasan surat kepadanya, tangannya bergetar seperti baru menerima
raport kenaikan kelas. Sebenarnya ia sangat malu, bagaimana bisa seorang pria tersipu
dengan kuping memerah di depan pujaan hatinya? Terkutuklah senyuman itu ia benar-benar
meruntuhkan seluruh pertahanan jiwaku.
Sreeet... Rizwan mulai membuka kertas itu, tercium bau kapur barus yang wangi,
Nilam memang menyelipkan surat itu di tumpukan baju dan menguncinya dalam lemari. Ia
tidak ingin surat yang telah ia tulis sepenuh hati itu hilang atau dibaca seseorang. Kembali
dada Rizwan berdebar, tangannya kembali bergetar, ia memilih untuk berbaring sambil
mendekap kertas itu dalam-dalam. Ternyata Nilam membalas suratnya dengan puisi
Kasih
Setelah tukar menukar surat yang menguras batin, maka di sinilah Nilam dan Rizwan
berakhir, menghadap ke padang sabana luas dengan ilalang tinggi menjulang. Sinar jingga
menerpa wajah bahagia mereka Rizwan yang sedari tadi hanya bersenandung ria sengaja
memanjakan telinga Nilam yang ternyata menyukai gendre musik yang sama, inikah
namanya serasi? Setelah aksi Rizwan yang diyakininya dapat meluluhkan seisi Bumi, Nilam
hanya tersenyum tipis dia memang bahagia, namun pikirannya masih mengapung di udara.
Ada sesuatu yang sesak di dalam hati kecilnya, perasaan ini seperti firasat namun Nilam tak
ingin menghancurkan momen satu kali dalam hidupnya ini.
“Nilam aku akan pergi sebentar untuk menyelesaikan studiku, tidak lama hanya 2 bulan saja
dan aku berjanji akan pulang tepat waktu” Rizwan tak berani memandang jauh wajah Nilam .
hingga ia harus dipaksa menatap lawan bicaranya saat Nilam mulai membuka suara
“Pergilah, bawakan aku buku yang banyak” Nilam menatap netra Rizwan dalam, sedikit
tampak kesedihan di mata coklatnya hanya Nilam tak boleh menunjukan hal itu semua. Karna
ia tak ingin menjadi penghalang akan mimpi-mimpinya, Nilam tau rasanya kehilangan itu
semua.
“Benarkah? Apakah kau akan menungguku?” tanya Rizwan. Matanya mulai terasa panas, ia
takut jika Nilam pergi
“Tentu saja, pulanglah tepat waktu” jawab Nilam seraya tertawa pelan, ia melihat kesedihan
yang juga terpancar dari riak wajah Rizwan, ia harus menguatkannya.
Setelah merasa nyawanya hampir hilang kini ia bernafas tenang andai saja jawaban yang
diberikan Nilam tidak maka mungkin ia akan gila. Bayangkan saja ketika sedang dimabuk
asmara tiba-tiba salah satu memilih untuk sirna?
Setelah merasa keadaan tenang, semilir angin memberikan ide gila kepada Rizwan. Ia
merampas buku yang Nilam pegang, ia lalu berlari sambil memainkan bukunya di udara
Rizwan hanya tertawa renyah, ia kemudian memandang wajah kesal Nilam yang memerah
semu, sangat indah baginya.
“Sini ambil sendiri” Rizwan berlari melewati ilalang yang bergoyang seolah ikut tertawa.
Nilam akhirnya ikut berlari mengerjar Rizwan, sinar surya yang menerpa menghasilkan
gesekan dengan bulir kecil hujan yang beberapa waktu tadi turun, menghasilkan lukisan
bercahaya di angkasa, melengkung indah menaungi dua insan yang asik berlarian.
“Panggil abang, Bang Riz” tersenyum lebar hingga lesung pipi itu semakin dalam bagai
sumur.
Suara burung gereja memenuhi jalanan sepi, menemani Nilam yang sedari tadi
menghitung hari, tepat ini adalah hari ke 72 Rizwan pergi. Hatinya nyeri mencoba bertahan,
karena sudah lewat dari waktu yang dijanjikan. Namun Nilam terus mencoba melawan
keraguan, ia percaya kasihnya akan pulang. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada
menahan kerinduan, Nilam sudah terbiasa bergelut dengan rasa itu namun kali ini berbeda,
karna yang ia rindukan akan pulang bukan hanya angan kerinduan yang tidak ber ibu seperti
yang selalu ia tangisi.
Rizwan hanya mengangkat kepalanya, Nilam bisa menangkap kesedihan yang menggantung
di mata hitamnya. Perasaannya mulai tidak enak, apa yang terjadi?
“Lam... kamu janji jangan pergi yaa” Rizwan menggoyang badan Nilam, Nilam hanya
membisu, masih mencerna dan menyadarkan apa yang sedang ia lihat. Rizwan bergetar
dengan mata memerah, genangan air mata yang mengering juga samar terlihat.
“Ada apa Riz, aku t-tidak akan kemana-mana” Nilam menarik nafasnya panjang,
mengedarkan netranya kesegala arah, lehernya sakit menahan isak. Karna ia bingung apa
yang terjadi.
Riwan mulai menceritakan dongeng panjangnya, hingga akhirnya Nilam tidak bisa
menahan lagi kesedihan yang mencekik, ia terisak pelan. Bagaimana bisa panah asmara
yang menancap dalam itu harus dicabut paksa? Tentu akan meninggalkan bekas luka yang
mengaga. Tubuhnya terasa lunglai, dengan Rizwan yang terus bercerita sambil sesekali
menyeka air mata. Ia tak tau harus merespon apa, dadanya sakit seperti ada seribu duri yang
menari riang menertawai kesedihannya.
“A-ku aku janji Nilam, aku pasti memperjuangkanmu, kamu mau kan, kita berjuang
bersama” Ucapnya sambil terisak.
Sebernarnya Rizwan telah pulang satu hari sebelum janjinya dengan Nilam, ia sengaja untuk
memberikan kasihnya sebuah hadiah dengan kepulangannya. Namun saat ia pulang kerumah
Rizwan malah disambut sumpah serapah dari Ayah nya. Ia ternyata sudah mengetahui
hubungannya dengan Nilam, dan ia tidak suka.
Itu adalah kalimat pertama yang dilontarkan Pak Ruli saat kepulangannya. Bagai di lempari
berjuta batu kepalanya sakit. Bagaimana ini, ia tidak mungkin meninggalkan kasihnya tapi
bagaimana dengan Ayah?
“Ayah... dia gadis yang baik, sebenarnya aku ingin mengenalkan kau dengannya besok”
tetap Rizwan tak percaya
“Ibunya pergi meninggalkan Ayahnya Rizwan, apa kau ingin bernasib sama?” ia mengaga
tak percaya atas alasan sangat tak masuk akal yang diterimanya, apa hanya karna itu? Ini
tidak bisa diterima pikirnya.
Setelah penuturan itu maka terjadilah perang besar dalam rumahnya, Rizwan yang penurut
berubah menjadi Rizwan yang berhati batu, ia menentang setiap kata yang dilontarkan
Ayahnya
“Tuhan sebagai saksinya Ayah, Nilam itu adalah gadis yang terbaik yang pernah aku
jumpai” tantangnya
“Kau hanya terbuai dengan pesonanya saja Rizwan... sebelum kau menjadi korban” ucap
ayahnya tak kalah lantang. Selain karna alasan yang tidak masuk akal itu, sebenarnya Pak
Ruli dengan sengaja memisahkan Nilam karna ia tidak ingin namanya tercoreng memiliki
mantu dengan kasta yang berbeda. Ia siapa dan aku siapa? Mana bisa ia menerima gadis tak
berpendidikan masuk dalam kartu keluarganya? Cihh aku tak sudi pikirnya. Ia hanya
menimbang dalam segi harta dan kasta, sehingga tak memperhatikan sesuatu yang paling
berharga, yaitu kelembutan, kepatuhan dan kesetiaan yang Nilam miliki. Ia hanya sibuk
mencari banyak permata hingga lupa dengan satu intan yang tergeletak didepan mata. Dunia
hanya berpihak kepada pemilik kuasa dan itu yang sedang Nilam rasakan.
“Nilam Jawab aku” Rizwan menggoyang badan Nilam pelan, ia bisa melihat rasa kecewa
yang mendalam di kedua mata indah itu
“Dia orang tuamu Rizwan”
Seperti tak percaya dengan yang diucapkan Nilam, Rizwan kembali bertanya
“Apa katamu, apa kau menyerah?” suara Rizwan parau karna telah terisak dari tadi
“Dia orang tua mu Riz, aku bukanlah siapa-siapa. Mereka lebih berhak atas hidupmu dari
pada aku Riz, sampaikan salamku kepada mereka, aku pergi dulu” Nilam tak sanggup
menatap Rizwan saat semua kata-kata itu terucap, ia marah sangat marah dan kecewa yang
mendalam bagaimana bisa orang tua Rizwan meragukan kesetiaannya, mungkin ia lupa
dengan darah Ayahnya yang mengalir di Nadinya, sehingga langsung menyamakan Nilam
dengan Ibunya.
Nilam berlari menerobos derasnya hujan, langit kelabu kali ini menumpahkan air
bah, seakan ikut larut dalam badai keresahannya, ia menyeka air mata yang sekarang
bercampur dengan hujan. Udara dingin yang menusuk pelan tak menghentikan langkahnya
menuju arah pulang, sampai saat ini ia masih tak percaya. Rasa sakit di dadanya juga tak
kunjung hilang, malah semakin menusuk dalam. Nilam tenggelam dalam kebimbangan,
“apayang harus aku lakukan Tuhan?” ucapnya pelan yang sekarang sedang terduduk di
tanah meratapi penggalan kisah menyedihkan yang tak kunjung terkikis perlahan.
Tiga hari semejak pengakuan memilukan itu, Rizwan kembali menemui Nilam,
walau harus menghadapi makian dari Ayahnya. Ia tidak bisa membiarkan Nilam hilang.
Rizwan tersenyum lebar ketika mendapati pujaan hati yang sedang beristirahat, nampak
keringat yang membasahi wajahnya.
“Aku sangat rindu denganmu, dan ini aku membawakanmu sesuatu” ucap Rizwan
“Ini semua untukku” jawab Nilam dengan mata jenakanya, demi apapun Rizwan sangat
senang melihat pemandangan itu, menenangkan gejolak hatinya sesaat
“Tentu.. aku tak mungkin ingar saat aku berjanji Nilam” ucapnya dengan tersenyum lebar,
lesung pipi itu nampak semakin dalam
“Aku tau, jangan lelah. Aku bukan pasrah, semoga tuhan selalu menyertai kita Rizwan”
Rizwan memiringkan kepalanya, mencoba mencerna kata demi kata yang terasa janggal, ia
hanya berucapa Aamiin seraya memejamkan matanya, ketakutan seakan kembali
menyerang, ia sangat takut kehilangan.
“Rizwan... Nak tunggu” teriak Bik Yati setengah berlari menghampiri Rizwan
“Iya bik?” tanya Rizwan, ia memberikan Rizwan sebuah amplop berwarwarna merah muda
buku ensiklopedia.
“Ini dari Nilam, sebenarnya surat ini dari semalam bibik pegang. Hanya saja kita baru
ketemu sekarang. Kalau begitu bibik pergi dulu yaa nak Rizwan” ucap nya seraya berlalu
tapa dosa meninggalkan sesosok manusia yang membisu dan dipenuhi tanda tanya, ini apa?
Rizwan kembali berjalan niatnya menguap begitu saja setelah mendapat surat
tersebut, ia melalu jalan setapak menuju padang sabana, sungguh ia butuh ketenangan. Surat
yang ia pegang serasa sangat berat, tidak ada lambaian suka cita, hawa dingin serasa
menyergapnya, ia tak tahan dan mulai berlari. Ilalang panjang bergoyang lembut,
menyambut kedatangan Rizwan seorang. Pemuda itu lalu duduk disebuah dataran yang agak
tinggi seperti dulu saat ia mengucapkan perpisahan untuk kembali merengkuh ilmu. Rizwan
menarik nafas panjang karna pasokan udara yang dirasa semakin hilang entah kemana.
Tangannya bergetar mulai membuka surat itu
Diriku yang bisu mendadak semakin pilu ketika takdir memutus rasa ini secara
Rizwan... seharusnya kita tak membiarkan rasa ini berkembang lebih dari
sebatas hamba kepada tuan. Karna sungguh membunuh rasa yang sudah
menjerat nyawa sama saja dengan tiada. Namun kurasa ini belum terlambat,
benar kata Ayahmu, embun yang bening tak pantas bersanding dengan genangan
keruh sepertiku. Aku bisa saja mencemarimu, tapi aku tidak mau itu. Kau
mungkin bisa saja menantang dunia untuk ku, kau mungkin bisa saja menentang
Rizwan.. aku sangat mencintaimu, kau adalah satu-satunya kau istimewa. Aku
bahagiamu.
Tertanda
Nilam
Surat dari Nilam itu sekali lagi membuat tubuh Rizwan bergetar. Ia memegang
dadanya, karna sesak yang teramat sangat di ulu hatinya. Berkali-kali ia menarik nafas
panjang untuk mengupulkan udara namun yang ia dapat hanya pengkhianatan yang tak
kunjung memuaskan. Kesedihan dan air mata terasa sudah membanjiri dan memenuhi paru-
parunya dan di detik berikutnya Rizwan ambruk ke tanah, ia mencengkram kertas itu,
matanya nyalang dengan air mata yang terus mengalir dengan deras. Sungguh tak disangka,
perginya Nilam bisa membuat Rizwan lemah tak berdaya. Kasih yang selama ini menjadi
alasan kenapa Rizwan semakin bersemangat untuk hidup telah hilang, berganti dengan
alasan sirna yang tiba-tiba menyerang. Rizwan memandang jauh memanggil nama kasihnya
yang telah pergi entah kemana
“Nilam.... hanya kau yang pantas untukku Nilam..” teriakan pilu itu menggema memenuhi
padang sabana, ilalang tak lagi bergoyang, ia merunduk sendu seakan turut merasa bahwa
prahara cinta dahsyat adanya. Edelweis yang menjadi lambang cintanya pun sudah tak lagi
bersisa bertebaran entah kemana, yang pasti bunga abadi itu terlihat bagai jejak Rizwan
menuju padang.
Rizwan membuka buku itu dan ia semakin pilu, ia mengingat kembali kenangan saat awal
jumpa, ia memandang nanar ke depan, masih jelas dalam ingatan ketika ia berlarian dibawah
lengkungan pelangi, saling menguatkan ketika Rizwan berpamitan untuk pergi.
“Kau akan kembali kan Nilam? Kau pasti kembali” Rizwan berucap lirih, ia gontai berjalan
menuju arah pulang, menyeka air mata dan mencoba merapal doa untuk menguatkan
dirinya. Sungguh ini adalah hari yang paling menyiksa
Surya bertengger di tahtanya menegaskan posisi yang tak sudi ia bagi dengan awan
yang sedari tadi menjatuhkan rintik kecilnya. Seorang gadis berparas manis sedang
bersandar melihat lalu lalang kota besar yang masih asing ia pandang. Sesekali air matanya
mengalir, ia rindu kampung halamannya, ia rindu bermanja dengan bukunya, terlebih lagi ia
rindu Rizwan. Namun setiap rindu itu berlahan berubah menjadi pilu, ia tak akan pernah
melupakan kejadian hari itu, hari dimana Pak Ruli datang ke rumah dan berbicara
kepadanya. Jangan salah sangka, Pak Ruli tidak memaki-maki layaknya antagonis di film
drama, ia berbicara alasan kenapa dia tidak merelakan anaknya bersama Nilam. Nilam
sedikit mengerti karna ia ingat dengan temannya dulu, dimana temannya menangis setengah
mati karna kucing peranakan persia hasil pemberian kakaknya yang bekerja sebagai asisten
rumah tangga di jakarta dihamili kucing kampung milik tetangganya. Perkara kucing saja
sudah seperti itu apalagi hubungan dengan anak manusia? Namun cara dengan mematahkan
mental seperti itu juga tidaklah dibenarkan, untung saja Pak Ruli berhadapan dengan Nilam
yang tidak mudah merela ketika direndahkan dan mengganggap itu sebagai tantangan,
sebuah jawaban atas pernyataan kepantasan yang dilontarkan Pak Ruli dengan agkuh dan
hanya di respon dengan seringaian penuh arti dari seorang Nilam. Namun Kuasa tak pernah
tidak mendengar resah hamba-Nya, dan itu semua dibuktikan Nilam. Tepat di titik terendah
ketika ia mencari jalan kebahagiaan, pertolongan datang dalam bentuk Bibi yang pernah
hilang, ia memberi kabar tentang keberadaanya di Kota. Ia ingin mengajak Nilam dan
Khairul bersamanya, mengingat selama ini merekalah yang menemani anaknya Rani.
Awalnya Nilam merasa bimbang tentang kepergiannya, namun datangnya Pak Ruli tentu
harus dibalas dengan kepantasan bukan? Maka dari itu Nilam menerima tawaran Bibinya
denga segala resiko dan rasa besalah yang akan terus menginatkannya dengan janji yang
dilanggar demi mewujudkan janji lain yang lebih besar. Nilam akan mencoba
peruntungannya dengan takdir. Ia memilih berjuang menolak hina.
“Semoga Tuhan selalu menyertai jalan kita Rizwan, aku akan selalu rindu” ucap Nilam
Pelan, sambil mendekap surat kasihnya dalam-dalam.