Incident Command System
Incident Command System
prinsip penanggulangan insiden atau bencana yang efektif dan efisien dalam sistem komando,
koordinasi, komunikasi dan pengelolaan sumberdaya penanggulangan keadaan darurat.1
ICS adalah model perangkat untuk komando, pengendalian dan koordinasi tindakan
penanggulangan dan mengkoordinir usaha-usaha yang dilakukan pihak-pihak yang terkait untuk
mencapai tujuan menstabilkan insiden dan melindungi jiwa, harta benda, dan lingkungan hidup.
ICS dapat digunakan untuk menanggulangi semua jenis keadaan darurat mulai dari kecelakaan
tunggal kendaraan bermotor sampai pada kecelakaan/bencana alam skala besar yang memerlukan
keterlibatan dan kerjasama berbagai pihak baik di internal perusahaan maupun dari luar perusahaan
seperti instansi pemerintahan yang terkait.
Ada beberapa komponen utama yang membangun struktur ICS yang dapat memastikan
penggunaan sumberdaya secara cepat dan efektif serta meminimalkan gangguan pada
kebijakan dan prosedur operasional normal dalam organisasi penanggulangan. Konsep dan
prinsip-prinsip ICS sudah teruji dan terbukti dari waktu ke waktu baik di industri maupun di
instansi penanggulangan keadaan darurat pada semua level pemerintahan. Struktur-struktur
ICS tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:
Penggunaan istilah-istilah yang baku (common terminology)
Organisasi bersifat modular (a modular organization)
Sistem komunikasi yang terpadu (integrated communication)
Satu komando (unity of command)
Struktur komando yang disatukan (a unified command structure)
Rencana tindakan penanggulangan insiden gabungan (consolidated incident action
plans/IAP)
Rentang kendali yang dapat dikelola (a manageable span of control)
Penetapan fasilitas penanggulangan insiden (designated incident facilities)
Pengelolaan sumberdaya yang komprehensif (comprehensive resource management)
Semua prinsip-prinsip tersebut di atas harus digunakan untuk semua jenis dan skala insiden,
baik insiden skala kecil maupun besar. Penggunaan pendekatan ICS ini sangat penting bagi
semua personil yang terlibat dalam operasi penanggulangan insiden.
Penggunaan Istilah yang Baku (Common Terminology)
Penggunaan istilah-istilah yang sudah baku dan dikenal luas dalam pengelolaan suatu
keadaan darurat merupakan hal yang sangat penting, terutama pada saat operasi
penanggulangan keadaan darurat melibatkan berbagai instansi atau fungsi yang berbeda. ICS
1
National Incident Management System (NIMS) yang di publikasikan oleh Federal Emergency Management
Agency (FEMA) Amerika Serikat yang berkedudukan di Washington DC, yang didapatkan dari situsnya
menggunakan istilah-istilah yang sudah baku dan ditetapkan sebelumnya seperti sebagai
berikut:
Nama untuk insiden atau keadaan darurat yang sedang ditangani, umpamanya Gempa
dan Tsunami Aceh dan Sumatera Utara, Kebakaran di Jalan A, dsb.
Fasilitas penanggulangan keadaan darurat (Incident facilities) seperti : Incident
Command Post (ICP), Staging Area, Base, Camp, dsb.
Jabatan dalam organisasi penanggulangan keadaan darurat seperti Incident
Commander, Section Chief, Branch Director, Unit Leader, Supervisor, dan lain-lain.
Fungsi dalam organisasi penanggulangan keadaan darurat seperti Command Staff,
General Staff, Planning Section, Operations Section, Logistic Section,
Finance/Administration Section, Task Force, dsb.
Suatu sistem yang menggunakan rencana komunikasi yang baku, prosedur operasi baku
(SOP), frekuensi radio komunikasi yang baku, dan istilah-istilah yang juga baku. Beberapa
jaringan komunikasi mungkin juga diperlukan tergantung pada skala dan kompleksitas dari
insiden.
Ini adalah suatu konsep dimana setiap orang dalam organisasi penanggulangan insiden hanya
melapor kepada satu orang pimpinan yang ditunjuk.
Semua instansi atau pihak yang memiliki tanggung jawab terhadap insiden, baik secara
geografi ataupun fungsional melakukan usaha pengelolaan insiden dengan menyusun
strategi-strategi dan objektif-objektif yang sama dalam penanggulangan insiden. Unified of
command tidak berarti kehilangan atau memberikan otoritas, tanggung jawab, atau
akuntabiliti pada pihak-pihak yang terlibat. Konsepnya adalah semua pihak yang terlibat
berkontribusi terhadap proses komando dengan:
IAP harus mencakup beberapa objektif dan aktivitas-aktivitas pendukung yang diperlukan
selama jangka waktu (periode) operasi penanggulangan (operational period). Meskipun
boleh tidak tertulis, IAP yang tertulis lebih disukai karena dapat menggambarkan tanggung
jawab yang jelas dan dapat didokumentasikan. IAP juga memuat pengukuran terhadap tujuan
dan objektif yang harus dicapai dan dibuat untuk jangka waktu operasi penanggulangan
tertentu. Operational period bisa bervariasi lamanya dan sebaiknya tidak boleh lebih dari 24
jam tergantung pada kompleksitas dan skala dari insiden. Biasanya operational period untuk
insiden berskala besar adalah 12 jam.
Didefinisikan sebagai jumlah personil untuk satu supervisor yang dapat dikelola dengan
efektif. Dalam ICS, rentang kendali untuk setiap supervisor adalah antara 3 dan 7 orang,
dengan jumlah optimum 5 orang. Bila dalam prakteknya jumlah yang harus dibawahi lebih
dari tujuh atau kurang dari 3 maka Incident Commander akan melakukan pengkajian ulang
terhadap struktur organisasi dan melakukan penyesuaian yang diperlukan.
Dalam ICS, pada umumnya ada dua designated incident facilities yang utama dan ada
beberapa tambahan bila diperlukan. Incident facilities tersebut adalah sebagai berikut:
Semua sumberdaya yang ada dikelompokkan dalam status kondisi sebagai berikut:
Setiap perubahan pada lokasi dan status sumberdaya harus dilaporkan segera pada Resource
Unit oleh orang yang melakukan perubahan tersebut. Setiap personil harus melapor (chek in)
segera begitu sampai di lokasi kejadian/insiden. Mereka akan dimasukkan dalam daftar
sumberdaya untuk pendataan. Bila personil tidak diperlukan lagi untuk operasi
penanggulangan insiden, mereka harus melapor kembali (check out) sehingga mereka akan
dikeluarkan dari daftar sumberdaya.
Organisasi ICS
Sebagaimana kita ketahui hampir tidak ada insiden yang dapat ditangani sendiri oleh satu
instansi atau fungsi saja. Setiap orang harus bekerja sama untuk mengelola suatu keadaan
darurat.
Untuk mengkoordinir penggunaan sumberdaya yang tersedia secara efektif, diperlukan suatu
struktur manajemen formal yang membantu konsistensi, mendorong efisiensi dan
memberikan arahan selama operasi penanggulangan insiden.
Sruktur organisasi ICS dibangun dengan lima komponen utama sebagai berikut
Kelima komponen utama ini merupakan fondasi dari organisasi ICS dan digunakan dalam
pengelolaan dan penanggulangan keadaan darurat. Untuk insiden skala kecil semua
komponen ini mungkin hanya dikelola oleh satu orang saja yakni Incident Commander.
Untuk insiden berskala besar semua fungsi (section) ini biasanya diperlukan. Organisasi ini
dapat dikembangkan dan diciutkan sesuai dengan kebutuhan dalam penanggulangan insiden,
tetapi semua insiden berapapun ukurannya atau kompleksitasnya akan memiliki seorang
Incident Commander. Panduan dasar operasi ICS adalah bahwa Incident Commander
bertanggung jawab terhadap pengelolaan di tempat kejadian (on-scene) insiden sampai
otoritas komando diberikan kepada orang lain yang menjadi Incident Commander pengganti.
Kelima fungsi ini juga memiliki beberapa staff dan unit leader yang diperlukan untuk
menangani dan mengatasi berbagai masalah sbb:
Triase atau Triage adalah proses seleksi korban untuk menentukan prioritas penanganan berdasar
pada kriteria tertentu, sedang pananganan pra-rumah sakit adalah tahap penanganan yang dilakukan
sebelum korban mencapai rumah sakit. Bebeda dengan fase pra-rumah sakit yang mengutamakan
tindakan resusitasi dan stabilisasi, pada fase rumah sakit juga direncanakan penanganan sampai tahap
definitif. Ketiga proses tersebut, triase – penanganan pra-rs – penanganan intra rs, merupakan proses
yang berurutan, sehingga memerlukan kesamaan konsep dan koordinasi yang baik dari para
petugasnya.
Penanganan pra-rumah sakit meliputi penanganan di tempat kejadian dan selama transportasi.
Ditempat kejadian, pertolongan dimulai dari tindakan penyelamatan ( rescue ) dan evakuasi korban
dari tempat kejadian, misalnya gedung yang runtuh, yang umumnya dilakukan oleh petugas
penyelamat dan bukan oleh petugas medis. Setelah itu baru dilakukan proses triase oleh petugas
medis, sebelum dialkukan tindakan lebih lanjut. Jadi selain di rumah sakit, triase juga dilakukan
ditempat kejadian, sehingga diperlukan kerja sama yang baik antara petugas penyelamat dan
petugas medis.
Merupakan metode triase yang digunakan untuk korban / pasien individu. Disini proses triase
bisa diartikan menentukan priorotas penanganan beberapa problem yang ada pada seorang
individu sehingga dapat ditentukan problem mana yang akan di tangani lebih dahulu. Metode
ini bisa dilakukan pada pasien yang dating satu persatu ke Unit Gawat Darurat ataupun Pos /
Fasilitas Kesehatan di lapangan saat bencana.
2. Simple Triase and Rapid Treatment ( START ).
Metode ini dipergunakan dalam situasi dimana terdapat jumlah korban yang cukup banyak,
tetapi jumlah penolong masih mencukupi walaupun untuk itu harus ada kerja ekstra. Disini
seorang pimpinan triase selain menentukan prioritas juga melakukan tindakan sederhana yang
secara cepat, yang dapat merubah status korban dari kelompok Merah menjadi kelompok
Kuning. Contoh: pada seorang korban dengan cidera kepala berat dan gangguan jalan nafas
akibat posisi kepala yang kurang pas, dilakukan perbaikan posisi kepala dan pemasangan oro-
pharyngeal airway sehingga gangguan jalan nafas bisa teratasi.
Pada keadaan dimana terdapat korban dalam jumlah yang sangat banyak, yang jauh
melampaui kapasitas penolong, maka harus dilakukan triase secara cepat dengan tujuan
menyelamatkan korban sebanyak-banyaknya. Untuk itu, pada triase dengan metode SAVE,
korban dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
a. Kelompok korban yang diperkirakan akan meninggal, apapun tindakan yang akan
diberikan.
b. Kelompok korban yang diperkirakan akan mampu bertahan hidup, apapun tindakan yang
akan diberikan ( termasuk tidak dilakukan pertolongan ).
c. Kelompok yang tidak termasuk dalam 2 kategori diatas, yang berarti korban pada
kelompok ini keselamatannya sangat tergantung pada intervensi yang akan diberikan.
Kelompok inilah yang harus mendapat prioritas penanganan. Selain dari metode diatas, masih
ada beberapa metode triase lainnya, yang secara umum mempunyai tujuan yang sama, yaitu
menentukan prioritas penanganan korban dengan tepat sehingga dapat diselamatkan korban
dalam jumlah sebanyak-banyaknya.
Penanganan fase pra-rumah sakit meliputi penanganan di tempat kejadian, dan penanganan
selama transportasi. Ditempat kejadian, pada masa awal situasi pada umumnya belum cukup
aman untuk petugas medis sehingga korban harus dipindahkan dahulu ketempat yang aman
sebelum dapat diberikan pertolongan medis. Tindakan penyelamatan dan pemindahan korban
ini umumnya dilakukan oleh petugas rescue yang memang sudah terlatih dan memiliki
kemampuan untuk tugas tersebut. Setelah korban sampai ketempat yang aman, dan dilakukan
triase, tindakan medis yang dilakukan pada dasarnya terbatas pada resusitasi dan stabilisasi
supaya penderita layak untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan yang sesuai, yang dapat
melakukan tindakan definitif.
Prinsip dari penanganan di rumah sakit bahwa pelayanan individu harus tetap dipertahankan
walaupu dalam keadaan yang tidak normal. Dirumah sakit sendiri penanganan medis dapat
berupa:Tindakan resusitasi, Tindakan penyelamatan jiwa, Tindakan untuk mencegah
komplikasi lebih lanjut ( damage controll surgery ), Tindakan definitif, Perawatan,
Pemulihan.