Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN

Kualitas pemahaman agama pada masyarakat antara lain tak dapat


dipisahkan dari penyelenggaraan pendidikan agama di lembaga pendidikan
formal. Tidak ada salahnya jika faktor ini dikaji secara berkelanjutan sebab
pendidikan agama diberikan pada semua jenjang pendidikan formal dari tingkat
dasar hingga perguruan tinggi. Kebijakan ini sudah berlangsung sejak beberapa
dasawarsa silam. Banyak kemajuan yang dicapai dibidang keagamaan setelah
kebijakan pelaksanaan pendidikan agama itu diterapkan oleh pemerintah.

Di kurun waktu 1970-an umat beragama baru saja melewati masa-masa


kritis-tertekanan yang sangat mencekam setelah sebelumnya berhadapan dengan
gerakan kaum komunis yang anti-Tuhan dan anti-agama. Pada saat itu banyak
pemuka agama di sejumlah daerah sering mendapat teror dari orang-orang yang
anti-agama. Bahkan ada di antara pemuka agama yang menjadi korban
pembunuhan gerakan kaum komunis-ateis. Rasa lega mereka alami setelah bangsa
ini berhasil menumpas pemberontak G30S/PKI yang terjadi pada tahun 1965.
Menyusul peristiwa tragis ini, pada penghujung tahun 1960-an pemerintah
mengangkat guru agama dalam jumlah yang memadai karena kebutuhan yang
dirasakan mendesak pada masa itu.

Jika agama mempunyai tujuan utama yang luhur, maka demikian pula
dengan tujuan pendidikan agama. Pendidikan Islam misalnya didefinisikan
sebagai " proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan
pengetahuan, dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk
beramal di dunia dan meraih hasilnya di akhirat." Dengan demikian,
penyelenggaraan pendidikan agama tidak lain merupakan upaya yang terencana
untuk menyampaikan pesan-pesan agama kepada para peserta didik agar dapat
dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari guna mencapai tujuan
seperti yang dikehendaki oleh agama. Tujuan pendidikan agama dapat
dirumuskan dengan formulasi yang beragam. Tetapi intinya ialah untuk

1
mengangkat harkat dan martabat hidup manusia berdasarkan nilai-nilai agama.
Tujuan itu jelas, bersifat pasti dan tetap.

Pendidikan agama, secara konseptual dan secara operasional, diharapkan


dapat merespons kompleksitas masalah-masalah sosial yang berkembang dan
menonjol pada setiap zaman. Pada masa lalu, umat beragama sering dilanda
pertikaian internal karena beberapa masalah kontraversi penafsiran agama dan
perbedaan paham keagamaan. Meskipun ketegangan semacam itu kadang-kadang
masih mencuat dan muncul ke permukaan, namun dinamika intensitasnya
mengalami penurunan yang tajam. Umat menjadi semakin dewasa dan semakin
matang dalam berpikir atau semakin cerdas memandang berbagai masalah
khilafiah furu'iyah. Dewasa ini, ada pemikiran serius dan upaya strategis yang
lebih intens dari berbagai kalangan untuk mengkaji pendidikan agama dalam
kaitannya dengan pengembangan semangat pluralisme dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di negeri kita.

Titik tekan utamanya adalah pada penerapan ide pluralisme yang


dikembangkan sejalan dengan denyut ruh ajaran agama, semangat
kesukubangsaan, dan semangat kebudayaan. Ini adalah sesuatu yang positif dan
konstruktif. Dikatakan demikian, karena dari aspek normatif, agama memberi
sejumlah pedoman dasar untuk mmenyikapi kemajemukan semacam itu.

Pendidik agama dan pendidikan multikultural merupakan tanggung jawab


kita bersama sebagai suatu bangsa. Segenap umat beragama diharapkan
mengambil bagian aktif dalam upaya menggapai idealisme luhur ini. Pola
pemahaman agama yang kontekstula, manusiawi dan cerdas, pendekatan dialogis-
inklusif-humanis perlu dikembangkan dalam membina hubungan antaragama dan
hubungan lintas budaya di Tanah Air kita. Disinilah pentingnya pendidikan
multikultural dalam seluruh tatanan kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan
kita. Melalui pendidikan multikultural ini sikap menerima dan saling menghargai
antaretnis, antar umat beragama, dan antarbudaya terus kita pupuk dan
kembangkan dalma mewujudkan kesatuan dalam keragaman atau keragaman
dalam kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di
seluruh wilayah Indonesia tercinta ini. Dengan cara ini, korelasi positif

2
nasionalisme, konstitusionalisme, dan multikulturalisme akan terus tumbuh dan
berkembang subur di Tanah Air kita.1

1
Faisal ismail,(2012) Republik Bhinneka tunggal ika, Jakarta;Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, hal 43-46

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendidikan dan keragaman budaya dalam doktrin agama islam

Dalam kajian khazanah pemikiran pendidikan, diketahui tentang dua istilah


penting yang hampir sama bentuknya dan sering digunakan dalam dunia
pendidikan. Dua istilah peting tersebut adalah “pedagogi” dan “pedagogik”.
Pedagogi berarti pendidikan, sedangkan pedagogik berarti ilmu pendidikan.
Pedagogik atau ilmu pendidikan berarti ilmu yang menyelidiki dan merenungkan
tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani
“pedagogia” yang berarti pergaulan dengan anak-anak. Istilah yang masyhur pada
waktu itu adalah “pedagogos” yang berarti seorang pelayan (bujang) pada zaman
Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak ke dan
dari sekolah. Paedagogos berasal dari kata “paedos” yang berarti anak, dan
“agoge” yang berarti saya membimbing atau memimpin. Perkataan pedagogos
yang pada mulanya berarti pelayan, lalu berubah menjadi pekerjaan mulia.
Karena, kata pedagog (dari pedagogos) berarti seorang yang tugasnya
membimbing anak dalam pertumbuhannya kearah kemandirian dan sikap
bertanggung jawab.

Secara sederhana dan umum, pendidikan bermakna sebagai usaha untuk


menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan, baik jasmani
maupun rohani, sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan
kebudayaan. Bagi kehidupan umat manusia, pendidikan merupakan kebutuhan
mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan, mustahil suatu
kelompok manusia dapat hidup dan berkembang sejalan dengan aspirasi (Cita-
cita) untuk maju, sejahtera, dan bahagia menurut konsep pandangan hidup
mereka.2

Beberapa definisi tentang pendidikan dari para pakar pendidikan tersebut,


yang perlu kita ketahui diantaranya adalah definisi yang disampaikan oleh Prof.
Langeveld. Pakar pendidikan dari Belanda ini mengemukakan, bahwa pendidikan

2
Choirul mahfud,(2013), Pendidikan Multikultural, Yogyakarta;Pustaka Pelajar, hal 31-32

4
ialah suatu bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum
dewasa untuk mencapai tujuan, yaitu kedewasaan. Selain itu, definisi pendidikan
juga dikemukakan oleh Ki hajar dewantara dalam kongres Taman Siswa yang
pertama pada 1930 ia menyebutkan, bahwa pendidikan umumnya berarti daya
upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter),
pikiran, dan tubuh anak. Dalam taman siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-
bagian itu agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan
pengidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya.3

Agama dalam pengertian ‘Addien” sumbernya adalah wahyu dari tuhan.


Sedang kebudayaan sumbernya dari manusia. Jadi agama tidak dapat dimasukkan
ke dalam lingkungan kebudayaan selama manusia berpendapat bahwa tuhan tak
dapat dimasukkan ke dalam hasil cipta manusia. Orang-orang atheis umumnya
beranggapan bahwa tuhan adalah ciptaan manusia yg timbul dari perasaan
takutnya. Semuanya bersumber pada materi, jadi tuhan juga hasil perkembangan
perpautan materi materi akal manusia. Oleh golongan ini agama dipandang
sebagai cabang kebudayaan, karena agama merupakan cara berpikir dan merasa
dalam kehidupan : suatu kesatuan sosial mengenai hubungan dengan yang maha
kuasa. Agama ini dapat di istilahkan dengan : “agama budaya”, seperti misalnya :
animism, dinamisme, naturalisme (serba alam), spiritualisme (serba arwah),
agama kong hucu, agama sinto, bahkan agama hindu dan Budha termasuk juga
dalam kategori ini.

Agama bukanlah produk dari manusia, tidak berasal dari manusia, tetapi
dari Tuhan. Tuhan mengutus rasul untuk menyampaikan agama kepada umat.
Dengan perantaraan malaikat, Tuhan mewahyukan firman-firmannya di dalam
kitab suci kepada pesuruhnya. Isi kitab suci itu berasal dari Tuhan, disampaikan
oleh Malaikat, diucapkan oleh rasul, sehingga dapat ditangkap, diketahui,
dipahami, dan selanjutnya diamalkan oleh umat.4

Seorang ahli sejarah dan kebudayaan dunia barat bernama Prof. H.A Gibb
dalam bukunya :”Wither Islam”: “Islam is indeed much more than a system of

3
Choirul mahfud,(2013), Pendidikan Multikultural, Yogyakarta;Pustaka Pelajar, hal 33
4
Joko Tri Prasetya,(2011), Ilmu Budaya Dasar, Jakarta; PT. RINEKA CIPTA, hal 47

5
theology. It is complete civilization” (islam adalah lebih daripada suatu cara-cara
peribadatan saja, tetapi merupakan suatu kebudayaan dan peradaban yang
lengkap). Kelebihan islam dari agama agama lain, bahwa islam memberikan dasar
yang lengkap bagi kebudayaan dan peradaban.

Untuk memberikan gambaran bahwa Islami agama yang lengkap sebagai


dasar sumber kebudayaan dapatlah dibuktikan bahwa isi Al-Quran itu meliputi
segala persoalan hidup dan kehidupan di antaranaya :

1. Dasar-dasar kepercayaan dan ideologi


2. Hikmah dan filsafat
3. Budi pekerti, kesenian, dan kesusateraan
4. Sejarah umat dan biografi Nabi-nabi
5. Undang-udang masyarakat
6. Kenegaraan dan pemerintahan
7. Kemiliteran dan undang undang perang
8. Hukum perdata (mu’amalat)
9. Hukum pidana (jinayat)
10. Undang-undang alam dan tabiat

Mengenai kebudayaan, bangsa-bangsa mana lebih tinggi, tidak ada


perbedaan dalam islam. Bagi islam ketinggian itu ditentukan di dalam takwnaya
kepada Tuhan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran yang artinya:”
Wahai manusia, sesungguhnya kami menjadikan kamu laki-laki dan perempuan.
Dan kami menjadikan kamu laki-laki dan perempuan. Dan kami jadikan kamu
bergolong-golong (bersuku-suku) agar supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu ialah yang paling taqwa kepada
Tuhan”. (Q.S hujurat : 13) ini contoh multicultural.. bukan konsep.

Menurut Yosselin de yong : Pengaruh Islam terhadap Indonesia bersifat


penetration pasifique dan tolerante et constructive (damai dan membangun). Jadi
tidak hanya damai dan mendorong saja tetapi juga membangun. Seperti pengaruh-
pengaruh agama Islam dalam perkawinan, warisan, hak-hak wanita dan lain-lain.5

5
Joko Tri Prasetya,(2011), Ilmu Budaya Dasar, Jakarta; PT. RINEKA CIPTA, hal 48-49

6
B. Pendidikan multikultural

Sebagai wacana baru, pengertian pendidikan multikultural sesungguhnya


hingga saat ini belum begitu jelas dan masih banyak pakar pendidikan yang
memperdebatkannya. Namun demikian, bukan berarti bahwa definisi pendidikan
multikultural tidak ada atau tidak jelas. Sebetulnya sama dengan definisi
pendidikan yang penuh penafsiran antara satu pakar dengan pakar lainnya di
dalam menguraikan makna pendidikan itu sendiri. Hal ini terjadi pada penafsiran
tentang arti pendidikan multikultural.

Meminjam pendapat Andersen dan Cusher (1994; 320), bahwa pendidikan


multicultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman
kebudayaan. Kemudian, James Banks (1993;3) mendefinisikan pendidikan
multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan
multicultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah
tuhan) kemudian, bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan
penuh toleran semangat egaliter.

Muhaemin el Ma’hady berpendapat, bahwa secara sederhana pendidikan


multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang kekeragaman
kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan cultural lingkungan
masyarkat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (global).6

Dalam bukunya Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking


Contest, Process, and Content. Hilda Hernandez mengartikan pendidikan
multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan
ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia
yang kompleks dan beragam secara kultur, dan pengecualian-pengecualian dalam
proses pendidikan.7

Indonesia adalah suatu Negara multicultural yang memiliki keragaman


budaya, ras, suku, agama dan golongan yang kesemuanya merupakan kekayaan
tak ternilai yang dimiliki bangsa Indonesia. Selo Soemardjan (Alfian, 1991: 173)
6
Choirul mahfud,(2013), Pendidikan Multikultural, Yogyakarta;Pustaka Pelajar, hal 175-
176
7
Ibid .. hal 177

7
mengemukakan bahwa pada waktu disiapkannya Republik Indonesia yang
didasarkan atas Pancasila tampaknya para pemimpin kita menyadari realitas
bahwa ditanah air kita ada aneka ragam kebudayaan yang masing-masing
terwadahkan di dalam suatu suku. Realitas ini tidak dapat diabaikan dan secara
rasional harus diakui adanya.

Founding Father bangsa menyadari bahwa keragaman yang dimiliki bangsa


merupakan realitas yang harus dijaga eksistensinya dalam persatuan dan kesatuan
bangsa. Keragaman merupakan suatu kewajaran sejauh disadari dan dihayati
keberadaannya sebagai sesuatu yang harus disikapi dengan toleransi.
Kemajemukan ini tumbuh dan berkembang ratusan tahun lamanya sebagai
warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia. Hal ini terlihat dari keberagaman
yang dimiliki Indonesia sebagai bangsa yang unik dimana hanya beberapa
wilayah saja di dunia yang dianugrahi keistimewaan ini.

Telaah mengenai keberagaman sebuah bangsa kemudian dikenal dengan


konsep multikultural. Banyak ahli mengemukakan bahwa konsep multikultural
pada dasarnya merupakan konsep harmoni dalam keragaman budaya yang tumbuh
seiring dengan kesederajatan diantara budaya yang berbeda.Harmoni ini menuntut
setiap individu untuk memiliki penghargaan terhadap kebudayaan individu lain
yang hidup dalam komunitasnya. Dalam masyarakat multikultur, setiap individu
maupun masyarakat memiliki kebutuhan untuk diakui (politics of recognition)
yang menuntut terciptanya penghargaan tertentu secara sosial. Multikultural dapat
diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan
kebudayaan yang lain. Menurut Bhiku Parekh (dalam Azra 2006: 62) mengatakan
bahwa Masyarakat multicultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari
beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit
perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi
sosial, sejarah, adat serta kebiasaan.

Sejalan dengan pandangan tersebut, Musa Asy’arie (dalam Mahfud, 2005:


103) mengatakan Lestari dkk, Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah Multikultural

8
Indonesia di Tengah Kehidupan Sara bahwa “multikulturalisme adalah kearifan
untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam
kehidupan bermasyarakat”. Kearifan akan tumbuh jika seseorang membuka diri
untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural sebagai
kepastian hidup yang kodrati.Kearifan dapat tumbuh baik dalam kehidupan diri
sebagai individu yang multidimensional maupun dalam kehidupan masyarakat
yang lebih kompleks. Dengan demikian, muncul suatu kesadaran bahwa
keanekaragaman dalam realitas dinamika kehidupan adalah suatu keniscayaan
yang tidak bisa ditolak, diingkari, apalagi dimusnahkan. “Multikulturalisme
adalah landasan budaya yang terkait dengan pencapaian civility (keadaban), yang
amat esensial bagi terwujudnya demokrasi yang berkeadaban, dan keadaban yang
demokratis (Azra, 2004)”.8

C. Filosofis bangsa Bhinneka Tunggal Ika

Keberagaman budaya Indonesia dilengkapi oleh keragaman lain yang ada


pada tatanan hidup masyarakat baik perbedaan ras, agama, bahasa, dan golongan
politik yang terhimpun dalam suatu ideologi bersama yaitu Pancasila dan Bhineka
Tunggal Ika. Kansil dan C. Kansil (2006: 25) mengemukakan bahwa “persatuan
dikembangkan atas dasar Bhinneka Tunggal Ika, dengan memajukan pergaulan
demi kesatuan dan persatuan bangsa”. Sehingga Sasanti Bhineka Tunggal Ika
bukan hanya suatu selogan tetapi merupakan pemersatu bangsa Indonesia.
Keberagaman bangsa berlangsung selama berabad-abad lamanya, sehingga
Indonesia tumbuh dalam suatu keragaman yang komplek. Mahfud (2009:10)
berpandangan bahwa pada hakikatnya sejak awal para founding fathers bangsa
Indonesia telah menyadari akan keragaman bahasa, budaya, agama, suku dan etnis
kita. Singkatnya bangsa Indonesia adalah bangsa multikultural, maka bangsa
Indonesia menganut semangat Bhinneka Tunggal Ika, hal ini dimaksudkan untuk
mewujudkan persatuan yang menjadi obsesi rakyat kebanyakan. Kunci yang
sekaligus menjadi mediasi untuk mewujudkan citacita itu adalah toleransi.

8
Gina lestari, “Bhinneka Tunggal Ika:Khasanah multicultural Indonesia di tengah
Kehidupan Sara”, Jurnal Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan, Th 28, Nomor 1, Februari
2015, Hal 33

9
Bhinneka Tunggal Ika sebagai kunci dan pemersatu keragaman bangsa
Indonesia merupakan ciri persatuan bangsa Indonesia sebagai negara multikultur.
Sujanto (2009:28) memaparkan bahwa “lahirnya Sesanti Bhineka Tunggal Ika,
berangkat dari kesadaran adanya kemajemukan tersebut. Bahkan kesadaran perlu
adanya persatuan dari keragaman itu terkristalisasi kedalam ‘Soempah Pemoeda’
tahun 1928 dengan keIndonesiaannya yang sangat kokoh”. Untuk memahami
konsep Bhinneka Tunggal Ika yang tercetus pada Kongres Sumpah Pemuda,
penting kiranya penulis memaparkan konsep Bhinneka Tunggal Ika terlebih
dahulu. Sujanto (2009: 9) memaparkan bahwa Sesanti Bhineka Tunggal Ika,
Sesanti artinya kelimat bijak (wise-word) yang dipelihara dan digunakan sebagai
pedoman atau sumber kajian di masyarakat. Bhinneka Tunggal Ika adalah kalimat
(sesanti) yang tertulis dipita lambang negara Garuda Pancasila, yang berarti
berbagai keragaman etnis, agama, adatistiadat, bahasa daerah, budaya dan lainya
yang mewujud menjadi satu kesatuan tanah air, satu bangsa dan satu bahasa
Indonesia.9

Sebagai kalimat bijak, Bhinneka Tunggal Ika memiliki kekuatan besar untuk
mempersatukan perbedaan. Namun, hal ini harus didukung oleh kesadaran kita
sebagai masyarakat Indonesia yang mampu mewujudkan kalimat bijak tersebut
dalam bingkai kesatuan tanah air dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Dibagian pertama
modul Wasantara Lemhannas RI 2007 (Sujanto, 2009:1) menjelaskan bahwa:
“Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan pada lembaga negara Republik
Indoneisa yang ditetapkan berdasarkan PP No. 66 Tahun 1951 yang mengandung
arti walaupun berbeda-beda tetap satu”. Berkaitan dengan hal tersebut, Sujanto
(2009:9) memandang bahwa “bangunan wawasan ke-Indonesia-an adalah
perwujudan dari keinginan bersama untuk dapat mewujudkan kesatuan/ keesaan,
manunggalnya keberagaman menjadi satu-kesatuan yang disepakati yaitu
Indonesia”. Sumber asal Sesanti Bhinneka Tunggal Ika sebagai kalimat bijak

9
Gina lestari, “Bhinneka Tunggal Ika:Khasanah multicultural Indonesia di tengah
Kehidupan Sara”, Jurnal Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan, Th 28, Nomor 1, Februari
2015, Hal 35

10
diambil dari Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Empu Tantular pada abad keempat
belas.

Analisis historis di atas menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia telah


menyadari kemajemukan, multietnik dan multi-agamanya sejak dulu. Kesadaran
akan kebhinekaan ini kemudian dibangkitkan kembali pada masa perjuangan
kemerdekaan untuk menggali semangat persatuan bangsa Indonesia yang ketika
itu sedang menanggung penjajahan kolonial. Penjajahan kolonial memberikan
rasa senasib sepenanggungan akan keadaan bangsa yang penuh dengan
keterbelakangan.Muncul gagasan dan gerakan-gerakan perlawanan hingga
kongres Sumpah Pemuda pun terlaksana sebagai inisiatif pemuda Indonesia ketika
itu. “Sasanti Bhinneka Tunggal Ika yang tertulis pada lambang Negara Garuda
Pancasila, harus teraktualisasi ke dalam kehidupan nyata di masyarakat Indonesia
dengan lebih baik”.

Peristilahan Bhinneka Tunggl Ika dalam bahasa Jawa dapat dimaknai bahwa
walaupun kita berbeda-beda, memiliki latar belakang budaya yang berbeda,
berbeda ras, etnis, agama, budaya namun kita adalah saudara yang diikat oleh
kedekatan persaudaraan dengan rasa saling memiliki, menghargai, dan saling
menjaga. Dalam Bhinneka Tunggal Ika tersurat petuah bijak untuk bersatu dalam
keberagaman tanpa mempermasalahkan keberagaman, karena dalam keberagaman
ditemukan suatu nilai persatuan yang menyatukan semua perbedaan. Tarmizi
Taher (Syaefullah, 2007: 193)berpandangan bahwa semboyan Bhinneka Tunggal
Ika, memberikan pelajaran agar semua penduduk Indonesia menghayati diri
mereka sebagai suatu bangsa, satu tanah air, satu bahasa dan satu tujuan nasional
yaitu terciptanya sebuah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila
sebagai satu-satunya asas dan pedoman utama dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.

Kesadaran akan perbedaan harus disikapi seperti tubuh manusia yang ketika
salah satu bagiannya sakit yang lainnya akan ikut merasakan. Sebagaimana
dikemukakan oleh Richard Falk (dalam Kymlicka, 2002:183) yang memandang

11
bahwa “keragaman masyarakat meningkatkan mutu hidup, dengan memperkaya
pengalaman kita, memperluas sumber daya budaya”. Sejalan dengan hal tersebut,
“Bagi Bung Karno keragaman etnis masyarakat Indonesia adalah suatu given. Hal
ini bisa dimengerti karena ia sangat dipengaruhi oleh semangat Sumpah Pemuda,
yang dengan ikrar itu menyatakan persatuan masyarakat Indonesia” (G. Tan,
2008:44). Keragaman sebagai given (pemberian) yang dapat bermakna bahwa
keragaman merupakan rahmat yang diberikan Tuhan kepada bangsa Indonesia
untuk dijadikan sebagai modal yang oleh Falk dianggap sebagai sarana untuk
meningkatkan mutu hidup. Sujanto (2009:90) berpandangan bahwa Sasanti
Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna persaudaraan atau perseduluran harus
disosialisasikan kepada seluruh rakyat, melalui lembaga-lembaga yang sudah ada
seperti lembaga pemerintah, swasta, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga
keagamaan, lembaga kepemudaan, agar terbangun hidup yang rukun, damai,
aman, toleran, saling menghormati, bekerjasama dan bergotong-royongdalam
rangka persatuan dan kesatuan bangsa.10

10
Ibid… hal 36

12

Anda mungkin juga menyukai