Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
April 2014
ISSN 2089-7790
1Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB,
Jalan Lingkar Kampus IPB Dramaga (16680). *Email: apriadi.budi@gmail.com; 2Program Studi
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Jalan Lingkar Kampus IPB
Dramaga (16680); 3Pusat Penelitian, Promosi dan Kerjasama, Badan Informasi Geospasial (BIG), Jl. Raya
Jakarta - Bogor KM. 46 Cibinong (16911).
Abstract. The purpose of this study was to examine the economic value and the land area potential of mangrove for coastal
green belt in Pangpang Gulf, Muncar. The economic value of mangrove was analyzed using an effect on production (EOP)
and a suitability of coastal border region (green belt) methods. Results showed that consumer utility in mangrove area was
Rp33,187,626.12. There were about 350 fishermen with a catchment area of + 489 hectare and therefore the economic
value of this mangrove area was Rp32,189,744.06 per hectare per year. In addition, the potential areas for green belt were +
127,5 ha considered to be highly suitable, + 257 ha suitable, + 442,1 ha less suitable, and + 1,910,1 ha not suitable.
Keywords : Gulf of Pangpang; Economic value of mangroves; Coastal green belt; Rehabilitation.
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi ekonomi kawasan mangrove serta potensi luas
kawasan yang dapat dijadikan sebagai sempadan pantai. Adapun metode analisis yang digunakan yaitu nilai
ekonomi mangrove di bagian barat Teluk Pangpang dengan menggunakan metode effect on production (EOP)
dan kesesuaian kawasan sempadan pantai. Berdasarkan hasil kajian, diperoleh utilitas konsumen dari
kawasan mangrove adalah sebesar Rp.33.187.626,12. Dengan jumlah nelayan mangrove sekitar 350 orang
dan luas daerah penangkapan sekitar +489 Ha, maka nilai ekonomi sumberdaya kawasan mangrove dilihat
dari fungsi pemanfaatan langsung adalah sebesar Rp.32.189.744,06 per hektar per tahun. Sedangkan untuk
potensi kawasan yang dapat dijadikan sebagai kawasan sempadan pantai dari hasil perhitungan tumpang-
tindih (overlay) dapat dihasilkan wilayah yang termasuk dalam kategori sangat sesuai yaitu + 127,5 ha,
sedangkan sesuai luas + 257 Ha, dan kurang sesuai seluas + 442,1 ha dan tidak sesuai yaitu + 1.910,1 ha.
Kata kunci : Teluk Pangpang; Ekonomi mangrove; Sempadan pantai; Rehabilitasi.
Pendahuluan
Teluk Pangpang secara administrasi termasuk dalam wilayah Kabupaten Banyuwangi dan secara
geografis merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan perairan Selat Bali dan Samudera Hindia.
Wilayah pesisir ini memiliki potensi yang sangat besar baik dari segi ekosistem, nilai sosial maupun
ekonomi. Potensi ini mendorong adanya ekploitasi sumberdaya yang berlebihan sehingga dapat
mengancam kelestariannya. Diantara ancaman tersebut antara lain pembuangan limbah industri perikanan
tanpa pengolahan, limbah lahan tambak, jalur kapal nelayan, budidaya keramba jaring apung, deforestasi
hutan mangrove untuk lahan tambak maupun aktivitas pembangunan perkotaan. Besar kecilnya tekanan
lingkungan yang diterima oleh ekosistim mangrove sangat terkait dengan peran pemangku kepentingan
dalam distribusi ruang aktivitas manusia di wilayah pesisir dan laut untuk mencapai tujuan ekologi,
ekonomi dan sosial (Douvere dan Ehler, 2009).
Berdasarkan hasil citra Satelit Landsat, secara umum ekosistem mangrove di Kawasan Teluk
Pangang pada tahun 1989 seluas + 207,5 ha, kemudian menibgkat menjadi +282,8 ha pada tahun 2011.
Keberadaan mangrove memiliki peran penting sebagai habitat fauna, perlindungan fisik untuk garis pantai
dan spawning dan nursery ground bagi beerapa spesies ikan dan udang-udangan, selain itu juga berfungsi
sebagai sarana pengolahan air limbah alami, sehingga mencegah pencemaran pesisir (Biswas et al., 2008).
Namun pada kenyataanya, dari data peta penggunaan Tahun 2011 terlihat proporsi pemanfaatan lahan
36
Depik, 3(1):36-45
April 2014
ISSN 2089-7790
pesisir untuk tambak lebih dominan dibandingkan dengan pemanfaatan lahan untuk mangrove sebagai
kawasan konservasi.
Ancaman lainnya adalah deforestasi hutan mangrove untuk pengembangan lahan tambak,
terutama untuk tambak udang. Secara global, tambak udang telah meningkat secara eksponensial sejak
pertengahan tahun 1970-an karena siklus produksi pendek dan nilai-nilai produk yang tinggi (Bostock et
al., 2010). Salah satu akibatnya adalah limbah yang masuk kedalam ekosistem mangrove terlalu banyak dan
tidak dapat diproses untuk didaur ulang, dalam kondisi yang demikian akan mengurangi pertumbuhan atau
bahkan merangsang degradasi mangrove (Gilbert and Janssen., 1998), dampak negatifnya menyebabkan
dayadukung lingkungan menurun, hal ini akan menyebabkan produktivitas tambak stagnan dan bahkan
menurun sehingga dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat lokal, seperti yang terjadi di
Teluk Pangpang.
Mangrove berperan penting menjaga produktivitas perairan pesisir sekaligus mampu menunjang
kehidupan masyarakat lokal, untuk itu perlu ditetapkan sebagai kawasan lindung. Bila mengacu pada
Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, minimal 130 kali nilai
rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah
darat, ditetapkan sebagai kawasan lindung atau sempadan pantai. Namun di lain pihak, penetapan area
tersebut dapat berpotensi mengurangi lahan pertanian produktif bagi masyarakat. Oleh karena itu,
diperlukan suatu penelitian yang bertujuan menilai luasan sempadan pantai yang optimum dilihat dari
multidimensi sehingga keberadaannya dapat tetap bermanfaat dalam menjaga ekosistem pesisir dan juga
kepentingan pembangunan ekonomi. Maka upaya pengelolaan berbasis ekosistem dapat menjadi dasar
penataan ruang kawasan pesisir Teluk Pangpang sebagai respon dari interaksi sosial, ekonomi dan ekologi.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi ekonomi kawasan mangrove serta potensi
luas kawasan yang dapat dijadikan sebagai sempadan pantai.
Gambar 1. Peta wilayah studi dan lokasi stasiun pengambilan data di Teluk Pangpang
37
Depik, 3(1):36-45
April 2014
ISSN 2089-7790
Data primer
Data primer merupakan hasil pengamatan secara langsung kondisi kawasan pesisir Teluk
Pangpang. Pengambilan data primer diantaranya yaitu field chek hasil klasifikasi citra satelit terkait
perubahan pemanfaatan ruang. Data persepsi masyarakat dari pemangku kepentingan diperoleh melalui
wawancara dan kuisioner.
Analisis data
Valuasi ekonomi
Pendekatan produktivitas dalam penilaian ekonomi sumberdaya alam dilakukan dengan asumsi
bahwa sumberdaya alam dipandang sebagai input bagi suatu produk final yang bernilai bagi publik, dan
kapasitas produksi dari sumberdaya alam tersebut dinilai dari seberapa besar kontribusi sumberdaya alam
tersebut kepada produksi produk final (Grigalunas and Congar, 1995). Produk akhir tersebut merupakan
bagian dari produktivitas ekosistem mangrove, kaitannya dengan wilayah studi hasil produksi akhir
tersebut diantaranya kepiting, kerang dan udang, sedangkan untuk kegiatan eksploitasi mangrove sudah
lama ditinggalkan oleh masyarakat Muncar. Untuk menduga nilai ekonomi mangrove di bagian barat Teluk
Pangpang dengan menggunakan metode effect on production (EOP) Adrianto (2006), diperlukan langkah-
langkah sebagai berikut.
(a) Pendugaan fungsi permintaan
Q = 0 X1 1 X 2 …..Xn n ……………………...……………………...…. …………………………..(1)
Dimana, Q= Jumlah sumberdaya yang diminta, X1= Harga (Rp), X2= Umur Responden (tahun),
X3 = Lamanya Pendidikan (tahun), X4 = Jumlah tanggungan keluarga (orang), X5= Lama
menjadi nelayan di hutan mangrove (tahun), X6 = Pendapatan (Rp/tahun)
(b) Transformasi intersep baru fungsi permintaan
LnQ = 0 + 1LnX1 + 2LnX2 + …..+ nLnXn …………………………………………….………..(2)
LnQ=(( 0+ 2(LnX2)+…..+n(LnXn))+1LnX1 ……………………………………..………………(3)
LnQ= ’+1LnX1 ………………………………………………………….……………………….(4)
Transformasi fungsi permintaan ke fungsi permintaan asal
Q=’X1 ……………………………………………………………………………………………..(5)
(c) Menduga total kesediaan membayar
𝑎
𝑈= 𝑓 𝑄 𝑑(𝑄)………….………………………………………………………………….....(6)
Menduga 0konsumen surplus
CS = U – b2 ………………………………………………………………..........................................(7)
NET = CS x Q ……………………………………………………………………………………(8)
Dimana, CS = Konsumen surplus individu, b2 = Harga yang dibayarkan, Q= Jumlah sumber
daya keseluruhan atau populasi, NET = Konsumen surplus populasi.
38
Depik, 3(1):36-45
April 2014
ISSN 2089-7790
Tabel 1. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan mangrove (Bakosurtanal, 1996 dalam Asbar, 2007)
S1 S2 S3 N
Parameter Bobot Skor Skor Skor Skor
(SS) (CS) (SB) (TS)
Berdasarkan pembobotan dan skor pada setiap parameter diatas, maka dapat ditentukan kreteria
kesesuaian dengan rumus Sturges nilai kelas kesesuaian lahan untuk kawasan lindung setempat, yaitu:
Sangat sesuai (S1) = 326 - 400
Sesuai (S2) = 251 - 325
Sesuai bersyarat (S3) = 176 - 250
Tidak sesuai (N) = 100 - 175
Dengan diketahuinya luasan kawasan sempadan pantai dengan pendekatan parameter yang
dikembangkan oleh Bakosurtanal menjadi sebuah pembanding dengan luasan kawasan yang didapat dari
fungsi ekologi hutan mangrove sebagai Mangrove Green Belt Area (MGB).
39
Depik, 3(1):36-45
April 2014
ISSN 2089-7790
Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa perubahan luasan mangrove sangat dinamis, dari tiga desa
yang diteliti, Desa Wringinputih memiliki rata-rata perubahan paling tinggi yaitu 30 ha/tahun dengan
luasan mencapai +104 ha pada Tahun 1989, dan berkembang menjadi +226 ha pada Tahun 2011.
Sedangkan dua desa lainnya yaitu Desa Kedungrejo dan Desa Kedungringin memiliki kecenderungan
menurun. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa peningkatan luasan hutan mangrove ini
dipengaruhi oleh adanya kegiatan rehabilitasi, kegiatan rehabilitasi ini tergolong berhasil di Desa
Wringinputih, namun pada desa lainnya kurang memuaskan.
40
Depik, 3(1):36-45
April 2014
ISSN 2089-7790
Dimana, WTP = Konstanta; I=Pendapatan; E=Tingkat pendidikan; A=Umur; Q=Kualitas lingkungan (digunakan
hasil tangkapan).
41
Depik, 3(1):36-45
April 2014
ISSN 2089-7790
42
Depik, 3(1):36-45
April 2014
ISSN 2089-7790
Gambar 4. Peta kesesuaian kawasan sempadan pantai untuk yang dapat dimanfaatkan
untuk hutan mangrove
Tabel 2. Kelas kesesuaian lahan kawasan sempadan pantai yang dapat dimanfaatkan untuk hutan
mangrove berdasarkan desa
Desa Kelas Kesesuaian Ha
Kendungrejo Sesuai 32,8
Kurang Sesuai 50,7
Tidak Sesuai 453,5
Sub Total 537
Kedungringin Sangat Sesuai 1,6
Sesuai 17
Kurang Sesuai 10,7
Tidak Sesuai 349,4
Sub Total 378
Wringinputih Sangat Sesuai 125,9
Sesuai 207,2
Kurang Sesuai 380,7
Tidak Sesuai 1.107,2
Sub Total 1.784
43
Depik, 3(1):36-45
April 2014
ISSN 2089-7790
Secara keseluruhan area sempadan yang dihasilkan yaitu sekitar 175,64 ha, terbagi menjadi area
sempadan hijau fungsi vegetasi mangrove yaitu +128,64 ha dan area sempadan non-hijau untuk fungsi
terbatas lainnya yaitu + 46,99 ha. Bila difokuskan (clip area) pada area yang dianjurkan untuk kawasan
sempadan, maka dominasi pemanfaatan lahannya sebagai berikut; hutan mangrove dengan luas + 63,66
ha, tambak tradisional dengan luas + 80,77 ha, lahan terbangun dengan luas + 29,08 ha, tambak silvofishery
dengan luas + 1,59 ha, ladang dengan luas + 0,44 ha dan kebun dengan luas + 0,09 ha. Dari proporsi
pemanfaatan lahan tersebut dapat disimpulkan, terdapat area yang berpotensi untuk dijadikan kembali
kawasan hijau yaitu seluas + 81,3 ha yang terdiri dari jenis pemanfaatan tambak tradisional di Wringinputih
dan Kedungringin, jenis pemanfaatan ladang di Kedungringin dan jenis pemanfaatan kebun di
Wringinputih. Sedangkan untuk jenis pemanfaatan lahan terbangun yang ada di Kedungrejo, Kedungringin
maupun Wringinputih sangat sulit untuk dikembalikan menjadi lahan sempadan, namun kondisi area ini
sifatnya tidak dapat ditambah lagi luasannya.
Tabel 3. Pemanfaatan lahan yang telah ada pada area sempadan pantai
No. Desa Jenis Pemanfaatan Ha Keterangan
1. Kedungrejo Lahan terbangun 23,56 Tidak sesuai
2. Kedungringin Mangrove 0,005 Sesuai
Lahan terbangun 4,47 Tidak sesuai
Ladang 0,44 Tidak sesuai
Tambak tradisional 1,95 Tidak sesuai
3. Wringinputih Lahan terbangun 1,06 Tidak sesuai
Tambak tradisional 78,82 Tidak sesuai
Tambak silvofishery 1,59 Sesuai
Mangrove 63,66 Sesuai
Kebun 0,09 Tidak sesuai
Jumlah 175,6
Kesimpulan
Dugaan nilai rata-rata WTP responden untuk manfaat keberadaan mangrove yaitu sebesar
Rp.83.026. dengan total keuntungan (total benefit) sebesar 4,17 Milyar sebelum didiskon untuk mengetahui
aliran nilai multiyear. Berdasarkan perhitungan pendugaan fungsi permintaan, hanya variabel lama menjadi
nelayan di hutan mangrove (X5) yang memiliki hubungan positif dengan jumlah hasil tangkap (kg/tahun).
Nilai ekonomi dari pemanfaatan langsung adalah sebesar Rp.32.189.744,06 per hektar per tahun dan nilai
rata-rata permintaan konsumen (pemanfaat mangrove) sebanyak 1.247,47 kg/tahun. Luasan area yang
dapat dimanfaatkan untuk sempadan pantai +174,49 ha, dan lahan sempadan pantai tersebut berpotensi
untuk dijadikan kembali kawasan hijau dan kegiatan perikanan budidaya (Silvofishery) sesuai dengan amanat
Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 28/MEN/2004 yaitu +81,3 Ha.
Daftar Pustaka
Adrianto, L. 2006. Pengantar penilaian ekonomi sumberdaya pesisir dan laut. Departemen Menejemen
Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. PKSPL-Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Asbar. 2007. Optimasi pemanfaatan kawasan pesisir untuk pengembangan budidaya tambak berkelanjutan
di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Biswas, S.R., A. Mallik, J. Choudhury dan A. Nishat. 2008. A unified framework for the restoration of
Southeast Asian mangroves-bridging ecology, society and economics. Wetlands Ecology
and Management, 17: 365-383.
Bostock, J., B. McAndrew, R. Richards, K. Jauncey, T. Telfer, K. Lorenzen, D. Little, L. Ross, N.
Handisyde, I. Gatward and R. Corner. 2010. Aquaculture: global status and trends. Philosopical
Transactions of The Royal Society B. 365: 2897–2912.
Douvere, F. and C. Ehler. 2009. Marine spatial planning: a step-by-step approach toward ecosystem-
based management. Intergovernmental Oceanographic Commission and Man and the Biosphere
Programme Unesco, Paris.
44
Depik, 3(1):36-45
April 2014
ISSN 2089-7790
Grigalunas, T.A. and R. Congar. 1995. Environmental economics for integrated coastal area management :
valuation methods and policy instruments. UNEP Regional Seas Report and Studies No.164.,
Nairobi, Kenya.
Gilbert, A.J. and R. Janssen. 1998. Use of environmental functions to communicate the value of a
mangrove ecosystem under different management regimes. Ecological Economics, 25: 323-346.
Nazili, M. 2004. Strategi pengelolaan ekosistem mangrove berbasis partisipasi masyarakat di kawasan
Teluk Pangpang- Banyuwangi. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rusly, A. 2007. Kajian pengelolaan mangrove dan terumbu karang Pulau Sangiang-Banten. Sekolah Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Yaping, D. 2000. The value Of improved water quality for recreation in East Lake, Wuhan, China: Aan
application of contingent valuation and travel cost methods.
http://203.116.43.77/publications/research1/ACF9C.html. (Diakses pada 15 Februari 2013).
Yulianda, F., A. Fahrudin, L. Adrianto, A. Hutabarat, S. Harteti dan K.H. Kusharjani. 2010. Buku 2
kebijakan konservasi perairan laut dan nilai valuasi ekonomi. Pusdiklat Kehutanan Departemen
Kehutanan. SECEM. Korea International Cooperation Agency, Bogor.
45