Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gagal ginjal kronik bisa dibilang cukup familiar, dikarenakan sudah
banyak Rumah sakit yang menyediakan ruangan hemodialisa untuk para
pasien GGK ini. Menurut WHO atau World Health Organitation
2016, penyakit gagal ginjal kronis berkontribusi pada beban penyakit dunia
dengan angka kematian sebesar 850.000 jiwa per tahun (WHO, 2016). Data
dari Riskesdas 2017, Gagal ginjal kronis (GGK) merupakan masalah
kesehatan masyarakat global dengan prevalens dan insiden gagal ginjal yang
meningkat, karena prognosis yang buruk dan biaya yang tinggi. Prevalensi
penyakit GGK meningkat dengan bertambahnya usia, pada kelompok umur
35-44 tahun meningkat tajam dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Dan
akan bertambah seiring jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian penyakit
diabetes melitus serta hipertensi yang ada. (Depkes, 2017)
Menurut Hill et al 2016, prevalensi global GGK sebesar 13,4% dengan
48% di antaranya mengalami penurunan fungsi ginjal dan tidak menjalani
dialisis dan sebanyak 96% orang dengan kerusakan ginjal atau fungsi ginjal
yang berkurang tidak sadar bahwa mereka memiliki GGK. Juga hasil
penelitian Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2006, yang
mendapatkan prevalensi GGK sebesar 12,5%. Berdasarkan data dari
Riskesdas (2013), Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari
perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi terjadi pada masyarakat perdesaan
(0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh
(0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah
masing-masing 0,3%. Sedangkan provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah
Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara
masing-masing 0,4 %. Prevalensi GGK di Jawa Timur sendiri sebesar 0,3%.
Jumlah pasien yang menderita GGK diperkirakan akan terus meningkat.
Peningkatan ini sebanding dengan penambahan jumlah populasi, peningkatan
populasi usia lanjut, dan peningkatan jumlah pasien dengan hipertensi dan
diabetes. (Aisara et al., 2018)
GGK sendiri bisa menjadi faktor risiko utama penyakit ginjal stadium
akhir, penyakit kardiovaskular, dan kematian. Mekanisme dasar terjadinya
GGK adalah adanya cedera jaringan. Cedera sebagian jaringan ginjal tersebut
menyebabkan pengurangan massa ginjal, yang kemudian mengakibatkan
terjadinya proses adaptasi berupa hipertrofi pada jaringan ginjal normal yang
masih tersisa dan hiperfiltrasi. Namun proses adaptasi tersebut hanya
berlangsung sementara, kemudian akan berubah menjadi suatu proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Pada stadium dini
GGK, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana basal laju
filtrasi glomerulus (LFG) masih normal atau malah meningkat. Secara
perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif
(Suwitra, 2014) dalam (Aisara et al., 2018). Adapun akibatnya glomerolus
tidak dapat lagi menyaring kalium, natrium, dan zat lainya sehingga
menyebabkan hiperkalemia yang berat yang nantinya dapat memicu
terjadinya gangguan pada jantung.
Pada pasien GGK seharusnya dibedikan pendekatan awal yaitu
dengan diet kalium seperti meninjau obat yang dikonsumsi pasien.
Dan bila memungkinkan hentikan obat yang dapat mengganggu
ekskresi K+ pada ginjal. Pasien harus secara khusus ditanya mengenai
penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid yang dijual bebas, serta
pengobatan herbal, karena jamu mungkin merupakan sumber kalium
yang tersembunyi. Pasien harus ditempatkan pada diet rendah K+.
Pendekatan awal adalah untuk lebih mendefinisikan risiko
hiperkalemia dengan menilai secara akurat tingkat fungsi ginjal.
Secara umum, risiko ini akan meningkat seiring dengan penurunan
fungsi ginjal. EGFR sebesar 30 mL / menit / 1,73 m2 harus dianggap
sebagai ambang batas di mana kemungkinan berkembangnya
hiperkalemia secara substansial meningkat (Palmer & Clegg, 2020)
Menurut WHO tahun 2012 menyarankan asupan kalium setidaknya 90
mmol / hari (3510 mg / hari) untuk orang dewasa. Hiperkalemia biasanya
didefinisikan sebagai konsentrasi serum potassium lebih dari normal >
5,0 atau> 5,5 mEq / L. Hiperkalemia pada individu dengan fungsi
ginjal normal relatif jarang ditemukan. Pada pasien dengan GGK, ,
bagaimanapun, kejadian berkisar dari 5% sampai 50%. Pada pasien
dengan kehilangan fungsi nefron pada GGK diimbangi dengan
peningkatan adaptif pada laju sekresi K+ pada nefron, sehingga
homeostasis K+ secara umum dapat dipertahankan sampai laju filtrasi
glomerulus (GFR) turun di bawah 15-20 mL / menit. Disfungsi ginjal
yang lebih parah selalu menyebabkan retensi K+ dan hiperkalemia
kecuali asupan makanan K+ dikurangi (Palmer & Clegg, 2020)
Pada penelitian yang dilakukan Hilma 2016, tentang Hubungan
Kepatuhan Diet Dan Asupan Kalium Dengan Kadar Kalium Pada Pasien
Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa Rawat Jalan Di RSUD
Kabupaten Sukoharjo, sesuai dengan hasil penelitian, diperoleh data
karakteristik subjek meliputi distribusi berdasarkan jenis kelamin, umur,
kepatuhan diet, asupan kalium, dan kadar kalium. Dan hasil menunjukan
bahwa tidak ada hubungan antara kepatuhan diet dengan kadar kalium pada
pasien GGK yang menjalani hemodialisa rawat jalan di RSUD Kabupaten
Sukoharjo (p=0,163). Data – data tersebut yang melatarbelakangi Literature
Rivew tentang “Hubungan diet asupan kalium dengan kadar kalium pada
pasien gagal ginjal kronik” (Hima, 2016)

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut, maka dapat ditarik
rumusan masalah “Adakah Hubungan diet asupan kalium dengan kadar
kalium pada pasien gagal ginjal kronik ?”.

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan diet asupan kalium dengan kadar kalium pada
pasien Gagal Ginjal Kronik.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan diet asupan kalium pada pasien Gagal Ginjal
Kronik
b. Mendeskripsikan kadar kalium pada pasien Gagal Ginjal Kronik
c. Menganalisis hubungan antara asupan kalium dengan kadar kalium
pada pasien Gagal Ginjal Kronik

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Bagi Penulis
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan secara tidak langsung
mengenai hubungan antara diet asupan kalium dengan kadar kalium
pada pasien Gagal Ginjal Kronik.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dengan adanya ini dapat dijadikan sebagai masukan dalam
tugas akhir yang berhubungan dengan Gagal Ginjal Kronik serta
sebagai informasi untuk tugas akhir selanjutnya, serta dapat
memberikan kontribusi dalam menambah wawasan keilmuan
1.4.3 Bagi Pasien
Dapat merubah sikap dan perilaku penderita penyakit Gagal Ginjal
Kronik dalam mengkonsumsi makanan dan dalam menjalani diet untuk
Gagal GinjalKronik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori


2.1.1 Gambaran Umum Ginjal
a. Definisi Ginjal
Ginjal merupakan organ penting yang berfungsi menjaga
komposisi darah dengan mencegah menumpuknya limbah dan
mengendalikan keseimbangan cairan dalam tubuh, menjaga level
elektrolit seperti sodium, potasium dan fosfat tetap stabil, serta
memproduksi hormon dan enzim yang membantu dalam
mengendalikan tekanan darah, membuat sel darah merah dan menjaga
tulang tetap kuat (Depkes, 2017).
Ginjal adalah organ vital yang berperan sangat penting dalam
mempertahankan kestabilan tubuh. Ginjal berfungsi sebagai pengatur
keseimbangan cairan tubuh, elektrolit dan asam-basa dengan cara
filtrasi darah, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit, serta
mengekskresi kelebihannya sebagai urine (Price & Wilson, 2006)
dalam (Ivana, 2017).
Ginjal adalah suatu organ yang secara struktural kompleks dan
telah berkembang untuk melaksanakan sejumlah fungsi penting:
ekskresi produk sisa metabolisme, pengendalian air dan garam,
pemeliharaan keseimbangan asam yang sesuai, dan sekresi sebagai
hormone dan autokoid. Penyakit pada ginjal sama kompleknya dengan
strukturnya, tetapi penelitian tentang penyakit tersebut dipermudah
dengan membagi penyakit menjadi kelompok yang mengenai empat
komponen morfologik dasar: glomerulus, tubulus, interstisium, dan
pembuluh darah. Pendekatan tradisional ini bermanfaat karena
manifestasi awal penyakit yang mengenai setiap komponen cenderung
khas. Selain itu, sebagian komponen tampaknya lebih rentan terhadap
bentuk tertentu cidera ginjal ; sebagai contoh, penyakit glomerulus
sering bersifat imunologis, sedangkan penyakit tubulus dan interstisium
lebih besar kemungkinannya disebabkan oleh zat toksik atau agen
infeksi. Namun, sebagian penyakit mengenai lebih dari satu struktur.
Selain itu, saling ketergantungan anatomik struktur di ginjal
mengisyaratkan bahwa kerusakan salah sayu komponen hampir selalu
kemudian mengenai komponen lain. Oleh karena itu, kerusakan
glomerulus yang parah mengganggu aliran melalui sistem vaskular
peritubulus; sebaliknya, kerusakan tubulus, dengan meningkatkan
tekanan intraglomerulus, dapat menyebabkan atrofi glomerulus. Apa
pun sebabnya, terdapat kecenderungan bahwa semua bentuk penyakit
ginjal kronis akhirnya merusak keempat komponen ginjal tersebut
sehingga terjadi gagal ginjal kronisdan apa yang disebut sebagai end
stage contracted kidney. Cadangan fungsional ginjal cukup besar, dan
gangguan fungsi baru muncul setelah terjadi kerusakan yang cukup luas
(Robbins, 2015:572).

b. Anatomi Ginjal
Ginjal terletak dibelakang peritoneum parietal (retro-peri-toneal),
pada dinding abdomen posterior. Ginjal juga terdapat pada kedua sisi
aorta abdominal dan vena kava inferior. Hepar menekan ginjal kanan ke
bawah sehingga ginjal sebelah kanan lebih rendah dari pada ginjal kiri.
Setiap ginjal dikelilingi oleh lemak perinefrik yang berfungsi untuk
melindungi ginjal dari trauma. Jika ginjal dibelah membunjur, maka
akan tampak korteks dan medula. Sebagian besar nefron (unit
fungsional ginjal) terdapat pada korteks. Bagian tengah ginjal adalah
renal medula yang terdiri dari 8-10 piramid. Nefron merupakan unit
fungsional ginjal. Setiap ginjal terdapat sekitar satu juta nefron.
Terdapat dua macam nefron dalam ginjal, yaitu kortikal yang terdiri
atas 85% dari semua nefron dan juksta medular yang terdiri atas 15%
dari jumlah nefron. Kedua macam nefron ini diberi nama sesuai dengan
letak glomerulinya dalam renal parenkim. Stuktur nefron yang
berkaitan dengan pembentukan urine adalah korpus, tubulus renal, dan
tubulus koligentes. Korpus ginjal terdiri atas glomerulus dan kapsula
Bowman yang membentuk ultrafiltrasi dari darah. Tubulus renal terdiri
atas tubulus kontortus proksimal, ansa Henle, dan tubulus kontortus
distal. Ketiga tubulus renal tersebut berfungsi sebagai reabsorpsi dan
sekresi dengan mengubah volume dan komposisi ultrafiltrat sehingga
membentuk urine (Baradero & Dayrit, 2009) dalam (Ivana, 2017)

c. Fungsi Ginjal
Macam-macam Fungsi Ginjal :
1. Mengatur volume dan osmolalitas cairan tubuh.
2. Mengatur keseimbangan elektrolit.
3. Mengatur keseimbangan asam -basa.
4. Mengekskresi sisa metabolik, toksin, dan zat asing.
5. Memproduksi dan menyekresi hormon (Baradero & Dayrit, 2009)
dalam (Ivana, 2017)

d. Mekanisme Fisiologi Ginjal


Pembentukan urine dimulai dengan proses filtrasi glomerulus
plasma. Aliran darah ginjal sebanding dengan 25% curah jantung atau
1.200 ml/menit. Sekitar sperlima dari plasma tersebut dialirkan melalui
glomerulus ke kapsula Bowman, proses tersebut dikenal dengan istilah
laju filtrasi glomerulus (LFG) atau glomerular filtrasion rate (GFR).
Proses filtrasi pada glomerulus dinamakan ultrafiltrasi glomerulus,
karena filtrat primer memiliki komposisi yang sama seperti plasma
kecuali tanpa protein. Pada proses filtarsi, zat yang difiltrasi dalam
glomerulus adalah elektrolit, non elektrolit dan air. Elektrolit yang
penting yang difiltrasi adalah natrium (Na+), kalium (K+) , kalsium (Ca+
+
), magnesium (Mg++), bikarbonat (HCO3-), klorida (Cl-), dan fosfat
(HPO4=). Non elektrolit yang terfiltrasi adalah glukosa, asam amino dan
metabolit yang merupakan hasil akhir dari protein (urea, asam urat, dan
creatinin).
Langkah kedua dalam proses pembentukan urine setelah filtrasi
adalah reabsorpsi. Sebagian besar zat-zat yang difiltrasi direabsorpsi
kembali kedalam pori-pori yang berada dalam tubulus, sehingga
akhirnya zat-zat tersebut kembali lagi kedalam peritubulus yang
mengelilingi tubulus. Setelah itu zat-zat yang berlebih di sekresikan dan
dikeluarkan dalam bentuk urine (Price & Wilson, 2006) dalam (Ivana,
2017)
Ginjal menggunakan tiga proses tersebut, dengan lokasi yang
berbeda. Proses filtrasi terjadi pada kapsula Bowman, sedangkan
reabsorpsi dan sekresi terjadi pada tubulus dan duktus koligentes.
Ginjal memiliki fungsi khusus untuk mempertahankan keseimbangan
fisiologis dalam mengatur komposisi cairan dan pelarut dalam darah.
(Baradero & Dayrit, 2009) dalam (Ivana, 2017)

2.1.2 Penyakit Gagal Ginjal Kronis


a. Definisi
CKD adalah penyakit ginjal yang progresif dan tidak dapat kembali
sembuh secara total seperti sediakala (ireversibel) dengan laju filtrasi
glomerulus (LFG) <60 ml/menit dalam waktu 3 bulan atau lebih,
sehingga kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan elektrolit, yang menyebabkan uremia.
(Suwitra, 2014) dalam (Kalengkongan et al., 2018).
Gagal ginjal kronis berkembang dalam periode beberapa minggu,
bulan, atau tahun. Konsekuensi penurunan fungsi ginjal yang adekuat
adalah sebagai komplikasi akibat retensi produk buangan, gangguan
keseimbangan air, elektrolit, dan asam basa, hilangnya produksi
eritropoietin, gangguan metabolisme vitamin D, pengaktifan system
renin-engiotensin dan munculnya hipertensi. Gagal ginjal kronis terjadi
ketika fungsi ginjal telah sangat berkurang akibat proses penyakit
kronis, disertai retensi produk limbah nitrogen yang biasanya diekskresi
dalam urin. Penurunan laju filtrasi glomerulus dapat dideteksi dengan
pengukuran urea dan kreatinin dalam darah atau pembersihan kreatinin
(creatinine clearance) dari analisis darah dan sampel urin 24 jam.
Laju filtrasi glomerulus perkiraan (estimated glomerular filtration
rate [eGFR]), yaitu perhitungan melalui pemeriksaan laboratorium yang
mempertimbangkan kreatinin serum, usia, jenis kelamin, dan ras
individu, merupakan metode yang paling sering digunakan untuk
melaporkan fungsi ginjal pada orang dewasa. Ketika menggunakan
eGFR, terdapat 5 tahap penyakit ginjal kronis (chronic kidney diesese
[CKD]) yang sudah diakui, yaitu mulai dari CKD stadium 1 (eGFR
normal, tetapi ada bukti lain keberadaan penyakit ginjal seperti
proteinuria, glomerulonephritis kronis, kalkulus, jaringan parut, atau
ginjal polikistik) sampai CKD stadium 5 (eGFR < 15 mL/menit per
1,73 m3 atau pasien mengalami dialisis kronis atau telah menerima
transplantasi ginjal). Pasien dengan CKD stadium 5 dikatakan telah
memiliki “gagal ginjal menetap” (estabilished renal failure), sebuah
istilah yang telah menggantikan “gagal ginjal stadium akhir”. Pasien
dengan CKD stadium 5 yang sedang diterapi dengan menggunakan
dialysis atau memiliki ginjal trasplantasi yang berfungsi dinyatakan
sebagai pasien yang sedang menjalani “terapi panggantian ginjal” (C.
Simon Herington, 2016:460-461)

b. Klasifikasi
Pada pasien dengan penyakit GGK, klasifikasi stadium
ditentukan oleh nilai laju filtrasi ginjal (LFG), yaitu stadium yang lebih
tinggi menunjukkan nilai LFG yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut
membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium satu
adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal;
stadium dua adalah kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal
yang ringan; stadium tiga adalah kerusakan ginjal dengan penurunan
yang sedang fungsi ginjal; stadium empat adalah kerusakan ginjal
dengan penurunan berat fungsi ginjal; dan stadium lima adalah gagal
ginjal. (Anita, 2020)
Tabel 1. Klasifikasi Stadium CKD (Kalengkongan et al., 2018)

Sta GFR Keterangan


diu (ml/73menit/1,73²)
m
1 >90 Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau
meningkat, disertai protein urea
2 60-89 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR
ringan (berkaitan dengan usia), disertai
protein urea
45-59
3 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR
sedang berisko rendah mengalami gagal
ginjal
4 15-25
Kerusakan ginjal dengan penuruna GFR
berat berisiko tinggi mengalami gagal ginjal
<15
5 Gagal ginjal yang memerlukan terapi dialisis

Gagal ginjal yang memerlukan transplantasi

Sumber: Suwitra dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2014)

Tahap perkembangan gagal ginjalkronik menurut Baradero,


terdiri dari:
a. Penurunan cadangan ginjal
1) Sekitar 40-75% normal nefron tidak berfungsi
2) Laju filtrasi glomerulus 40-50% normal
3) BUN dan kreatinin serum masih normal
4) Pasien asimtomatik.
b. Gagal Ginjal
1) 75-80% nefron tidak berfungsi
2) Laju filtrasi glomerulus 20-40% normal
3) BUN dan kreatinin serum mulai meningkat
4) Anemia ringan dan azetemia ringan
5) Nokturia dan poliuria
c. End-stage renal disease (ESRD)
1) Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi
2) Laju filtrasi glomerulus kurang dari 10%
3) BUN dan kreatinin tinggi
4) Anemia azotemia, dan asidosis metabolik
5) Berat jenis urine tetap 1,010
(Kalengkongan et al., 2018)

c. Etiologi
National Kidney Foundation (NKF) menyebutkan bahwa dua
penyebab utama penyakit ginjal kronik adalah diabetes dan hipertensi.
Diabetes dapat menyebabkan kerusakan pada banyak organ tubuh,
termasuk ginjal, pembuluh darah, jantung, serta saraf dan mata. Selain
itu juga tekanan darah tinggi atau hipertensi yang tidak terkendali dapat
menyebabkan serangan jantung, stroke dan penyakit ginjal kronik.
Sebaliknya, penyakit ginjal kronik juga dapat menyebabkan tekanan
darah tinggi. (Anita, 2020)
Penyakit ginjal kronik dapat disebabkan oleh:
- Hipertensi
Tekanan darah tinggi membuat pembuluh darah bekerja
terlalu keras karena aliran darah yang terlalu kuat. Kondisi ini
dapat menyebabkan pembuluh darah rusak termasuk pembuluh
darah yang ada pada bagian ginjal. Arteri besar dan pembuluh
darah kecil menuju ginjal dapat rusak. Kemudian secara perlahan
ginjal mengalami penurunan fungsi dan menyebabkan banyak
cairan limbah yang menumpuk pada ginjal. (Harianto, 2015) dalam
(Kalengkongan et al., 2018)
Price, 2006. Hypertesi yang berlangsung lama dapat
mengakibatkan perubahan-perubahan struktur pada arteriol
diseluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan sklerosis dinding
pembuluh darah. Sasaran utama adalah organ jantung, otak, ginjal,
dan mata. Arterosklerosis pada ginjal akibat hypertensi lama dapat
menyebabkan nefrosklerosis benigna. Penyumbatan arteri dan
srteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi
tubulus, sehingga mengakibatkan seluruh nefron rusak.
(Kalengkongan et al., 2018)
- Diabetes mellitus
Ketika tubuh memiliki kadar gula yang terlalu tinggi atau lebih
sering disebut dengan kondisi diabetus militus (DM), maka akan
menyebabkan ginjal bekerja terlalu keras. Ginjal akan menyerap
darah dalam jumlah yang lebih tinggi sehingga menyebabkan
pembuluh darah yang bertugas menyaring darah bisa bekerja terlalu
banyak. Kemudian setelah beberapa lama ginjal tidak mampu
menyaring semua bagian limbah dari darah dan menyebabkan
kebocoran. Akibatnya maka urin mengandung protein yang
seharusnya tinggal dalam tubuh. Ginjal akan kehilangan fungsinya
dengan ditandai penemuan protein tinggi dalam urin. (Sletzer,
2007) dalam (Kalengkongan et al., 2018)
- Serangan Jantung
Ketika penderita mengalami serangan jantung maka aliran
darah yang menuju jantung akan mengalami masalah atau bahkan
ginjal tidak menerima darah dari jantung. Jika kondisi ini terus
terjadi maka ginjal tidak dapat berfungsi dan terjadi penumpukan
aliran limbah pada jantung (Pagunsan, 2013) dalam (Kalengkongan
et al., 2018)
- Glomerulonefritis kronis
Penyakit ini menyebabkan peradangan pada bagian
penyaringan di ginjal yang menyerang bagian nfron. Peradangan
ini menyebabkan banyak kotoran dari sisa metabolisme yang
seharusnya keluar tapi hanya menumpuk di bagian ginjal. Penyakit
ini bisa menjadi faktor penyebab gagal ginjal dalam waktu yang
sangat cepat (Kalengkongan et al., 2018).
- Penyakit ginjal polikistik
Penyakit ginjal polikistik dapat menyebabkan kerusakan
kemampuan ginjal karena banyaknya zat racun yang harus disaring
oleh ginjal. Penyakit ini secara perlahan akan menyebabkan ginjal
tidak berfungsi sehingga pada tahap akhir dapat menyebabkan
gagal ginjal. Penyakit ini sering ditemukan pada usia lanjut sekitar
umur 55 tahun.
Menurut Price, 2006. Penyakit ginjal polikistik ditandai
dengan kista-kista multiple, bilateral dan berekspansi yang lambat
laun mengganggu dan menghancurkan parekrin ginjal normal
sehingga ginjal akan menjadi rusak. (Kalengkongan et al., 2018).
- Pielonefritis
Piolonefritis adalah infeksi yang terjadi pada ginjal.
Pielonefritis dapat berakibat akut atau kronik. Pielonefritis ini bisa
juga terjadi melalui infeksi hematogen. Bila infeksi sudah terjadi
berulang-ulang maka akan terjadi kerusakan pada ginjal yang
mengakibatkan GGK. Penyakit ini biasanya terjadi oleh karena
adanya batu pada ginjal, obstruksi atau refluks vesiko ureter.
(Sibue, 2005) dalam (Kalengkongan et al., 2018).
- Obstruksi
- Nefritis intersisial kronis
- Infeksi saluran kemih
- Obesitas (Depkes, 2017)

d. Patofisiologi
Sejumlah Faktor berperan penting dalam laju perkembangan
penyakit ginjal dari manifestasi akut ke penyakit ginjal kronis, gagal
ginjal kronis, dan gagal ginjal setadium akhir. Penyakit akteri yang
berdampingan, hipertensi, aktifitas persisten penyakit semula, dan
beberapa faktor genetika mungkin berperan penting dalam menentukan
laju progresivitas. Penurunan masa nefron, yang kemudian menurunkan
filtrasi glomerulus darah hingga menjadi sekitar 30%-50% dari normal,
dapat megakibatkan kerusakan ginjal progresif yang independen dari
berlanjutnya aktivitas penyakit yang mendasari. Faktor sekunder yang
meningkatkan progresi menjadi perhatian klinis utama karena
pengendalian faktor tersebut dapat memberikan kesempatan untuk
memutus siklus penyakit yang dapat menyebabkan gagal ginjal. Dua
karakteristik histologi utama penyakit ini sudah diketahui, yaitu
glomerulosklerosis fokal serta inflamasi tubulointerstisial dan fibrosis.
Glomerulosklerosis tampak berkembang sebagai bagian dari
respon terhadap hiperfiltrasi glomerulus, yang merupakan respon
kompensasi untuk mempertahankan fungsi ginjal. Konsekuansi dari
hiperfentilasi glomerulus ini adalah hipertrofi kompensasi dan
perubahan hemodinamik yang menyebabkan kerusakan sel endotel dan
epitel, disertai peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein
dan peningkatan pengendapan matriks mesangium. Diperkirakan
banyak mediator inflamasi kronis dan fibrosis, terutama transforming
growth factor β (TGF- β) memiliki peran dalam kerusakan dan
kehilangan glomerulus yang progresif. Beberapa bukti meyakinkan
bahwa efek proteksi dapat diperoleh dengan mengurangi tekanan
intraglomerulus dengan inhibitor enzim pengubah angiotensin atau
blokade reseptor angiotensin. Kerusakan tubulointerstisial, sebagaimana
dibuktikan oleh atrofi tubular, inflamasi dan fibrosis interstisial,
sekarang diakui sebagai faktor prognostic utama dalam kemajuan
beragam penyakit ginjal yang berbeda. Banyak faktor dapat
menyebabkan cedera tubular, termasuk protein urin, komplemen urin,
immunoglobulin, sitokin yang dilepaskan ke dalam filtrat urin atau
interstisium, atau faktor hemodinamik local yang menyebabkan
iskemia relatif. Hasil akhir dari perluasan populasi fibroblast
interstisial, dan terutama ekspansi matriks ekstraseluler interstisial,
adalah perkembangan penyakit ginjal yang ireversibel. (C. Simon
Herington, 2016:460)

e. Manifestasi klinis
Pada penderita CKD setiap sistem tubuh sudah dipengaruhi oleh
kondisi ureum, sehingga penderita akan menunjukan bermacam-macam
tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala tergantung pada bagian
dan tingkat kerusakan ginjal, dan kondisi lain yang mendasar.
Manefestasi yang terjadi pada CKD antara lain yaitu pada sistem
cardiovaskuler, gastrointestinal, neurologis, integumen, pulmoner,
muskuloskletal dan psikologis (Rachmadi, 2010) yaitu:
a. Kardiovaskuler:
1) Hipertensi, diakibatkan oleh retensi cairan dan natrium dari
aktifitas sistem renin angiotension aldosteron
2) Gagal jantung kongestif
3) Edema pulmoner, akibat dari carian yang berlebihan
b. Gastrointestinal: Anoreksia, mual dan muntah, perdarahan GI,
ulserase, perdarahan mulut, nafas bau amonia
c. Neurologis: Perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu
berkonsentrasi, kedutan otot sampai kejang
d. Integumen: Pruritis atau penumpukan urea pada lapisan kulit,
perubahan warna kulit seperti keabu-abuan, kulit kering dan berisik,
kuku tipis dan rapuh
e. Pulmoner: Adanya sputum kental dan liat, pernafasan dangkal,
sampai terjadinya edema pulmonal
f. Muskuloskletal: Dapat tejadi fraktur karena kekurangan kalsium dan
pengeroposan tulang akibat terganggunya hormon dihidroksi
kolekalsiferon, kram otot, dan kehilangan kekuatan otot
g. Psikologis: Penurunan tingkat kepercayaan diri sampai pada harga
dirirendah (HDR), ansietas pada penyakit dan merasa ingin mati.
(Kalengkongan et al., 2018)

f. Pengaruh dari gangguan gagal ginjal kronis


Pengaruh yang terjadi pada gangguan Gagal Ginjal Kronis menurut
Ganong, 2008 adalah :
1. Proteinuria Proteinuria merupakan peningkatan jumlah protein di
dalam urine yang lebih dari normal. Sebagian besar protein yang
terkandung adalah albumin, dan kelainan tersebut biasanya
disebut dengan albuminuria.
2. Hilangnya kemampuan pemekatan dan pengenceran Pada
penyakit ginjal biasanya urine yang terbentuk kurang pekat dan
volumenya biasanya sering bertambah yang dapat menyebabkan
terjadinya poliuria dan nokturia. Pada gagal ginjal tahap akhir
osmolalitas urine menetap kira-kira sama dengan plasma, yang
menunjukan bahwa fungsi pengenceran dan pemekatan ginjal
sudah tidak ada lagi. Penyebab terjadinya kelainan tersebut
adalah rusaknya nefron-nefron fungsional.
3. Uremia Terjadi saat adanya gangguan pemecahan hasil protein
yang menumpuk. Peningkatan kadar BUN dan Kreatinin dapat
digunakan sebagai indeks keparahan uremia.
4. Asidosis Terjadi akibat kegagal ginjal untuk mengeksresikan
asam-asam hasil pencernaan dan metabolisme.
5. Gangguan metabolisme Na+ Sering kali pada penyakit ginjal
ditemukan adanya retensi Na yang berlebihan dan disertai
edema. (Ivana, 2017)

g. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dilakukan pada penderita CKD (KDIGO), yaitu:
a. Pemeriksaan laboratoriun:
1). Darah: Hematologi: Hb, HT, Eritrosit, Leucosit. Trombosit.
2). Renal Fungsi Test (RFT): Ureum dan kreatinin.
3). Liver Fungsi Test (LFT).
4). Elektrolit: klorida, kalium, kalsium.
5). Koagulasi studi: PPT, PTTK.
6). BGA.
7). Urine: Urine rutin, Urine khusus: benda keton, analisa kristal
batu
b. Pemeriksaan Kardiovaskuler:
1). ECG.
2). ECO
c. pemeriksaan Radiognostik:
1). USG abdominal.
2). CT Scan abdominal
3). BNO/IVP, FPA.
4). Renogram.
5). Retio pielografi.
(Kalengkongan et al., 2018)

h. Penatalaksanaan
Penatalaksaan gagal ginjal kronik menurut (Sudoyo, 2015). yaitu:
a. Konservatif
1) Pemeriksaan laboratorium: darah dan urin
2) Observasi balance cairan
3) Observasi adanya odema
4) Batasi cairan yang masuk
b. Dialisysis
1) Peritoneal dialysis, biasanya dilakukan pada kasus-kasus
emergency
2) Hemodialisis, dilakukan melalui tindakan infasif
c. Operasi
1) Pengambilan batu
2) Transplantasi ginjal
d. Obat-obat: Anti hipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat,
suplemen kalsium, furosemide. (Kalengkongan et al., 2018)
Terapi farmakologis pada pasien GGK digunakan untuk
mengurangi terjadinya hipertensi intraglomerulus. Pemakaian
obat antihipertensi bermanfaat untuk memperkecil risiko
penyakit kardiovaskular dan memperlambat perburukan
kerusakan nefron (Suwitra, 2006) dalam (Hilma, 2016)
d. Beberapa diuretik terutama tiazid, digunakan pada terapi
hipertensi. Tiazid dan diuretik loop meningkatkan eksresi
kalium yang mungkin dibutuhkan suplemen kalium untuk
mencegah hipokalemia (Neal, 2006) dalam (Hilma, 2016)

2.1.3 Diet
a. Definisi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “diet adalah
aturan makanan khusus untuk kesehatan dan sebagainya (biasanya atas
petunjuk dokter)”. Healthy Diet Indicator (HDI), yang didasarkan
pada kepatuhan terhadap pedoman nutrisi Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), dirancang untuk digunakan di seluruh dunia dan dapat
membuat perbandingan yang sesuai di antara budaya yang berbeda
(Jankovical., 2014; Jankovic et al., 2015) dalam (Kanauchi &
Kanauchi, 2018). Berdasarkan WHO tahun 2003, HDI diperbarui
dengan rekomendasi diet, menggunakan skor yang terdiri dari 8
komponen: protein, lemak jenuh, asam lemak tak jenuh ganda atau
polyunsaturated fatty acids (PUFA), kolesterol, gula bebas, serat
makanan, natrium, serta buah dan sayuran (Kanauchi & Kanauchi,
2018).
Diet rendah kalium karena pada pasien gagal ginjal biasanya
hiperkalemia yang berkaitan dengan oliguri (berkurangnya volume
urin) atau keadaan metabolik, dan obat- obatan yang mengandung
kalium. Hiperkalemia biasanya dicegah dengan penanganan yang
cermat terhadap kandungan kalium pada seluruh medikasi oral maupun
intravena (Yaswir, 2012) dalam (Hilma, 2016)
Diet memegang peranan penting dalam penatalaksanaan gagal
ginjal kronis. Diet yang diberikan harus disesuaikan dengan kebutuhan
pasien dan secara berkala diperlukan penyesuaian mengingat perjalanan
penyakitnya yang progresif.
1. Yang paling penting pada diet gagal ginjal kronis adalah masukan
energi yang memadai untuk mencegah terjadinya pemecahan protein
jaringan.
2. Pasien mungkin mengekresikan air, natrium, dan kalium dengan
jumlah yang sangat banyak. Kehilangan ini harus diimbangi dan
masuknya harus berdasarkan pada pengeluaranya. Jika pasien
menderita hipertensi dan edema, jumlah garam mungkin harus
dibatasi. Sebagian pasien akan menahan kalium hingga taraf yang
tidak proposional sehingga diperlukan pembatasan kalium.
3. Masukan protein mungkin harus dikurangi sanpai suatu taraf tertentu
dan pengurangan ini berdasarkan kepada kemampuan ginjal untuk
mengeksresikan bahan nitrogenous serta garam yang ada
hubungannya dengan metabolisme protein. Mungkin pasien dapat
mentolerir diet rendah protein untuk permulaanya. (Beck Mary .E,
2011:284)

b. Jenis terapi diet


jenis terapi diet menurut Sunita, 2013 adalah :
1) Diet dialisis Diet pada dialisis bergantung pada frekuensi, sisa
fungsi ginjal, dan ukuran badan pasien. Diet dialisis harus
direncanakan perorangan.,
a) Diet Dialisis I, 60 gram protein. Diberikan pada pasien dengan
berat badan ± 50 kg.
b) Diet Dialisis II, 65 gram protein. Diberikan pada pasien dengan
berat badan ± 60 kg.
c) Diet Dialisis III, 70 gram protein. Diberikan pada pasien
dengan berat badan ± 65 kg.
2) Diet rendah garam
a) Diet Rendah Garam I (200-400 mg Na) atau tanpa garam.
Diberikan pada pasien edema, ascites dan/atau hipertensi berat.
b) Diet Rendah Garam II (600-800 mg Na) atau ½ sdt garam
dapur (2 gram). Diberikan pada pasien edema, ascites dan/atau
hipertensi tidak terlalu berat.
c) Diet Rendah Garam III (1000-1200 mg Na) atau 1 sdt garam
dapur (4 gram). Diberikan pada pasien edema dan/atau
hipertensi ringan. (Chikarrani, 2019)
2.1.4 Kalium
a. Definisi Kalium
Kalium adalah kation paling melimpah di tubuh manusia, namun
hanya 2% dari total kalium tubuh yang terkandung dalam cairan
ekstraseluler, yang merupakan kompartemen yang dapat diakses untuk
penilaian klinis. Konsentrasinya dalam cairan ekstraseluler diatur secara
ketat antara 3,5 dan 5,0 mmol / L. Sebagian besar kalium (98%) terletak
di intraseluler (terutama di otot) pada konsentrasi antara 100 dan 150
mmol / L, tergantung pada jenis sel. (Miller & Gulbis, 2014)
Menurut Palmer 2015, mempertahankan distribusi kalium yang
tepat ketika melintasi membrane sel merupakan hal yang sangat penting
untuk fungsi sel normal. Rasio normal menurut Hoskote 2008, antara
konsentrasi ekstraseluler dan intraseluler penting untuk pemeliharaan
resting membrane potential dan fungsi neuromuskular. Transfer kalium
antara ekstraseluler dan intraseluler dipengaruhi oleh berbagai faktor
endogen dan eksogen. Keadaan asidosis dan alkalosis mempengaruhi
kalium karena dapat mengkompensasi gerakan proton (ion Hidrogen).
Dalam asidosis ion H+ berpindah ke sel, dan untuk menjaga
keseimbangan listrik, kalium berpindah ke luar sel. Pada alkalosis
terjadi sebaliknya. (Sandala & Mongan, 2016)

b. Fungsi Kalium
Fungsi-fungsi kalium dalam darah, yaitu :
1. Menjaga keseimbangan elektrolit.
2. Sebagai aktifator enzim.
3. Sebagai aktifator fungsi otot rangka, polos, dan jantung.
4. Proses metabolisme protein dan karbohidrat.
5. Sebagai proses mineral hemostatis.
6. Transmisi dan konduksi implus-implus saraf (Kee & Hayes, 1996)
dalam (Ivana, 2017)
Perinatal Mineral,
Electrolyte, and Acid Base
Homeostasis

Asupan oral 100


mmol

ECF ICF
3,5–5 mmol / L 100–150 mmol / L
97 mmol (2,5%) 3500 mEq (97,5%)

Interstitium: 70 Otot:
mmol (2%) 2700 mmol
(75,5%)
Plasma: Hati: Tulang: Eritrosit:
17 mmol (0,5%) 250 mmol (7%) 300 mmol (8%) 250 mmol (7%)

Ekskresi renall Ekskresi fecal 10


90 mEq (90%) mEq (10%)

Tabel 2. Distribution of total body potassium in normal adults. ECF,


Extracellular fluid; ICF, intracellular fluid. (From Sahni V,
Gmurzcyk A, Rosa RM. Extrarenal potassium metabolism. In:
Alpern RJ, Caplan MJ, Moe OW, eds. Seldin en Giebsch’s the
Kidney—Physiology and Patho- physiology. London: Elsevier
Academic Press; 2013:1629-1658.) dalam (Miller & Gulbis, 2014)

c. Asupan Kalium
Peningkatan asupan kalium menurunkan tekanan darah
sistolik dan diastolik pada orang dewasa dikarenakan adanya penurunan
resistensi vaskular. Di berbagai asupan dasar, peningkatan asupan
kalium bermanfaat dalam hal tekanan darah. Kalium merupakan nutrisi
penting yang dibutuhkan untuk pemeliharaan cairan total volume tubuh,
keseimbangan asam dan elektrolit, dan fungsi sel normal. Dalam
kondisi panas yang ekstrim dan aktivitas fisik yang intens yang
mengakibatkan produksi keringat tinggi, kehilangan kalium dalam
keringat akan meningkat dan cukup berarti. Dengan demikian, sebagian
besar individu dapat menggantikan kalium yang dibutuhkan melalui
konsumsi makanan tanpa perlu suplemen atau produk yang
diformulasikan secara khusus. Kalium biasanya ditemukan dalam
berbagai makanan yang tidak diolah, terutama buah-buahan dan
sayuran. Pemrosesan makanan mengurangi jumlah kalium dalam
banyak produk makanan, dan pola makan pada makanan olahan buah
dan sayuran yang tidak segar sering kali kekurangan kalium (World
Health Organization, 2012)
Sumber makanan tinggi kalium yaitu pada jenis buah-buahan,
sayuran, dan kacang- kacangan. Bahan makanan tinggi kalium yaitu
pisang, bayam, kacang merah, kacang hijau, kacang kedelai, durian, dan
lain-lain (Chikarrani, 2019).
Meskipun anak-anak membutuhkan keseimbangan kalium positif
untuk tumbuh, orang dewasa mempertahankan keseimbangan kalium
nol. Dari semua kalium yang tertelan, 80% hingga 90% diekskresikan
oleh ginjal dan 10% hingga 20% hilang melalui tinja. (Miller & Gulbis,
2014)

d. Kadar Kalium
Konsentrasi kalium normal dalam plasma adalah 3,5-5,3 mEq/L
Kadar kalium yang kurang dari 3,5 mEq/L disebut sebagai hipokalemia
dan kadar kalium lebih dari 5,3 mEq/L disebut sebagai hiperkalemia
(Sandala & Mongan, 2016).
Jika konsentrasi kalium darah terlalu rendah, biasanya
disebabkan oleh ginjal yang tidak berfungsi secara normal atau terlalu
banyak kalium yang hilang melalui saluran pencernaan (karena diare,
muntah, penggunaan obat pencahar dalam waktu yang lama atau polip
usus besar). Secara teknis hiperkalemia berarti kadar kalium dalam
darah naik secara abnormal hingga kadar kalium sangat tinggi > 7.0
mEq/L, gejala hiperkalemia yaitu jantung yang perlahan dan nadi yang
lemah, hingga hiperkalemia yang parah dapat berakibat pada
berhentinya jantung yang fatal (Dawodu, 2004). dalam (Hilma, 2016)
Kekurangan kalium juga dapat menyebabkan tekanan darah
meningkat dan gangguan toleransi glukosa serta metabolisme protein.
Kelebihan kalium akan menyebabkan gangguan konduksi listrik
jantung yang meningkatkan risiko henti jantung atau gagal jantung,
serta kelemahan otot. Oleh karena itu, pemantauan kadar elektrolit
merupakan tindakan paling penting khususnya bagi penderita gagal
ginjal karena ketidakmampuan menjalankan fungsinya secara normal
untuk mengekskresi kalium. Penderita yang tergantung pada terapi
dialisis harus menyadari bahaya yang timbul jika kelebihan kadar
kalium sehingga harus menjaga pola makan. (Chikarrani, 2019)
Penanganan kalium di ginjal secara pasif, direabsorpsi pada akhir
dari tubulus kontortus proksimal. Kalium kemudian ditambahkan pada
cairan tubulus di descending limbs dari lengkung henle. Tempat utama
reabsorpsi kalium aktif adalah thick ascending dari lengkung henle.
Pada akhir tubulus kontortus distal, hanya 10% sampai 15% dari kalium
yang telah disaring masih tetap dalam lumen tubulus. Kalium terutama
diekskresikan oleh sel-sel utama dari cortical collecting duct dan outer
medullary collecting duct. Reabsorpsi kalium terjadi melalui sel-sel
yang terinterkalasi pada medullary collecting duct. Selama
berkurangnya kalium tubuh total, reabsorpsi kalium ditingkatkan.
Reabsorpsi kalium awalnya memasuki interstisium meduler, tapi
kemudian disekresi ke dalam pars rekta dari descending limb pada
lengkung henle. Peran fisiologis medullary potassium recycling dapat
meminimalkan “backleak” keluar dari collecting tubule lumen atau
untuk meningkatkan sekresi kalium ginjal selama keadaan kelebihan
kalium. (Sandala & Mongan, 2016)
e. Faktor yang dapat mempengaruhi keseimbangan kalium internal
Tabel. 3 (Miller & Gulbis, 2014)
Faktor yang dapat Faktor yang dapat menurunkan
meningkatkan kalium kalium intraselular (meningkatkan
intraseluler (menurunkan serum kalium)
serum kalium)
Physiologic Factors
Insulin α-adrenergic stimulation Acidosis
Aldosterone T3 β-adrenergic
stimulation

Pathologic Factors
Alkalosis Acidosis
Hyperosmolality Hypoosmololality
Hyperglycemia/uncontrolled
diabetes mellitus
Heavy exercise
Cell lysis

Setelah menelan makanan, sekitar 80% kalium yang diserap oleh


usus dengan cepat ditranslokasi ke ruang intraseluler. Penyerapan
kalium yang cepat ini terutama disebabkan oleh peningkatan kadar
insulin setelah penyerapan glukosa dan asam amino. Insulin
meningkatkan aktivitas Na +, K + -ATPase dalam hepatosit, sel otot, sel
adiposa, dan sel otak, sehingga meningkatkan penyerapan kaliumnya.
Proses ini tidak bergantung pada pengaruhnya terhadap transpor
glukosa. Sementara itu, setiap kenaikan kadar kalium serum akan
menurunkan gradien kalium transmembran, sehingga mengurangi
pengeluaran kalium pasif dari sel. Peningkatan asupan kalium juga
merangsang sekresi aldosteron, yang selanjutnya merangsang ekskresi
kalium oleh ginjal dan usus besar (Miller & Gulbis, 2014).

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Studi Literatur
Penelitian ini menggunakan desain penelitian studi literature review
mengenai Hubungan Diet Asupan Kalium Dengan Kadar Kalium Pada Pasien
Gagal Ginjal Kronik. Yaitu dengan melakukan penelusuran dan pencarian
pustaka panduan yang berhubungan dengan subjek yang akan diambil. Dalam
studi ini menggunakan The Joanna Briggs Institute Critical Appraisal Tools
sebagai asesmen kualitas dari studi yang akan dirangkum. Evaluasi dari
literature review akan menggunakan PRISMA checklist untuk menentukan
penyelesaian studi yang telah ditemukan dan disesuaikan dengan tujuan dari
literature review.

3.2 Langkah-langkah Penelusuran Literatur


3.2.1 Menentukan topik
Dengan banyaknya pasien penderita gagal ginjal, maka penelitian
yang dilakukan adalah terkait dengan asupan yang masuk dalam ginjal.
Penderita gagal ginjal membutuhkan pengaturan diet khusus, karena
organ ginjalnya tidak lagi bisa mengeluarkan zat-zat sisa yang harus
dikeluarkan dari dalam tubuh. Dalam hal ini mengambil topik tentang
bagaimana Hubungan Diet Asupan Kalium Dengan Kadar Kalium Pada
Pasien Gagal Ginjal Kronik ?. topik ini yang mendasari penelusuran
artikel / jurnal publikasi untuk membuat literature riview ini. Topik ini
sudah disetujui oleh dosen pembimbing satu dan dosen pembimbing
dua pada bulan Agustus 2020.

3.2.2 Merumuskan PEOS


Strategi yang digunakan dalam penelusuran artikel menggunakan PEOS
1. P = population/patients/problem yaitu populasi, pasien, atau
masalah yang akan dianalisis sesuai dengan tema yang ditetapkan
2. E = exposure yaitu apa yang dianalisis dalam suatu topik atau tema
yang ditetapkan
3. O = outcome yaitu target yang ingin dicapai dalam menyusun
literature review sesuai dengan topik yang dipilih
4. S = study desaign yaitu desain penelitian yang digunakan dalam
artikel yang akan direview
PEOS untuk topik penelitian: Hubungan Diet Asupan Kalium Dengan
Kadar Kalium Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik.
P (Population) Chronic kidney failure patient
E (Exposure) Potassium dietary, potassium rate
O (Outcome) Correlation between potassium dietary and
potassium rate in patient with chronic kidney
failure.
S (Study design) Cross sectional study, case control,
Tabel. 4 PEOS Hubungan Diet Asupan Kalium Dengan Kadar Kalium
Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik.

3.2.3 Membuat keywords


Penelusuran artikel atau jurnal menggunakan keyword dan
menggunakan builder (AND; OR) yang digunakan untuk
menspesifikkan pencarian, sehingga mempermudah dalam mencari
artikel atau jurnal yang digunakan. Kata kunci dalam literature review
ini disesuaikan dengan MeSH (medical subject Heading) terdiri dari
sebagai berikut

Chronic cronic
potassium Potassium, Dietary
Kidney kidney
dietary Dietary Potassium
Failure dieses
OR AND OR OR
Tabel. 5 keyword Hubungan Diet Asupan Kalium Dengan Kadar Kalium
Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik.
Keyword dalam penelitian ini adalah :
((((Chronic Kidney Failure) OR cronic kidney dieses) AND potassium
dietary) OR Potassium, Dietary) OR Dietary Potassium)

3.2.4 Database Pencarian


Literature review merupakan rangkuman/telaah menyeluruh
beberapa studi penelitian yang ditentukan berdasarkan tema yang
dipilih. Pencarian literatur dilakukan pada bulan Agustus - September
2020. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yakni data yang didapatkan bukan dari penelitian langsung melainkan
data dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti
terdahulu. Sumber data sekunder yang didapat berupa artikel asli
(Original article) baik nasionaal maupun internasional dengan tema
yang sudah ditetapkan. Penelusuran literatur dalam literature review ini
menggunakan tiga database diantaranya adalah Pubmed, Science Direct
dan Google Scholar.

3.2.5 Mendokumentasikan Hasil Pencarian Dalam Prisma Flow Chart


PRISMA 2009 Flow Diagram

Records identified through


database searching

Identification
Pubmed = 108
Sience Direct = 27
Additional records identified
Google scholar = 3
through other sources
(n = 147)
(n = 0)

Records after duplicates removed


Screening

Duplicate = 7
(n = 140)

Records screened Records excluded


(n = 140) (n = 81)
Eligibility

Full-text articles assessed Full-text articles excluded,


for eligibility with reasons
(n = 59 ) (n = 33)

Studies included in
qualitative synthesis
(n = 26)
Included

Studies included in
quantitative synthesis
(literature riview)
(n = 10)

Tabel.6 Prisma Flow Chart

3.2.6 Kriteria Inklusi Dan Eksklusi


Strategi yang digunakan untuk menelusuri artikel menggunakan
PEOS.
Kriteria Inklusi Eksklusi
Chronic kidney failure Non Chronic kidney failure
P (Population)
patient patient
Not Potassium dietary (natrium
Potassium dietary
dietary, protein dietary ect)
E (Exposure)
Not potassium rate (natrium
Potassium rate
rate, ect)
Correlation between
potassium dietary and
O (Outcome) Not correlation
potassium rate in patient
with chronic kidney failure
S (Study Observasional study,cross Quasy experimen, pra
design) sectional study,case control experiment

Publication
years Post-2010 Pre-2010

Indonesian, English Language other than


Language
Indonesian and English

Tabel. 7 Inklusi dan Eksklusi

3.2.7 Seleksi Studi Dan Penilaian Kualitas


a. Seleksi Studi

Berdasarkan Pencarian literatur melalui publikasi dari database

pada Agustus 2020 menggunakan kata kunci yang sudah disesuaikan

peneliti mendapatkan pudmed 108, sience direct 27 dengan kata kunci

((((Chronic Kidney Failure) OR cronic kidney dieses) AND potassium

dietary) OR Potassium, Dietary) OR Dietary Potassium) , pada google

scholar terdapat 3 jurnal meggunakan kata kunci Hubungan Diet

Asupan Kalium Dengan Kadar Kalium Pada Pasien Gagal Ginjal


Kronik. Hasil pencarian yang sudah didapatkan kemudian dipriksa

duplikasi terdapat 7 artikel ,tersisa 104.

selanjutnya peneliti melakukan skrining yang memuat judul dan

abstrak saja, ditemukan sebanyak 0 artikel. Dari 140 artikel peneliti

juga memeriksa yang tidak lengkap/tidak sesuai dengan PEOS yang

sudah ditetapkan serta yang tidak sesuai dengan kriteria inklusi,

hasilnya ditemukan 81 artikel yang tidak sesuai dan 10 artikel yang

termasuk included study dan akan dilakukan analisis. Hasil seleksi

literatur dapat digambarkan pada PRISMA

b. Penilaian Kualitas

Penilaian kualitas dilakukan dengan analisis kualitas metodologi

dalam setiap studi dengan menggunakan checklist critical appraisal

(terlampir) oleh The Joanna Briggs Institute. Checklist critical

appraisal ini merupakan penilaian dengan beberapa jenis pertanyaan

yang diberi checklist “YA” atau “TIDAK”, atau “TIDAK JELAS”

atau “TIDAK TERSEDIA”, dimana setiap jawaban “YA” diberi skor 1

kemudian dihitung dan dijumlahkan. Skor yang memenuhi kriteria

critical appraisal 50% dari cut-off-point yang telah disepakati, maka

studi dimasukkan ke dalam kriteria inklusi dan dapat dilakukan review.

Hasil skrining akhir didapatkan 10 artikel yang mencapai atau lebih

dari skor 50% yang sesuai dengan kriteria critical appraisal dan siap

dilakukan analisis data.

3.3 Melakukan Review


Berdasarkan riview pada studi jurnal, penelitian menunjukan persamaan

yang menganalisis ada tidaknya hubungan diet asupan kalium dengan kadar

kalium pada pasien GGK. Dengan menggunakan sampel pada orang dewasa

umur antara 18 - 60 tahun dengan mengetahui kadar kalium dari data rekam

medis pasien. Beberapa penellitian berpendapat bahwa penderita GGK harus

mengatur asupan makanan yang mengandung kalium tinggi, karena asupan

kalium berhubungan dengan kadar kalium yang bertujuan untuk mencegah

terjadinya penurunan kondisi pasien. Namun ada juga penelitian yang

menyimpulkan bahwa kepatuhan diet asupan kalium tidak berhubungan

dengan kadar kalium.

3.4 Rencana Penyajian Hasil Literature Riview

Hasil Literature Riview ini akan disajikan dalam bentuk tabel yang

berisi aspek dari literatur yang ada mulai dari judul, penulis, tahun publikasi,

metode yang digunakan, database, serta hasil penelitian.

Daftar Pustaka
Aisara, S., Azmi, S., & Yanni, M. (2018). Gambaran Klinis Penderita Penyakit
Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Jurnal Kesehatan Andalas, 7(1), 42. https://doi.org/10.25077/jka.v7i1.778
Anita, D. C. (2020). Penilaian Status Gizi Pasien Gagal Ginjal Kronis Melalui
Biokimiawi Darah.
Chikarrani, G. (2019). Hemodialisis. Journal of Chemical Information and
Modeling, 53(9), 1689–1699.
Depkes. (2017). InfoDATIN Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan
RI: Situasi Penyakit Ginjal Kronis. 1–10.
www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/
Diet. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Diakses melalui
https://kbbi.web.id/diet, 7 Desember 2020
Herrington, C Simon. 2016. Muir Buku Ajar Patologi Alih Bahasa, Tim Alih
Bahasa FK UNPAD; Editor Edisi Bahasa Indonesia, Allen et al Edisi 15.
Jakarta : EGC
Hima, A. (2016). HUBUNGAN KEPATUHAN DIET DAN ASUPAN KALIUM
DENGAN KADAR KALIUM PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK
YANG MENJALANI HEMODIALISA RAWAT JALAN DI RSUD
KABUPATEN SUKOHARJO.
Ivana, N. (2017). Pemeriksaan kadar kalium pada serum penderita gagal ginjal
kronik. 53.
Kalengkongan, D., Makahaghi, Y., & Tinungki, Y. (2018). Faktor-Faktor Risiko
Yang Berhubungan Dengan Chronik Kidney Disease (Ckd) Penderita Yang
Dirawat Di Rumah Sakit Daerah Liunkendage Tahuna. Jurnal Ilmiah
Sesebanua, 2, 100–114.
Kanauchi, M., & Kanauchi, K. (2018). The World Health Organization’s Healthy
Diet Indicator and its associated factors: A cross-sectional study in central
Kinki, Japan. Preventive Medicine Reports, 12(September), 198–202.
https://doi.org/10.1016/j.pmedr.2018.09.011
Kumar, Abbas, Aster, 2014. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 9. Jakarta :
Elsevier Indonesia
Mary, E Beck, 2011. Ilmu Gizi Dan Diet Hubungannya Dengan Penyakit-
Penyakit Untuk Perawat Dan Dokter. Yogyakarta :Andi Yogyakarta Dengan
Yayasan Essentia Medica (YEM) Yogyakarta
Miller, D. M., & Gulbis, J. M. (2014). CHAPTER 3. Potassium. In Nephrology
and Fluid/Electrolyte Physiology (Third Edit). Elsevier Inc.
https://doi.org/10.1039/9781849739979-00043
Palmer, B. F., & Clegg, D. J. (2020). Chapter 40 - Potassium Metabolism in
Chronic Kidney Disease (P. L. Kimmel & M. E. B. T.-C. R. D. (Second E.
Rosenberg (eds.); pp. 643–659). Academic Press.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/B978-0-12-815876-0.00040-1
Sandala, G. A., & Mongan, A. E. (2016). Gambaran kadar kalium serum pada
pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 non dialisis di Manado Kandidat
Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado merupakan
hal yang sangat penting untuk neuromuskular . Transfer kalium antara
Keadaan as. Jurnal E-Biomedik (EBm), 4, 4–9.
World Health Organization. (2012). Guideline: Potassium intake for adults and
children. World Health Organization, 1–20.

Anda mungkin juga menyukai