Anda di halaman 1dari 20

Pendidikan Karakter dan Anti Korupsi

Konsep Pendidikan Karakter Tradisional di


Indonesia

Oleh

Nama : Era Fazira


Nim : A 24118 041

Dosen Pengampu :
Drs. H. Muhammad Ali, M.Si

Program Studi Pendidikan Fisika


Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Tadulako
2020

1
I. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dari pendidikan karakter menurut adat dan budaya
2. Untuk mengetahui konsep dari pendidikan karakter menurut ajaran agama
3. Untuk mengetahui konsep dari pendidikan karakter menurut implementasi
kepemimpinan
II. Pembahasan
Konsep pendidikan yang asli di Indonesia itu dapat digali dari berbagai adat-
istiadat dan budaya di indonesia, ajaran berbagai agama yang ada di Indonesia
serta praktik kepemimpinan yang telah lama diterapkan di Indonesia.
1. Konsep Pendidikan Karakter menurut Adat dan Budaya
Masyarakat Indonesia bersifat multi-pluraris, seluruh adat dan budaya di
tampilkan. Asumsi bahasa adalah produk adat dan budaya, jadi titik tolak
pembahasan adalah adanya 5 bahasa yang memiliki penutur terbesar di
Indonesia (dari barat ke timur): Batak, Sunda, Jawa, Madura, dan Bugis. Dalam
hal ini karena bahasa Melayu merupakan akar bahasa Indonesia tentu saja tidak
perlu dibahas di sini.
a. Adat Batak terkait Pendidikan Karakter
Prinsip etika sosial Batak berlandaskan pada Dalihan na Tolu, artinya
tungku berkaki tiga. Masyarakat Batak diumpamakan sebuah kuali
dan Dahlian na Tolu adalah tungkunya. Di sini tergambar perlunya
keharmonisan dari ketiga kaki tungku tersebut yakni: Hula-hula (para
keturunan laki-laki dari satu luluhur), Boru (anak perempuan), dan Dongan
Sabutuha (semua anggota laki-laki semarga).
Dengan adanya tungku itu maka kuali masyarakat Batak menjadi
seimbang, harmonis, dan menyala api solidaritasnya. Akar dari sistem
nilai Dalihan na Tolu adalah kerendahan hati (humble). Orang Batak  harus
hormat kepada Hula-hulanya tanpa syarat, tidak peduli hula-hulanya miskin,

2
tidak berpendidikan dan sebagainya. Kecuali itu Dahlian na Tolu juga
dikembangkan oleh keinginan memanifestasi Olong (rasa kasih sayang).
Dengan Dahlian na Tolu, muncul dan berakarlah demokrasi
kekeluargaan dalam masyarakat Batak. Demokrasi kekeluargaan ini dibina
dengan cara musyawarah mufakat. Esensi hasil musyawarah mufakat adalah:
 Pembicaraan perseorangan tidak diterima, pendapat umumlah yang
menentukan.
 Jangan disimpan dalam hati, baiknya dikeluarkan saja.
 Mayoritas bergembira, jika sudah tidak ada minoritas yang mengeluh.
 Putusan yang diharapkan, yaitu putusan yang dapat diterima oleh semua
orang.
 Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, sangat bergantung kepada
masyarakat.
b. Adat Sunda terkait Pendidikan Karakter
Dalam budaya Sunda, prinsip dan etika terkait dengan pergaulan
manusia dengan Tuhan, dan pergaulan dengan sesama manusia, dilandasi
oleh silih asih, silih asah, dan silih asuh. Hal tersebut menunjukkan karakter
khas dari budaya Sunda sebagai konsekuensi dari pandangan hidup
religiusnya.
Silih asih adalah wujud komunikasi dan interaksi religious-sosial yang
menekankan kepada sapaan cinta kasih Tuhan serta merespon melalui cinta
kasih kepada sesama manusia. Dalam kata lain, silih asih merupakan
kualitas interaksi yang dilandasi nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai
kemanusiaan. Dalam tradisi silih asih, manusia saling menghormati, tidak
ada manusia yang suoerior maupun manusia yang inferior.
Masyarakat silih asah dimaknai saling bekerja sama untuk
meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan kecakapan. Tradisi ini
melahirkan etos dan semangat ilmiah memupuk jiwa kuriositas dan saling

3
mengembangkan diri untuk memperkaya khazanah pengetahuan dan
teknologi. Hal ini diharapkan mampu menciptakan otonomi dan kedisiplinan
sehingga tidak bergantung kepada masyarakat lain.
Masyarakat silih asuh memandang kepentingan kolektif maupun
kepentingan pribadi mendapat perhatian berimbang melalui saling pantau,
saling kontol, tegur sapa, dan saling memberikan bimbingan. Budaya silih
asuh  mampu memperkuat ikatan emosional yang dikembangkan dalam
tradisi ini.
Karakter pokok yang harus dimiliki dan dikembangkan oleh Urang
Sunda adalah Cageur/sehat jasmani dan ruhani, bageur/baik dalam berbicara
maupun tindakan, bener/benar dalam tujuan hidup dan langkah
perbuatan, singer/muhasabah, mawas diri; agar tidak terjerumus dalam
perilaku salah dan keliru, dan pinter/cerdas dalam pengertian tidak pernah
berhenti dalam mencari dan mengembangkan ilmu. Itulah filosofi dari kata
Sunda yang memiliki makna segala sesuatu yang mengandung unsur
kebaikan dan orang Sunda meyakininya.
Ada sejumlah nilai yang menlandasi karakter kepemimpinan dalam
masyarakat Sunda. Nilai-nilai yang harus menajdi sikap seorang pimpin
tersebut antara lain adalah:
 Teu adigung kamagungan (tidak sombong).
 Titih-rintih, tara kajurung ku nafsu (tertib, tidak pernah terdorong nafsu).
 Sacangreud pageuh, sagolek pangkek, henteu ganti pileumpangan (kukuh
pendirian).
 Leber wawanen (penuh keberanian) yang diimbangi dengan kepandaian.
 Loba socana rimbil cepilna (pandai membaca keadaan dan mendengar
keluh kesah bawahan/rakyatnya).
 Kudu boga pikir rangkepan (waspada dan hati-hati).
 Kudu jadi gunung pananggeuhan (harus menjadi andalan bagi rakyat).

4
Orang Sunda mementingkan pendidikan dan pembelajaran dengan
suatu kesadaran bahwa pada hakikatnya tidak ada orang yang bodoh.
Masalahnya adalah, diperlukan kesabaran dan metode yang tepat agar yang
dianggap bodoh itu dapat memahami hikmah dan pengetahuan yang
diperoleh dari pembelajaran. Hal ini tercermin dalam ungkapan berikut:
  Peso mintul mun terus diasah tangtu bakal seukeut (pisau yang tumpul
kalau terus diasah akan taham juga).
 Cikarakae ninggang batu laun-laun jadi legok (air tempias menimpa batu
lama-lama batunya akan berlubang).
c. Adat Jawa terkait Pendidikan Karakter
Ki Tyasno, Ketua Umum Majelis Hukum Taman Siswa (2007) yang
menyatakan bahwa dasar filosofi karakter adalah Tri Rahayu  (tiga
kesejahteraan) yang merupakan nilai-nilai luhur dan merupakan pedoman
hidup meliputi:
 Mamayu hayuning salira (bagaimana hidup untuk meningkatkan kualitas
diri pribadi).
 Mamayu hayuning bangsa (bagaimana berjuang untuk negara dan
bangsa).
 Mamayu hayunung bawana (bagaimana membangun kesejahteraan
dunia).
Untuk mencapai Tri Rahayu tersebut, manusia harus memahami,
menghayati, serta melaksanakan tugas sucinya sebagai manusia yang
tercantum dalam Tri Satya Brata (tiga ikrar bertindak) yaitu:
 Rahayuning bawana kapurba waskitaning manungsa (kesejahteraan
dunia bergantung kepada manusia yang memiliki ketajaman rasa).
 Dharmaning menungsa mahanani rahayuning nagara (tugas utama
manusia adalah menjaga keselamatan negara).

5
 Rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsane (keselamatan
manusia ditentukan pada tata perilakunya, rasa kemanusiaannya).
Ki Ageng Soerjomentaram mengutarakan bahwa dalam menjalani
hidup ini sebaiknya manusia “tidak” melakukan tiga hal. 3 hal tersebut
adalah: ngangsa-angsa (ambisius, bernafsi-nafsi), ngaya-aya (terburu-buru,
tidak teliti, cermat dan hati-hati), dan golek benere dhewe (mencari benarnya
sendiri, mau menang sendiri). Hal ini tidak sejalan dengan
sifat satria  (ksatrya) Jawa. Satria Jawa dalam kehidupannya selalu
berlandaskan ajaran berbudi bawa leksana (berbudi luhur dan rendah hati,
tawaddhu), dan kaprawira (keperwiraan). Kaprawira berarti selalu berlaku
perwira dalam segala sesuatu dan dia temen (jujur), tanggap (bertindak
antisipatif), tatag  (teguh hati, mampu melihat dan mengalami kondisi sapa
saja), tangguh (tidak mudah kalah, tidak mudah menyerah),
dan tanggon (pilih tanding, berani menghadapi siapa saja asal merasa
benar), dan datan melik pawehing liyan (tidak mengharapkan bantuan orang
lain).
KPH H. Anglikusomo salah satu keturunan Paku Alam menafsirkan
ajaran-ajaran Paku Alam, diantaranya adalah ajaran yang tertulis
di regol (pintu gerbang) puro Pakualaman yang berbunyi wiwara kusuma
winayang reka. Wiwara artinya pintu/terbuka, kusuma berarti berbudi
luhur, winayang artinya sasmita/ilham, reka berarti pola pikir. Sehingga
makna keseluruhan adalah orang yang berbudi luhur niscaya selalu terbuka
dan bijaksana.
Sementara dalam cermin yang dipasang di pintu gerbang Pakualam
tertulis guna titi purun. Guna artinya bermanfaat, maknanya orang yang
berilmu harus memanfaatkan ilmunya untuk kesejahteraan dan kemajuan
umat manusia. Titi dimaknai jujur, lebih dan mengerti, artinya benar-benar
mengerti pokok persoalan, mengerti bidang tugasnya, mengerti betul

6
kewajibannya. Purun maknanya berani, mau dan mampu melakukan atau
berani untuk berperilaku baik menjauhi oerbuata jahat dan kotor, berani
mengedepankan keadilan, amar ma’ruf nahi munkar.
Sikap manusia Jawa yang lainnya adalah adhap asor  atau lembah
manah  artinya rendah hati, tidak sombong (ora kumalungkung). Rendah hati
berarti tidak mau menonjolkan diri walau memiliki kemampuan (bagai ilmu
padi makin menunduk makin berisi). Orang yang adhap asor juga mampu
menahan diri, jika dicela tidak mudah marah tetapi justru akan mawas diri
apa kekurangan dan kelemahannya.
Dalam hidup bermasyarakat manusia Jawa/Wong Jawa hendaknya
selalu memiliki 3 tingkatan prinsip. Prinsip pertama, rigen, mugen,
tegen. Prinsip kedua gemi, nastiti, ngati-ati. Prinsip ketiga gumati,
mengerti, miranti.
Rigen adalah mengajarkan segala sesuatu sampai
tuntas. Tegen maknanya adalah tekun dan sungguh-sungguh dalam
bekerja. Mugen  maknanya adalah mantap dalam hati (berkomitmen tinggi)
dalam melaksanakan pekerjaan, tekadnya juga mantap serta setia menjalani
pekerjaannya.
Gemi maknanya mampu mengelola, mengatur, tidak boros, bersifat
hemat. Nastiti maknanya cermat memperhitungkan segala sesuatunya,
memperhitungkan akibat-akibat dari tindakannya. Ngati-ati  maknanya hati-
hati dan sikap batin yang selalu waspada.
Gumati maknanya sungguh-sungguh sampai ke dalam sanubarinya
jika merawat dan memelihara sesuatu. Mengerti maknanya mengerti empan
papan (ketupat; keadaan waktu dan tempat) atau sikon (situasi dan kondisi
sekeliling) sehingga perasaan orang lain menjadi puas, tidak sakit hati karena
salah bertindak/salah bicara. Mirananti maknanya memenuhi keinginan,
menaati peraturan yang berlaku mengikuti SOP/standard operating
procedures, dapat membagi waktu dengan baik dan rajin dalam bekerja.

7
Di samping dari ajaran leluhur, karakter yang diingatkan oleh
manusia Jawa juga sering ditemui sebagai pasemon (perumpamaan) dalam
tembang-tembang (lagu, lelagon) Jawa. Misalnya dalam tembang gundhul-
gundhul pacul:
Gundhul-gundhul pacul, gembelengan (2x)
Nyunggi-nyunggi wakul, gembelengan (2x)
Wakul glimpang segane dadi sak ratan (2x)
Makan dari lagu tersebut merupakan pepeling (peringatan) agar jika
menjadi pemimpin dalam menerima amanah (nyunggi wakul)  tidak
sembrono (gembelengan),  tidak seenaknya sendiri. Akibatnya nanti seluruh
tatanan dan aturan masyarakat dapat menjadi rusak, kondisi negara tidak
terkendali.
Dalam pergaulan sehari-hari, orang Jawa suka menggunakan
perlambang, perumpamaan/simbol-simbol, seperti ungkapan: Wong Jawa
nggone pasemon, orang Jawa suka menggunakan perumpamaan, kata-kata
yang terselubung. Perumpamaan tersebut sering dijumpai di masyarakat
Jawa:
 Ngono ya ngono, ning aja ngono, artinya begitu ya begitu, tetapi jangan
begitu. Suatu peringatan agar dalam bersikap, berbicara, bertindak tidak
berlebih-lebihan, karena bukan kebaikan yang akan diperoleh tetapi justru
keburukan.
 Cekelen iwake aja buthek banyune, artinya tangkaplah ikannya jangan
keruh airnya. Nasihat agar kebijaksanaan dan hati-hati dalam
melaksanakan sesuatu, juga dalam menegakkan hukum dan keadilan.
 Curiga manjing warangka, warangka manjing curiga, artinya keris
menyatu dengan sarungnya, sarung menyatu dengan kerisnya.
Melambangkan persatuan antara pemimpin dengan bawahan/rakyatnya.
Pemimpin memahami aspirasi rakyat, rakyat mengabdi dengan ikhlas.

8
d. Adat Madura terkait Pendidikan Karakter
Literatur terkait dengan karakter adat Madura, mengungkap karakter
yang terkandung dalam lagu-lagu daerah berbahasa Madura. Di antara lagu-
lagu tersebut adalah Lir Saalir, teks seoerti ini:
Lir saalir, alir, alir, kung! Ngare’ benta ngeba sada,
Mon motta esambi keya, lir saalir, alir, alir, kung!
Tada’ kasta neng e ada’, ghi’ kasta e budi keya,
Lir saalir, alir, alir, kung!
Perreng petting pote-pote, reng lalakon petangate…
Lagu ini berbentuk pantun nasihat yang mengingatkan kita untuk
selalu berhati-hati dalam bekerja, bertindak, bertingkah laku, berbicara, dan
bersikap. Juga memberikan nasihat untuk berpikir jernih sebelum mengambil
tindakan atau membuat keputusan, karena kesalahan dalam bertindak atau
memutuskan sesuatu akan menimbulkan penyesalan di kemudian hari.
Lagu lainnya adalah lagu Pa’ opa’ Iling yang syair sebagimana berikut ini:
Pa’ opa’ iling, dang dang asoko randhi,
Reng towana tar ngaleleng
Ajhara ngaji babana cabbhi,
Le oleh gheddang bighi
Lagu ini semacam lagu nina bobo, dinyanyikan oleh orangtua untuk
meimang atau mengajak bermain anaknya yang masih kecil. Lagu ini syarat
makna. Sebagai masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama
Islam, masyarakat Madura mewajibkan anaknya untuk mengaji sejak dini.
Ngaji di sini bukan sekadar mengaji al-Qur’an, tetapi juga kegiatan mencari
ilmu dunia bagi bekal kehidupan di masa mendatang.
Lagu terakhir yang kita bahas adalah lagu Pajjhar Lagghu (fajar pagi)
yang syairnya sebagai berikut:
Pajjhar lagghu arena pon nyonara
Bapa’ tane se tedung pon jhagha’a

9
Ngala’ are’ ben landhu’ tor capenga,
A jhalanna ghi’ sarat kewajjibhan
Atatamen mabannya’ hasel bhumena,
Mama’mor nagharana tor bangsana
Bagi masyarakat Madura bekerja sebagai petani manjadi pekerjaan
utama. Walau tanah Madura kurang subur, dengan semangat kerja yang giat
dan pantang menyerah mereka dapat hidup dari bercocok tanam. Sudah
menjadi kebiasaan masyarakat Madura untuk bergotong royong dalam
bercocok tanam. Dalam kaitan ini semua anggota keluarga memiliki peran
dan melaksanakan peran mereka secara gotong royong.
e. Adat Bugis terkait Pendidikan Karakter
Kita mendapatkan pengetahuan tentang adat Bugis karena petuha-
petuah luhur yang dinyatakan dalam tulisan. Sistem dan norma adat tertulis
yang merupakan wujud kebudayaan tersebut disebut dengan panngaderreng.
Panngaderreng dapat dimaknai sebagai totalitas norma hidup yang meliputi
bagaimana seseorang harus bertingkahlaku terhadap sesama manusia dan
terhadap pranata sosial secara seimbang. Sistem panngaderreng terdiri dari
5 unsur pokok, yaitu: ade’. bicara, rappang, wari’, dan sara’.
Ke-5 unsur pokok panngaderreng yang menjadi pedoman dalam
langkah sehari-hari tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
 Ade’, teta tertib yang bersifat normatif,
 Bicara, aturan formal yang menyangkut peradilan dalam arti luas,
 Rappang, aturan tak tertulis untuk mengokohkan negara dengan segenap
undang-undang dan hukumnya,
 Wari’, ketentuan dari bagian ade’ yang mengatur batas-batas hak dan
kewajiban setiap orang dalam hidup bermasyarakat, dan
 Sara’, berasal dari syariat agama Islam.

10
Semua itu diperteguh dalam satu rangkuman, suatu ikatan yang paling
mendalam, yakni siri’. Salam Basjah dalam Parmono mengartikan Siri’
sebagai:
 Perasaan malu
 Daya dorong untuk membinasakan siapa saja yang telah menyinggung
kehormatan
 Daya dorong untuk berusaha/bekerja semaksimal mungkin

2. Konsep Pendidikan Karakter menurut Ajaran Agama


a. Landasan Karakter dalam Agama Islam
Landasan karakter terletak pada Kitab Suci al-Qur’an dan Hadis nabi
Saw. Hadis yang dikutip pun hadis yang disepakati sebagai hadis yang
valid/sahih. Tidak dapat dipungkiri, sebenarnya banyak hikmah dapat dipetik
dari sirah/biografi para sahabat maupun para tabi’in. berbagai karakter yang
harus dimiliki oleh kaum muslimin baik menurut al-Qur’an maupun hadis,
antara lain:
 Bersilaturrahmi, menyambung komunikasi. al-Hadis: Barang siapa ingin
dilunaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah ia
bersilaturrahmi (HR. Bukhari Muslim dari Anas).
 Berkomunikasi dengan baik dan menebar salam. al-Qur’an: Seluruh
manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik,
dan berdebatlah (berdiskusilah) kamu dengan mereka menurut cara yang
lebih baik (QS An-Nahl: 125)
 Jujur, tidak curang, menepati janji dan amanah (QS Tathif: 1).
Berkomunikasi ddengan baik dan santun, gemar memberi salam (QS An-
Nahl: 125). Sabar dan optimis (QS Hud: 115), berbuat adil, tolong
menolong, saling mengasihi, dan saling menyayangi (QS An-Nahl: 90),
Dll.

11
b. Landasan Karakter dalam Agama Kristen/Katollik
Sejauh yang ditulis dalam al-Kitab: Surat Amsal kita dapati sejumlah
landasan karakter agama Kristen/Katolik tentang hal-hal sebagai berikut:
 Prihal kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Pasal 1 ayat 3: …untuk
menerima didikan yang menjadikan pandai, serta kebenaran, keadilan dan
kejujuran. Pasal 2 ayat 9: Maka engkau akan mengerti tentang keadilan
dan kejujuran bahkan setiap jalan yang baik.
 Menghargai nasihat orangtua. Pasal 1 ayat 8: Hai anakku dengarkanlah
didikan ayahmu dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu.
 Besifat kasih dan setia. Pasat 3 ayat 3: Janganlah kiranya kasih dan setia
meninggalkan engkau! Kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu
pada loh hatimu!. Pasa 21 ayat 21: Siapa mengejar kebenaran dan kasih
akan memperoleh kehidupan, kebenaran dan kehormatan. Dll
c. Landasan Karakter dalam Agama Hindu
Landasan karakter dapat dilihat dari sejumla surat dalam Yajurveda,
Ryveda, dan Atharwaveda serta kitab suci agama Hindu yang lain. Dalam
buku itu antara lain dapat dijumpai landasi karakter:
 Suka berbuat baik. Lakukanlah perbuatan yang baik bersama seluruh
keluargamu untuk menuju kebajikan atau dharma (Yajurveda, VII, 45).
 Berbuat jujur dan berkata benar. Orang yang senantiasa berbuat jujur,
berkata benar atau satya memperoleh perlindungan dalam hidupnya
(Rgveda, X, 37.2).
 Suka bekerja keras dan dermawan. Wahai umat manusia, kumpulkanlah
kekayaan dengan 100 tangan (bekerja keras) dan setelah engkau
memperoleh, dermakan dengan 1000 tanganmu (Atharwaveda III, 24.5).
Dll
d. Landasan Karakter dalam Agama Buddha

12
Karakter pokok seorang penganut agama Buddha adalah seperti yang
terkandung dalam Dhamma-Sari yang disusun oleh Maha Pandita Sumedha
Widyadharma. Dikenal dengan Jalan Tengah atau Delapan Jalan
Utama (Ariya Atthangika Magga). Ke-8 jalan utama tersebut secara ringkas
dilihat berikut ini:
No Jalan Utama Artinya
1 Samma Ditthi Pengertian benar, takni merealisasikan 4
Kesunyataan Mulia yang meliputi
derita/dukkha, sumber derita, terhentinya derita
dan jalan menuju terhentinya derita.
2 Samma Pikiran benar, komitmen untuk bertumbuh di
Sankappa Jalan Tengah.
3 Samma Vaca Ucapan benar, bicara tanpa menyakiti, dengan
cara benar.
4 Samma Perbuatan benar, seluruh perilaku yang tidak
Kammanta menyakiti orang lain.
5 Samma Ajiva Penghidupan benar, memiliki pekerjaan yang
tidak menyakiti diri sendiri atau orang lain, secara
langsung maupun tidak langsung.
6 Samma Vayama Daya upaya, selalu mencoba ke arah perbaikan.
7 Samma sati Perhatian benar, melihat segala sesuatu dengan
benar dan dengan kesadaran yang jernih.
8 Samma Konsentrasi benar, mencapai pencerahan, di mana
Samadhi ego lenyap.
Pelaksanaan 8 jalan utama ini bertujuan mengembangkan dan
menyempurnakan apa yang disebut Sila (tata hidup
bersusila). Samadhi  (disiplin mental), dan Panna (kebijaksanaan luhur).
3. Konsep Pendidikan Karakter menurut Implementasi Kepemimpinan
Aspek kepemimpinan tradisional di sini berfokus kepada berbagai ajaran
kepemimpinan yang berlandaskan agama yang dikembangkan dalam kerajaan-
kerajaan yang pernah ada di Indonesia, kita ketahui bahwa urutan kerajaan yang

13
mucul di Indoensia, di pulau Jawa khususnya, adalah kerajaan Hindu, kerajaan
Buddha, dan kerajaan Islam.
a. Tradisi Agama Hindu
Ada 2 sumber ajaran Hindu terkait keutamaan karakter pemimpin,
yang pertama adalah ajaran yang dimuat dalam Negarakertagama  karangan
Empu Prapanca serta ajaran yang termaktub dalam Asta Brata. Sumber Asta
Brata yang terbesar di Jawa terutama pada lakon/cerita wayang. Lakon
wayang tersebut terkait dengan nasihat Sri Rama terhadap Gunawan
Wibisana pada saat dilantik menajdi raja Alengka menggantikan kakaknya
Rahwana, serta wejangan Begawan Padmanaba kepada Arjuna dalam lakon
Wahyu Makutharama (Mahkota Rama).
Dari pupu-pupuh Negarakertagama disebut ada 15 karakter yang
wajib dimiliki seorang pemimpin, yakni:
1) Wijaya,  bertindak penuh hikah dan berlaku tenang dalam menghadapi
berbagai kesukaran dan tantangan hidup.
2) Mantriwira, berani, pembela negara yang gagah berani.
3) Wicaksanengnaya, bijaksana dalam segala tindakan. Dalam arti penuh
perhitungan, melakukan perenungan sebelum berbuat sesuatu dan
mengambil keputusan.
4) Matanggwan, bertanggung jawab dan amanah, memiliki responbilitas dan
akuntabilitas yang tinggi dan selalu menjunjung tinggi kepercayaan yang
diberikan kepadanya.
5) Satyabhakti aprabhu, memiliki loyalitas dan dedikasi yang tinggi,
bersifat setia kepada negara dan bangsa, tulus ikhlas dalam mengabdi
kepada bangsa dan negara.
6) Wagmiwak, pandai berkomunikasi, pandai berpidato dan menyakinkan
orang tentang kebaikan gagasannya, pandai bernegoisasi dan
berdiplomasi mempertahankan keyakinannya.

14
7) Sarjjawopasama, rendah hati, tidak sombong, bermuka manis, ramah,
tulus ikhlas, lurus, sabar, berbudi luhur, beradab tinggi, sopan-santun.
8) Dhirotsaha, rajin bekerja dan sungguh-sungguh, pekerja kerasm tak
mengenal lelah, teguh hati.
9) Tan lalana, bersifat riang gembiram humoris, jika susah tidak
menampakkan kesedihannya walau sebenarnya hatinya risau gundah-
gulana karena memikirkan berbagai masalah kenegraan dan kehidupan.
10) Diwyacitra, demokratis, gemar musyawarah untuk mufakat, mencari
konsensus, mau mendengarkan pendapat dan keluh kesah orang lain.
11) Tan satrisna,  tulus ikhlas, tidak memiliki pamrih pribadi, sangat
menjaga nafsu birahi.
12) Sih samastabhuwana, menyayangi seluruh dunia beserta
isinya/rahmatan ‘lil alaamin, memelihara dan bersahabat dengan
makhluk hidup dan seluruh lingkungan.
13) Ginong pratidna, selalu mengerjakan yang baik dan meninggalkan
yang ma’ruf/amar ma’ruf nahi munkar, tidak ada hari tanpa perbaikan.
14) Sumantrim menjadi karyawan yang senonoh, sempurna kelakuannya,
tahu akan tugas, tidak membuang waktu untuk segala sesuatu yang tidak
berguna, tidak korupsi dan memanfaatkan jabatam, tidak
menyalahgunakan wewenang.
15) Anayajen musuh, bersifat kasih sayang bukan berarti lembek terhadap
musuh yang akan menghancurkan negara, tegas dan berani mengalahkan
musuh, berjiwa satria.
Sedangkan dari ajaran Asta Brata (8 perilaku) yang membuat tamsil
jiwa kepemimpinan berangkat dari isi alam semesta, terjabarkan 8 karakter
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Karakter pemimpin hendaknya
menyerupai:
1) Surya,  matahari. Sifatnya adalah tidak terburu-buru berjalan sesuai
dengan ketentuan rendah hati, sabar berhati-hati. Pemimpin hendaknya

15
mampu menjadi sumber inspirasi, memberi gairah dan semangat kepada
yang dipimpinnya, ia harus berlaku adil seperti matahari yang menerangi
semua orang.
2) Candra, bulan. Mampu diteladani, justru saat-saat krisis mampu menjadi
bulan yang memberikan cahaya orang-orang dalam keadaan gelap,
memberi petunjuk dan arah untuk keluar dari kemelut dan situasi genting,
bilamana perlu mampu menjadi juru damai bagi yang sedang berkonflik.
3) Kartika, bintang. Pemimpin harus bersifat tegas, tidak mudah tergoda,
tidak gentar menghadapi cobaan, percaya diri, terus terang, tanpa ada
yang ditutupi.
4) Bantala,  bumi. Karakter bumi adalah sabar dan dermawan. Menawarkan
kesejahteraan bagi sumua makhluk. Seorang pemimpin yang membumi
selalu tegas, konsisten, istiqamah, tak tergoyahkan, tetapi bersahaja dan
rendah hati.
5) Samudra, lautan. Dapat menjadi tumpahan keluh kesah seluruh anak
buah, tanpa membeda-bedakan posisi dan peranannya.
6) Maruta,  samirana, angin. Simbol demokrasi, mempu menembus semua
celah tatanan masyarakat, mampu bergaul dengan siapa saja, mau
memberikan kesejukan di mana saja dan kepada siapa saja.
7) Dahana, agni, geni, api. Bertindak tegas, tidak pandang bulu, sabar,
ramah, hati-hati.
8) Tirta,  banyu, air. Rendah hati, hidup dengan tujuan yang jelas, memberi
inspirasi kepada semua orang dan selalu memperjuangkan aspirasi
pengikutnya.
b. Tradisi Agama Buddha
Tradisi agama ini ada elemen kepemimpinan yang disebut
dengan Dasa Raja Dhamma (sepuluh kewajiban pemimpin) yang terdiri
dari:
1) Dana, suka menolong orang, tidak kikir dan ramah tamah.

16
2) Sila, bermoral luhur, tidak membunuh, tidak menipu, tidak korupsi, tidak
melakukan perbuatan asusila, tidak berkata bohong, dan tidak minum-
minuman keras.
3) Pariccaga,  mau mengorbankan segala sesuatu demi kepentingan
rakyat/bawahannya.
4) Ajjava, jujur dan ebrsih, bebas dari rasa takut dan tidak mempunyai
kepentingan pribadi sewaktu menjalankan tugas, bersih dan tidak menipu
rakyat.
5) Maddava¸ramah tamah dan sopan santun, berwatak simpatik dan selalu
ramah tamah.
6) Tapa, sederhana dan bersahaja, menjauhkan diri dari hidup yang
berlebih-lebihan.
7) Akkodha,  bebas dari rasa benci/keinginan jahat, tidak memiliki dendam
terhadap siapa pun juga.
8) Avihimsa, tanpa kekerasan, tidak boleh menyakiti orang lain, harus
menjaga perdamaian, mengelakkan semua hal yang mengandung unsur
kekerasan.
9) Khanti, sabar, rendah hati, mampu memanfaatkan kesalahan orang lain,
penuh pengertian.
10) Avirodha, tidak menentang, tidak menghalang-halangi. Hidup bersatu
dengan rakyat/bawahan, bertindak sesuai dengan tuntutan hati nurani
rakyat.
c. Tradisi Agama Islam
Dalam ajaran agama Islam tentang kepemimpinan semua berinduk dari
perilaku Nabi Muhammad Saw. sebagai pemimpin yang mendapat gelar Al-
Amin (seorang yang jujur dan dapat dipercaya). Beliau dikenal memiliki
karakter SAFT (shidiq, amanah, fathonah, dan tabligh).  Itu adalah esensi
ajaran kepemimpinan Islam, sedangkan perincinya sebenarnya amat luas.
Luasnya itu seperti jawaban Aisyah r.a. tatkala ditanya seorang sahabat

17
tentang bagaimana karakter Rasulullah. Secara ringkau beliau menjawab,
karakter Rasulullah adalah al-Qur’an. Jawaban ringkas, tetapi maknanya
amat dalam dan luas. Secara garis besar makna-makna karakter tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Shiddiq, bermakna kejujuran, yakni jujur di dalam ungkapan, sifat dan
tindakan yang terkait dengan tanggung jawabnya sebagai
pemimpin. Shiddiq juga bermkna benar, seorang pemimpin seharusnya
benar dalam berbagai macam aspek, seperti akidah/keyakinannya,
perilaku dan niatnya, sehingga ia layak dan mampu menjadi uswah
hasanah (teladan yang baik) bagi para pengikutnya.
2) Amanah, dapat dipercaya. Seorang pemimpin harus dapat dipercaya,
sehingga dengan kepercayaan yang dimilikinya, maka ia akan membawa
organisasi yang dipimpinannya menjadi lebih baik. Amanah bagi
pemimpin dimaknai sebagai sebuah kepercayaan yang harus diemban
dalam melaksanakan sesuatu tugas, sehingga ia akan menjalaninya
dengan konsekuen, konsisten/istiqamah, sepenuh hati, bersungguh-
sungguh, penuh loyalitas dan dedikasi.
3) Fathonah, cerdas, juga cerdik. Pemimpin harus memiliki kecerdasan yang
komprehensif, tidak sekadar cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas
emosional, cerdas spiritual dan cerdas sosial. Harus memiliki keagungan
jiwa, kekokohan keyakinan, dan ketegaran batin, sehingga ia akan sukses
memimpin organisasinya. Dengan demikian, seorang yang fathonah akan
bersikap bijak dan menjunjung tinggi kebajikan.
4) Tabligh, menyampaikan perintah/sesuatu amanah yang dipercayakan
kepadanya, atau aturan-aturan yang berlaku di organisasinya kepada
seluruh jajaran di bawahnya. Tabligh, juga bermakna membawa
transparansi/keterbukaan di dalam organisasi yang dipimpinnya.
Seorang pempimpim yang memiliki jiwa SAFT tersebut akan terbiasa
bermusyawarah untuk mencapai mufakat, dia terbiasa mengembangkan

18
sikap saling berkasih sayang (tarrahum) antar-sesama manusia. Dalam
hubungan antar-manusia, ia akan melandasinya dengan 6 prinsip pokok,
yaitu: persamaan/musawah, persaudaraan/ukhuwah, cinta kasih/mahabbah,
kedamaian/salim, tolong menolong/ta’awun, dan toleran/tasamuh.
III. Kesimpulan
Konsep pendidikan yang asli di Indonesia itu dapat digali dari berbagai adat-
istiadat dan budaya di indonesia, ajaran berbagai agama yang ada di Indonesia
serta praktik kepemimpinan yang telah lama diterapkan di Indonesia.
Masyarakat Indonesia bersifat multi-pluraris, seluruh adat dan budaya di
tampilkan. Asumsi bahasa adalah produk adat dan budaya, jadi titik tolak
pembahasan adalah adanya 5 bahasa yang memiliki penutur terbesar di Indonesia.
Aspek kepemimpinan tradisional di sini berfokus kepada berbagai ajaran
kepemimpinan yang berlandaskan agama yang dikembangkan dalam kerajaan-
kerajaan yang pernah ada di Indonesia, kita ketahui bahwa urutan kerajaan yang
mucul di Indoensia, di pulau Jawa khususnya, adalah kerajaan Hindu, kerajaan
Buddha, dan kerajaan Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Mastapala, Firdaus. 2015. Pendidikan Karakter (Konsep Pendidikan Karakter di
Indonesia). (Online) Tersedia di https://firdausimastapala.blogspot.com

19
/2015/01 /pendidikan-karakter-konsep-pendidikan.html. Di akses pada tanggal
21 Oktober 2020

20

Anda mungkin juga menyukai