Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

KEBUTUHAN ELIMINASI FEKAL

OLEH:

Nurmeti
032020077

DOSEN PEMBIMBING :

Ns. Bestfy Anitasari, S.Kep.,M.Kep., Sp.Mat

PROGRAM STUDY PROFESI NERS

STIKES KURNIA JAYA PERSADA

TAHUN AKADEMIK

2020/2021
A. Pengertian
Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolism tubuh.
Pebuangan dapat melalui urin ataupun bowel. (Tarwoto, Wartonah, 2006).
Defekasi adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisa metabolism
berupa feses dan flatus yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus.
(Tarwoto, Wartonah, 2006).
Defekasi adalah proses pengosongan usus yang sering disebut dengan buang
air besar. (A. Aziz Alimul Hidayat, Musrifatul Uliyah, 2015).

1) Proses Defekasi
Defekasi adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisa metabolism
berupa feses dan flatus yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus.
Proses defekasi terbagi menjadi dua macam reflex yaitu:
a. Reflex defekasi intrinsic Reflex ini berawal dari fases yang masuk ke
rectum ehingga terjadi distensi rectum, yang kemudian menyebabkan
rangsangan pada fleksus mesentrikus dan terjadilah gerakan peristaltic.
Setelah fases sampai anus, secara sistematis sfingter interna relaksasi,
maka terjadilah defekasi.
b. Reflex defekasi parasimpatis Fases yang masuk ke rectum akan
merangsang saraf rectum yang kemudian diteruskan ke jaras spinal. Dari
jaras spinal kemudian di kembalikan ke kolon desenden, sigmoid dan
rektumyang menyebabkan intensifnya peristaltic, relaksasi sfingter
internal, maka terjadilah defekasi. Dorongan fases juga di pengaruhi oleh
kontraksi otot abdomen, tekanan diaragma, dan kontraksi ototelevator.
Defekasi di permudah oleh fleksi otot femur dan posisi jongkok. Gas
yang di hasikan dalam proses pencernaan normalnya 7-10 liter/24 jam.
Jenis gas yang terbanyak adalah CO², metana, H²S, O² dan nitrogen.
Fases terdiri atas 75% air dan 2,5% materi padat. Fases normal berwarna
kuning kecoklatan karena pengaruh dari mikroorganisme. Konsistensinya
lembek namun bebentuk.

2) Faktor Eliminasi Fekal


1. Usia
Perubahan dalam tahapan perkembangan dalam mempengaruhi
status eliminasi terjadi disepanjang kehidupan. Seorang bayi memiliki
lambung yang kecil dan lebih sedikit menyekresi enzim pencernaan.
Beberapa makanan, seperti zat pati yang kompleks, ditoleransi dengan
buruk. Bayi tidak mampu mengontrol defekasi karana kurangnya
perkembangan neuromuskolar. Perkembangan ini biasanya tidak terjadi
sampai 2 sampai 3 tahun. Pertumbuhan usus besar terjadi sangat pesat
selama masa remaja. Sekresi HCL meningkat khususnya pada anak laki-
laki. Anak remaja biasanya mengkonsumsi makana dalam jumlah lebih
besar. Sistem GI pada lansia sering mengalami perubahan sehingga
merusak proses pencernaan dan eliminasi. Beberapa lansia mungkin tidak
lagi memiliki gigi sehingga mereka tidak mampu mengunyah makanan
dengan baik. Makanan yang memasuki saluran GI hanya dikunyah
sebagian dan tidak dapat dicerna karena jumlah enzim pencernaan
didalam saliva dan volume asam lambung menurun seiring dengan
proseas penuaan. Ketidakmampuan untuk mencerna makanan yang
mengandung lemak mencerminkan terjadinya kehilangan enzim limpase.
Hasil penelitian (Ross, 1990 dalam Potter dan Perry, 2006)
menyatakan 91% lansia yang berusia rata-rata 76 tahun yang dirawat di
rumah sakit mengalami diare atau konstipasi.
Selain itu gerakan peristaltic usus menurun seiring dengan
peningkatan usia dan melambatnya pengosongan esofagus yang
menyebabkan tidak nyaman pada epigaster abdomen.
Lansia juga kehilangan tonus otot pada otot dasar perineum dan
sfingter anus sehingga mengalami kesulitan mengontrol pengeluaran
feses. Beberapa lansia kurang menyadari kebutuhan defekasi akibat
melambatnya impuls saraf sehingga cenderung mengalami konstipasi.

2. Diet
Asupan makanan setiap hari secara teratur membantu
mempertahankan pola peristaltic yang teratur di dalam kolon. Makanan
yang dikonsumsi individu mempengaruhi eliminasi. Serat, residu
makanan yang tidak dapat dicerna, memungkinkan terbentuknya masa
dalam materi feses. Makanan pembentuk masa mengabsorbsi cairan
sehingga meningkatkan masa feses. Dinding usus teregang, menciptakan
gerakan peristaltic dan menimbulkan reflex defekasi. Dengan
menstimulasi peristaltic, masa makanan berjalan dengan cepat melalui
usus, mempertahankan feses tetap lunak. Makanan-makanan berikut
mengandung serat dalam jumlah tinggi (masa).
1) Buah-buahan mentah (apel,jeruk)
2) Buah-buahan yang diolah (prum,apricot)
3) Sayur-sayuran (bayam,kangkung,kubis)
4) Sayur-sayuran mentah (seledri,mentimun)
5) Gandum utuh (sereal, roti)
Mengkonsumsi makanan tinggi serat meningkatkan kemungkinan
normalnya pola eliminasi jika factor lain juga normal. Makanan rendah
serat mengurangi frekuensi defekasi, feses bulk,dan kesulitan defekasi.
Makanan yang menghasilkan gas, seperti bawang, kembang kol, dan
buncis juga menstimulasi peristaltic. Gas yang dihasilkan membuat
dinding usus berdistensi , meningkatkan motilitas kolon. Beberapa
makanan pedas dapat meningkatkan peristaltic , tetapi juga dapat
menyebabkan pencernaan tidak berlangsung dan feses menjadi encer
(diare), flatus, perut kram, sensasi panas pada anus saat feses keluar.
Beberapa jenis makanan, seperti susu dan produk-produk susu,
sulit atau tidak mungkin dicerna oleh beberapa individu. Hal ini
disebabkan oleh intoleransi laktosa. Laktosa, suatu bentuk karbohidrat
sederhana yang ditemukan di dalam susu, secara normal dipecah oleh
enzim lactase. Intoleransi terhadap makana tertentu dapat mengakibatkan
diare, distensi gas, dan kram.

3. Asupan Cairan
Asupan cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang
menyebabkan kehilangan cairan (seperti muntah) mempengaruhi karakter
feses, tubuh mengabsorpsi cairan dari chymus dan menyebabkan feses
menjadi keras dan sulit dikeluarkan adanya gerak peristaltic yang
meningkat, waktu untuk mengabsorpsi berkurang menyebabkan feses
encer dan lunak. Cairan mengencerkan isi usus, memudahkannya
bergerak melalui kolon. Asupan cairan yang menurun memperlambat
pergerakan makanan yang melalui usus. Orang dewasa harus minum 6-8
gelas (1500 – 2000 ml) cairan setiap hari. Minuman ringan yang hangat
dan jus buah memperlunak feses dan meningkatkan peristaltic. Konsumsi
susu dalam jumlah besar dapat memperlambat peristaltic pada beberapa
individu dan menyebabkan konstipasi.

4. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik meninkatkan peristaltic, sementara imobilisasi
menekan motilitas kolon. Ambulasi dini setelah klien menderita suatu
penyakit dianjurkan untuk meningkatkan dipertahankannya eliminasi
normal. Upaya mempertahankan tonus otot rangka, yang digunakan
selama proses defekasi, merupakan hal yang penting. Melemahnya otot-
otot dasar panggul dan abdomen merusak kemampuan individu untuk
meningkatkan tekanan intraabdomen dan untuk mengontrol sfingter
eksterna. Tonus otot dapat melemah atau hilang akibat penyakit yang
berlangsung dalam jangka waktu lama atau penyakit neurologis yang
merusak transmisi saraf.

5. Faktor Psikologis
Cemas akut/kronik, marah, takut, depresi dan emosional dapat
meningkatkan motilitas isi usus atau sekresi mucus sehingga
menimbulkan diare. Begitu pula hospitalisasi, perubahan pekerjaan,
gangguan personal/hubungan keluarga dapat menyebabkan stress akut.
Sedangkan stress kronik dapat menurunkan aktivitas isi usus sehingga
menurunkan frekuensi defekasi.

6. Kebiasaan pribadi
Kebiasaan eliminasi pribadi mempengaruhi fungsi usus.
Kebanyakan individu merasa lebih mudah melakukan defekasi dikamar
mandi mereka sendiri pada waktu yang paling efektif dan paling nyaman
bagi mereka. Jadwal kerja yang sibuk dapat mengganggu kebiasaan dan
mengakibatkan perubahan seperti konstipasi. Individu harus mencari
waktu terbaik untuk melaksanakan eliminasinya. Reflex gastrokolik
adalah reflex yang paling mudah distimulasi untuk menimbulkan defekasi
setelah sarapan.

7. Gaya Hidup (Perilaku)


Kebiasaan untuk melatih pola defekasi sejak kecil secara teratur,
fasilitas defekasi, kebiasaan mengabaikan defekasi. Refleks defekasi dan
keinginan defekasi akan hilang setelah beberapa menit jika keinginan
awal diabaikan. Individu mempunyai kebiasaan makan atau minum
(sarapan) dahulu pagi hari sebelum defekasi karena reflex gastrokolik
paling mudah distimulasi setelah sarapan. Individu mempunyai kebiasaan
defekasi setiap pagi atau tidak punya pola kecuali merespons keinginan
defekasi kapan saja.

8. Posisi Selama Defekasi


Posisi jongkok merupakan posisi yang normal saat melakukan
defekasi. Toilet modern dirancang untuk memfasilitasi posisi ini,
sehingga memungkinkan individu untuk duduk tegak ke arah depan,
mengeluarkan tekanan intraabdomen dan mengontraksi otot-otot pahanya.
Namun, klien lansia atau individu yang menderita penyakit sendi, seperti
artritis, mungkin tidak mampu bangkit dari tempat duduk toilet
memampukan klien untuk bangun dari posisi duduk di toilet tanpa
bantuan. Klien yang mengguanakan alat tersebut dan individu yang
berposter pendek, mungkin membutuhkan pijakan kaki yang
memungkinkan ia menekuk pinggulnya dengan benar.
Untuk klien imobilisasi di tempat tidur, defekasi seringkali
dirasakan sulit. Posisi telentang tidak memungkinkan klien mengontraksi
otot-otot yang digunakan selama defekasi. Membantu klien ke posisi
duduk yang lebih normal pada pispot. Akan meningkatkan kemampuan
defekasi.

9. Nyeri
Dalam kondisi normal, kegiatan defekasi tidak menimbulkan nyeri.
Namun, pada sejumlah kondisi, termasukhemoroid, bedah rectum, fistula
rectum, bedah abdomen, dan melahirkan anak dapat menimbulkan rasa
tidak nyaman ketika defekasi. Pada kondisi-kondisi seperti ini, klien
seringkali mensupresi keinginanya untuk berdefekasi guna menghindari
rasa nyeri yang mungkin akan timbul. Konstipasi merupakan masalah
umum pada klien yang merasa nyeri selama defekasi.

10. Kehamilan
Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan dan ukuran fetus,
tekanan diberikan pada rectum. Obsetruksi semenmtara akibat keberadaan
fectus mengganggu pengeluaran feses. Konstipasi adalah masalah umum
yang muncul pada trimester terakhir. Wanita hamilselama defekasi dapat
menyebabkan terbentukannya hemoroid yang permanen.

11. Pembedahan dan Anestesia


Agen anestesi yang digunakan selama proses pembedahan,
membuat gerakan peristaltic berhenti untuk sementara waktu. Agens
anestesi yang dihirup menghambat impuls saraf parasimpatis ke otot usus.
Kerja anestesi tersebut memperlambat atau menghentikan gelombang
peristaltic. Klien yang menerima anestesi local atau regional beresiko
lebih kecil untuk mengalami perubahan eliminasi karena aktivitas usus
hanya dipengaruhi sedikitt atau bahkan tidak dipengaruhi sama sekali.
Pembedahan yang melibatkan manipulasi usus secara langsung,
sementara akan menghentikan gerakan peristaltic. Kondisi ini disebut
ileus paralitik yang biasanya berlangsung sekitar 24 sampai 48 jam.
Apabila klien tetap tidak aktif atau tidak dapat makan setelah
pembedahan, kembalinya fungsi normal usus dapat terhambat lebih lanjut.

12. Obat-obatan
Obat-obatan untuk meningkatkan defekasi telah tersedia . laksatif
dan katartik melunakkan feses dan meningkatkan peristaltic. Walaupun
sama, kerja laksatif lebih ringan dari pada katartik. Apabila digunakan
dengan benar , laktasif dan katartik mempertahankan pola eliminasi
normal dengan aman. Namun, penggunaan katartik dalam jangka waktu
lama menyebabkan usus besar kehilangan tonus ototnya dan menjadi
kurang responsive terhadap stimulasi yang diberikan oleh laksatif .
penggunaan laksatif yang berlebihan juga dapat menyebabkan dehidrasi
dan kehilangan elektrolit. Minyak mineral, sebuah laksatif umum,
menurunkan absorpsi vitamin yang larut dalam lemak. Laksatif dapat
mempengaruhi kemajuan kerja obat lain dengan mengubah waktu
transit(missal waktu obat berada di saluran GI).
Obat-obatan seperti disiklomin HCL (Bentyl) menekan gerakan
peristaltic dan mengobati diare. Beberapa obat memiliki efek samping
yang dapat mengganggu eliminasi. Obat analgesic narkotik menekan
gerakan peristaltic. Opiat umumnya menyebabkan konstipasi. Obat-
obatan antikolinergik, seperti atropin, atau glikopirolat (robinul),
menghambat sekresi asam lambung dan menekan motilitas saluran GI.
Walupun bermanfaat dalam mengobati gangguan usus, yakni
hiperaktivitas usus, agens antikolinegik dapat menyebabkan konstipasi,
banyak antibiotik menyebabkan diare dengan menggangu flora bakteri
normal didalam saluran GI. Apabila diare dan kram abdomen yang terkait
dengan diare semakin parah, obat-obatan yang diberikan kepada klien
mungkin perlu diubah.

13. Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan diagnostik, yang melibatkan visualisasi struktur
saluran GI, sering memerlukan dikosongkannya isi dibagian usus. Klien
tidak diizinkan untuk makan atau minum setelah tengah malam jika
esoknya akan dilakukan pemeriksaan, seperti pemeriksaan yang
menggunakan barium enema, endoskopi saluran GI bagian bawah atau
serangkaian pemereksaan saluran GI bagian atas. Pada kasus penggunaan
barium enema atau endoskopi, klien biasanya meneri,ma katartik dan
enema. Pengosongan usus dapat mengganggu eliminasi sampai klien
dapat makan dengan normal.
Prosedur pemeriksaan menggunakan barium menimbulkan
masalah tambahan. Barium mengeras jika dibiarkan di dalam saluran GI.
Hal ini dapat menyebabkan konstipasi atau impaksi usus. Seorang klien
harus menerima katartik untuk meningkatkan eliminasi barium setelah
prosedur dilakukan. Klien yang mengalami kegagalan dalam
mengevakuasi semua barium, mungkin usus klien perlu dibersihkan
dengan menggunakan enema.

14. Diversi Usus


Penyakit tertentu menyebebkan kondisi-kondisi yang mencegah
pengeluaran feses secara normal dari rectum. Hal ini menimbulkan
kebutuhan untuk membentuk suatu lubang (stoma) buatan yang permanen
atau sementara. Lubang uyang dibuat melalui upaya bedah (ostomi )
paling sering di bentuk di Ileum (ileostomi) atau di kolom (kolostomi).
Ujung usus kemudian ditarik kesebuah lubang di dinding abdomen untuk
membentuk stoma.

3. Gangguan Eleminasi Fekal


Gangguan eleminasi fekal adalah penurunan pada frekuensi normal
defekasi yang disertai oleh kesulitan atau pengeluaran tidak lengkap feses
dan/ atau pengelaran feses yang keras, kering dan banyak ( Nanda
International, Diagnosis Keperawatan 2012-2014, hal 281, 2011)
1. Konstipasi
Konstipasi adalah gejala dan bukan penyakit. Konstipasi adalah
penurunan frekuensi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses yang
lama atau keras dan kering. Adanya upaya mengedan dan kadang-kadang
dapat menimbulkan nyeri pada rectum saat defekasi.
Konstipasi terjadi akibat pengeluaran feses melalui usus besar
lambat atau lama di usus besar dan lama kontak dengan mukosa usus
akibat motilitas usus halus melambat sehingga terjadi absorpsi air yang
berlebihan dari feses.
Setiap individu mempunyai pola defekasi individual, tetapi belum
tentu pola defekasinya setiap hari. Defekasi hanya setiap 4 hari atau lebih
dianggap tidak normal. Tetapi pada lansia setiap 2-3 hari sekali tanpa ada
kesulitan, nyeri atau perdarahan dianggap normal.
Klien yang menderita riwayat penyakit kardiovaskuler, penyakit
yang menyebabkan peningkatan intraocular (glukoma) dan peningkatan
intracranial harus mencegah konstipasi dan hindari penggunaan maneuver
valsava. Menghembuskan napas melalui mulut selama mengedan
menghindari maneuver valsava.
Penyebab umum konstipasi adalah diet serat inadekuat (diet rendah
serat dalam bentuk lemak hewani seperti : daging, produk-produk susu dan
telur serta KH murni (makanan penutup yang berat), makanan halus atau
rendah sisa, menunda defekasi/kebiasaan defekasi yang tidak teratur,
intake cairan yang kurang dari 100 mL sehari, penurunan aktivitas, tirah
baring yang panjang, stress kronik, penggunaan laksatif dalam jangka
waktu lama, kondisi neurologis, serta penyakit-penyakit organic ( seperti
hipotiroidisme, hipokalsimea dan hipokalemia dan pada lansia mengalami
perlambatan peristaltic, kehilangan elastisitas otot abdomen, serta
penurunan sekresi mukosa usus, kelainan saluran GI seperti obstruksi usus,
ileus paralitik dan diverticulitis.

2. Impaksi Feses
Impaksi feses adalah akumulasi atau pengumpulan feses keras dan
mengendap di dalam rectum merupakan akibat dari konstipasi yang tidak
diatasi dapat menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan atau
konstipasi yang terus-menerus.
Tanda impaksi feses yang jelas adalah ketidakmampuan untuk
mengeluarkan feses beberapa hari, walaupun terdapat keinginan berulang
untuk defekasi. Impaksi ditandai oleh perasaan nyata pada rectal, abdomen
penuh atau kembung, malaise, kurang nafsu makan, anoreksia, nausea,
vomiting, keluar feses diare secara mendadak atau kontinu.

3. Diare
Diare adalah peningkatan frekuensi defekasi dan peningkatan jumlah
feses dengan konsistensi cair dan tidak berlemak. Diare adalah gejala
gangguan yang memengaruhi proses pencernaan, absorpsi dan sekresi di
dalam saluran GI. Meningkatnya pergerakan GI sehingga aliran feses
terlalu cepat keluar melalui GI bawah (usus halus dan kolon) sehingga
absorpsi air sedikit. Iritasi di dalam kolon dapat menyebabkan peningkatan
sekresi lendir. Akibatnya feses tinggi air dan mengandung elektrolit
sehingga klien tidap dapat mengontrol keinginan defekasi.
Diare ditandai warna feses menjadi coklat terang sampai kuning atau
hijau, kram perut dan dorongan kuat untuk defekasi, nausea (dengan atau
tanpa vomiting), rasa nyeri, panas pada anus (akibat pengeluaran feses
diare yang berulang memaparkan kulit perineum dan bokong pada materi
usus yang mengiritasi).
Kehilangan cairan kolon yang berlebihan dapat menyebabkan
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit serta asam basa yang serius,
terutama pada bayi dan lansia rentan terhadap komplikasi terkait.
Penyebab Diare :
1) MO spesifik atau toksin (infeksi usus akibat streptokokus atau
stafilokokus enteritis) → inflamasi mukosa usus, peningkatan sekresi
lendir di kolon.
2) Perubahan gaya hidup seperti stress emosional (ansietas) →
peningkatan rangsangan saraf parasimpatis, peningkatan motilitas
usus, menurunkan waktu transit feses di usus dan meningkatkan
sekresi mucus
3) Alergi makanan → pengurangan pencernaan elemen makanan
4) Obat-obatan (zat besi mengiritasi mukosa usus, antibiotika spectrum
luas memungkinkan pertumbuhan flora normal yang berlebihan juga
menyebabkan inflamasi dan iritasi mukosa, antacid dalam
magnesium menurunkan asam lambung)
5) Laksatif jangka pendek atau berlebihan → peningkatan motilitas
usus
6) Intoleransi makanan (makanan berminyak, kopi, alcohol, makanan
pedas) peningkatan motilitas usus, peningkatan sekresi lendir di
kolon
7) Selang pemberian makan → hiperosmolalitas beberapa larutan
enteral dapat menyebabkan diare karena cairan hiperosmolar
menarik cairan ke dalam saluran GI.
8) Penyakit kolon (colitis, penyakit Chron) → inflamasi dan ulserasi
dinding usus, berkurangnya absorpsi cairan, meningkatnya motilitas
usus
9) Gastrektomi → hilangnya fungsi reservoir lambung, absorpsi yang
tidak tepat karena makanan dipindahkan ke duodenum terlalu cepat
10) Reseksi kolon → berkurangnya ukuran kolon, berkurangnya jumlah
permukaan untuk absorpsi.

4. Inkontinensia Feses
Inkontinensia feses adalah ketidakmampuan mengontrol keluarnya
feses dan gas dari anus atau defekasi yang tidak didasadari. Kondisi ini
seringkali berhubungan dengan neurologis, mental atau perubahan
emosional. Kondisi fisik seperti injuri korteks serebral, injuri tulang
belakang, kerusakan saraf rectum dan sfingter anus, orang dengan fecal
impaksi.

5. Flatulen
Saat gas terakumulasi di dalam lumen usus, dinding usus meregang
dan berdistensi (flatulen). Flatulen adalah penyebab umum abdomen
menjadi penuh, terasa nyeri dank ram. Flatus adalah akumulasi gas di
dalam traktus GI. Dalam kondisi normal, gas dalam usus keluar melalui
mulut (bersendawa) atau melalui anus (flatus). Namun jika ada penurunan
motilitas usus akibat penggunaan opiate, agens anestesi umum, bedah
abdomen atau imobilisasi, flatulen dapat menyebabkan distensi abdomen
dan menimbulkan nyeri yang sangat menusuk.
Ada 3 sumber penyebab flatulen yaitu menelan udara, aksi bakteri di
usus besar dan difusi dari darah. Menelan udara dapat terjadi akibat
kecemasan, makan dan minum terlalu cepat, penggunaan sedotan minum
yang salah, mencerna terlalu banyak minuman yang mengan bikarbonat,
mengunyah permen karet, menghisap permen dan merokok. Sedangkan
produksi udara oleh bakteri di usus besar dikeluarkan melalui anus. Kira-
kira 7-10 liter gas diproduksi setiap hari tetapi hanya 0,6 liter yang
dikeluarkan (flatus). Sering flatus dapat diakibatkan oleh iritasi usus yang
menyebabkan peningkatan pergerakan kolon. Makanan mengandung
tinggi gas seperti kol, bawang merah dan buncis.

6. Distention
Distention adalah akumulasi dari flatus yang berlebihan atau isi usus
yang padat, yang menyebabkan distensi abdomen. Keluhan klien adalah
perut penuh, tidak nyaman mengeluarkan flatus dan feses serta gelisah.
Penyebab distensi abdomen adalah abstruksi pencernaan (seperti
ileus paralitik, infeksi abdomen dan tumor abdomen), bedrest atau
aktivitas terbatas, operasi dengan GA, manipulasi usus saat pembedahan
(24-72 jam post operasi), konstipasi dan impaksi fekal.
7. Hemoroid
Hemoroid adalah vena-vena yang berdilatasi, membengkak di
lapisan rectum. Ada 2 jenis hemoroid yaitu hemoroid internal dan
hemoroid eksternal. Hemoroid internal memiliki membrane mukosa di
lapisan luarnya. Sedangkan hemoroid eksternal terlihat jelas sebagai
penonjolan kulit, apabila lapisan vena mengeras, dan akan terjadi
perubahan warna menjadi keunguan. Penyebabnya adalah peningkatan
tekanan vena akibat mengedan saat defekasi, selama masa kehamilan, pada
gagal jantung kongestif dan penyakit hati kronik.

B. Gejala dan Tanda (Data mayor, minor)


1. Konstipasi
Mayor (mungkin ada, satu atau lebih)
a. Feses keras dan berbentuk
b. Defekasi kurang dari tiga kali seminggu
c. Defekasi sulit dan lama
Minor (mungkin ada)
a. Penurunan bising usus

b. Mengeluh rektum terasa penuh

c. Mengeluhkan adanya tekanan pada rektum

d. Mengejan dan nyeri saat defekasi

e. Impaksi yang dapat diraba

f. Defekasi yang kurang lampias

2. Diare
Mayor (mungkin ada, satu atau lebih)
a. Fesef lunak dan/atau cair
b. Peningkatan frekuensi defekasi (lebih dari rtiga kali sehari)
Minor (mungkin ada)
a. Urgensi
b. Kram atau nyeri abdomen
c. Frekuensi bising usus mningkat
d. Keenceran atau volume feses meningkat

C. Pathway

Bakteri, virus,
parasit
Masuk dalam
saluran cerna

Berkembang biak
di usus

Reaksi pertahanan
dari bakteri E.coli

Pertahanan tubuh
menurun

Kurangnya asupan Pola makan Pengaruh Penyakit


cairan dan terganggu medikasi obat
makanan

Gangguan
eliminasi fekal

Konstipasi Diare Inkontinensia


defekasi

D. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik pada masalah eliminasi alvi adalah:
a. Anuskopi
b. Proktosigmoidoskopi
c. Rontgen dengan kontras
d. Pemeriksaan laboratorium feses

E. Penatalaksanaan Medis
1. Pemberian cairan

Kurangnya asupan
2. Menolong BAB dengan menggunakan pispot
3. Memberikan huknah rendah
4. Memberikan huknah rendah dengan cara memasukan cairan hangat ke
dalam kolon desendens dengan menggunakan kanula recti melalui anus.
5. Memberikan huknah tinggi
Memberikan huknah tinggi dengan cara memasukan cairan hangat ke dalam
kolon desendens dengan menggunakan kanula usus melalui anus.
6. Memberikan gliserin
Memberikan gliserin dengan cara memasukan cairan gliserin ke dalam
poros usus menggunakan spuit gliserin
7. Mengeluarkan feses dengan jari
Mengeluarkan feses dengan jari dengan cara memasukan jari ke dalam
rectum pasien, deigunakan untuk mengambil atau menghancurkan massa
feses sekaligus mengeluarkannya.

F. Pengkajian Keperawatan
1. Riwayat keperawatan
a. Pola defekasi : frekuensi, pernah berubah
b. Perilaku defekasi : penggunaan laksatif, cara mempertahankan pola.
c. Deskripsi feses : warna, bau, dan tekstur.
d. Diet : makanamempengaruhi defekasi, makanan yang biasa dimakan,
makanan yang dihindari, dan pola makan yang teratur atau tidak.
e. Cairan : jumlah dan jenis minuman/hari
f. Aktivitas : kegiatan sehari-hari
g. Kegiatan yang spesifik.
h. Sters : stres berkepanjangan atau pendek, koping untuk menghadapi atau
bagaimana menerima.
i. Pembedahan/penyakit menetap.
2. Pengkajian fisik
Perawat melakukan pengkajian fisik sistem dan fungsi tubuh yang
kemungkinan dipengaruhi oleh adanya masalah eleminasi. Ada beberapa
pemeriksaan fisik pada seorang klien yaitu :
a. Mulut: inspeksi gigi, lidah, dan gusi klien.
b. Abdomen: perawat menginspeksi keempat kuadaran abdomen untuk
melihat warna, bentuk, kesimetrisan, dan warna kulit..
c. Rektum: perawat menginspeksi daerah sekitar anus untuk melihat adanya
lesi, perubahan warna, inflamasi dan hemoroid.
3. Karakteristik feses
a. Warna yang normal: kuning (bayi), cokelat (dewasa)
b. Bau yang normal: menyengat yang dipengaruhi oleh tipe makanan
c. Konsistensi yang normal: lunak, berbentuk
d. Frekuensi yang normal:
1) Bayi 4-6 kali sehari ( jika mengonsumsi ASI) atau 1-3 kali sehari
( jika mengonsumsi susu botol )
2) Orang dewasa setiap hari atau 2-3 kali seminggu
e. Jumlah yang normal: 150 gr per hari ( orang dewasa)
f. Bentuk yang normal: menyerupai diameter rektum
g. Unsur-unsur yang normal: makanan tidak dicerna, bakteri mati, lemak,
pigmen empedu, sel-sel yang melapisi mukosa usus, air.

4. Pemeriksaan Laboratorium
a. Analisis kandungan feses : untuk mengetahui kondisi patologis seperti :
tumor, perdarahan dan infeksi.
b. Tes Guaiak : pemeriksaan darah samar di feses yang mengitung jumlah
darah mikroskopik di dalam feses.

G. Daftar Diagnosa Keperawatan


1. Konstipasi
Definisi
Penurunan pada frekuensi normal defekasi yang disertai oleh kesulitan
atau pengeluaran tidak lengkap feses dan/atau pengeluaran feses yang keras,
kering, dan banyak.

Batasan karakteristik
1) Nyeri abdomen 14) Keletihan umum
2) Nyeri tekan abdomen dengan 15) Feses keras dan berbentuk
teraba resistensi otot. 16) Sakit kepala
3) Nyeri tekan abdomen tanpa 17) Bising usus hiperaktif
teraba resistensi otot. 18) Bising usus hipoaktif
4) Anoreksia 19) Peningkatan tekanan abdomen
5) Penampilan tidak khas pada 20) Tidak dapat makan
lansia (misal, perubahan pada 21) Mual
status mental, inkontinensia 22) Rembesan feses cair
urinarius, jatuh yang tidak ada 23) Nyeri pada saat defekasi
penyebabnya, peningkatan suhu 24) Masa abdomen yang dapat
tubuh diraba
6) Borborigmi 25) Masa rektal yang dapat diraba
7) Darah merah pada feses 26) Adanya feses lunak, seperti
8) Perubahan pada pola defekasi pasta di dalam rektum
9) Penurunan frekuensi 27) Perkusi abdomen pekak
10) Penurunan volume feses 28) Sering flatus
11) Distensi abdomen 29) Mengejan pada saat defekasi
12) Rasa rektal penuh 30) Tidak dapat mengeluarkan feses
13) Rasa tekanan rektal 31) Muntah

Faktor yang berhubungan


Fungsional
1) Kelemahan otot abdomen
2) Kebiasaan mengabaikan dorongan defekasi
3) Ketidakadekuatan toileting (misal, batasan waktu, posisi untuk defekasi,
privasi)
4) Kurang aktivitas fisik
5) Kebiasaan defekasi tidak teratur
6) Perubahan lingkungan saat ini

Psikologis
1) Depresi
2) Stres emosi
3) Konfusi mental

Farmakologis
1) Antasida mengandung aluminium 10) Garam besi
2) Antikolinergik 11) Penyalahgunaan laksatif
3) Antikonvulsan 12) Agens antiinflamasi
4) Antidepresan 13) Nonsteroid
5) Agens antilipemik 14) Opiat
6) Garam bismuth 15) Penotiazid
7) Kalsium karbonat 16) Sedatif
8) Penyekat saluran kalsium 17) Simpatomimetik
9) Diuretik

Mekanis
1) Ketidakseimbangan elektrolit. 9) Abses rektal
2) Hemoroid 10) Fisura anal rektal
3) Penyakit Hirschsprung. 11) Striktur anal rektal
4) Gangguan neurologis 12) Prolaps rektal
5) Obesitas 13) Ulkus rektal
6) Obstruksi pasca bedah 14) Rektokel
7) Kehamilan 15) Tumor
8) Pembesaran prostat

Fisiologis
1) Perubahan pola makan 5) Ketidakadekutan gigi geligi
2) Perubahan makanan 6) Ketidakadekuatan higiene oral
3) Penurunan motilitas traktus 7) Asupan serat tidak cukup
gastrointestinal 8) Asupan cairan tidak cukup
4) Dehidrasi 9) Kebiasaan makan buruk
2. Diare
Definisi: Pasase feses yang lunak dan tidak berbentuk
Batasan karakteristik
1) Nyeri abdomen
2) Sedikitnya tiga kali defekasi perhari
3) Kram
4) Bising usus hiperaktif
5) Ada dorongan

Faktor yang berhubungan


Psikologis
1) Ansietas

2) Tingkat stres tinggi

Situasional
1) Efek samping obat 5) Radiasi
2) Penyalahgunaan alkohol 6) Toksin
3) Kontaminan 7) Melakukan perjalanan
4) Penyalahgunaan laksatif 8) Selang makan

Fisiologis
1) Proses infeksi 4) Malabsorpsi
2) Inflamasi 5) Parasit
3) Iritasi

3. Inkontinensia defekasi
Definisi
Perubahan pada kebiasaan defekasi normal yang dikarakteristikkan dengan
pasase feses involunter.

Batasan karakteristik
1) Rembesan konstan feses lunak
2) Bau fekal
3) Warna fekal di tempat tidur
4) Warna vekal pada pakaian
5) Ketidakmampuan menunda defekasi
6) Ketidakmampuan untuk mengenali dorongan defekasi
7) Tidak perhatian terhadap dorongan defekasi
8) Mengenali fekal penuh tetapi tetapi menyatakan tidak mampu
mengeluarkan feses padat
9) Kulit perianal kemerahan
10) Menyatakan sendiri ketidakmampuan mengenali kepenuhan rektal
11) Dorongan

Faktor yang berhubungan


1) Tekanan abdomen abnormal tinggi
2) Diare kronik
3) Lesi kolorektal
4) Kebiasaan diet
5) Faktor lingkungan (misalnya, tidak dapat mengakses kamar mandi)
6) Penurunan umum tonus otot
7) Imobilitas
8) Impaksi
9) Gangguan kognisi
10) Gangguan kapasitas reservoir
11) Pengosongan usus tidak tuntas
12) Penyalahgunaan laksatif
13) Penurunan control sfingter rektal
14) Kerusakan saraf motoric bawah
15) Medikasi
16) Abnormalitas sfingter rektal stress
17) Defisit perawatan diri dalam toileting
18) Kerusakan saraf motorik atas
H. Intervensi Keperawatan
Hari/ Diagnosa
Tang Keperawa Tujuan Intervensi Rasional
gal tan
Meny Konstipasi Setelah diberikan 1. Catat dan kaji 1. Pengkajian
esuaik asuhan kembali warna, dasar untuk
an keperawatan konsistensi, mengetahui
denga selama … x 24 jam jumlah, dan adanya
n diharapkan pola waktu BAB masalah
pelaks eliminasi fekal 2. Berikan cairan bowel
anaan pasien normal adekuat 2. Membantu
dengan kriteria 3. Berikan makanan feses lebih
hasil: tinggi serat dan lunak
1. Mempertahan hindari makanan 3. Menurunkan
kan bentuk yang banyak konstipasi
feses lunak 1- mengandung gas 4. Meningkatka
3 hari. dengan konsultasi n pergerakan
2. Bebas dari bagian gizi usus
ketidaknyama 4. Bantu klien 5. Meningkatka
nan dan dalam melakukan n eliminasi
konstipasi. aktivitas pasif
3. Feses lunak dan aktif
dan berbentuk 5. Kolaborasikan
pemberian
laksatif
Meny Diare Setelah diberikan 1. Monitor dan kaji 1. Dasar
esuaik asuhan kembali warna, memonitor
an keperawatan konsistensi, bau kondisi
denga selama ...x 24 jam feses, pergerakan 2. Untuk
n diharapkan feses usus, cek BB mengetahui
pelaks pasien berbentuk setiap hari penyebab
anaan dan lembek 2. Evaluasi intake diare.
dengan kriteria makanan yang 3. Stress dapat
hasil: masuk meningkatka
1. Feses 3. Ajarkan tehnik n stimulus
berbentuk, menurunkan bowel
BAB sehari stress. 4. Mengkaji
sekali- tiga 4. Monitor dan cek status
hari. elektrolit, intake dehidrasi
2. Menjaga dan output cairan. 5. Menurunkan
daerah sekitar 5. Instruksikan stimulasi
rektal dari pasien untuk bowel
iritasi. makan, makanan 6. Mengurangi
3. Tidak rendah serat kerja usus
mengalami 6. Kolaborasi dalam 7. Mempertaha
diare pemberianan nkan status
cairan IV dan hidrasi
oral
7. kolaborasi
pemberian obat
antidiare
Meny Inkontinen Setelah diberikan 1. Tentukan 1. Memberikan
esuaik sia asuhan penyebab data dasar
an defekasi keperawatan inkontinensia untuk
denga selama ...x 24 jam 2. Kaji jumlah dan pemberian
n diharapkan pasien karakteristik asuhan
pelaks dapat mengontrol inkontinensia keperawatan
anaan pengeluaran feses 3. Atur pola makan 2. Menentukan
dan pola eliminasi dan sampai pola
norma, dengan berapa lama inkontinensia
kriteria hasil: terjadi BAB rasional
1. Defekasi 4. Lakukan bowel 3. Membantu
lunak, feses trening dengan mengontrol
berbentuk. kolaborasi BAB
2. Penurunan fisioterapi 4. Membantu
insiden 5. Lakukan latiahan mengontrol
inkontinensia otot panggul BAB
usus. 6. Berikan 5. Mengutkan
3. Fungsi pengobatan otot pelvis
gastrointestina dengan 6. Mengontrol
l adekuat. kolaborasi dokter frekuensi
4. Status nutrisi BAB
makanan dan
minuman
adekuat

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito-Moyet, Lynda Juall. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi
13. Jakarta: EGC.

Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi


2012-2014. Jakarta: EGC.

Hidayat, A. Aziz Alimul dan Uliyah, Musrifatul. 2015. Pengantar Kebutuhan


Dasar Manusia Edisi 2-Buku 2. Jakarta: Salemba Medika.

Kozier, Barbara. 2011. Fundamental Keperawatan volume 1 edisi 7. Jakarta:


EGC.

Mubarak & Chayatin. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC.

Nanda.2012-2014.Panduan Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi.


Jakarta: EGC.

Potter & Perry. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Volume 2. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC.

Potter, Patricia A., Perry, Anne Griffin. 2005. Buku Ajar Fundamental
Keperawatan: Konsep, Proses Dan Praktik. Edisi 4. Jakarta : EGC.

Tarwoto dan Wartonah. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses


Keperawatan Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.

Vaughans Bennita W. 2013. Keperawatan Dasar. Yogyakarta: Rpha Publishing.

Wilkinson, Judith M., Ahern, Nancy R. 2012. Buku Saku Diagnosis


Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC.
Edisi 9. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai