Guarantee System
Cara Lain Pemberian Jaminan Produk Pangan Organik
.. Dede Sulaeman ..
Participatory Organic Guarantee System:
Cara Lain Pemberian Jaminan Produk Pangan Organik
© April 2009
Penullis:
Dede Sulaeman, ST, M.Si
Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian, Ditjen PPHP-Deptan
Pengurus DPP Asosiasi Produsen Pangan Organik Indonesia (APOI)
E-mail: de_sulaeman@yahoo.com
Daftar Isi
A. Pengantar ……………………………………………………………………….. 1
B. Pemasaran Pangan Organik …………………………………………….. 1
C. Penjaminan Pangan Organik …………………………………………… 2
D. Pengembangan Participatory Guarantee System (PGS)
di India dan Afrika Timur ……………………………………………….. 7
E. Kesimpulan ……………………………………………………………………. 10
Daftar Pustaka …......................................................................... 11
Participatory Organic Guarantee System:
Cara Lain Pemberian Jaminan Produk Pangan Organik
A. Pengantar
Apakah petani sudah puas dengan kondisi budidaya dan produksi pertanian
organik yang memberikan banyak keuntungan seperti dinyatakan di atas?
Ternyata belum. Pertanian organik bukan hanya bagaimana cara memproduksi
pangan yang baik, sehat, dan ramah lingkungan, namun juga terkait dengan
pemberian jaminan bahwa produk tersebut adalah benar dihasilkan dari sistem
pertanian organik serta bagaimana memasarkannya sehingga memberikan nilai
tambah. Hal ini erat kaitannya kepada pemberian jaminan yang sesungguhnya
dari pelaku pertanian organik yang diperlukan konsumen untuk mendapatkan
produk yang sesuai dengan sistem yang diterapkan.
Berdasarkan data yang dilansir oleh Aliansi Organik Indonesia, lahan pertanian
organik di Indonesia mencapai 65.000 ha. Sedangkan dalam laporannya, - The
World of Organic Agriculture. Statistics and Emerging Trends 2008- IFOAM
menyatakan bahwa lahan organik di Indonesia pada tahun 2006 luasnya
mencapai 41.431 ha.
Komoditi yang dihasilkan dari lahan organik tersebut meliputi padi, sayuran,
buah-buahan, umbi-umbian/rimpang, kelapa, vanila, tanaman obat, rempah-
rempah, kopi, teh, dll. Selain tanaman, pangan organik berupa daging, susu dan
telur juga dihasilkan oleh peternak. Saat ini ternak organik masih terbatas pada
hewan kambing, ayam, bebek dan beberapa jenis ikan.
Untuk dapat masuk ke pasar luar negeri, produk tersebut harus memiliki sertifikat
organik yang dipersyaratkan oleh pembeli. Itu sebabnya, produk-produk yang
berorientasi ekspor, sertifikasi organiknya dilakukan oleh lembaga sertifikasi
internasional yang berbasis di negara tujuan ekspor seperti: NASAA Australia,
SKAL Belanda, JAS Jepang, USDA Organic Certification, dll.
Terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan oleh produsen pangan organik
untuk memberikan jaminan terhadap produk organik yang dihasilkannya yaitu:
Self-claim
Second-party certification
Third-party certification
Group certification and Internal Control Systems
Participatory certification atau Participatory Guarantee System (PGS)
Self-claim
Bila pola self claim dilakukan dengan sistematik dan dilengkapi dengan
sistem dokumentasi yang cukup baik mengenai apa yang dilakukan dalam
menghasilkan pangan organik, maka pola tersebut dapat dianggap sebagai
first-party certification (sertifikasi pihak pertama).
Produk yang dijamin dengan pola self claim dan first-party certification tidak
dapat mencantumkan logo Organik Indonesia. Biasanya produsen
menuliskan kata “organik” pada kemasan produk tersebut.
Second-party certification
Third-party certification
ICS merupakan sistem standar yang dibuat oleh kelompok petani organik
untuk dijadikan rujukan dalam memproduksi pangan organik. Dalam ICS
dimuat tata cara mengenai aspek teknis, menajerial, dokumentasi,
pelaporan, dll. Semua anggota kelompok harus menjalankan hal yang sama
sesuai dengan yang tertera dalam ICS tersebut.
Pada pola PGS keseluruhan pemangku kepentingan yang dapat terdiri dari
produsen, kelompok tani, konsumen, pendamping, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), dan/atau distributor terlibat secara aktif untuk
membangun dan memberdaya diri dalam proses produksi, pemasaran dan
distribusi sesuai sistem pangan organik.
Sistem PGS tepat untuk diterapkan pada komunitas petani yang memiliki
lahan pertanian kecil serta produknya di pasarkan ke pasar lokal atau
pemasaran langsung. Keikutsertaan aktif dari sejumlah pihak yang
berkepentingan akan berdampak pada proses pemberdayaan dan adanya
tanggung jawab dari seluruh komponen yang terlibat didalam sistem
penjaminan partisipatoris (PGS). Hal ini memungkinkan program-program
PGS secara teknis tidak sulit diterapkan dan benar-benar menuntun petani
kecil menuju suatu sistem produksi organik.
Berbeda dengan program sertifikasi yang ada saat ini yang dimulai dari
gagasan bahwa petani harus membuktikan bahwa mereka memenuhi syarat
untuk memperoleh sertifikasi, maka program PGS menggunakan suatu
pendekatan berbasis integritas yang dimulai dengan suatu landasan
kepercayaan. Landasan kepercayaan tersebut dibangun dengan transparansi
dan keterbukaan, dan dipertahankan dalam suatu lingkungan yang
mengurangi tingkat hirarki dan administratif (Organis Edisi 21/Th 5).
Perlu diketahui bahwa, apa yang disebut PGS tidak berbeda dari apa yang
biasanya dilakukan oleh petani di Eropa sebelum berlakunya peraturan/standar
nasional dan sertifikasi pihak ketiga. Pada awalnya, bentuk jaminan organik
dilakukan oleh organisasi petani dengan standar yang disepakati bersama oleh
para anggotanya.
India
Petani di India banyak yang melakukan budidaya tanpa pupuk kimia, pestisida dan
bahan-bahan lain yang dilarang dalam pertanian organik. Hal ini karena banyak
petani yang tidak memiliki dana dan akses untuk mendapatkan input produksi
kimia tersebut. Dengan kondisi seperti itu maka sistem pertaniannya dapat
dikatakan "default" organik atau organic by neglec. Namun, tidak ada jaminan
bahwa bila petani kemudian memiliki dana dan akses ke produk kimia, petani
akan tetap melakukan budidaya yang sama.
Afrika Timur
Berbeda dengan India, Afrika Timur memiliki beberapa situasi yang mendukung
untuk dikembangkannya PGS. Namun demikian, terdapat beberapa catatan yang
perlu diperhatikan bagi penentu kebijakan dan pelaksana program.
Untuk pengembangan lebih lanjut penting diperhatikan bahwa dalam pola PGS
perlu ada kerja sama dengan produsen dan kelompok petani untuk terlibat aktif
dalam mendesain dan pelaksanaan sistem.
Selain situasi yang menunjang, hasil studi terhadap pengembangan PGS di Afrika
Timur merekomendasikan bahwa perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Bila biaya menjadi motivasi utama, dimungkinkan sangat sulit untuk dijadikan
alasan bagi pengembangan PGSs, karena dimungmungkinkan biaya
pengembangan PGS tidak lebih murah dari sertifikasi kelompok (group
certification). Pembiayaan untuk menjalankan pola PGS harus jelas dan
berkelanjutan.
Perlu dibuat terminologi PGS yang baik agar tidak menimbulkan kerancuan
dengan pola sertifikasi pihak ketiga.
Akuntabilitas dan penerapan sistem harus jelas dan konsisten dengan ide
dasar PGS salah satunya kepemilikan lokal dan oleh kelompok tani. Selain itu
harus ada trasparansi antar anggota dalam kelompok.
Perlu dimasukan aspek sosial budaya dalam menjalankan pola PGS.
E. Kesimpulan
Dengan luas lahan pertanian organik yang mencapai 41.431 hektar dan 23.608
petani organik, maka potensi pengembangan dan produk yang dihasilkan cukup
besar. Namun demikian, perkiraan petani yang sudah mensertifikasi produknya
berjumlah 20 pelaku. Dari jumlah tersebut 10 pelaku diantaranya difasilitasi oleh
Ditjen PPHP, dan 10 pelaku lainnya mensertifikasi secara mandiri atau tergabung
dalam group certification yang sertifikasinya dilakukan oleh lembaga sertifikasi
asing.
Willer, et.al, (Eds.) , The World of Organic Agriculture. Statistics and Emerging
Trends 2008, IFOAM & FiBL, 2008
IFOAM, Participatory Guarantee Systems: Case Studies from Brazil, India, New
Zealand and USA, 2005
Luiz Carlos Rebelatto dos Santos (Ed), Training manual: Participatory Guarantee
of Ecological Products, Ecovida Network of Agroecology, Florianópolis, 2004