Anda di halaman 1dari 71

MAKALAH LAPORAN TUTOR KASUS 1

“BLOK KEPERAWATAN KRITIS”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 3

1. WIKE JULIA PUTRI (G1B117001)


2. FERA WAHYUNI (G1B117002)
3. NOVA RIZKILIANA (G1B117013)
4. AULIA MAHESA (G1B117014)
5. SRI GUSTINI (G1B117015)
6. TITI DWI ELFINA (G1B117016)
7. NOPI DESPIA MANDALA (G1B117026)
8. ANGGELLIA JOPA SARI (G1B117027)
9. M.ALVIN ABDILLAH (G1B117028)
10. SABRI YUNUS (G1B117029)
11. NURMALIZA ULFA (G1B117032)
12. JONI JEMI ULLO (G1B117033)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPARAWATAN

UNIVERSITAS JAMBI

TAHUN 2020

i
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
Makalah laporan tutor ini. Dan kami berterimakasih kepada dosen pembimbing
yang telah membantu, sehingga kami lebih mudah dalam menyelesaikan makalah
ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan masih
jauh dari kata sempurna, baik dari segi penulisan, penyusunan kata demi kata
maupun dari segi bahasa. Oleh karena itu, kami mengharapkan kepada semua
pihak untuk memberikan sumbangan pemikiran berupa kritik dan saran dari para
pembaca yang sifatnya membangun yang akan kami terima dengan senang hati
demi penyempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.

Jambi,29 September 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................. i

Daftar Isi........................................................................................................... iii

Bab I. Pendahuluan........................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang............................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah.......................................................................... 3

1.3. Tujuan............................................................................................ 4

1.4. Manfaat.......................................................................................... 5

Bab II. Pembahasan........................................................................................ 6

2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal.......................................................... 6

2.2 Defenisi gagal ginjal kronik........................................................... 9

2.3 klasifikasi ....................................................................................... 11

3.4 Epidemiologi...................................................................................12

2.5 Etiologi............................................................................................13

2.6 Patofisologi.....................................................................................13

2.7 Manifestasi Klinis...........................................................................15

2.8 Konflikasi........................................................................................15

2.9 Penatalaksanaan Medis...................................................................16

2.10 Pengkajian Keperawatan ..............................................................17

2.11 Diagnosa Keperawatan.................................................................19

2.12 perencanaan Keperawatan ...........................................................20

2.13 Pelaksanaan keperawatan..............................................................23

2.14 evaluasi keperawatan ...................................................................24

iii
2.15 Defenisi Ventilator........................................................................26

2.16 Klasifikasi ventilator ....................................................................26

2.17 Gambaran dan Penggeseran Ventilator ........................................27

2.18 Indikasi Ventilasi makanis ........................................................... 28

2.19 Konvlikasi Ventilasi .....................................................................30

2.20 materi askep .................................................................................33

2.21 Tujuan Indikasi pemasangan ventilator .......................................33

2.22 Mode jenis Ventilator...................................................................40

2.23 macam macam ventilator .............................................................42

2.24 Bagian bagian Ventilator .............................................................43

Bab III. Pembahasan......................................................................................45

3.1 Step 1..............................................................................................45

3.2 Step 2..............................................................................................48

3.3 Step 3..............................................................................................50

3.4 Step 4..............................................................................................51

3.5 Step 5..............................................................................................54

3.6 ASKEP............................................................................................54

Bab IV. Penutup.............................................................................................. 66

4.1 Kesimpulan..................................................................................... 66

4.2 Saran............................................................................................... 66

DaftarPustaka................................................................................................. 68

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif
danpada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah
suatukeadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
ireversibel padasuatu saat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap
berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Glomerulonefritis dalam beberapa
bentuknya merupakan penyebab paling banyak yang mengawali gagal ginjal
kronik. Kemungkinan disebabkan oleh terapi glomerulonefritis yang agresif dan
disebabkan oleh perubahan praktek program penyakit ginjal tahap akhir yang
diterima pasien, diabetes melitus dan hipertensi sekarang adalah penyebab utama
gagal ginjal kronik.
Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua
organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik, penyajian dan
hebatnya tanda dan gejala uremia berbeda dari pasien yang satu dengan pasien
yang lain, tergantung paling tidak sebagian pada besarnya penurunan massa ginjal
yang masih berfungsi dan kecepatan hilangnya fungsi ginjal. Prevalensi gagal
ginjal kronis menurut united state renal data system (USRDS) bedasarkan survei
dari perhimpunan nefrologi indonesia ( PENEltahFRI) menyebutkan bahwa
indonesia merupakan negara dengan prevalensi gagal ginjal kronik yang cukup
tinggi yaitu sekitar 30,7 juta penduduk.menurut pt askes ada sekitar 14,3 juta
orang indonesia gagal ginjal tahap akhir saat ini mengjalani pengobatan yaitu
dengan prevalensi 433 perjumlah penduduk jumlah ini akan meningkat hingga
melebihi 200 juta pada tahun 2025.
          Perkembangan teknologi semakin lama semakin pesat dan menyentuh
hampir semua bidang kehidupan manusia. Pada akhirnya setiap individu harus
mempunyai pengetahuan dan keterampilan untuk menggunakan teknologi, agar

1
dapat beradaptasi terhadap perkembangan tersebut. Hal ini juga berlaku untuk
profesi keperawatan, khususnya area keperawatan kritis di ruang perawatan
intensif (intensif care unit/ICU).
Di ruang perawatan kritis, pasien yang dirawat disana adalah pasien-pasien
yang memerlukan mesin-mesin yang dapat menyokong kelangsungan hidup
mereka, diantaranya mesin ventilator, monitoring, infus pump, syringe pump, dll.
Dengan adanya keadaan tersebut maka tenaga kesehatan terutama perawat yang
ada di ruang perawatan kritis, seharusnya menguasai dan mampu menggunakan
teknologi yang  sesuai dengan mesin-mesin tersebut, karena perawat yang akan
selalu ada di sisi pasien selama 24 jam.Pemanfaatan teknologi di area perawatan
kritis terjadi dengan dua proses yaitu transfer dan transform teknologi dari
teknologi medis menjadi  teknologi keperawatan. Tranfer  teknologi adalah
pengalihan teknologi yang mengacu pada tugas, peran atau penggunaan peralatan
yang sebelumnya dilakukan oleh satu kelompok profesional kepada kelompok
yang lain. Sedangkan transform (perubahan) teknologi mengacu pada penggunaan
teknologi medis menjadi bagian dari teknologi keperawatan untuk meningkatkan
asuhan keperawatan yang diberikan dan hasil yang akan dicapai oleh pasien.
Ventilasi mekanik yang lebih dikenal dengat ventilator merupakan teknologi
medis yang ditransfer oleh dokter kepada perawat dan kemudian ditransform oleh
keperawatan sehingga menjadi bagian dari keperawatan. Perawat pemula yang
pengetahuan dan pengalaman teknologinya masih kurang akan menganggap
ventilator sebagai beban kerja tambahan, karena mereka hanya bisa melakukan
monitoring dan merekam hasil observasi pasien. Sedangkan pada perawat yang
sudah berpengalaman akan memanfaatkan dan menggunakan ventilator sebagai
bagian dari keperawatan untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan kepada
pasien di ruang kritis dan akan berdampak positif terhadap profesi keperawatan.
Penguasaan terhadap teknologi akan menjadi modal bagi perawat untuk
mengontrol pekerjaannya (Alasad, 2002). Hal tersebut tentu saja akan menghemat
tenaga, dan membuat pekerjaan menjadi lebih mudah untuk dikerjakan serta
diatur. Misalnya perawat yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan mengenai
mesin ventilasi mekanik, hal tersebut akan membantu perawat menghemat

2
tenaganya dalam mengawasi pernafasan pasien, karena tugasnya mengawasi
secara langsung keadaan pasien sudah dilakukan oleh mesin ventilasi. Bahkan
apabila ada keterbatasan tenaga perawat, maka 1 orang perawat dapat mengawasi
dua atau lebih pasien yang juga sama-sama menggunakan mesin ventilasi
mekanik. Jelaslah bahwa penguasaan  teknologi menjadi suatu kebutuhan dalam
memberikan asuhan keperawatan kepada pasien.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah penelitian
ini adalah :
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi Ginjal?
2. Apa definisi dari GGK?
3. Bagaimana klasifikasi GGK ?
4. Bagaimana epidemiologi GGK?
5. Bagaimana etiologi GGK?
6. Bagaimana patofisiologi GGK?
7. Bagaimana manifestasi klinis GGK?
8. Bagaimana komplikasi GGK?
9. Bagaimana penatalaksanaan medis GGK?
10. Bagaimana pengkajian keperawatan GGK?
11. Bagaimana diagnosa keperawatan GGK?
12. Bagaimana perencanaan keperawatan GGK?
13. Bagaimana pelaksanaan keperawatan GGK?
14. Bagaimana evaluasi keperawatan GGK?
15. Apa definisi dari Ventilator?
16. Bagaimana klasifikasi Ventilator?
17. Bagaimana gambaran dan pengesetan volume Ventilator?
18. Bagaimana Indikasi ventilasi mekanis ?
19. Bagaimana Komplikasi ventilasi mekanis?
20. Bagaimana asuhan keperawatan ventilator?
21. Tujuan indikasi pemasangan ventilator?

3
22. Bagaimana mode jenis ventilasi mekanik?
23. Macam-macam ventilator ?
24. Bagian-bagian ventilator?

1.3 Tujuan Penulisan


Dari rumusan masalah diatas maka tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui Bagaimana anatomi dan fisiologi Ginjal.
2. Untuk mengetahui Apa definisi dari GGK.
3. Untuk mengetahui Bagaimana klasifikasi GGK.
4. Untuk mengetahui Bagaimana epidemiologi GGK.
5. Untuk mengetahui Bagaimana etiologi GGK.
6. Untuk mengetahui Bagaimana patofisiologi GGK.
7. Untuk mengetahui Bagaimana manifestasi klinis GGK.
8. Untuk mengetahui Bagaimana komplikasi GGK.
9. Untuk mengetahui Bagaimana penatalaksanaan medis GGK.
10. Untuk mengetahui Bagaimana pengkajian keperawatan GGK.
11. Untuk mengetahui Bagaimana diagnosa keperawatan GGK.
12. Untuk mengetahui Bagaimana perencanaan keperawatan GGK.
13. Untuk mengetahui Bagaimana pelaksanaan keperawatan GGK.
14. Untuk mengetahui Bagaimana evaluasi keperawatan GGK.
15. Untuk mengetahui Apa definisi dari Ventilator.
16. Untuk mengetahui Bagaimana klasifikasi Ventilator.
17. Untuk mengetahui Bagaimana gambaran pengesetan volume Ventilator.
18. Untuk mengetahui Bagaimana Indikasi ventilasi mekanis .
19. Untuk mengetahui Bagaimana Komplikasi ventilasi mekanis.
20. Untuk mengetahui Bagaimana asuhan keperawatan ventilator.
21. Untuk mengetahui Tujuan indikasi pemasangan ventilator.
22. Untuk mengetahui Bagaimana mode jenis ventilasi mekanik.
23. Untuk mengetahui Macam-macam ventilator .
24. Untuk mengetahui Bagian-bagian ventilator.

4
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dan
pertimbangan lanjut khususnya dalam bidang ilmu kesehatan.
1.4.2 Bagi Peneliti
Mengetahui gambaran gagal ginjal kronik dan tentang alat ventilator.

5
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal

Ginjal merupakan bagian systerma urinarius yang terletak irongga


retroperitoneum pada belakang dinding abdomen.ginjal mempunyai facies anterior
dan facies posterior margo medialis dan margo lateralis.pada mergo medialis
terdapat hilus renalis.pada hilum renalis terdapat celah yang masuk kedalam ginjal
yang disebut dengan sinus renalis yang berisi pelvis renalis,calices,pembuluh
darah,serabut saraf dan sedikit jaringan lemak. Ginjal ( ren , nephos ) merupakan
bagian systema urinaria yang terletak di dalam rongga peritoneum pada dinding
bagian belakang abdomen,kedua sisi columna vertebralis.Ginjal mempunyai facies
anterior dan facies posterior,margo medialis pembuluh darah dan ureter akan
masuk dan keluar ginjal melalui hilum renale.

Batas atas ginjal kiri setinggi iga ke 11 dan iga kanan setinggi iga ke 12.bats
bawah ginjal kiri setinggi vetrtebra lumbalis ke 3.setiap ginjal memiliki panjang
11-25 cm,lebar 5-7 cm,tebal 2,5 cm.berat ginjal pada pria dewasa 150-170 gram
dan pada wanita dewasa 115-155 gram dengan bentuk seperti kacang.sisi dalam

6
nya menghadap ke vetebrae thorakalis,sisi larnya cembung.diatas setiap ginjal
terdapat kalenjar suprarenal.

Setiap ginjal dilengkapi kapsul tpis dari jaringan fibrus yang dapat
membungkusnya dan membentuk pembungkus yang halus.didalamnya terdapat
struktur ginjal,warna nya ungu hasilkan 180l fitltttttttttua dan terdiri atas bagian
korteks di sebelah luar dan medulla dibagian dalam.bagian medulla terdiri 15-16
massa bebentuk piramid yang disebut piramid ginjal yang mengandung tubullus
colligentes dan mempunyai apex yang disebut papila renalis yang menonjol
kealam calyx minor.pemanjangan tubulus dari pyramidal renalis kedalam cortex
renalis disebut radii medullares.lobus renalis adalah bagian parenkim yang berisi
pyramid disertai cortex disekitarnya.di dalam sinus renalis terdapat pelvis renalis
yang akan terbagi menjadi 2-3 buah calices renalis majores.tiap calyx major
terbagi lagi 7-14 buah calices minores

7
Ginjal melaksanakan tiga proses dasar menjalankan sistem regulatorik dan
eksretorik yaitu :

1) Filtrasi glomerulus
Terjadinya filtrasi plasma bebas potein menembus kapiler glomerulus
kedalam kapsul bowman melali tiga lapisan yang membentuk membran
glomerulus ,lapisan gelatinosa asesuler yang dikenal sebagai membaran
basal dan lapisan dalam kapsul bowman,protein plasma hampir tidak dapat
difitrasi dan ≤ 1 % molekul albumin yang berhasil lolos untuk masuk
kekapsul bowman. GFR dapat dipengaruhi oleh jumlah tekanan hidrostatik
osmotik koloid yang melintasi membran glomerulus.dalam keadaan
normal,sekitar 20% plasma masuk ke glomerulus difitrasi dengan filtrasi

8
10 mmhg dan menghasilkan 180L filtrat glomerulus setiap hari untuk GFR
rata-rata 125 ml/menit pada pria dan 160 L filtrasi perhari dengan GFR
115 ml/menit untuk wanita.
2) Reabsorbsi tubulus
Merupakan proses perpindahan selektif zat-zat dari bagian dalam tubulus
(lumen tubulus) ke kailer peritubulus agar dapat diangkat ke sistem vena
kemudian kejantung ntuk kembali diedarkan . berikut ini merupakan zat-
zatyang direabsopsi diginjal.
Reabsobsi glukosa (ditubulus proksimal),reabsopsinatrium (67% ditubulus
proksimal , 25% dilengkung henle dan 8% ditubulus distal dan tubulus
pengumpul ),Reabsobsi air(80% ditubulus dan lengkung henie kemudian
20% ditubulus distal dan duktus pengumpul ),reabsobsi uea (diglomerulus
kemudian sebagian dikapiler peritubulus),reabsobsi fosfat dan kalsium
(40% ditubulus konturtus proksimal , 50% dilengkung henie pars
assendol)
3) Rekresi tubulus
Proses pemindahan selektif zat-zat darah kapiler peritubulus kealam lemen
tubulus . proses sekresi terpenting adalah sekresi H+ , K+ ,dan ion ion
organik . disepanjang tubulus , ion H akan disekresi ke dalam cairan
tubulus sehinga dapat dicapai keseimbangan asam basa.asam urat dan K di
sekresi kedalam tubulus distal , sekitar 5% dari kalium yang terfiltrasi
akan disekresi ion K tersebut di atur oleh hormon antidiuretik , kemudian
hasil dari proses tersebut adalah terjadinya eksresi urin.
2.2 Definisi Gagal Ginjal Kronis

Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir merupakan ganguan
fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Ini
dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes melitus,
glomerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi yang tidak dapat dikontrol,

9
obstruksi traktus urinarius, lesi herediter, infeksi medikasi, atau agens toksik.
Lingkungan dan agens berbahaya yang mempengaruhi gagal ginjal kronis
mencakup timah, kadmium, merkuri, dan kromium. Dialisis atau transplantasi
ginjal kadang-kadang diperlukan untuk ke langsungan hidup pasien (Brunner &
Suddarth 2002)

Penyakit ginjal kronik (CKD) didefinisikan sebagai kerusakan ginjal yang


terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate/GFR) dengan
manifestasi kelainan patologis atau terdapat tanda-tanda kelainan ginjal, termasuk
kelainan dalam komposisi kimia darah, atau urin, atau kelainan radiologis
(wibowo, 2010). Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (End Stage
Renal Diseases) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel
dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Gagal ginjal kronis terjadi dengan lambat
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dengan penurunan bertahap dengan
fungsi ginjal dan peningkatan bertahap dalam gejala-gejala, menyebabkan
penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).

Gagal ginjal kronis biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal
lanjut secara bertahap. Gangguan fungsi ginjal adalah penurunan laju filtrasi
glomerulus yang dapat digolongkan ringan, sedang dan berat. Azotemia adalah
peningkatan nitrogen urea darah atau Blood Urea Nitrogen (BUN) dan ditegakkan
bila konsentrasi ureum plasma meningkat (Wilkinson, 2007). Gagal ginjal kronik
adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan
kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada
tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju
filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m² (Chonchol, 2005).

Penyakit ginjal kronik adalah proses patofisiologis dengan etiologi yang


beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal (Sudoyo, dkk, 2006). Kesimpulan : gagal

10
ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang persisten dan ireversibel yang
bersifat progresif dan lambat dimana ginjal tidak dapat mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit yang menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah-sampah nitrogen lainya).

Penyakit ginjal kronis adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi


yang beragam,mengkibatkan penurunan fungsi ginjal yang progesif dan pada
umunya berakhir dengan gagal ginjal.Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis
yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel ,pada suatu derajad
yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau tranplatasi
ginjal(perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam indonesia 2006)

Gagal ginjal kronis adalah penyakit ginjal tahap akhir merupakan


gangguan fungsi hati yang progesif dan irreversible dimana kemmpuan tubuh
gagal untuk memeprtahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit
menyebabkan uremia dan retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam darah)
(suharyanto dan madjid 2009) Gagal ginjal kronik menurut the kidney oytcomes
quality initiative(K/KOQI) of nation kidney foundation (NKF) pada tahun 2009
adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama atau lebih dari 3 bulan dengan laju
filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/men/1,73 m2. seperti pada tabel 2.1 berikut:

1
Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
- Kelainan patologik
- Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan

2
Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal

11
2.3 Klasifikasi

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar
derajat (stage) penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat
penyakit dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus
Kockcorft-Gault sebagai berikut: LFG (ml/menit/1,73m²) = (140-umur)x berat
badan / 72x kreatinin plasma (mg/dl)

Klasifikasi tersebut tampak pada tabel 2.2

Tabel 2.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan LFG
(ml/mnt/1,73m²)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ > 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ berat 15- 29
5 Gagal ginjal < 15 atau
dialisis

Klasifikasi atas dasar diagnosis tampak pada tabel 2.3

Tabel 2.3 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal Diabetes Diabetes tipe 1 dan
2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit
glomerular(penyakit otoimun,
infeksi sistemik, obat,
neoplasia)
Penyakit vascular (penyakit
pembuluh
darah besar,
hipertensi,mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis

12
kronik, batu, obstruksi,
keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal
polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunanobat
( siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent
(glomerular)
Transplant glomerulopathy

2.4 Epidemiologi

Di AS data tahun 1995-1999 menyatakan diperkirakan 100 kasus per 1juta


penduduk pertahun dan angka ini meningkat 8 %pertahunya.di malaysia
diperkirakan 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya.dinegara-negara
berkembang lainnya insiden gagal ginjal diperkirakan 40-60 kasus perjuta
penduduk pertahun.

Indonesia merupakan negara dengan prevalensi gagal ginjal kronik yang cukup
tinggi yaitu sekitar 30,7 juta penduduk.menurut pt askes ada sekitar 14,3 juta orang
indonesia gagal ginjal tahap akhir saat ini mengjalani pengobatan yaitu dengan
prevalensi 433 perjumlah penduduk jumlah ini akan meningkat hingga melebihi
200 juta pada tahun 2025

2.5 Etiologi

Penyebab CKD menurut Price dan Wilson (2006) antara lain :


a) Penyakit infeksi: pielonefritis kronik atau refluks, nefropati,
tubulointestinal.
b) Penyakit peradangan: glomerulonefritis.
c) Penyakit vaskuler hipertensi: nefrosklerosis maligna, nefrosklerosis
benigna, stenosis arteria renalis.
d) Gangguan jaringan ikat: lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,
sklerosis sistemik progresif.

13
e) Gangguan kongenital dan hederiter: penyakit ginjal polikistik hederiter,
asidosis sistemik progresif.
f) Penyakit metabolik: diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme,
amiloidosis.
g) Nefropati toksik: penyalahgunaan analgesik, nefropati timah.
h) Nefropati obstruktif karena obstruksi saluran kemih karena batu,
neoplasma, fibrosis retroperitoneal, hipertrofi prostat, striktur uretra,
anomali kongenital leher vesika urinarian dan uretra.

2.6 Patofisologi

Proses Perjalanan Penyakit

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada


penyakit yang mendasarinya. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai
upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfitrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa.Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi (Suwitra
dalam Sudoyo, 2006).

Fungsi renal menurun menyebabkan produk akhir metabolisme protein (yang


normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Akibatnya terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk
sampah, maka gejala akan semakin berat (Brunner & Suddarth 2002). Retensi
cairan dan natrium akibat dari penurunan fungsi ginjal dapat mengakibatkan
edema, gagal jantung kongestif/ CHF, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi
karena aktivitas aksis renin angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan
sekresi aldosteron.

14
CKD juga menyebabkan asidosis metabolik yang terjadi akibat ginjal tidak
mampu mensekresi asam (H-) yang berlebihan. Asidosis metabolik juga terjadi
akibat tubulus ginjal tidak mampu mensekresi ammonia (NH3-) dan
mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan ekresi fosfat dan asam
organik lain juga dapat terjadi.

Selain itu CKD juga menyebabkan anemia yang terjadi karena produksi
eritropoietin yang tidak memadai, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi
nutrisi, dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik
pasien, terutama dari saluran pencernaan. Eritropoitein yang diproduksi oleh
ginjal, menstimulasi sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah jika
produksi eritropoietin menurun maka mengakibatkan anemia berat yang disertai
keletihan, angina, dan sesak napas.

Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolisme


akibat penurunan fungsi ginjal. Kadar serum kalsium dan fosfat dalam tubuh
memiliki hubungan timbal balik dan apabila salah satunya meningkat, maka
fungsi yang lain akan menurun. Akibat menurunya glomerular filtration rate
(GFR) kadar fosfat akan serum meningkat dan sebaliknya kadar serum kalsium
menurun. Terjadinya penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi
parathormon dari kelenjar paratiroid. Tetapi, gagal ginjal tubuh tidak merespon
normal terhadap peningkatan sekresi parathormon. Sehingga kalsium di tulang
menurun, yang menyebabkan terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang.
Demikian juga dengan vitamin D (1,25 dihidrokolekalsiferol) yang dibentuk
diginjal menurun seiring dengan perkembangan gagal ginjal. Penyakit tulang
uremik/osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat, dan
keseimbangan parathormon (Nursalam, 2006).

2.7 Manifestasi klinis

Menurut Brunner & Suddarth (2002) tanda dan gejala penyakit ginjal kronik
didapat antara lain :

15
a) Kardiovaskuler: hipertensi, pitting edema (kaki, tangan, sekrum), edema
periorbital, pembesaran vena leher.
b) Integumen : warna kulit abu-abu mengkilat, kulit terang dan bersisik,
pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
c) Pulmoner : krekles, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernafasan
kussmaul.
d) Gastrointestinal: nafas berbau amonia, ulserasi dan perdarahan pada mulit,
anoreksia, mual dan muntah, konstipasi dan diare, perdarahan dari saluran
GI.
e) Neurologi: kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang,
kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, perubahan perilaku.
f) Muskuloskeletal: kram otot, kekuatan otot hilang, faktor tulang.
g) Reproduktif: amenore, atrofi testikuler.

2.8 Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Brunner & Suddarth (2002)
yaitu
a) Hssiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik,
katabolisme dan masukan diet berlebihan.
b) Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
rennin-angiostensin-aldosteron
d) Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan
kehilangan darah selama hemodialisis.
e) Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan
peningkatan kadar alumunium.
2.9 Penatalaksanaan Medis

16
Penatalaksanaan untuk mengatasi penyakit gagal ginjal kronik menurut
Brunner & Suddarth (2002) yaitu :

1. Penatalaksanaan untuk mengatasi komplikasi


a) Hipertensi diberikan antihipertensi yaitu Metildopa (Aldomet),
Propanolol (Inderal), Minoksidil (Loniten), Klonidin (Catapses), Beta
Blocker, Prazonin (Minipress), Metrapolol Tartrate (Lopressor).
b) Kelebihan cairan diberikan diuretic diantaranya adalah Furosemid
(Lasix), Bumetanid (Bumex), Torsemid, Metolazone (Zaroxolon),
Chlorothiazide (Diuril).
c) Peningkatan trigliserida diatasi dengan Gemfibrozil.
d) Hiperkalemia diatasi dengan Kayexalate, Natrium Polisteren Sulfanat.
e) Hiperurisemia diatasi dengan Allopurinol.
f) Osteodistoofi diatasi dengan Dihidroksiklkalsiferol, alumunium
hidroksida.
g) Kelebihan fosfat dalam darah diatasi dengan kalsium karbonat, kalsium
asetat, alumunium hidroksida.
h) Mudah terjadi perdarahan diatasi dengan desmopresin, estrogeni.
Ulserasi oral diatasi dengan antibiotic.
1. Intervensi diet yaitu diet rendah protein (0,4-0,8 gr/kgBB), vitamin B
dan C, diet tinggi lemak dan karbohirat
2. Asidosis metabolic diatasi dengan suplemen natrium karbonat.
3. Abnormalitas neurologi diatasi denganDiazepam IV (valium),
fenitonin (dilantin).
4. Anemia diatasi dengan rekombion eritropoitein manusia (epogen IV
atau SC 3x seminggu), kompleks besi (imferon), androgen (nandrolan
dekarnoat/deca durobilin) untuk perempuan, androgen (depo-
testoteron) untuk pria, transfuse Packet Red Cell/PRC.
5. Cuci darah (dialisis) yaitu dengan hemodialisa maupun peritoneal
dialisa.
6. Transplantasi ginjal.

17
2.10 Pengkajian Keperawatan

Fokus pengkajian Menurut Doengoes (2002), fokus pengkajian pada pasien


gagal ginjal kronik antara lain :

1. Aktivitas/istirahat
Gejala : Kelelahan ekstremitas, kelemahan, malaise, gangguan tidur.
Tanda : Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
2. Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi lama atau berat, nyeri dada.
Tanda : Hipertensi, nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting pada kaki,
nadi lemah halus, pucat, kuning, kecenderungan perdarahan
3. Eliminasi
Gejala : Penurunan frekuensi urine, oliguri, anuri, diare, konstipasi.
Tanda : Perubahan warna urine (kuning pekat, merah, coklat) digouria
menjadi anuri.
4. Integritas ego
Gejala : Faktor stress, perasaan tidak berdaya, tak ada kekuatan.
Tanda : Menolak, ansietas, takut, marah, mudah tersinggung.
5.  Makanan/cairan
Gejala : Peningkatan berat badan dengan cepat, penurunan berat badan
(mal nutrisi), anoreksia, mual muntah, nyeri ulu hati.
Tanda : Asites, perubahan turgor kulit.
6. Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, penglihatan kabur, kejang, kesemutan dan
kelemahan.
Tanda : Ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilanan memori, rambut tipis,
kuku rapuh dan tipis.
7. Nyeri dan kenyamanan
Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala, nyeri dada.
Tanda : Perilaku berhati-hati, gelisah.
8. Pernafasan

18
Gejala : Napas pendek, batuk dengan atau tanpa sputum
Tanda : Dispnea, peningkatan frekuensi, batuk
9.  Keamanan
Gejala : Kulit gatal
Tanda : Pruritus, demam, fraktur tulang.
10.  Seksualitas
Gejala : Penurunan libido aminorea, infertilitas.
11. Interaksi sosial
Gejala : Kesulitan menentukan kondisi.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien CKD untuk mengetahui
penyebab dan daerah yang terkena menurut Doenges (2002), sebagai berikut:
a) Urine : Volume kurang dari 40 ml / 24 jam ( oliguria ), warna keruh,
berat jenis kurang dari 1.015, osmolalitas kurang dari 350 m.osn/kg,
klirens kreatinin agak menurun kurang 10 ml / menit, natrium lebih dari
40 mEq/L, proteinuria.
b) Darah : BUN/kreatinin meningkat lebih dari 10 mg/dl, Ht menurun, Hb
kurang dari  7 – 8 gr/dl, SDM waktu hidup menurun, AGD (pH
menurun dan terjadi asidosis metabolic (kurang dari 7.2), natrium
serum rendah, kalium meningkat 6,5 mEq atau lebih besar,
magnesium/fosfat meningkat, kalsium menurun, protein khususnya
albumin menurun.
c) Osmolalitas serum : Lebih besar dari 285 nOsm/kg, sering sama dengan
urine.
d) KUB Foto : Menunjukkan ukuran finjal/ureter/kandung kemih dan
adanya obstruksi (batu).
e) Elektrokardiografi (ECG) : Untuk melihat kemungkinan hipertropi
ventrikel kiri, tanda – tanda perikarditis, aritmia dan gangguan elektrolit
(hiperkalemia dan hipokalsemia).
f) Ultrasonografi (USG) : Menilai bentuk dan besar ginjal, tebal korteks
ginjal, kepadatan paremkim ginjal, ureter proximal, kandung kemih

19
serta prostat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari adanya faktor
yang reversibel, juga menilai apakah proses sudah lanjut.
g) Foto polos abdomen : Sebaiknya tampa puasa, karena dehidrasi akan
memperburuk fungsi ginjal, menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah
ada batu atau obstruksi lain.
h) Pielografi Intravena (PIV) : Pada PIV, untuk CKD tak bermanfaat lagi
olah karena ginjal tidak dapat mengeluarkan kontras, saat ini sudah
jarang dilakukan.
i) Pemeriksaan Pielografi Retrograd : Dilakukan bila dicurigai ada
obstruksi yang reversibel.
j) Pemeriksaan Foto Dada : Dapat terlihat tanda – tanda bendungan paru
akibat kelebihan air (fluid overload), efusi pleura, kardiomegali dan
efusi perikardial.
k) Pemerikasaan Kardiologi tulang : Mencari osteoditrofi (terutama tulang
atau jari) dan klasifikasi metastatik.

2.11 Diagnosa Keperawatan


Menurut Doenges (2002), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien
CKD adalah:
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang
meningkat.
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan udem
sekunder: volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O.
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual, muntah.
4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder,
kompensasi melalui alkalosis respiratorik.
5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan
menurun.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak
adekuat, keletihan.

20
2.12 Perencanaan Keperawatan
1) Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang
meningkat
Tujuan : Penurunan curah jantung tidak terjadi
Kriteria hasil : Mempertahankan curah jantung dengan bukti
tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer
kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Perencanaan :
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
b. Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem
aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya
(skala 0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia
2) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema
sekunder: volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
Tujuan : Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan
cairan
Kriteria hasil : Tidak ada edema, keseimbangan antara input dan
output
Perencanaan :
a. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan
masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
b. Batasi masukan cairan
R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan
respon terhadap terapi

21
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga
dalam pembatasan cairan
d. Anjurkan pasien/ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan
terutama pemasukan dan haluaran
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output

3) Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia,


mual, muntah
Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat

Kriteria hasil : Menunjukan BB stabil

Perencanaan :

a. Awasi konsumsi makanan/cairan


R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat
mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan
intervensi
c. Beikan makanan sedikit tapi sering
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
e. Berikan perawatan mulut sering
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak
disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan
4) Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder:
kompensasi melalui alkalosis respiratorik
Tujuan : Pola nafas kembali normal/stabil
Intervensi :
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret

22
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau
hipoksia

5) Kerusakan integritas knulit berhubungan dengan pruritis


Tujuan : Integritas kulit dapat terjaga dengan
Kriteria hasil : Mempertahankan kulit utuh, menunjukan
perilaku/teknik untuk mencegah kerusakan kulit
Intervensi :
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler,
perhatikan kadanya kemerahan
R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat
menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi.
b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang
mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan
c. Inspeksi area tergantung terhadap udem
R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
d. Ubah posisi sesering mungkin
R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi
buruk untuk menurunkan iskemia

e. Berikan perawatan kulit


R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit
f. Pertahankan linen kering
R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk
memberikan tekanan pada area pruritis

23
R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko
cedera
h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar
R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi
lembab pada kulit

6) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak


adekuat, keletihan
Tujuan : Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat
ditoleransi
Intervensi :
a. Pantau pasien untuk melakukan aktivitas
b. Kaji fektor yang menyebabkan keletihan
c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d. Pertahankan status nutrisi yang adekuat

2.13 Pelaksanaan Keperawatan

Pelaksanaan merupakan tindakan keperawatan yang telah disusun sesuai


dengan masalah keperawatan klien. Tindakan keperawatan dilaksanakan sesuai
kewengan dan tanggung jawab perawat secara profesional sesuai dengan standar
profesi dan kode etik profesi. Berdasarkan kewenangan dan tanggung jawab,
tindakan keperawatan dibagi atas 3 (tiga) tindakan yaitu :

1. Independen
Tindakan yang dilaksanakan oleh perawat secara profesional, tanpa
petunjuk instruksi dari tenaga kesehatan lain untuk melakukan
tindakan keperawatan mandiri berdasarkan pendidikan dan
pengalaman.
2. Interpenden
Tindakan keperawatn yang memerlukan kerjasama atau kolaborasi
dengan tenaga kesehatan lain.

24
3. Dependen
Tindakan perawat untuk melaksanakan tugas pelimpahan dari tenaga
kesehatan lain.
2.14 Evaluasi Keperawatan

Tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan


seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan keperawatan, dan
pelaksanaan keperawatan sudah berhasil dicapai dengan perkembangan atau
respon klien dalam mencapai tujuan, maka perawat dapat menentukan efektivitas
tindakan keperawatan.

1. Evaluasi formatif yaitu evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan


intervensi dengan respon segera.
2. Evaluasi sumatif yang merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan
analisis status pasien pada waktu tertentu.
Evaluasi :
a) Kelebihan atau kekurangan volume cairan tidak terjadi.
b) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi.
c) Kelemahan/intoleransi aktivitas tidak terjadi.
d) Tidak terjadi resiko keruksakan intergritas kulit.
e) Pengetahuan klien bertambah mengenai proses penyakit,
pengobatan dan perawatannya
2.15 Definisi Ventilator
Ventilator mekanis adalah alat pernafasan bertekanan negatif atau positif
yang dapat mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen selama waktu yang
lama (Brunner and Suddarth, 2001).
Merawat pasien pada ventilator mekanis telah menjadi bagian integral dari
asuhan keperawatan di unit perawatan kritis, di unit medikal bedah umum, di
fasilitas perawatan yang luas, dan bahkan di rumah. Perawat, dokter, dan ahli
terapis pernapasan harus mengerti masing-masing kebutuhan pernapasan spesifik
pasien dan bekerja bersama untuk membuat tujuan yang realistis. Rumusan
penting untuk hasil pasien yang positf termasuk memahami prinsip-prinsip

25
ventilasi mekanis dan perawatan yang dibutuhkan dari pasien, juga komunikasi
terbuka diantara tim perawatan kesehatan tentang tujuan terapi, rencana
penyapihan (weaning), dan toleransi pasien terhadap perubahan dalam pengesetan
ventilator.

2.16 Klasifikasi Ventilator


Terdapat beberapa jenis ventilator mekanis.Ventilator diklasifikasikan
berdasarkan cara alat tersebut mendukung ventilasi. Dua kategori umum adalah
ventilator tekanan-negatif dan tekanan-positif.
Sampai sekarang kategori yang paling umum digunakan adalah ventilator
tekanan-positif. Ventilator tekanan-positif juga termasuk klasifikasi metoda fase
inspirasi akhir (tekanan-bersiklus, waktu-bersiklus dan volume-bersiklus).
a) Ventilator Tekanan Negatif
         Ventilator tekanan negatif mengeluarkan tekanan negatif pada dada
eksternal. Dengan mengurangi tekanan intratoraks selama inspirasi
memungkinkan udara untuk mengalir ke dalam paru-paru, sehingga memenuhi
volumenya. Secara fisiologis, jenis ventilasi terbaru ini serupa dengan ventilasi
spontan. Ventilator jenis ini digunakan terutama pada gagal nafas kronik yang
berhubungan dengan kondisi neurovaskular seperti poliomielitis, distrofimuskular,
sklerosis lateral amiotrofik, dan miasteniagravis. Penggunaannya tidak sesuai
untuk pasien yang tidak stabil atau pasien yang kondisinya membutuhkan
perubahan ventilatori sering.
         Ventilator tekanan negatif adalah alat yang mudah digunakan dan tidak
membutuhkan intubasi jalan nafas pasien. Ventilator ini digunakan paling sering
untuk pasien dengan fungsi pernafasan borderline akibat penyakit neuromuskular.
Akibatnya, ventilator ini sangat baik untuk digunakan di lingkungan rumah.
Terdapat beberapa jenis ventilator tekanan negatif: iron lung, body wrap, dan
chest cuirass.
            Drinker Respirator Tank (Iron Lung). Iron Lung adalah bilik tekanan
negatif yang digunakan untuk ventilasi. Alat ini pernah digunakan secara luas

26
selama epidemik polio pada masa lalu dan sekarang digunakan oleh pasien-pasien
yang selamat dari penyakit polio dan kerusakan neuromuskular lainnya.
            Body Wrap (Pneumowrap) dan Chest Cuirass (Tortoise Shell). Kedua alat
portabel ini membutuhkan sangkar atau shell yang kaku untuk menciptakan bilik
tekanan negatif disekitar toraks dan abdomen. Karena masalah-masalah dengan
ketepatan ukuran dan kebocoran sistem, jenis ventilator ini hanya digunakan
dengan hati-hati pada pasien tertentu.
b) Ventilator Tekanan Positif
Ventilator tekanan positif menggembungkan paru-paru dengan
mengeluarkan tekanan positif pada jalan nafas, serupa dengan mekanisme di
bawah, dan dengan demikian mendorong alveoli untuk mengembang selama
inspirasi. Ekspirasi terjadi secara pasif. Pada ventilator jenis ini diperlukan
intubasi endotrakea atau trakeostomi. Ventilator ini secara luas digunakan di
lingkungan rumah sakit dan meningkat penggunaannya di rumah untuk pasien
dengan penyakit paru primer. Terdapat tiga jenis ventilator tekanan positif, yaitu:
1. Ventilator Tekanan-Bersiklus.
Ventilator tekanan bersiklus adalah ventilator tekanan positif yang mengakhiri
inspirasi ketika tekanan preset telah tercapai. Dengan kata lain, siklus ventilator
hidup, mengantarkan aliran udara sampai tekanan tertentu yang telah ditetapkan
sebelumnya tercapai, dan kemudian siklus mati. Keterbatasan utama dengan
ventilator jenis ini adalah bahwa  volume udara atau oksigen dapat beagam sejalan
dengan perubahan tahanan atau kompliens jalan napas pasien. Akibatnya adalah
suatu ketidakkonsistensian dalam jumlah volume tidal yang dikirimkan dan
kemungkinan mengganggu ventilasi. Konsekuensinya, pada orang dewasa,
ventilator tekanan-bersiklus dimaksudkan hanya untuk penggunaan jangka pendek
di ruang pemulihan. Jenis yang paling umum dari ventilator jenis ini adalah mesin
IPPB.
2. Ventilator Waktu-Bersiklus
Ventilator waktu-bersiklus mengakhiri atau mengendalikan inspirasi setelah
waktu yang ditentukan. Volume udara yang diterima pasien diatur oleh
kepanjangan inspirasi dan frekuensi aliran udara. Sebagian besar ventilator

27
mempunyai frekuensi kontrol yang menentukan frekuensi pernapasan, tetapi
waktu-pensiklus murni jarang digunakn untuk orang dewasa. Ventilator ini
digunakan pada neonatus dan bayi.
3. Ventilator Volume-Bersiklus
Ventilator volume bersiklus sejauh ini adalah ventilator tekanan-positif yang
paling banyak digunakan sekarang. Dengan ventilator jenis ini, volume udara
yang akan dikirimkan pada setiap inspirasi telah ditentukan. Mana kala volume
preset ini telah dikirimkan pada pasien, siklus ventilator mati dan ekshalasi terjadi
secara pasif. Dari satu nafas ke nafas lainnya, volume udara yang dikirimkan oleh
ventilator secara relatif konstan, sehingga memastikan pernapasan yang konsisten,
adekuat meski tekanan jalan nafas beragam.

2.17 Gambaran dan Pengesetan Volume Vetilator


     Berbagai gambaran digunakan dalam penatalaksanaan pasien pada
ventilator mekanis. Ventilator disesuaikan sehingga pasien merasa nyaman dan
”dalam harmoni” dengan mesin. Perubahan yang minimal dari dinamik
kardiovaskuler dan paru diharapkan. Jika volume ventilator disesuaikan dengan
tepat, kadar gas darah arteri pasien akan terpenuhi dan akan ada sedikit atau tidak
ada sama sekali gangguan kardiovaskuler.
       Pengesetan awal ventilator setting :
1. Atur mesin untuk memberikan volume tidal yang dibutuhkan (10-15
ml/kg).
2. Sesuaikan mesin untuk memberikan konsentrasi oksigen terendah untuk
mempertahankan PaO2 normal (80-100 mmHg). Pengesetan ini dapat
diatur tinggi dan secara bertahap dikurangi berdasarkan pada hasil
pemeriksaan gas darah arteri.
3. Catat tekanan inspiratori puncak.
4. Atur cara (bantu-kontrol atau ventilasi mandatori intermiten) dan
frekuwensi sesuai dengan program medik dokter.

28
5. Jika ventilator diatur pada cara bantu kontrol, sesuaikan sensivitasnya
sehingga pasien dapat merangsang ventilator dengan upaya minimal
(biasanya 2 mmHg dorongan inspirasi negatif).
6. Catat volume 1 menit dan ukur tekanan parsial karbondioksida (PCO2)
dan PO2, setelah 20 menit ventilasi mekanis kontinu.
7. Sesuaikan pengesetan (FO2 dan frekuwensi) sesuai dengan hasil
pemeriksaan gas darah arteri atau sesuai dengan yang ditentukan oleh
dokter.
8. Jika pasien menjadi bingung atau agitasi atau mulai “Bucking” ventilator
karena alasan yang tidak jelas, kaji terhadap hipoksemia dan ventilasikan
manual pada oksigen 100% dengan bag resusitasi.

2.18 Indikasi Ventilasi Mekanis


          Jika pasien mengalami penurunan kontinu oksigenasi (PaO2), peningkatan
kadar karbondioksida arteri (PaCO2), dan asidosis persisten (penurunan pH),
maka ventilasi mekanis kemungkinan diperlukan. Kondisi seperti pascaoperatif
bedah toraks atau abdomen, takar lajak obat, penyakit neuromuskular, cedera
inhalasi, PPOM, trauma multipel, syok, kegagalan multisistem, dan koma
semuanya dapat mengarah pada gagal nafas dan perlunya ventilasi mekanis.
Kriteria untuk ventilasi mekanis berfungsi sebagai pedoman dalam membuat
keputusan untuk menempatkan pasien pada ventilator. Pasien dengan apnea yang
tidak cepat pulih juga merupakan kandidat untuk ventilasi mekanis.

NO PARAMETER NILAI TINDAKAN


1. Frekuensi <10 kali/menit Evaluasi pasien
Pernafasan. (penurunan kendali dan hilangkan
pernafasan. penyebab.
Normal.
16-20 kali/per menit. Evaluasi pasien
28-40 kali/menit. dan lakukan
tindakan yang
tepat.

29
Pertimbangkan
intubasi/ventilasi
2. terencana.
Kapasitas Vital. <10-20 ml/kg(cadangan Lihat tanda gagal
3. pernafasan buruk). nafas.
Tekanan inspirasi. <20 cm H2O atau Siapkan dukungan
4. cenderung menurun. ventilator.
Gas darah Arteri.
   Ph <7,25 Evaluasi
dikombinasi
dengan
peningkatan
PaCO2.
    PaCO2 <50mm/Hg Evaluasi
dikombinasi
dengan penurunan
pH.
<50 mmHg dengan Evaluasi
     PaO2 terapi O2 dikombinasi
dengan pH dan
5. PaCO2.

6. ≥ 300 mmHg
≥ 25-30 Beri O2 100%
Gradien pirau A-a Penurunan atau tidak ada Siapkan dukungan
7. bunyi nafas. ventilator.
Auskultasi dada Monitor disritmia.
8. Nadi lebih dari 120,
disritmia Evaluasi hal
Irama dan diatas dan
9. frekuwensi jantung Kelelahan berat, lakukan tindakan

30
Aktivitas penurunan tolenransi tepat.
10. aktivitas Monitor aktivitas
kejang hipoksik.
Status mental Kacau mental, delirium, Siapkan dukungan
samnolen. ventilator.
Observasi fisik Penggunaan otot asesori,
kelelahan, kerja
pernafasan berat.

2.19 Komplikasi Ventilasi Mekanis


          Pasien dengan ventilator mekanis memerlukan observasi, keterampilan dan
asuhan keperawatan berulang. Komplikasi yang dapat terjadi dengan terapi
ventilator ini adalah:
1.    Komplikasi pada jalan nafas
          Aspirasi dapat terjadi sebelum, selama, atau setelah intubasi. Kita dapat
meminimalkan resiko aspirasi setelah intubasi dengan mengamankan selang,
mempertahankan manset mengembang, dan melakukan penghisapan oral dan
selang kontinu secara adekuat. Bila resusitasi diperpanjang dan distensi gastrik
terjadi, jalan nafas harus diamankan sebelum memasang selang nasogastrik untuk
dekompresi lambung. Bila aspirasi terjadi potensial untuk terjadinya SDPA
meningkat.
          Kebanyakan pasien dengan ventilator perlu dilakukan restrein pada kedua
tangan, karena ekstubasi tanpa disengaja oleh pasien sendiri dengan aspirasi
adalah komplikasi yang pernah terjadi. Selain itu self-extubation dengan manset
masih mengembang dapat menimbulkan kerusakan pita suara.
          Prosedur intubasi itu sendiri merupakan resiko tinggi. Contoh komplikasi
intubasi meliputi:
a. Intubasi lama dan rumit meningkatkan hipoksia dan trauma trakea.
b. Intubasibatangutama (biasanya kanan) ventilasi tak seimbang,
meningkatkan laju mortalita

31
c. Intubasi sinus piriformis (jarang) abses faringeal Pnemonia Pseudomonas
sering terjadi pada kasus intubasi lama dan selalu kemungkinan potensial
dari alat terkontaminasi.
2.    Masalah Selang Endotrakeal
          Bila selang diletakkan secara nasotrakeal, infeksi sinus berat dapat terjadi.
Alternatifnya, karena posisi selang pada faring, orifisium ke telinga tengah dapat
tersumbat, menyebabkan otitis media berat, kapanpun pasien mengeluh nyeri
sinus atau telinga atau terjadi demam dengan etiologi yang tidak diketahui, sinus
dan telinga harus diperiksa untuk kemungkinan sumber infeksi.
          Beberapa derajat kerusakan trakeal disebabkan oleh intubasi lama. Stenosis
trakeal dan malasia dapat diminimalkan bila tekanan manset diminimalkan.
Sirkulasi arteri dihambat oleh tekanan manset kurang lebih 30 mm/Hg. Penurunan
insiden stenosis dan malasia telah dilaporkan dimana tekanan manset
dipertahankan kurang lebih 20 mm/Hg. Bila edema laring terjadi, maka ancaman
kehidupan paskaekstubasi dapat terjadi.
3.    Masalah Mekanis
          Malfungsi ventilator adalah potensial masalah serius. Tiap 2-4 jam
ventilator diperiksa oleh staf keperawatan atau pernafasan. VT tidak adekuat
disebabkan oleh kebocoran dalam sirkuit atau manset, selang atau ventilator
terlepas, atau obstruksi aliran. Selanjutnya disebabkan oleh terlipatnya selang,
tahanan sekresi, bronkospasme berat, spasme batuk, atau tergigitnya selang
endotrakeal.
          Secara latrogenik menimbulkan komplikasi melampaui kelebihan ventilasi
mekanis yang menyebabkan alkalosis respiratori dan karena ventilasi mekanis
menyebabkan asidosis respiratori atau hipoksemia. Penilaian GDA menentukan
efektivitas ventilasi mekanis. Perhatikan, bahwa pasien PPOM diventilasi pada
nilai GDA normal mereka, yang dapat melibatkan kadar karbondioksida tinggi.
4.    Barotrauma
Ventilasi mekanis melibatkan “pemompaan” udara kedalam dada,
menciptakan tekanan positif selama inspirasi. Bila TEAP ditambahkan, tekanan
ditingkatkan dan dilanjutkan melalui ekspirasi. Tekanan positif ini dapat

32
menyebabkan robekan alveolus atau emfisema. Udara kemudian masuk ke area
pleural, menimbulkan tekanan pneumotorak-situasi darurat. Pasien dapat
mengembangkan dispnea berat tiba-tiba dan keluhan nyeri pada daerah yang sakit.
Tekanan ventilator menggambarkan peningkatan tajam pada ukuran, dengan
terdengarnya bunyi alarm tekanan. Pada auskultasi, bunyi nafas pada area yang
sakit menurun atau tidak ada. Observasi pasien dapat menunjukkan penyimpangan
trakeal. Kemungkinan paling menonjol menyebabkan hipotensi dan bradikardi
yang menimbulkan henti jantung tanpa intervensi medis. Sampai dokter datang
untuk dekompresi dada dengan jarum, intervensi keperawatannya adalah
memindahkan pasien dari sumber tekanan positif dan memberi ventilasi dengan
resusitator manual, memberikan pasien pernafasan cepat.

5.    Penurunan Curah Jantung.


Penurunan curah jantung ditunjukkan oleh hipotensi bila pasien pertama kali
dihubungkan ke ventilator ditandai adanya kekurangan tonus simpatis dan
menurunnya aliran balik vena. Selain itu hipotensi adalah tanda lain dan gejala
dapat meliputi gelisah yang tidak dapat dijelaskan, penurunan tingkat kesadaran,
penurunan haluarana urine, nadi perifer lemah, pengisian kapiler lambat, pucat,
lemah, dan nyeri dada. Hipotensi biasanya diperbaiki dengan meningkatkan cairan
untuk memperbaiki hipovolemia.
6.    Keseimbangan air positif
Penurunan aliran balik vena ke jantung dirangsang oleh regangan reseptor
vagal pada atrium kanan. Manfaat hipovolemia ini merangsang pengeluaran
hormon antidiuretik dari hipofise posterior. Penurunan curah jantung
menimbulkan penurunan haluaran urine melengkapi masalah dengan merangsang
respons aldosteron renin-angiotensin. Pasien yang bernafas secara mekanis,
hemodinamik tidak stabil, dan yang memerlukan jumlah besar resusitasi cairan
dapat mengalami edema luas, meliputi edema sakral dan fasial.

2.20 Asuhan Keperawatan

33
A) Pengkajian
Perawat mempunyai peran penting dalam mengkaji status pasien dan fungsi
ventilator. Dalam mengkaji pasien, perawat mengevaluasi hal-hal berikut:
a. Tanda-tanda vital.
b. Bukti adanya Hipoksia (Gelisah, Ansietas, Takikardia, Peningkatan Frekuensi
Pernapasan, Sianosis).
c. Frekuensi dan Pola Pernapasan.
d. Bunyi Napas.
e. Status Neurologis.
f. Volume Tidal, Ventilasi Satu Menit, Kapasitas Vital Kuat.
g. Kebutuhan Penghisapan.
h. Upaya Ventilasi Spontan Pasien.
i. Status Nutrisi.
j. Status Psikologis.

         Pengkajian fungsi jantung. Perubahan dalam curah jantung dapat terjadi
sebagai akibat ventilator tekanan positif. Tekanan intratorak positif selama
inspirasi menekan jantung dan pembuluh darah besar, dengan demikian
mengurangi arus balik vena dan curah jantung. Hal ini biasanya diperbaiki selama
ekshalasi ketika tekanan positif mati. Tekanan positif yang berlebihan dapat
menyebabkan pneumotoraks spontan akibat trauma pada alveoli. Kondisi ini dapat
dengan cepat berkembang menjadi pneumotoraks tension, yang lebih jauh lagi
mengganggu arus balik vena, curah jantung, dan tekanan darah.
Untuk mengevaluasi fungsi jantung, perawat pertama-tama harus
memperhatikan tanda-tanda dan gejala-gejala hipoksemia dan hipoksia (gelisah,
gugup, kelam pikir, takikardia, takipnea, pernapasan labored, pucat yang
berkembang menjadi sianosis, berkeringat, hipertensi transien, dan penurunan
haluaran urin). Jika terpasang kateter arteri pulmonal, curah jantung, indeks
jantung, dan nilai-nilai hemodinamik lainnya dapat ditentukan.
         Pengkajian peralatan. Ventilator juga harus dikaji untuk memastikan bahwa
ventilator berfungsi dengan tepat dan bahwa pengesetannya telah dibuat dengan
tepat. Meski perawat tidak benar-benar bertanggung jawab terhadap penyesuaian

34
pengesetan pada ventilator atau pengukuran parameter ventilator (biasanya ini
merupakan tanggung jawab dari ahli terapi pernapasan). Perawat bertanggung
jawab terhadap pasien dan karenanya harus mengevaluasi bagaimana ventilator
mempengaruhi status pasien secara keseluruhan. Dalam memantau ventilator,
perawat harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Jenis ventilator (volume bersiklus, tekanan bersiklus, tekanan negatif).
2. Cara pengendalian (kontrol, bantu/kontrol, intermitent mandatory,
ventilation).
3. Pengesetan volume tidal dan frekuensi.
4. Pengesetan F1O2 (fraksi oksigen yang diinspirasi).
5. Tekanan inspirasi yang dicapai dan batasan tekanan.
6. Pengesetan sigh (biasanya 1,5x dari volume tidal dan berkisar dari 1-
3/jam) jika memungkinkan.
7. Adanya air dalam selang, terlepasnya sambungan, atau terlipatnya selang.
8. Humidifikasi (humidifier dengan air).
9. Alarm (fungsi yang sesuai).
10. PEEP (tekanan akhir ekspiratori positif) atau tingkat dukungan tekanan,
jika memungkinkan
B) Diagnosa keperawatan

Berdasarkan pada data pengkajian, diagnosa keperawatan mayor pasien


dapat  mencangkup :
1. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan penyakit yang
mendasari, atau penyesuaian pengesetan ventilator selama stabilisasi
penyapihan.
2. Ketidak efektifan jalan napas yang berhubungan sengan pembentukan lendir
yang berkaitan dengan ventilasi mekanis tekanan positif kontinu.
3. Resiko terhadap trauma dan infeksi berhubungan dengan inkubasi endotrakea
dan trakeostomi.
4. Kerusakan mobilitas fisik yang berhungan dengan ketergantungan ventilator.
5. Kerusakan komunikasi verbal berhungan dengan tekanan selang endotrakea
dan pemasangan pada ventilator.

35
6. Koping individu tidak efektif dan ketidak berdayaan yang berhungan dengan
ketergantunagn pada ventilator

C) Intervensi Keperawatan
Meningkatkan pertukaran gas. Tujuan menyeluruh ventilasi mekanis
adalah untuk mengoptimalkan pertukaran gas dengan mempertahankan ventilasi
alveolar dan pengiriman oksigen. Perubahan pertukaran gas dapat dikarenakan
penyakit yang mendasari atau faktor-faktor mekanis yang berhubungan dengan
penyesuaian dari mesin dengan pasien. Tim perawatan kesehatan, termasuk
perawat, dokter, dan ahli trapi pernapasan, secara kontinu mengkaji pasien
terhadap pertukaran gas yang adekuat, tanda dan gejal hipoksia, dan respon
terhadap tindakan.
Intervensi keperawatan dengan pasien ventilator mekanis tidak berbeda
secara unik dengan pasien gangguan paru lainnya namun kebutuhan akan
pengamatan keperawatan dan penegakan hubungan perawat-pasien yang
terapeutik adalh sangat penting. Konstilasi intervensi yang digunakan oleh
perawat ditentukan oleh proses penyakit yang mendasari dan respon pasien.
Sebagai contoh pertukaran gas yang tidak adekuat dapat berhubungan dengan
faktor yang sangat beragam: tingakat kesadaran yang berubah, atelektasis,
kelebihan cairan, nyeri insisi, atau penyakit primer seperti pnemonia.
         Sebagai akibat, intervensi keperawatan untuk meningkatkan pertukaran gas
yang optimal termaksud pemberian medikasi nyeri secara bijaksana untuk
menghilangkan nyeri tetapi bukan untuk secara signifikan menurunan dorongan
pernapasan, dan seringnya perubahan posisi untuk menghilangkan efek
pernapasan terhadap inmobilitas.
         Perawat juga memantau keseimbangan cairan yang adekuat dengan
mengkaji adanya edema perifer. Menghitung pasukan dan haluaran urin, Dan
memantau berat badan harian. Perawat memberikan medikasi untuk mengontrol
penyakit primer dan memantau potensial efek samping obat yang diberikan.
Pengisapan steril jalan napas bawah disertai dengan fisio trapi dada (perkusi,
fibrasi) adalah stategi lain untuk membersihkan jalan napas dari kelebihan sekresi.

36
Dua intervensi keperawatan umum yang terutama penting untuk pasien yang
mendapat ventilasi secara mekanis adalah auskultasi paru dan interpretasi gas
darah arteri. Perawat sering menjadi orang pertama yang mengetahui perubahan
dalam temuan pengkajian fisik atau kecendrungan siknifikan dalam gas darah
yang menandakan terjinya masalah siknifikan (pnemotorak, perubahan letak
selang, embolisme pulmonal)
Penatalaksanaan jalan nafas. Ventilasi tekanan positif kontinu
meningkatkan pembentukan sekresi apapun kondisi pasien yang mendasari,
perawat harus mengidentifikasi adanya sekresi dengan auskultasi paru sedikitnya
setiap 2/4 jam. Tindakan untuk membersihkan jalan nafas dari sekresi termasuk
pengisapan. Fisioterapi dada, perubahan posisi yang sering, dan peningkatan
mobilitas secepat mungkin.
Mekanisme sigh pada ventilator mungkin dapat disesuaikan untuk
memberikan sedikitkan 1/3 sigh/jam pada 1,5 kali volume tidal jika pasien
menggunakan ventilator bantu kontrol. Karena resiko hiperventilitas dan trauma
pada jaringan paru akibat kelebihan tekanan ventilator (baro trauma,
pneumothorax). Jika pasien menggunakan mode ventilasi madatori intermitent
(IMV). Ventilasi mandatori bekerja sebagai sigh karena ventilasi ini mempunyai
volume lebih besar dibanding pernafasan spontan pasien
Sigh priodik mencegah atelektasis dan retensi sekresi lanjut. Humidifikasi
dengan cara ventilator dipertahankan untuk membantu pengenceran sekresi
sehingga sekresi lebih mudah dikeluarkan. Bronkodilator, baik intravena atau
inhalasi, diberikan sesuai dengan resep untuk mendilatasi bronkiolus sehingga
sekresi dapat dengan mudah dikeluarkan.
Mencegah trauma dan infeksi.  Penatalaksanaan jalan nafas harus
mencakup pemeliharaan selang endotrakeal atau trakeostomi. Selang ventilator
diposisikan sedemikian rupa sehingga hanya sedikit kemungkinan tertarik
penyimpangan selang dalam trakea. Hal ini mengurangi trauma pada trakea.
Tekanan manset harus dipantau setiap 8 jam untuuk mempertahankan dibawah 25
cm H2O. Adanya kebocoran cuff dievaluasi pada waktu yang sama

37
Perawat trakeostomi dilakukan sedikitnya setiap 8 jam dan lebih sering jika
diindikasikan karena peningkatan resiko infeksi. Higiene oral sering dilakukan
karena rongga oral merupakan sumber utama kontaminasi paru-paru pasien yang
diintubasi dan pasien lemah. Adanya selang nasogastrik dan penggunaan antasida
pada pasien dengan ventilasi mekanis juga telah mempredisposisikan pasien pada
pneumonia nosokomial akibat aspirasi subklinis. Pasien juga harus diposisikan
dengan kepala dinaikkan lebih tinggi dari perut sedapat mungkin untuk
mengurangi aspirasi isi lambung.
Peningkatan tingkat mobilitas optimal. Mobilitas pasien terbatas karena
dihubungkan dengan ventilator. Pasien yang kondisinya menjadi stabil harus
dibantu untuk turun dari tempat tidur dan kekursi segera saat memungkinkan.
Mobilitas dan aktivitas otot sangat bermanfaat karena menstimulasi pernafasan
dengan memperbaiki semangat mental. Jika pasien tidak mampu untuk turun dari
tempat tidur, maka latihan rentang gerak pasif dan aktif dilakukan setiap 8 jam
untuk mencegah atrofi otot, kontraktur dan stasis vena.
Meningkatkan komunikasi optimal. Metode komunikasi alternatif harus
dikembangkan untuk pasien dengan ventilator. Perawat mengkaji komunikasi
pasien bila keterbatasan pasien diketahui, perawat memberikan beberapa
pendekatan komunikasi; membaca gerak bibir, kertas dan pinsil, papan
komunikasi; bahasa gerak tubuh, penggunaan ‘’berbicara’’ dapat disarankan pada
dokter untuk memungkinkan pasien bicara sementara iya dengan ventilator pasien
harus dibantu untuk menemukanmetoda komunikasi yang paling cocok. Beberapa
metoda dapat membuat frustasi baik bagi pasien maupun bagi perawat. Dan
metode ini hal diidentifikasi dan diminimalkan.
Meningkatkan kemampuan koping. Ketergantungan pada ventilator
sangat menakutkan baik bagi pasien maupun keluarga. Dengan memberika
dorongan pada mereka untuk mengungkapkan perasaan mereka dengan ventilator,
kondisi pasien, lingkungan, akan sangat bermanfaat. Memberikan penjelasan
semua prosedur setiap kali dilakukan untuk membantu mengurangi ansietas, untuk
memulihkan rasa kontrol pasien didorong untuk ikut serta dalam pembuatan
keputusan tentang perawatan, jadwal,  dan tindakan bila memungkinkan. Pasien

38
mungkin menjadi menarik diri selama ventilasi mekanis, trauma jika
berkepanjangan akibatnya perawat harus menginformasikan tentang kemajuannya
pada pasien bila memungkinkan. Tekhnik penurunan stres (pijat punggung,
tindakan relaksasi) membantu mlepaskan ketegangan dan memampukan pasien
untuk menghadapi ansietas dan ketakutan tentang kondisi dan ketergantungan
pada ventilator

D) Evaluasi Keperawatan
Hasil yang diharapkan:
1. Menunjukkan pertukaran gas, kadar gas darah arteri, tekanan arteri 
pulmonal, dan tanda-tanda vital adekuat.
2. Menunjukkan ventilasi yang adekuat dengan akumulasi lendir yang minimal.
3. Bebas dari cedera atau infeksi seperti yang dibuktikan dengan suhu tubuh dan
jumlah sel darah putih.
4. Dapat aktif dalam keterbatasan kemampuan.
5. Berkomunikasi secara efektif melalui pesantertulis, gerak tubuh, alat
komunikasi lainnya.
6. Dapat mengatasi masalah secara efektif.

2.21 Tujuan Indikasi Pemasangan Ventilator


Ada beberapa hal yang menjadikan tujuan dan manfaat penggunaan ventilasi
mekanik ini dan juga beberapa kriteria pasien yang perlu untuk segera dipasang
ventilator.
Tujuan Ventilator antara lain adalah sebagai berikut :
 Mengurangi kerja pernapasan.
 Meningkatkan tingkat kenyamanan pasien.
 Pemberian MV yang akurat.
 Mengatasi ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi.
 Menjamin hantaran O2 ke jaringan adekuat.
Dan berikut adalah kriteria indikasi pemasangan ventilasi mekanik

39
1. Pasien Dengan Gagal Nafas. Pasien dengan distres pernafasan gagal nafas,
henti nafas (apnu) maupun hipoksemia yang tidak teratasi dengan
pemberian oksigen merupakan indikasi ventilasi mekanik. Idealnya pasien
telah mendapat intubasi dan pemasangan ventilasi mekanik sebelum
terjadi gagal nafas yang sebenarnya. Distres pernafasan disebabkan
ketidakadekuatan ventilasi dan atau oksigenasi. Prosesnya dapat berupa
kerusakan paru (seperti pada pneumonia) maupun karena kelemahan otot
pernafasan dada (kegagalan memompa udara karena distrofi otot).
2. Insufisiensi jantung. Tidak semua pasien dengan ventilasi mekanik
memiliki kelainan pernafasan primer. Pada pasien dengan syok
kardiogenik dan CHF, peningkatan kebutuhan aliran darah pada sistem
pernafasan (sebagai akibat peningkatan kerja nafas dan konsumsi oksigen)
dapat mengakibatkan jantung kolaps. Pemberian ventilasi mekanik untuk
mengurangi beban kerja sistem pernafasan sehingga beban kerja jantung
juga berkurang.
3. Disfungsi neurologis. Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang beresiko
mengalami apnoe berulang juga mendapatkan ventilasi mekanik. Selain itu
ventilasi mekanik juga berfungsi untuk menjaga jalan nafas pasien serta
memungkinkan pemberian hiperventilasi pada klien dengan peningkatan
tekanan intra cranial.
4. Tindakan operasi. Tindakan operasi yang membutuhkan penggunaan
anestesi dan sedative sangat terbantu dengan keberadaan alat ini. Resiko
terjadinya gagal napas selama operasi akibat pengaruh obat sedative sudah
bisa tertangani dengan keberadaan ventilasi mekanik.

Kriteria Pemasangan Ventilasi Mekanik Menurut Pontopidan (2003), seseorang


perlu mendapat bantuan ventilasi mekanik (ventilator) bila :

 Frekuensi napas lebih dari 35 kali per menit.


 Hasil analisa gas darah dengan O2 masker PaO2 kurang dari 70 mmHg.
 PaCO2 lebih dari 60 mmHg

40
 AaDO2 dengan O2 100 % hasilnya lebih dari 350 mmHg.
 Vital capasity kurang dari 15 ml / kg BB.

2.22 Mode Jenis Ventilasi Mekanik

Klasifikasi Ventilasi mekanik berdasarkan cara alat tersebut mendukung


ventilasi, dua kategori umum adalah ventilator tekanan negatif dan tekanan
positif. Berdasarkan mekanisme kerjanya ventilator mekanik tekanan positif dapat
dibagi menjadi empat jenis yaitu :

Volume Cycled Ventilator.

Volume cycled merupakan jenis ventilator yang paling sering digunakan di


ruangan unit perawatan kritis. Perinsip dasar ventilator ini adalah cyclusnya
berdasarkan volume. Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah
mencapai volume yang ditentukan. Keuntungan volume cycled ventilator adalah
perubahan pada komplain paru pasien tetap memberikan volume tidal yang
konsisten.

Jenis ventilator ini banyak digunakan bagi pasien dewasa dengan gangguan paru
secara umum. Akan tetapi jenis ini tidak dianjurkan bagi pasien dengan gangguan
pernapasan yang diakibatkan penyempitan lapang paru (atelektasis, edema paru).
Hal ini dikarenakan pada volume cycled pemberian tekanan pada paru-paru tidak
terkontrol, sehingga dikhawatirkan jika tekanannya berlebih maka akan terjadi
volutrauma. Sedangkan penggunaan pada bayi tidak dianjurkan, karena alveoli
bayi masih sangat rentan terhadap tekanan, sehingga memiliki resiko tinggi untuk
terjadinya volutrauma.

Pressure Cycled Ventilator

Prinsip dasar ventilator type ini adalah cyclusnya menggunakan tekanan. Mesin
berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai tekanan yang telah
ditentukan. Pada titik tekanan ini, katup inspirasi tertutup dan ekspirasi terjadi

41
dengan pasif. Kerugian pada type ini bila ada perubahan komplain paru, maka
volume udara yang diberikan juga berubah. Sehingga pada pasien yang setatus
parunya tidak stabil, penggunaan ventilator tipe ini tidak dianjurkan, sedangkan
pada pasien anak-anak atau dewasa mengalami gangguan pada luas lapang paru
(atelektasis, edema paru) jenis ini sangat dianjurkan.

Time Cycled Ventilator

Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah cyclusnya berdasarkan waktu ekspirasi
atau waktu inspirasi yang telah ditentukan. Waktu inspirasi ditentukan oleh waktu
dan kecepatan inspirasi (jumlah napas permenit). Normal ratio I : E (inspirasi :
ekspirasi ) 1 : 2.

Berbasis aliran (Flow Cycle)

Memberikan napas/ menghantarkan oksigen berdasarkan kecepatan aliran yang


sudah disetting terlebih dahulu.

Mode Ventilator Mekanik

Mode control (pressure control, volume control, continuous mode). Pasien


mendapat bantuan pernafasan sepenuhnya, pada mode ini pasien dibuat tidak
sadar (tersedasi) sehingga pernafasan di kontrol sepenuhnya oleh ventilator. Tidal
volume yang didapat pasien juga sesuai yang di set pada ventilator. Pada mode
control klasik, pasien sepenuhnya tidak mampu bernafas dengan tekanan atau tidal
volume lebih dari yang telah di set pada ventilator. Namun pada mode control
terbaru, ventilator juga bekerja dalam mode assist-control yang memungkinkan
pasien bernafas dengan tekanan atau volum tidal lebih dari yang telah di set pada
ventilator.

Mode Intermitten Mandatory Ventilation (IMV). Pada mode ini pasien menerima
volume dan frekuensi pernafasan sesuai dengan yang di set pada ventilator.
Diantara pernafasan pemberian ventilator tersebut pasien bebas bernafas.

42
Misalkan respiratory rate (RR) di set 10, maka setiap 6 detik ventilator akan
memberikan bantuan nafas, diantara 6 detik tersebut pasien bebas bernafas tetapi
tanpa bantuan ventilator. Kadang ventilator memberikan bantuan saat pasien
sedang bernafas mandiri, sehingga terjadi benturan antara kerja ventilator dan
pernafasan mandiri pasien. Hal ini tidak akan terjadi pada Mode Synchronous
Intermitten Mandatory Ventilation (SIMV) yang sama dengan mode IMV hanya
saja ventilator tidak memberikan bantuan ketika pasien sedang bernafas mandiri.
Sehingga benturan terhindarkan, Mode Pressure Support atau mode spontan.
Ventilator tidak memberikan bantuan inisiasi nafas lagi. Inisiasi nafas sepenuhya
oleh pasien, ventilator hanya membantu pasien mencapai tekanan atau volume
yang di set di mesin dengan memberikan tekanan udara positif.

2.23 Macam-macam Ventilator.


Menurut sifatnya ventilator dibagi tiga type yaitu:
1. Volume Cycled Ventilator.
Perinsip dasar ventilator ini adalah cyclusnya berdasarkan volume. Mesin berhenti
bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai volume yang ditentukan.
Keuntungan volume cycled ventilator adalah perubahan pada komplain paru
pasien tetap memberikan volume tidal yang konsisten.
2. Pressure Cycled Ventilator
Perinsip dasar ventilator type ini adalah cyclusnya menggunakan tekanan. Mesin
berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai tekanan yang telah
ditentukan. Pada titik tekanan ini, katup inspirasi tertutup dan ekspirasi terjadi
dengan pasif. Kerugian pada type ini bila ada perubahan komplain paru, maka
volume udara yang diberikan juga berubah. Sehingga pada pasien yang setatus
parunya tidak stabil, penggunaan ventilator tipe ini tidak dianjurkan.
3. Time Cycled Ventilator
Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah cyclusnya berdasarkan wamtu
ekspirasi atau waktu inspirasi yang telah ditentukan. Waktu inspirasi ditentukan
oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah napas permenit)Normal ratio I : E
(inspirasi : ekspirasi )

43
2.24 Bagian – bagian Ventilator
1) Udara Tekan(Air Compress) dan Oksigen Sebagai sumber gas dari
ventilator, bisa menggunakkan Tabung dan Kompressor   Medis ataupun
Gas Medis pada Wall Outlet. Dengan standart tekanan 2-10 bar.
2) Humidifier (sebagai pelembab udara yang masuk ke pasien)
3) Circuit Patient (Neonatus/Pediatric dan Adult).
4) Test Slang (Bag untuk coba sebelum ke pasien).
5) Nebulizer (Optional untuk pasien tertentu).

Sedangkan bagian yang terdapat dari unit yaitu:

 Water trap dan bakteri filter gas Supply.


 Bakteri Filter inhalation (Inspirasi dan Expirasi).
 Battery unit backup Power Supply.
 Audible Sound/Alarm indikator.
 Grafik display dengan monitor atau Pressure Graph.
 O2 cell dan Exhalasi Flow sensor.
 Exhalasi Valve Adapter (Inspirasi/Expirasi).
 Heater pada Exhalasi
 Standart Mode (Circuit cek,O2 dan Flow sensor calibrate,self test)

44
BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 Step 1 (IDENTIFIKASI KATA SULIT)

1. Nefrostomi

2. Mode Simv Ps

3. Peak Pressure

4. Retreksi Interkostal

5. PEEP

6. Noradrenalin

7. Syringe Pump

8. Midazolam

9. Lasik

10. Meronem

11. Susp Efusi Pleura

12. Ventilasi Mekanik

Jawab :

1. Nefrostomi adalah prosedur medis yang perlu dilakukan jika urine tidak
bisa mengalir dengan baik menuju kandung kemih seperti seharusnya.
Prosedur nefrostomi menggunakan kateter sebagai alat bantu dengan
metode x-ray dan scan
2. Pentilator, membantu memberikan nafas control secara spontan pada
pasien

45
3. Tekanan maksimum yang dicapai pada jalan nafas pasien selama
berlangsungnya ventilasi mekanik. Durasi peak pressure menetukan
bentuk gelombang tekanan positif. Bisa saja respiratory cycle dan
besarnya peak pressure sama tapi durasi peak pressure beda. Beberapa
ventilator bentuk gelonmbang tekanan positif bisa diatur. Ada bentuk
segitiga ,dome dan trapezium. Ini penting untuk pengembangan atelectase
baik dipilih bentuk trapezium, sementara bentuk segi tiga  dipakai untuk
kondisi hipovolemik
4. Retraksi intercostal adalah penarikan otot sela iga ketika penderita
berusaha keras untuk bernafas meningkatnya pemakaian otot-otot leher
dan dada sebagai usaha untuk bernafaS.
5. Peep adalah tekanan yang mendukung paru pada akhir ekspirasi. Tekanan
ini sangat penting pada bayi yang mengalami atelektasis. Peep yang
optimal mencegah kolaps alveolar dan tidak menyebabkan overdistensi.
Peep meningkatkan functional residual capacity (frc) sehingga
memperbaiki ratio ventilasi perfusi.
6. Noradrenalin (na), juga disebut norepinefrin (ne) adalah kimia
organik dalam kelompok katekolamin yang di
dalam otak dan tubuh berfungsi sebagai hormon dan neurotransmitter.
Nama "noradrenalin," berasal dari bahasa latin yang berarti "di/bersama
ginjal," lebih umum digunakan di britania raya; sementara amerika serikat,
lebih menyukai penggunaan norepinefrin, yang mana berasal dari bahasa
yunani, juga memiliki makna yang sama. Norepinefrin termasuk salah satu
nama generik yang diberikan untuk obat. Terlepas dari nama yang
digunakan untuk substansi itu sendiri, bagian-bagian tubuh yang
menghasilkan, atau yang dipengaruhi olehnya disebut
sebagai noradrenergic.
7. Syringe pump adalah salah satu jenis peralatan medis (alat kesehatan)
yang digunakan untuk mengatur proses penyuntikan masuknya cairan obat
ke dalam tubuh pasien dengan kuantitas dan waktu tertentu. Jadi syringe

46
pump ini digunakan bersamaan dengan alat lain yaitu syringe disposable
atau yang sering disebut dengan istilah spuit.
8. Midazolam adalah obat golongan benzodiazepine yang diberikan sebelum
operasi, untuk mengatasi rasa cemas, membuat pikiran dan tubuh menjadi
rileks, serta menimbulkan rasa kantuk dan tidak sadarkan diri. Obat ini
bekerja dengan cara memperlambat kerja otak dan sistem saraf.
9. Lasik adalah suatu metode pembedahan pada mata untuk memperbaiki
penglihatan bagi penderita rabun jauh, rabun dekat, dan astigmatisme.
Lasik merupakan singkatan dari laser in-situ keratomileusis yang
menggunakan sinar laser untuk memperbaiki bentuk kornea mata sehingga
cahaya yang melewati kornea dapat ditangkap sempurna oleh retina,
dengan demikian penglihatan menjadi lebih baik, jelas, dan tajam.
10. Meronem merupakan obat yang mengandung meropenem. Meropenem
merupakan antibiotik beta-laktam yang bekerja dengan cara menghambat
sintesa dinding sel bakteri, sehingga bakteri tidak dapat berkembang dan
terjadinya lisis. Meronem digunakan untuk mengobati penyakit infeksi
bakteri, seperti: infeksi paru (pneumonia), infeksi saluran kemih (isk),
infeksi rahim. Selain itu, obat ini dapat digunakan pada pasien yang
memiliki indikasi cytic fibrolisis (kelainan genetik yang menyebabkan
paru-paru memproduksi lendir menjadi lengket)
11. Efusi pleura adalah penumpukan cairan di rongga pleura, yaitu rongga di
antara lapisan pleura yang membungkus paru-paru dengan lapisan pleura yang
menempel pada dinding dalam rongga dada. Kondisi ini umumnya merupakan
komplikasi dari penyakit lain. Pada kondisi normal, terdapat sekitar 10 ml
cairan di rongga pleura yang berfungsi sebagai pelumas untuk membantu
melancarkan pergerakan paru ketika bernapas. Namun, pada efusi pleura,
jumlah cairan tersebut berlebihan dan menumpuk. Hal ini bisa
mengakibatkan gangguan pernapasan.
12. Ventilasi mekanik adalah alat pernafasan bertekanan negatif atau positif
yang dapatmempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam waktu
yang lama. ( brunner dan suddart, 1996)

47
3.2 Step II (IDENTIFIKASIH MASALAH)
1. Apakah Ada Hub Penyakit Masalalu Pasien Dgn Penyakit Pasien
Saat Ini?
2. Apa Yang Menyebab Kan Edema Pada Ekstremitas Atas Dan
Bawah Yang Di Alami Pd Pasien?
3. Apakah Nyeri Pada Saat Bak Dan Bak Panas Keruh Merupakan
Efek Samping Dari Hemodialisa Atau Penyakit Ginjal Ny? Apa
Saja Efek Samping Dari Hemodialisa?
4. Bagaimana Mengatasi Nyesi Pada Saat Nyeri Bak Pada Klien?
5. Jelaskan Intervensi Yang Tepat Untuk Mengatasi Edema Pada
Ekstremitas Pada Klien?
6. Apa Saja Maslah Keperawatan Pada Kasus Di Atas?
7. Apa Penyebab Pasien Mengalami Penurunan Kesadaran Sesak Dan
Batuk Pada Saat Di Lakukan Hemodialisa?
8. Apa Saja Hal2 Yang Perlu Di Perhatikan Sebelum Pasien
Melakukan Hemodialisa?
9. Apa Indikasi Di Beri Nya Terapi Noradrenalin?

3.3 STEP III ( ANALISA MASALAH)


1. Ada hubungannya, karena seseorng yang menderita PGK tekanan darah
tinggi akan berisiko memburuknya penyakit ginjal, jika cairan sudah
bertumpuk dalam pembuluh darah menjadi lebih tinggi sehingga dapat
mengakibatkan tekanan darah di ginjal maka sangat besar
kemungkinannya untuk terjadi gagal ginjal kronik.
2. Penyebab karna ginjal tidak mempu membuang kelebihan cairan melalui
urine. sehingga ginjal tidak mampu lagi menampung urin sehinga cairan
3. akibatnya dari penyakit ginjal nya,karena sudah mengalami infeksi dan
menimbulkan bak keruh dan sakit saat buang bak, efek samping nya
bermaca2 contoh ny tekanan darah tinggi, mual muntah, anemia, keram
pada otot.

48
4. memperbanyak minum airputih,rutin olahraga hindari monum berkafein
dan soda. + sri : mengonsumsi antibiotic, mminum obat anti nyeri, sesuai
anjuran dokter, dan konpres air hanagt pda nyeri.
5. LO
6. Intoleransi aktivitas, pola nafas tidak efektif dan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh.
7. karena efeksamping dari hemodialisa itu sendiri, maka pasien mngalami
penurunan kesadran, sesak, batuk, karan setiap efek nya berbeda beda, dan
perlu dilakukan pemantauan kembali pada pasien ny. bisa juga di
sebebkan oleh pepmberian terapi obat midazolam, yang mana membuat
pikiran menjadi rilex .
8. pasien tahu terlebih dahuli mengenai hemodialisa, melkukan hemodialisa,
frekuensi dan persiapan perawatan cuci darah, prosedur cuci darah, pra
prosedur cuci darah.
9. hipotesi dan syok, sebagai obat tambahan untuk henti jantung.

49
3.4 STEP IV (MIND MAPPING)

Tn.D 54Th Dirawat di ICU

Riwayat Kes dahulu : hipertensi Klien terpasang ventilator :


sejak 5thn yang lalu a. Mode SIMV PS F1O2 80%,, Peep
5, RR 10x/mnt, Peak Pressure 13-
18, tidal volume : 315-500
Riwayat Kes.saat ini : b. Perkusi redup, nafas vesikuler,
Nefrostomi kiri dan kanan crackles kiri bawah
c. Terpasang CVP : tekanan 12,5, TD
150/100, N 112X/mnt, CRT <2,
edema, konjungtiva anemis
d. AGD : PH 7,44, PaO2 : 80, HCO3 :
a. 3bln SMRS : mengalami nyeri
21, PCO2 : 30
pinggang kiri & kanan, nyeri
e. Pem. Foto thorax : Infiltrat,
hilang timbul, nyeri saat BAK
pneumonia Susp Efusi Pleura paru
(panas & keruh), keluhan sejak
kiri
2thn yang lalu, pasien menolak
operasi
b. 6hari SMRS : dirujuk untu HD,
Terapi melalui Syringe Pump :
pada saat HD klien mengalami
penurunan kesadaran, sesak & NorAdrenalin, Lasik, PCT,
batuk meronem, Midazolam

GAGAL GINJAL KRONIK

Diagnosis Keperawatan : Gangguan pertukaran gas, kelebihan volume


cairan dalam tubuh

50
3.5 STEP V (LEARNING OBJEKTIF)

1. Prinsip-prinsip penatalaksanaan ventilasi mekanik


2. Jelaskan intervensi yang tepat untuk mengatasi edema pada ekstremitas
pada klien?

Jawaban :

1. Prinsip-prinsip Penatalaksanaan Ventilasi Mekanik :


a. Pilih mode assist-control dan FiO2 100%
b. Atur volume tidal awal (VT) 8 ml/kg menggunakan berat badan
perkiraan (predicted body weight/PBW).
Laki-laki : PBW = 50+[2,3X(tinggi badan dalam inci-60)]
Wanita : PBW = 45,5+[23X(tinggi badan dalam inci-60)].
c. Pilih laju respirasi (RR) untuk mencapai minute ventilation (MV) pra
ventilator, namun jangan melebihi RR=35x/menit.
d. Tambahkan PEEP 5-7 cm H2O
e. Kurangi VT sebanyak 1 ml/kg setiap 2 jam sampai VT 6 ml/kg.
f. Sesuaikan FiO2 dan PEEP untuk mempertahankan PaO2>55 mmHg
atau SaO2 >88%.
g. Bila VT turun menjadi 6 ml/kg, ukur:
a) Plateau pressure (Ppl)
b) PCO2dan pH arterial.
h. Jika Ppl> 30 cm H2O atau pH< 7,30, ikuti rekomendasi tata cara
ventilasi volume rendah pada ARDS

2. intervensi yang tepat untuk mengatasi edema pada ekstremitas pada klien
:
a. Tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan intervensi.
Untuk tindakan yang pertama dilakukan observasi vitalsign. Dan
menurut Mubarok, Lilis & Joko, 2015 (2015) tindakan ini
dilakukan untuk memantau peningkatan tekanan darah karena
jumlah cairan berlebihan dan produksi hormon vasoaktif. Hal ini
dapat meningkatkan resiko hipertensi dan menderita penyakit gagal
jantung kongesif.

51
b. Berikutnya tindakan keperawatan yang kedua yaitu memonitor
input dan output pasien. Memonitor input dan output cairan dapat
dilakukan dengan menghitung kebutuhan cairan pasien. Kebutuhan
cairan dapat dihitung dengan menggunakan cara perhitungan
balance cairan. Untuk menghitung IWL (Insensible Water Loss)
dengan rumus(15 x berat badan). Rumus balance cairan adalah
(intake-output). Input cairan antara lain air (makan dan minum),
cairan infus, injeksi, air metabolisme (hitung AM 5 x berat badan).
Sedangkan output cairan meliputi feses, urin, muntah, dan
perdarahan (Ambarwati, 2014).

c. Tindakan yang ketiga yaitu membatasi input dan output cairan


pada pasien. Menurut penelitian Istanti, (2013) pembatasan cairan
merupakan salah satu terapi yang diberikan bagi pasien penyakit
ginjal tahap akhir untuk pencegahan, penurunan dan terapi
terhadap kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan
pasien. Jumlah cairan yang ditentukan untuk setiap harinya
berbeda bagi setiap pasien tergantung fungsi ginjal, adanya edema
dan haluaran urine pasien.

d. Tindakan keperawatan keempat yang dilakukan yaitu membantu


pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan pembatasan cairan.
Dalam melakukan pembatasan cairan biasanya pasien akan
memiliki rasa haus atau keinginan yang disadari akan kebutuhan
cairan. Mekanisme haus yaitu karena penurunan perfusi ginjal
merangsang pelepasan renin, yang akhirnya menghasilkan
angiotensin II. Angiotensin II merangsang hipotalamus untuk
melepaskan substraneuron yang bertanggung jawab meneruskan
sensasi rasa haus (Ambarwati, 2014). Menurut Waworuntu (2015)
untuk mengatasi ketidaknyamanan pembatasan cairan dapat
dengan meminum jus jambu biji merah. Jambu merah memiliki

52
kandungan vitamin C dan memiliki rasa manis. Buah jambu biji
merah memiliki kandungan vitamin C tertinggi, buah jambu biji
merah tergolong kedalam buah yang memiliki kandungan vitami C
terbanyak dari pada buah-buahan yang lainnya. Kandungan
vitamin C dapat menambah aliran saliva yang dapat mencegah
terjadinya kehausan. Selain dari buah jambu biji merah bisa juga
dengan mengkonsumsi nanas, hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa terdapat pengaruh mengonsumsi nanas terhadap laju aliran
saliva(Lewapadang, 2015).
e. Tindakan kelima yang dilakukan yaitu berkolaborasi dengan dokter
dalam pemberian obat. Menurut penelitian Merzah & Suhad (2013)
faktorfaktor pengobatan fokus pada penggunaan inhibitor sistem
reninangiotensic, asetilsalisilat asam, statin dan pengobatan anti-
oksidan untuk mencegah aksi inflamasi sitokin yang memiliki
kemampuan untuk mengaktifkan mekanisme peradangan. Dalam
pemberian obat spironolactone dan injeksi furosemid diberikan tiap
24 jam ini termasuk dalam terapi diuretik, yang berguna untuk
meningkatkan aliran urin guna mencegah keadaan oliguria, untuk
menurunkan kelebihan beban cairan, dan furosemid terbukti
bermanfaat untuk mencegah sumbatan di tubulus (Morton, 2014).

53
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS

1. PENGKAJIAN

Nama Mahasiswa : Kelompok 3

NIM :

Tgl/ Jam : 30/09/2020, 08:00 Tanggal MRS :


Ruangan : ICU Diagnosis Medis : Gagal ginjal kronis

IDENTITAS
Nama/Inisial : Tn. D No.RM :
Jenis Kelamin : Laki-laki Suku/ Bangsa :
Umur : 54 tahun Status Perkawinan :
Agama : Penanggung jawab :
Pendidikan : Hubungan :
Pekerjaan : Pekerjaan :
Alamat : Alamat :

RIWAYAT KESEHATAN
Riwayat Kesehatan Sekarang :
Tampak selang nefrostomi kiri dan kanan. Pada saat dilakukan HD pasien mengalami
penurunan kesadaran, sesak, dan batuk. Klien terpasang alat bantu nafas ventilator
dan NGT. Hasil pemeriksaan foto thorax menunjukkan terdapat infiltrat, pneumonia
susp efusi pleura pada paru kiri.

Riwayat Kesehatan Dahulu :


3 Bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami nyeri pinggang kiri dan
kanan. Nyeri hilang timbul dan panas badan. Terdapat nyeri pada saat BAK, BAK
panas dan keruh. Pasien merasa mual dan lemah. Keluhan sudah dirasakan pasien

54
sejak 2 tahun yang lalu dan pasien disarankan untuk operasi, namun pasien
menolak. Pasien memiliki penyakit hipertensi sejak 5 tahun lalu namun tidak pernah
dikontrol.

Riwayat Kesehatan Keluarga :


Tidak terkaji

BREATHING
Jalan Nafas :  Paten Tidak Paten
Nafas :  Spontan Tidak Spontan
Obstruksi :  Lidah  Cairan  Benda Asing  Tidak Ada
 Muntahan  Darah  Oedema
Gerakan dinding dada:  Simetris  Asimetris
RR : 10x/mnt
Irama Nafas :  Cepat  Dangkal  Normal
Pola Nafas :  Teratur  Tidak Teratur
Jenis :  Dispnoe  Kusmaul  Cyene Stoke  Lain… …
Sesak Nafas : Ada  Tidak Ada
Pernafasan Cuping hidung  Ada  Tidak Ada
Retraksi otot bantu nafas :  Ada Tidak Ada
Deviasi Trakea :  Ada  Tidak Ada
Pernafasan :  Pernafasan Dada  Pernafasan Perut
Batuk : Ya  Tidak ada
Sputum:  Ya , Warna: ... ... ... Konsistensi: ... ... ... Volume: ... … Bau: … …
Tidak
Emfisema S/C :  Ada  Tidak Ada
Suara Nafas : Snoring Gurgling Stridor  Tidak ada
Vesikuler  Stidor  Wheezing Ronchi
Alat bantu nafas:  OTT  ETT  Trakeostomi
Ventilator, Keterangan: mode SIMV PS dengan

55
FiO2 80%, Peep 5, Peak pressure dalam rentang 13-18, tidal volume
dalam rentang 315-500, SaO2 dalam rentamg 97- 100%.
Oksigenasi : ... ... lt/mnt  Nasal kanul  Simpel mask  Non RBT mask
 RBT Mask Tidak ada
Penggunaan selang dada :  Ada Tidak Ada
Drainase :
Trakeostomi :  Ada Tidak Ada
Kondisi trakeostomi:
Lain-lain: … …
Masalah Keperawatan:
BLOOD
Nadi : Teraba  Tidak teraba  N: 112x/mnt
Irama Jantung :
Tekanan Darah : 150/100 mmHg
Pucat : Ya  Tidak
Sianosis :  Ya Tidak
CRT : < 2 detik  > 2 detik
Akral :  Hangat  Dingin  S: ... ...C
Pendarahan :  Ya, Lokasi: ... ... Jumlah ... ...cc Tidak
Turgor :  Elastis  Lambat
Diaphoresis:  Ya Tidak
Riwayat Kehilangan cairan berlebihan:  Diare  Muntah  Luka bakar
JVP:
CVP: terpasang dengan tekanan 12.5 cmH20
Suara jantung:
IVFD :  Ya Tidak, Jenis cairan: … …
Lain-lain: … …
Masalah Keperawatan:
BRAIN
Kesadaran:  Composmentis  Delirium  Somnolen  Apatis Koma

56
GCS :  Eye ...  Verbal ...  Motorik ...
Pupil :  Isokor  Unisokor  Pinpoint  Midriasis
Refleks Cahaya:  Ada  Tidak Ada
Refleks Muntah:  Ada  Tidak Ada
Refleks fisiologis:  Patela (+/-)  Lain-lain … …
Refleks patologis :  Babinzky (+/-)  Kernig (+/-)  Lain-lain ... ...
Refleks pada bayi:  Refleks Rooting (+/-)  Refleks Moro (+/-)
(Khusus PICU/NICU)  Refleks Sucking (+/-) 
Bicara :  Lancar  Cepat  Lambat
Tidur malam : … … jam Tidur siang : … … jam
Ansietas :  Ada  Tidak ada
Nyeri :  Ada  Tidak ada
Lain-lain: … …
Masalah Keperawatan:
BLADDER
Nyeri pinggang: Ada  Tidak
BAK :  Lancar  Inkontinensia  Anuri
Nyeri BAK : Ada  Tidak ada
Frekuensi BAK : … … Warna: keruh Darah :  Ada Tidak ada
Kateter : Ada  Tidak ada, Urine output: ... ...
Lain-lain: … …
Masalah Keperawatan:
BOWEL
Keluhan : Mual  Muntah  Sulit menelan
TB : ... ...cm BB : ... ...kg
Nafsu makan :  Baik  Menurun
Makan : Frekuensi ... ...x/hr Jumlah : ... ... porsi
Minum : Frekuensi ... ... gls /hr Jumlah : ... ... cc/hr
NGT: terpasang
Abdomen :  Distensi  Supel  ........

57
Bising usus:
BAB :  Teratur  Tidak
Frekuensi BAB : ... ...x/hr Konsistensi: ... ... .. Warna: ... ... darah (+/-)/lendir(+/-)
Stoma:
Lain-lain: … …
Masalah Keperawatan:
(Muskuloskletal & Integumen)

Deformitas :  Ya Tidak  Lokasi ... ...


Contusio :  Ya Tidak  Lokasi ... ...
Abrasi :  Ya Tidak  Lokasi ... ...
Penetrasi :  Ya Tidak  Lokasi ... ...
Laserasi :  Ya Tidak  Lokasi ... ...
Edema : Ya  Tidak  Lokasi : ekstremitas atas dan bawah
Luka Bakar :  Ya Tidak  Lokasi ... ...
Grade : ... Luas ... %
Jika ada luka/ vulnus, kaji:
Luas Luka : ... ... Warna dasar luka: ... ... Kedalaman : ... ...

Aktivitas dan latihan :0 1 2 3 4 Keterangan:

Makan/minum :0 1 2 3 4 0; Mandiri

Mandi :0 1 2 3 4 1; Alat bantu


Toileting :0 1 2 3 4 2; Dibantu orang lain

3; Dibantu orang lain


58 dan alat

4; Tergantung total
Berpakaian :0 1 2 3 4
Mobilisasi di tempat tidur :0 1 2 3 4
Berpindah :0 1 2 3 4
Ambulasi :0 1 2 3 4
Lain-lain: … …
Masalah Keperawatan:
(Fokus pemeriksaan pada daerah trauma/sesuai kasus non trauma)
Kepala dan wajah :
Leher :
Dada : Perkusi redup, sura nafas vesikuler, ronkhi basah
(crackles) pada bagian kiri bawah. Foto thorax menunjukkan terdapat infiltrat,
pneumonia susp efusi pleura pada paru kiri.
Abdomen dan Pinggang :
Pelvis dan Perineum :
Ekstremitas :. Terdapat edema pada ekstremitas atas dan bawah
+/+ dengan grade 3
Masalah Keperawatan:
PsikoSosialKultural
Citra diri / body image
Identitas
Peran
Ideal diri / harapan
Harga diri
Sosial /interaksi
Spiritual
Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan AGD : pH : 7,44, PaO2 : 80, HCO3 : 21, PCO2 : 30.
Pemeriksaan foto thorax terdapat infiltrat, pneumonia susp efusi pleura pada
paru kiri.
Terapi
Terapi yang didapatkan NorAdrenalin : 0,3 mg/kgbb/jam, lasik : 20 mg/jam,

59
paracetamol : 4 x 1 gt. Meronem : 3 x 1 gr, dan midazolam : 3 mg/jam yang
diberikan melalui syringe pump.

2. ANALISA DATA

NO. DATA ETIOLOGI PROBLEM


1. DS : - Kongesti Paru Gangguan Pertukaran
Gas
DO :
- Pasien mengalami
penurunan kesadaran,
sesak dan batuk.
- Klien terpasang alat bantu
nafas ventilator dengan
mode SIMV PS disetting
dengan FiO2 80%, Peep 5,
Peak pressure dalam
rentang 13-18, tidal
volume dalam rentang
315-500, SaO2 dalam
rentamg 97- 100%.
- TTV
TD : 150/100 mmHg
RR : 10 x/m
ND : 112 x/m
- Hasil pemeriksaan AGD:
pH : 7,44
PaO2 : 80
HCO3 : 21

60
PCO2 : 30.
- Perkusi redup, suara nafas
vesikuler, ronkhi basah
(crackles) pada bagian kiri
bawah.
- Akral terlihat pucat
- Hasil pemeriksaan foto
thorax menunjukkan
terdapat infiltrat,
pneumonia susp efusi
pleura pada paru kiri.
2. DS :- Gangguan Kelebihan Volume
Mekanisme Cairan
DO : Regulasi
- Klien tampak terpasang
selang nefrostomi kiri
- Terdapat edema pada
ekstremitas atas dan
bawah + / + dengan
grade 3.
- Hasil pemeriksaan foto
thorax menunjukkan
terdapat infiltrat,
pneumonia susp efusi
pleura pada paru kiri.
- Klien terpasang CVP
dengan tekanan 12.5
cmH20
- MAP dalam rentang 55-

61
110 mmHg,
- TTV
TD : 150/100 mmHg
RR : 10 x/m
ND : 112 x/m

3. DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kongesti paru


2) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi

Diagnosa 1. Tujuan dan Kriteria Intervensi


Hasil
1. Gangguan Tujuan : 2x24jam masalah 1. posisikan pasien
pertukaran gas teratasi. untuk
berhubungan KH : 1. Mendemonstrasikan memaksimalkan
dengan kongesti peningkatan ventilasi ventilasi
paru dan oksigenasi yang 2. identifikasi pasien
adekuat. perlunya
2. memelihara pemasangan alat
kebersihan paru-paru jalan nafas buatan
dan bebas dari tanda 3. pasang mayo bila
distress pernafasan. perlu
3. TTV dalam rentang 4. lakukan fisioterapi
normal. dada jika perlu
5. keluarkan sekret
batuk jika ada
secret.

62
6. Auskultasi suara
nafas, catat adanya
suara tambahan
7. Berikan
bronkadilator bila
perlu
8. Berikan pelembab
udara
9. Atur intake untuk
cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
10. Monitor respirasi
dan status O2
11. Monitor suara
nafas seperti
dengkur
12. Monitor pola nafas
: bradipnea,
takipnea,
hiperpentilasi.
13. Auskultasi suara
nafas, catat area
penurunan/tidak
adanya ventilasi
dan suara
tambahan
14. Auskultasi suara
paru setelah
tindakan untuk
mengetahui
hasilnya.
2. Kelebihan Tujuan : 2x24 jam masalah 1. Pertahankan
volume cairan teratasi catatan intake
berhubungan KH : output yang akurat
dengan 1. Terbebas dari edema, 2. Pasang urin kateter
gangguan efusi. jika diperlukan
mekanisme 2. Bunyi nafas bersih, 3. Monitor hasil Hb
regulasi tidak ada apneu yang sesuai dengan
3. Memelihara tekanan retensi cairan
vena sentral, tekanan (BUN, Hmt,
kapiler paru, dan vital Osmolalitas urin)
sign dalam batas 4. Monitor status
normal hemodinamik
4. Menjelaskan termasuk CVp,
indikator kelebihan MAP, PAP, dan

63
cairan PCWP
5. Monitor vital sign
6. Monitor indikasi
retensi/kelebihan
cairan ( crales, cvp,
edema, asites).
7. Kaji lokasi dan
luas edema
8. Monitor masukan
makanan / cairan
dan hitung intake
ouput
9. Kolaborasi dengan
dokter jika tanda
cairan berlebihan
muncul memburuk

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Ginjal merupakan bagian systerma urinarius yang terletak irongga
retroperitoneum pada belakang dinding abdomen.ginjal mempunyai facies
anterior dan facies posterior margo medialis dan margo lateralis.pada
mergo medialis terdapat hilus renalis.
Ginjal melaksanakan tiga proses dasar menjalankan sistem
regulatorik dan eksretorik yaitu : 1) Filtrasi glomerulus, 2) Reabsorbsi
tubulus, 3) Rekresi tubulus.
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir merupakan
ganguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan

64
dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah). (Brunner & Suddarth 2002).
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas
dasar derajat (stage) penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas
dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcorft-Gault sebagai berikut: LFG
(ml/menit/1,73m²) = (140-umur)x berat badan / 72x kreatinin plasma
(mg/dl).
Indonesia merupakan negara dengan prevalensi gagal ginjal kronik
yang cukup tinggi yaitu sekitar 30,7 juta penduduk.menurut pt askes ada
sekitar 14,3 juta orang indonesia gagal ginjal tahap akhir saat ini
mengjalani pengobatan yaitu dengan prevalensi 433 perjumlah penduduk
jumlah ini akan meningkat hingga melebihi 200 juta pada tahun 2025.

4.2 Saran

Dengan mengetahui permasalahan penyebab penyakit gagal ginjal


kronik, diharapkan kita lebih berhati-hati dan menghindari penyebab
penyakit ini serta benar-benar menjaga kesehatan melalui makanan
maupun berolahraga yang benar.

65
DAFTAR PUSAKA

1. Daniel,widjaya.anatomi tubuh manusia.jakarta:graha ilmu,2009.419:426


2. Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume
Edisi 13. Jakarta: EGC, 2000.1435-1443.
3. Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. Gagal Ginjal Kronik.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI, 2001.427-
434.
4. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, 2006.581-584.
5. Tierney LM, et al. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran
Penyakit Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.2003.

66
6. Adamson JW (ed). Iron Deficiency and Another Hipoproliferative
Anemias in Harrison’s Principles of Internal Medicine 16 th edition vol 1.
McGraw-Hill Companies : 2005;586-92

67

Anda mungkin juga menyukai