Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tekanan intraokuler (TIO) merupakan suatu ukuran tekanan

hidrostatik yang ditimbulkan oleh tekanan jaringan dari isi bola mata

(Murgatroyd dan Bembridge, 2008; Rubenstein et al., 2015). Tekanan

intraokuler yang normal perlu dipertahankan untuk menjaga kondisi anatomi

mata dalam keadaan baik supaya fungsi penglihatan menjadi optimal

(Murgatroyd dan Bembridge, 2008).

Peningkatan TIO merupakan faktor risiko utama dari glaukoma.

Diperkirakan akan terdapat sebanyak 80 juta orang penderita glaukoma pada

tahun 2020 di dunia. Glaukoma merupakan penyakit yang ditandai dengan

atrofi papil saraf optik dan menciutnya lapang pandang yang bersifat

progresif yang kemudian akhirnya dapat menyebabkan kebutaan yang

irreversible (Chen et al., 2012). Gejala glaukoma kadang tidak disadari

sampai akhirnya berlanjut pada kebutaan (Ilyas dan Yulianti, 2012). Urutan

penyebab kebutaan di dunia menurut WHO (2012) antara lain katarak (51%),

glaukoma (8%), degenerasi makula (5%), kebutaan pada masa kanak-kanak

dan kekeruhan kornea (4%), kelainan refraksi tak terkoreksi dan trakoma

(3%), dan retinopati diabetikum (1%), serta penyebab lain yang tidak

1
2

diketahui (21%). Namun, kebutaan akibat glaukoma ini dapat dicegah dengan

deteksi dini dan penanganan secara tepat (Acton, 2013).

Tekanan intraokuler merupakan satu-satunya faktor risiko glaukoma

yang dapat dimodifikasi. Diketahui bahwa dengan menurunkan TIO dapat

juga menurunkan progresifitas glaukoma. Selain TIO, ditemukan pula bukti-

bukti yang berkembang bahwa faktor risiko lain seperti usia, jenis kelamin,

ras, kelainan refraktif, herediter, dan faktor sistemik mungkin berperan dalam

patogenesis glaukoma (Chen et al., 2012).

Miopia merupakan masalah mata yang paling umum ditemukan di

dunia (Mathapathi et al., 2013). Prevalensi miopia bervariasi di dalam

populasi dengan wilayah dan etnis yang berbeda. Dalam beberapa dekade

terakhir, diketahui prevalensi miopia pada populasi Asia lebih tinggi secara

signifikan dibandingkan pada populasi keturunan Eropa, terutama pada

generasi mudanya (Chen et al., 2012). Menurut Buermen et al. (2010),

prevalensi miopia di Indonesia adalah sebesar 26%.

Beberapa faktor risiko yang dianggap berhubungan dengan miopia

antara lain, pekerjaan dekat dalam jangka waktu lama, kegiatan outdoor yang

sedikit, dan pendidikan yang lebih tinggi (Pan et al., 2012). Menurut

Stenstrom (Wiggs et al., 2009), terdapat bukti substansial bahwa peningkatan

waktu yang dihabiskan untuk membaca sejak usia awal remaja sampai usia

pertengahan dua puluhan berkorelasi dengan perkembangan miopia.

Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa lebih dari 60% rata-rata kelas


3

mahasiswa kedokteran menderita miopia mendukung teori tersebut.

Meskipun pekerjaan dekat bukan penyebab tunggal miopia.

Menurut Xu et al. dalam Mathapathi et al. (2013), prevalensi kejadian

glaukoma meningkat pada mata miopia dibandingkan pada mata emetropia.

Disebutkan bahwa pasien miopia memiliki risiko sebesar 1,6 sampai 3,3 kali

dibandingkan non-miopia untuk menderita glaukoma (Mathapathi et al.,

2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh Blue Mountains Eye Study,

setelah menyesuaikan usia, jenis kelamin, dan faktor risiko lain, didapatkan

hubungan yang kuat antara glaukoma sudut terbuka dan miopia, dengan odds

rasio 2,3 pada miopia rendah (antara -1.0 dan -3.0D) dan 3,3 pada miopia

sedang hingga tinggi (> -3.0D) (Chen et al., 2012).

Mekanisme yang mendasari hubungan miopia dan glaukoma ini

belum dipahami sepenuhnya. Penderita miopia dikatakan memiliki segmen

posterior yang lemah secara struktural, sehingga lebih rentan terhadap

kenaikan TIO, karena perubahan struktur dan susunannya. Ketebalan lapisan

serabut saraf retina pada mata miopia diketahui lebih tipis daripada normal

(Manueke, 2003). Cahane dan Bartov menyatakan bahwa mata miopia

memiliki tekanan sklera yang lebih tinggi sehingga lamina cribrosa terlihat

dibandingkan mata dengan panjang aksial bola mata yang lebih pendek,

meskipun pengukuran tekanan intraokulernya sama besar (Mathapathi et al.,

2013).

Nomura et al. (2004) dalam penelitiannya menunjukkan keterkaitan

yang positif antara TIO dan tingkat keparahan miopia. Hasil ini mendukung
4

hipotesis bahwa hubungan antara glaukoma dan miopia yang telah banyak

diteliti sebelumnya mungkin diperantarai oleh tekanan.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis bermaksud untuk meneliti

tentang perbedaan tekanan intraokuler (TIO) antara mata miopia dan mata

emetropia pada mahasiswa kedokteran UNS.

B. Perumusan Masalah

Apakah ada perbedaan tekanan intraokuler (TIO) antara mata miopia dan

mata emetropia pada mahasiswa kedokteran UNS?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan tekanan intraokuler (TIO)

antara mata miopia dan mata emetropia pada mahasiswa kedokteran UNS.

D. Manfaat Penelitian

1. Aspek Teoritik

Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan data

secara empiris dan dapat dijadikan sebagai sumber informasi terkini

mengenai perbedaan tekanan intraokuler (TIO) antara mata miopia dan

mata emetropia pada mahasiswa kedokteran UNS.

2. Aspek Aplikatif

a. Diharapkan hasil penelitian ini menjadi bahan pertimbangan dalam

upaya skrining reguler pada penderita miopia untuk deteksi dini

kemungkinan menderita glaukoma.

b. Dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Emetropia

a. Definisi

Emetropia berasal dari bahasa yunani, dimana emetros berarti

ukuran normal atau dalam keseimbangan wajar dan opsis berarti

penglihatan. Mata dengan sifat emetropia adalah mata tanpa adanya

kelainan refraksi pembiasan sinar mata dan berfungsi normal (Ilyas

dan Yulianti, 2012).

Ketika sinar sejajar memasuki mata emetropia dalam keadaan

istirahat dan rangsangan nol dioptri, maka sinar akan difokuskan tepat

di retina (Lens et al., 2008; Mathapathi et al., 2013; Taub et al., 2012).

Artinya mata dapat melihat objek jauh dengan jelas dengan otot

siliaris yang relaksasi. Namun untuk melihat objek dekat, otot siliaris

akan berkontraksi agar mata dapat berakomodasi dengan baik (Guyton

dan Hall, 2007).

Terdapat beberapa kondisi yang harus dipenuhi agar terjadi

kondisi emetropia. Kekuatan kornea dan lensa harus seimbang pada

semua meridian, dan total kekuatan keduanya harus sesuai dengan

5
6

panjang bola mata. Kekuatan tiap struktur refraksi mata ditentukan

oleh indeks refraksi dan kurvaturanya. Indeks refraksi aqueous dan

vitreous humor juga mempengaruhi bagaimana sinar difokuskan pada

mata. Akumulasi dari kegagalan pada parameter-parameter tersebut

akan menghasilkan kelainan refraksi atau ametropia, karena dalam

keadaan istirahat sinar sejajar tidak difokuskan pada makula lutea

retina (Lens et al., 2008; Mathapathi et al., 2013).

b. Tajam penglihatan atau visus

Pemeriksaan tajam penglihatan berfungsi untuk menilai resolusi

mata. Pemeriksaan standar menggunakan kartu baku atau standar,

misalnya kartu baca Snellen, yang terdiri dari baris-baris huruf yang

ukurannya semakin kecil. Setiap hurufnya membentuk sudut 5 menit

pada jarak tertentu. Misalnya huruf pada baris tanda 60, berarti huruf

tersebut membentuk sudut 5 menit pada jarak 60 meter; dan pada baris

tanda 30, berarti huruf tersebut membentuk sudut 5 menit pada jarak

30 meter (Ilyas dan Yulianti, 2012; James et al., 2006).

Tajam penglihatan ditentukan sebagai berikut:

(James et al., 2006).


7

2. Miopia

a. Definisi

Miopia atau penglihatan dekat adalah suatu kondisi dimana

bayangan benda jatuh atau difokuskan di depan retina dalam keadaan

mata istirahat atau tidak berakomodasi (Mathapathi et al., 2013).

Secara harfiah, miopia berarti menutup mata. Istilah ini mungkin

mengacu pada kebiasaan penderita miopia untuk menyipitkan atau

menutup matanya sebagian agar dapat melihat objek jarak jauh

dengan lebih jelas (Widodo dan Prillia, 2007).

b. Klasifikasi

Miopia menurut derajat beratnya dibagi menjadi 3, yaitu:

1) Miopia ringan, yaitu miopia kurang dari 1-3 dioptri,

2) Miopia sedang, yaitu miopia antara 3-6 dioptri,

3) Miopia berat atau tinggi, yaitu miopia lebih besar dari 6 dioptri

(Ilyas dan Yulianti, 2012).

Miopia juga dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:

1) Miopia patologi

Miopia patologi merupakan miopia yang lebih besar dari 6

dioptri. Istilah patologi digunakan karena biasanya ditandai oleh

perubahan degeneratif koroid dan retina, insidensi retinal

detachment yang tinggi, glaukoma, dan peningkatan kejadian

perkembangan stafiloma (Wiggs et al., 2009).


8

2) Miopia sekolah atau fisiologi

Menurut Stenstrom (Wiggs et al., 2009), rata-rata miopia ini

sekitar 2 dioptri. Istilah fisiologi menunjukkan bahwa bentuk

miopia ini normal sebagai respon adaptif terhadap stress. Pada

kenyataan, terdapat bukti substansial bahwa peningkatan waktu

yang dihabiskan untuk membaca sejak usia awal remaja sampai

usia pertengahan dua puluhan berkorelasi dengan perkembangan

miopia. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa lebih dari 60%

rata-rata kelas mahasiswa kedokteran menderita miopia

mendukung teori tersebut. Namun pekerjaan dekat bukan

penyebab tunggal miopia fisiologi.

c. Etiologi

Berdasarkan teori yang telah diajukan saat ini, etiologi miopia

berasal dari tiga penyebab, dimana kemungkinan dapat saling

mempengaruhi satu sama lain (Manueke, 2003).

1) Herediter

Penelitian genetik dari miopia (twin dan genealogical)

menunjukkan bahwa etiologi dari miopia secara prinsip didasarkan

atas faktor herediter, meskipun belum ada kesepakatan mengenai pola

herediternya (Manueke, 2003). Selain itu, dilaporkan bahwa anak

yang memiliki satu dan dua orang tua penderita miopia berisiko 2-8

kali menderita miopia (≤ - 0,5 D) dibandingkan dengan mereka yang

orang tuanya tidak miopia. Orang tua penderita miopia dianggap


9

sebagai penanda genetik dan memiliki paparan lingkungan keluarga

yang sama (Pan et al., 2012).

2) Penyakit sistemik dan okuler

Penyakit sistemik dan okuler yang berhubungan dengan etiologi

miopia antara lain albinisme dan retinitis pigmentosa. Pada albinisme

terjadi defisiensi atau tidak ada sama sekali pigmen melanin karena

enzim tyrosinase berkurang. Miopia yang terjadi adalah miopia tinggi.

Pada penyakit retinitis pigmentosa, Jain dan Singh mendapatkan

miopia sebanyak 58% diantara penderita retinitis pigmentosa dan

11% diantaranya miopia tinggi (Manueke, 2003).

3) Lingkungan

Secara umum faktor lingkungan, penyebab miopia yang terjadi

postnatal diterangkan dalam dua cara, biasanya bermanifestasi

sebagai peningkatan TIO; sebagai contoh yaitu proses konvergensi

dan akomodasi. Kedua, faktor yang menurunkan resistensi dinding

bola mata. Penurunan resistensi atau rigiditas bola mata merupakan

akibat dari kualitas dan kuantitas jaringan ikat sklera yang tidak

normal sehingga terjadi pemanjangan aksis bola mata (Manueke,

2003).

Menurut Pan et al. (2012), faktor lingkungan yang mungkin

berperan antara lain kegiatan outdoor, pekerjaan dekat, dan tingkat

pendidikan. Menurut penelitian cross-sectional pada remaja usia 11-

20 tahun di Singapura, tiap tambahan satu jam kegiatan outdoor per


10

hari, akan meningkatkan kekuatan refraksi sebanyak 0,17 D

(pergeseran hiperopia) dan penurunan panjang aksial bola mata

sebesar 0,06 mm. Mekanisme yang diperkirakan adalah efek protektif

intensitas cahaya di luar ruangan. Pelepasan dopamin dari retina yang

di rangsang oleh cahaya dan dopamin dapat menghambat

pertumbuhan mata. Namun hal ini masih kontroversial (Pan et al.,

2012).

Pekerjaan dekat juga berhubungan secara signifikan dengan

kejadian miopia. Dilaporkan bahwa anak yang membaca > 2 buku per

minggu berisiko 3x memiliki miopia yang lebih tinggi (< -3.0 D)

dibanding yang membaca < 2 buku per minggu. Setiap buku yang

dibaca per minggu berhubungan dengan pemanjangan aksial 0,04

mm. Namun ada juga penelitian lain yang tidak menunjukkan

hubungan antara pekerjaan dekat dan miopia (Pan et al., 2012).

Selain itu, sekolah yang memiliki kurikulum dengan tuntutan

pekerjaan dekat yang lebih banyak dilaporkan berhubungan dengan

kejadian miopia yang tinggi dan progresifitas miopia yang lebih cepat

(Lam et al., 2012). Menurut penelitian pada orang dewasa china di

Singapura, peningkatan panjang aksial berhubungan dengan tingkat

pendidikan yang lebih tinggi, peningkatan panjang aksial 0,60 mm

berhubungan dengan setiap 10 tahun sekolah. Biasanya tingkat

pendidikan diukur dari berapa tahun pendidikan formal atau tingkat

pencapaian akademis. Kedua hal tersebut dihubungkan dengan


11

banyaknya waktu yang dihabiskan untuk membaca dan menulis,

sehingga tingkat pendidikan bisa dianggap sebagai pengganti

pekerjaan dekat (Pan et al., 2012).

d. Gejala

Sesuai dengan namanya, miopia atau penglihatan dekat, berarti

mata ini dapat melihat objek yang dekat, tetapi objek jauh akan

terlihat kabur. Saat penderita miopia yang tidak terkoreksi akan

membaca, ukuran seberapa dekat material harus dipegang untuk

kejelasan ditentukan oleh derajat miopianya (Lens et al., 2008).

Penderita miopia kadang mengeluh sakit kepala. Pederita miopia

mempunyai punctum remotum yang dekat sehingga mata selalu

berkedudukan konvergensi yang akan menimbulkan keluhan

astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap, maka

penderita akan terlihat juling ke dalam atau esotropia (Ilyas dan

Yulianti, 2012).

e. Pemeriksaan Refraksi

Pemeriksaan refraksi merupakan kegiatan penetralan kelainan

refraksi seseorang dengan menggunakan berbagai metode dimana

respon pasien akan menentukan kekuatan lensa terbaik yang

menghasilkan fokus bayangan tepat pada retina (Wiggs et al., 2009).

Pemeriksaan refraksi dapat dilakukan secara subjektif dan objektif.

Pada pemeriksaan objektif, hasil didapatkan secara langsung tidak

tergantung apa yang dikatakan pasien, misalnya pemeriksaan dengan


12

autorefraktometer. Sedangkan pemeriksaan subjektif sangat

tergantung apa yang dikatakan oleh penderita kepada pemeriksa,

misalnya metode trial and error (Bhootra, 2014).

f. Penatalaksanaan

Pada mata miopia, daya bias permukaan refraksi mata terlalu

besar. Kelebihan daya bias ini dapat dinetralkan dengan lensa konkaf

atau negatif di depan mata karena sifat lensa konkaf dapat

menyebarkan cahaya (Guyton dan Hall, 2007).

3. Tekanan Intraokuler (TIO)

a. Definisi

Menurut Rubenstein et al. (2015), definisi tekanan

intraokuler adalah suatu ukuran tekanan hidrostatik di dalam bola

mata. Menurut Murgatroyd dan Bembridge (2008), Tekanan

intraokuler ditimbukan oleh tekanan jaringan dari isi bola mata.

Tekanan intraokuler yang normal, penting untuk menjaga fungsi

refraksi tetap normal sehingga fungsi penglihatan mata dapat

menjadi optimal (Murgatroyd dan Bembridge, 2008). Rata-rata

nilai TIO pada kondisi normal yaitu sebesar 15,5 mmHg dengan

rentang normal 10-21 mmHg, meskipun terdapat variasi diurnal

dan musim (Mathapathi et al., 2013).


13

b. Fisiologi Aqueous Humor

Aqueous humor dihasilkan oleh badan siliar dengan

kecepatan 2-2,5 mikroliter per menit. Aqueous humor berfungsi

menyediakan oksigen dan glukosa bagi lensa dan kornea yang

bersifat avaskuler (Lens et al., 2008).

Gambar 1. Fisiologi Aliran Aqueous Humor (Murgatroyd dan


Bembridge, 2008)

Produksi aqueous humor terutama melalui mekanisme

sekresi aktif (80%); dimana enzim Na+K+ATPase membentuk

gradien osmotik sehingga cairan dapat mengalir menuju bilik mata

posterior. Mekanisme lainnya (20%) yaitu melalui ultrafiltrasi

plasma (Murgatroyd dan Bembridge, 2008).

Aqueous humor mengalir dari bilik mata posterior ke

permukaan lensa kemudian melalui iris dan masuk ke bilik mata

anterior. Di bilik mata anterior, aqueous humor akan dibuang

melalui dua mekanisme. Mekanisme utama yaitu melalui


14

trabecular meshwork dan kanal Schlemm pada sudut antara kornea

dan iris. Kanal Schlemm berhubungan langsung dengan vena

episklera, sehingga absorpsi melalui jalur ini tergantung pada

gradien TIO ke tekanan vena episklera. Mekanisme lainnya (20%)

yaitu melalui jalur uveoskleral, dimana terjadi kebalikan

ultrafiltrasi, yang tergantung pada gradien tekanan dari bilik mata

anterior ke interstisium sklera (Murgatroyd dan Bembridge, 2008).

Jalur ini melalui radix iris, uveal meshwork, permukaan anterior

otot siliaris, jaringan penghubung antara bundle otot, ruang

suprakoroid, dan akhirnya melewati sklera (Sugiyama dan

Yoshimura, 2015).

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Intraokuler

Tekanan intraokuler bersifat sangat dinamis dan berubah-

ubah sepanjang waktu. Berikut ini merupakan faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi tekanan intraokuler:

1) Jenis kelamin

Perempuan memiliki TIO lebih tinggi daripada laki-laki

terutama setelah usia 40 tahun. Namun pada penelitian yang

lain ditemukan hasil yang bertentangan.

Menurut hasil penelitian oeh Barbados Eye Study

menunjukkan bahwa walaupun perempuan cenderung memiliki

TIO yang tinggi tetapi tidak terjadi glaukoma, sedangkan laki-


15

laki cenderung menderita glaukoma sudut terbuka (Stamper et

al., 2009).

2) Herediter

Sejumlah studi menemukan bahwa turunan pertama dari

pasien glaukoma sudut terbuka mempunyai TIO lebih tinggi

dibandingkan dengan populasi umum. Namun sebaliknya,

sebuah studi menunjukkan bahwa besar TIO sebuah pasangan

suami istri mempunyai tingkat TIO yang hampir sama, dimana

hal ini mengindikasikan pentingnya faktor lingkungan

(Stamper et al., 2009).

3) Variasi diurnal

Pada orang normal, terdapat variasi TIO rata-rata 5-10

mmHg sepanjang hari. Sedangkan pada penderita glaukoma,

variasi ini lebih besar lagi yaitu dapat mencapai 30 mmHg,

bahkan dapat mencapai 50 mmHg pada kasus jarang. Variasi

normal TIO mengikuti pola produksi aqueous humor, yaitu

mencapai tekanan maksimum pada midmorning (atau tepatnya

saat bangun tidur) dan tekanan minimum pada tengah malam

dan dini hari (atau lebih tepatnya saat tidur). Namun pada

beberapa individu terdapat pola yang tidak konsisten

(Rubenstein et al., 2015; Stamper et al., 2009).


16

4) Olahraga

Olahraga yang ekstrim seperti angkat beban dapat

meningkatkan TIO secara signifikan, baik dengan menahan

nafas maupun bernafas normal (Weinreb et al., 2007). Mungkin

hal ini disebabkan oleh valsava atau bahkan peningkatan

tekanan intrakranial yang ditransmisikan ke sistem vena

periokular (Stamper et al., 2009). Sebaliknya, olahraga seperti

jogging menyebabkan penurunan TIO (Weinreb et al., 2007).

5) Perubahan posisi tubuh

Perubahan posisi tubuh dari posisi duduk menjadi posisi

tidur dapat meningkatkan TIO sebesar 6 mmHg pada orang

normal. Namun pada penderita glaukoma atau normal tension

glaucoma, perubahan posisi ini dapat menyebabkan perubahan

tekanan yang ekstrim. Perubahan tekanan ini terjadi secara

cepat yang kemungkinan disebabkan oleh perubahan tekanan

arterial dan vena. Perubahan tekanan ini tidak berbahaya pada

orang normal, namun dapat berbahaya pada penderita

glaukoma lanjut (Stamper et al., 2009).

6) Gaya hidup

Pada suatu penelitian di Jepang menyebutkan bahwa

peningkatan TIO mempunyai hubungan dengan peningkatan

IMT, peningkatan konsumsi alkohol, dan peningkatan

konsumsi rokok. Menurut Blue Mountain Eye Study terdapat


17

korelasi antara konsumsi kafein dan TIO. Pada penelitian

Barbados Eye Study didapatkan hubungan antara hipertensi

sistemik dan diabetes dengan peningkatan TIO dengan usia.

(Stamper et al., 2009).

7) Pergerakan bola mata

Jika mata bergerak melawan hambatan mekanis, TIO

dapat meningkat secara bermakna (Stamper et al., 2009).

8) Penutupan kelopak mata

Penutupan kelopak mata secara paksa meningkatkan TIO

sebesar 10-90 mmHg. Melebarkan fisura kelopak mata

meningkatkan TIO sekitar 2 mmHg. Sebaliknya pada bell’s

palsy TIO sedikit menurun (Stamper et al., 2009).

9) Inflamasi

Pada saat inflamasi, TIO cenderung menurun karena

produksi aqeuous humor menurun. Namun jika saluran

drainase mengalami inflamasi lebih berat daripada badan siliar

maka TIO dapat meningkat (Stamper et al., 2009).

10) Pembedahan

Umumnya setelah pembedahan mata akan terjadi

penurunan TIO. Namun jika saluran drainase terpengaruh oleh

inflamasi atau oleh tindakan pembedahan itu sendiri (misalnya

oleh bahan viskoelastik) maka TIO dapat meningkat (Stamper

et al., 2009).
18

d. Pengukuran Tekanan Intraokuler

Tonometri merupakan sebuah metode untuk mengukur TIO

secara langsung. Dengan menganggap mata terdiri dari jaringan

elastik yang membentuk dinding sferis sempurna, dapat digunakan

untuk memperkirakan tekanan intraokuler (Rubenstein et al.,

2015).

Gold standard pengukuran TIO adalah dengan tonometer

Goldmann. Tonometer ini merupakan jenis tonometer aplanasi,

dimana besarnya TIO didapatkan dengan mengukur kekuatan yang

diperlukan untuk mendatarkan area di permukaan kornea. Metode

ini memerlukan slit lamp, pewarnaan fluorescein dan anestesi

topikal pada kornea. Metode alternatif lainnya yaitu tonometer

indentasi, bergantung pada pengukuran indentasi kornea dengan

beban yang diketahui. Meskipun sering didapatkan error karena

terdapat variasi rigiditas dan ketebalan sklera (Murgatroyd dan

Bembridge, 2008).

Gambar 2. Prinsip Non Contact Tonometer (Weinreb et al., 2007)

Non-contact tonometer (NCT) dikembangkan oleh Grolman

pada awal tahun 1970 dan menggunakan semburan udara untuk


19

meratakan permukaan depan kornea. Sistem ini terdiri dari sebuah

planum udara sentral yang diapit oleh pemancar cahaya dan

detektor di kedua sisinya. Udara disemburkan ke arah kornea,

sementara cahaya juga dipancarkan oleh pemancar cahaya. Ketika

kornea berada dalam kondisi istirahat, cahaya yang mengenai

kornea akan disebarkan karena permukaan kornea yang berbentuk

konveks. Semburan udara yang diarahkan ke kornea semakin lama

semakin membuat permukaaan kornea menjadi datar, sehingga

seperti saat mengenai cermin datar, cahaya yang mengenai kornea

ini akan dipantulkan ke detektor. Pada saat mencapai titik

maksimal deteksi cahaya, yaitu saat kornea teraplanasi secara

sempurna, instrumen ini akan menonaktifkan semburan udara.

Dengan metode ini tidak diperlukan anestesi pada kornea (Weinreb

et al., 2007).

e. Glaukoma

Glaukoma merupakan salah satu dari penyebab kebutaan

dan dihubungkan dengan peningkatan TIO dalam proses

patologinya. Tipe yang paling umum ditemukan pada penelitian

prevalensi berbasis populasi di seluruh dunia adalah glaukoma

sudut terbuka primer (Sun et al., 2012).

Ada dua teori utama mekanisme glaukoma primer sudut

terbuka yaitu teori mekanik dan teori vaskuler. Teori mekanik

memiliki hipotesis bahwa peningkatan TIO akan menekan struktur


20

di dan sekitar papil saraf optik, sehingga mengganggu transportasi

aksoplasmik dalam serabut saraf. Hal ini mengarah pada kematian

akson sehingga terjadi penipisan pada neuroretinal rim dan

ekskavasio papil saraf optik. Sedangkan pada teori vaskuler,

neuropati optik glaukomatosa diperkirakan terjadi akibat dari

pasokan darah yang kurang karena peningkatan TIO atau penyebab

lain yang dapat menurunkan aliran darah di mata, seperti

peningkatan tekanan darah sistemik atau vasospasme (Chen et al.,

2012).

4. Perbedaan Tekanan Intraokuler (TIO) pada Mata Miopia dan Emetropia

Tekanan intraokuler (TIO) seseorang dapat diukur dengan

menggunakan alat tonometer, salah satunya menggunakan non contact

tonometer (NCT) (Weinreb et al., 2007; Rubenstein et al., 2015). Non

contact tonometer menggunakan prinsip yang sama dengan tonometer

goldmann yang merupakan gold standard pengukuran TIO saat ini,

dimana TIO diperkirakan dengan cara mengukur kekuatan yang

dibutuhkan untuk mengaplanasi atau mendatarkan kornea. Berbeda dengan

tonometer goldmann, NCT menggunakan semburan udara untuk

mengaplanasi kornea (Weinreb et al., 2007).

Hasil pengukuran TIO dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

seperti karakteristik mata, jenis tonometer yang digunakan serta operator.

Lim et al. (2008) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa perubahan


21

panjang aksial pada miopia dihubungkan dengan perubahan pada struktur

kornea. Selain itu, diketahui bahwa perkembangan miopia dihubungkan

dengan penurunan ketebalan sklera dan matriks ekstraseluler, peningkatan

metalloproteinase matriks enzim degradasi-kolagen, dan peregangan

sklera (Rada et al., 2006). Penurunan diameter fibril kolagen sklera dan

kecepatan sintesis matriks proteoglikan ditemukan pada perkembangan

miopia, dimana mengakibatkan penipisan sklera dan kehilangan jaringan

sklera. Perubahan serupa kemungkinan juga terjadi pada kornea (Oner et

al., 2015).

Schmid et al. (2003) menyatakan hipotesis bahwa peningkatan TIO

pada penderita miopia dihubungkan dengan peningkatan stress pada

dinding bola mata dan penurunan rigiditas okuler. Friedman menunjukkan

bahwa suatu mata dengan volume yang besar dengan dinding tipis akan

memberikan penekanan yang tinggi pada dindingnya dibandingkan mata

normal pada TIO yang sama. Penekanan yang tinggi ini berarti diperlukan

kekuatan yang lebih, dalam menggunakan tonometer jenis aplanasi,

sehingga memberikan pembacaan tekanan yang tinggi (Manueke, 2003).

Perbedaan karakteristik mata pada miopia dan emetropia tersebut

mungkin berpengaruh terhadap hasil pengukuran TIO dengan NCT.

Penelitian Nomura et al. (2004) dan Mathapathi et al. (2013) mendukung

hipotesis ini, dimana terdapat perbedaan TIO yang signifikan antara

miopia dan emetropia, terutama pada miopia tinggi.


22

B. Kerangka Pemikiran

Refraksi mata
- Herediter
- Penyakit
Emetropia Miopia sistemik
- Penyakit
okular
- Lingkungan
Perbedaan karakteristik mata

- Panjang aksial bola mata


- Rigiditas sklera
- Rigiditas kornea
- Ketebalan kornea
Lokal:

- Pergerakan Hasil pengukuran TIO Operator


bola mata dengan NCT
- Penutupan
kelopak mata
- Inflamasi
- Pembedahan
Demografik: Sistemik:

- Jenis kelamin - Variasi diurnal


- Herediter - Olahraga
- Perubahan
posisi tubuh
- Gaya hidup

Bagan 1. Kerangka pemikiran


Keterangan:
: merangsang, menyebabkan, mempengaruhi
: variabel terikat dan bebas yang diteliti

C. Hipotesis

Terdapat perbedaan tekanan intraokuler (TIO) antara mata miopia dan

mata emetropia pada mahasiswa kedokteran UNS.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik karena

hanya mengamati variabel – variabel yang diteliti tanpa memberikan

intervensi pada subjek penelitian. Sedangkan pendekatan yang digunakan

adalah cross-sectional karena observasi atau pengukuran variabel dilakukan

pada satu saat tertentu (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan

Desember 2015.

C. Subjek Penelitian

1. Populasi Penelitian

a. Populasi sumber pada penelitian ini adalah mahasiswa pendidikan

dokter UNS angkatan 2012.

b. Kriteria Inklusi

1) Mahasiswa pendidikan dokter UNS semester VII,

2) Bersedia mengikuti prosedur penelitian,

23
24

3) Tidak mengkonsumsi alkohol,

4) Tidak merokok.

c. Kriteria Eksklusi

1) Infeksi mata,

2) Penderita glaukoma,

3) Pernah menjalani operasi refraktif.

2. Sampel

a. Besar Sampel

Penentuan besar sampel dilakukan dengan menggunakan rumus:

= 73,91 ≈ 74

Keterangan :

n : besar sampel

p : perkiraan proporsi (prevalensi) variabel dependen pada

populasi (p = 26%)

q : 1-p

Zα : nilai statistik Zα pada kurva normal standar pada tingkat

kemaknaan α = 5%, sehingga Zα = 1,96

d : presisi absolut yang dikehendaki (10%) (Sastroasmoro dan

Ismael, 2011).
25

Berdasarkan rumus diatas, maka besar sampel minimum yang

dibutuhkan adalah 74 sampel. Untuk menghindari drop out sampel

maka besar sampel ditambah 20% dari besar sampel minimum,

sehingga dibutuhkan 89 sampel dalam penelitian ini.

b. Teknik Sampling

Dari sejumlah populasi, dilakukan screening dengan kriteria

restriksi yang meliputi kriteria inklusi dan eksklusi. Selanjutnya

dilakukan pencuplikan dengan metode simple random sampling agar

setiap mahasiswa dalam populasi memiliki kesempatan yang sama

untuk masuk ke dalam kelompok sampel.

D. Rancangan (desain) Penelitian

Populasi

Populasi yang memenuhi


kriteria restriksi
Simple random sampling

Sampel

Miopia Emetropia

Pemeriksaan TIO dengan


NCT

Analisis data dengan SPSS

Bagan 2. Rancangan penelitian


26

E. Identifikasi variabel penelitian

1. Variabel bebas: mata miopia dan mata emetropia.

2. Variabel terikat: tekanan intraokuler (TIO).

3. Variabel luar

a. Terkendali: kebiasaan konsumsi alkohol, kebiasaan merokok, infeksi

mata, riwayat operasi refraktif, glaukoma.

b. Tidak terkendali: genetik, jenis kelamin, olahraga, obesitas.

F. Definisi operasional variabel penelitian

1. Variabel bebas: mata miopia dan mata emetropia

a. Definisi

1) Mata miopia adalah semua individu dengan visus < 6/6 dan

membutuhkan koreksi sferis negatif.

2) Mata emetropia (mata normal) adalah semua individu dengan visus

≥ 6/6 dan tidak membutuhkan koreksi.

b. Alat ukur

Alat ukur yang digunakan adalah wawancara mengenai riwayat

pemeriksaan refraksi terakhir dan pemeriksaan visus dengan optotype

Snellen.

Cara pemeriksaan visus:

1) Pasien ditempatkan pada jarak 5 atau 6 meter dari optotype

Snellen.
27

2) Setiap mata diperiksa secara terpisah. Saat mata kanan diperiksa,

mata kiri ditutup dan sebaliknya. Jika pasien menggunakan

kacamata, pemeriksaan dilakukan tanpa kacamata.

3) Pasien diminta membaca huruf pada optotype Snellen.

4) Tajam penglihatan ditentukan sebagai berikut:

(James et al., 2006).

c. Skala

Skala pada pengukuran variabel ini adalah nominal kategorik

dengan kategori mata miopia dan mata emetropia.

2. Variabel terikat: tekanan intraokuler (TIO)

a. Definisi

Tekanan intra okuler adalah tekanan bola mata yang diukur

dengan Non Contact Tonometer (NCT).

b. Alat ukur

Alat ukur yang digunakan adalah Non Contact Tonometer (NCT).

Cara pemeriksaan:

1) Persiapan pasien

a) Pasien duduk di kursi dan melepas lensa kontak atau kacamata

jika menggunakan.

b) Letakkan dagu pasien di tempat dagu dan dahi pada tempat

dahi.
28

c) Atur marker ketinggian mata dengan mengatur posisi tempat

dagu.

2) Atur safety stopper.

3) Gerakkan joystick ke depan, belakang, kanan, kiri untuk

mendapatkan gambar mata yang jelas di tengah layar monitor.

4) Instruksikan kepada pasien untuk menatap cahaya LED hijau.

5) Gunakan auto-alignment.

6) Atur fokus.

7) Jika indikator sudah menunjukkan alignment yang pas, udara akan

disemburkan secara otomatis

8) Hasil pengukuran muncul pada layar monitor.

9) Tekan tombol print untuk mencetak hasil pengukuran.

c. Skala

Skala pada pengukuran variabel ini adalah rasio yaitu nilai rata-

rata hasil pengukuran TIO.

3. Variabel luar

a. Terkendali

1) Kebiasaan konsumsi alkohol merupakan pengulangan perbuatan

konsumsi alkohol yang dilakukan secara terus menerus oleh

seseorang sehingga menjadi rutinitas yang dilakukan. Variabel ini

peneliti kendalikan dengan tidak mengikutsertakan responden yang

mengkonsumsi alkohol dari penelitian ini.


29

2) Kebiasaan merokok merupakan pengulangan perbuatan merokok

yang dilakukan secara terus menerus oleh seseorang sehingga

menjadi rutinitas yang dilakukan. Variabel ini peneliti kendalikan

dengan tidak mengikutsertakan responden yang merokok dari

penelitian ini.

3) Infeksi mata adalah peradangan yang terjadi pada mata yang

disebabkan oleh masuknya mikroorganisme. Variabel ini peneliti

kendalikan dengan tidak mengikutsertakan responden yang sedang

menderita infeksi mata dari penelitian ini.

4) Glaukoma merupakan penyakit yang ditandai dengan atrofi papil

saraf optik dan menciutnya lapang pandang yang bersifat progresif.

Variabel ini peneliti kendalikan dengan tidak mengikutsertakan

responden yang memiliki riwayat glaukoma dari penelitian ini.

5) Riwayat operasi refraktif merupakan riwayat jenis operasi untuk

mengoreksi kesalahan refraksi mata, misalnya LASIK. Variabel ini

peneliti kendalikan dengan mengeluarkan sampel yang memiliki

riwayat operasi refraktif.

b. Tidak terkendali

Genetik, jenis kelamin, olahraga dan obesitas tidak dikendalikan

oleh peneliti, sehingga setiap responden yang memiliki kriteria di atas

tetap diikutsertakan dalam penelitian ini.


30

G. Alat dan bahan penelitian

1. Informed consent

2. Formulir wawancara

3. Optotype Snellen

4. Non Contact Tonometer (NCT)

H. Cara kerja

1. Peneliti memilih sampel yang memenuhi kriteria restriksi kemudian

melakukan pemilihan secara acak dengan teknik simple random sampling.

2. Memberikan lembar informed consent untuk ditandatangani sebagai

kesediaan menjadi subjek penelitian.

3. Melakukan wawancara dan mengisi formulir wawancara.

4. Melakukan wawancara mengenai riwayat pemeriksaan refraksi terakhir

dan pemeriksaan visus dengan optotype Snellen.

5. Melakukan pemeriksaan TIO dengan Non Contact Tonometer (NCT).

6. Analisis data menggunakan SPSS.

I. Teknik analisis data

Seluruh data ditabulasi dan dianalisis dengan Statistical Product and

Service Solution (SPSS) 20.0 for Windows. Data yang terkumpul dianalisis

terlebih dahulu dengan uji normalitas. Jika data terdistribusi normal maka

dapat digunakan uji-t independen untuk menganalisis data dengan variabel

bebas nominal (2 nilai) dan variabel terikat berskala numerik. Pada kelompok
31

independen cara pemilihan subyek pada kelompok yang satu tidak tergantung

kepada karakteristik subyek kelompok lain.

Namun jika data tidak terdistribusi secara normal, maka perlu

dilakukan transformasi data dengan algoritme atau cara lain sebelum dapat

dilakukan uji hipotesis. Jika distribusi data tetap tidak normal, maka dapat

digunakan uji non-parametrik yang merupakan alternatif dari unpaired t-test,

yaitu uji mann whitney U.

Anda mungkin juga menyukai