11 Februari 2021
Risiko bencana akibat alih fungsi lahan ini disadari oleh BPBD Paniai, yang kemudian
menempuh langkah-langkah mitigasi untuk meminimalisir bencana di masa mendatang.
Antara lain, kata Simon, mendesak pemerintah daerah melakukan reboisasi atau
menghutankan kembali daerah lereng, normalisasi Sungai Tuniyai dan menertibkan
sampah yang selama ini dibuang di bukit sepanjang jalan trans yang menghubungkan
beberapa kabupaten.
Pascabencana, Bupati Paniai Meki Nawipa mengatakan pihaknya telah mulai
melakukan normalisasi sungai untuk mengantisipasi gelombang banjir bandang
susulan.
Ia juga mengimbau warga agar tak lagi melakukan penebangan pohon di gunung atau
kawasan penyangga air, demi mencegah terjadinya bencana longsor dan banjir.
SUMBER GAMBAR,YAMOYE ABETH
Keterangan gambar,
Merujuk pada peta risiko bencana, Paniai memiliki sembilan wilayah yang memiliki risiko banjir
kategori sedang hingga tinggi.
Bencana beruntun di Manado
Dua hari sebelum banjir dan longsor menerjang Paniai, banjir rob melanda pesisir
Manado, Sulawesi Utara pada Minggu (17/01).
Air pasang disertai gelombang setinggi sekitar empat meter meluluhlantakkan kampung
nelayan di sekitar kawasan niaga Megamas, di Wenang, Manado. Sebanyak delapan
perahu nelayan hancur diterjang ombak, dua belas lainnya rusak ringan.
Salah satu nelayan, Sony Bro mengaku tak menyangka badai dan air pasang
menyebabkan kerusakan sedemikian parah.
"Pada saat kejadian sebenarnya kita orang tidak begitu perhatikan karena kita pikir kita
aman, tapi ternyata ombaknya lebih besar dari dermaga, membuat perahu-perahu kita
naik ke atas. Dampaknya ada perahu-perahu yang hancur," ujar Sony, yang juga Ketua
kelompok nelayan Firdaus'.
SUMBER GAMBAR,ANTARAFOTO
Keterangan gambar,
Seorang nelayan memeriksa perahunya yang rusak terhempas ombak di pesisir pantai di
Manado, Sulawesi Utara, Senin (18/01).
Merujuk data BMKG, tinggi gelombang pada saat itu adalah 2,5 meter hingga 4 meter.
Angka ini melebihi rata-rata harian setinggi 1,7-2 meter, menurut permodelan yang
dilakukan Universitas Sam Ratulangi.
Adapun air pasang maksimum harian juga mencapai puncaknya 170-190 cm di atas
permukaan laut pada Senin (17/01) pukul 20.00 WITA hingga 21.00 WITA.
Merujuk data RTRW Manado pada 2014-2034, daerah sempadan pantai yang
seharusnya menjadi kawasan resapan air di Kawasan Megamas - yang memiliki risiko
banjir tinggi - kini justru menjadi kawasan hotel dan perdagangan. Kawasan itu
merupakan sebagian dari lahan reklamasi Teluk Manado.
Penelitian Universitas Sam Ratulangi menunjukkan alih fungsi lahan di Kecamatan
Wenang, lokasi Megamas, berdampak pada kemampuan resapan air. Wenang adalah
kawasan resapan air tinggi yang mampu menyerap air hujan ekstrem.
Analisis ini dilihat dari tekstur tanah, curah hujan dan kelerengan. Namun, perlu dicatat,
sejak sebelum Kota Manado terbentuk, kawasan tersebut telah menjadi pusat niaga.
Kondisi ini diperparah dengan semakin banyaknya pemukiman dan pusat kegiatan kota,
menurut Kepala Laboratorium Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Sam
Ratulangi, Veronica Kumurur.
"Kondisi saat ini di Wenang, genangan air semakin banyak akibat pemukiman padat
dan ruang terbuka hijau kurang, hampir tidak ada. Ada tambah lagi lahan urugan dan
timbunan pantai," kata Veronica.
Sungai Sawangan dan Tondano termasuk dalam lima sungai besar di Manado yang
berpotensi meluap saat hujan lebat terjadi.
Dari analisis citra satelit dibandingkan dengan RTRW Manado, kawasan sempadan dari
hulu Sungai Tondano hingga ke Sungai Tikala yang seharusnya ditanami pepohonan
atau dibiarkan menjadi lahan terbuka hingga tiga meter dari batas luar sungai, justru
menjadi pemukiman.
Alhasil, resapan air berkurang. Apabila ada hujan ekstrem maka air sungai meluap dan
tidak dapat dihalau oleh daerah sempadan.
Peta di bawah menunjukkan sebagian potret pemukiman di sempadan sungai di
sebelah timur Kantor Wali Kota Manado, di Kecamatan Tikala.
Kondisi ini diperburuk dengan sistem drainase yang tidak lagi mampu menampung
debit air hujan dan alih fungsi lahan di kawasan hutan Manado, menurut Veronica.
"Ketika lahan di atas (daerah bukit dan hutan) berubah (menjadi pemukiman atau
kawasan resapan air rendah), air (sungai) berkurang ketika kemarau. Tapi kalau musim
hujan, ketika lahan hutan jadi pemukiman, maka airnya tidak tertampung dan masuk ke
sungai, sungai akan meluap. Apalagi yang terbawa sedimen, mendangkal sungai dan
menggenangi air sekitarnya," jelas Veronica.
Air sungai tak hanya meluap di Kecamatan Tikala, tapi mengalir ke daerah lainnya,
termasuk Wanea yang menjadi area terdampak parah banjir bandang. Wanea adalah
kawasan padat penduduk yang berjarak sekitar 4 km dari kawasan bisnis Megamas.
Warga Tanjung Batu di Wanea, Decky Rumayar mengatakan "air sangat kencang"
ketika banjir bandang menerjang rumahnya.
"Akhirnya kita lari, timbang mau cedera atau kita mau tenggelam. Kita lari.. Arus
kencang sekali ini," ujar Decky.
SUMBER GAMBAR,DONNY MAYKEL ARAY
Keterangan gambar,
Warga Tanjung Batu di Wanea, Decky Rumayar mengatakan "air sangat kencang" ketika banjir
bandang menerjang rumahnya.
Semua barang di rumahnya hanyut terbawa banjir, ia dan keluarganya terpaksa
mengungsi di lokasi yang lebih aman.
Warga yang lain, Leidy Roring, menuturkan tak menyangka air naik dengan sangat
cepat.
"Tiba-tiba air ini, kitorang tak sangka air ini naik, tinggi hampir tiga meter," ujar Leidy
Sebagian rumah Leidy yang berada di bibir sungai Tondano, hancur diterjang ombak.
Leidy menyadari bahwa rumahnya berlokasi di kawasan rawan banjir, namun ia
berkukuh untuk bertahan.
"Karena tempat [mata] pencaharian di Tanjung Batu, plus ini kan tengah-tengah kota
tempat pencaharian kita di sini," kilah Leidy.
Setiap puncak musim hujan datang dengan curah hujan tinggi, rumah Leidy selalu
menjadi langganan banjir.
SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO/ADWIT B PRAMONO
Keterangan gambar,
Warga beristirahat sejenak usai membersihkan halaman rumahnya yang terdampak banjir di
Kelurahan Perkamil, Manado, Sulawesi Utara, Selasa (21/01).
Namun bagi Leidy, banjir kali ini adalah banjir terparah, bahkan dibandingkan banjir
bandang pada 2014 yang menewaskan setidaknya 18 orang dan lebih dari 1.000 rumah
rusak.
"Kalau lebih parah, [tahun] ini. Cuman pece-pece (lumpur) ini tak sebanding dengan dulu,
karena jembatan su bagus, air [setinggi] 3 meter. Waktu jembatan
belum dibeking (dibuat), air itu [setinggi] 4 meter, cuma beda sedikit. Parah besar ini,"
ungkap Leidy.
Menurut pantauan BMKG Sulawesi Utara, puncak musim hujan di provinsi itu memang
terjadi pada Januari, sehingga curah hujan lebih ekstrem terjadi.
SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO/ADWIT B PRAMONO
Keterangan gambar,
Warga menerobos banjir di salah satu ruas jalan di Kota Manado, Sulawesi Utara, Jumat (22/01).
Faktor lain yang berperan adalah fenomena La Nina dan fenomena atmosfer lain,
seperti konvergensi udara dan perlambatan massa udara yang mengakibatkan awan
Cumulonimbus, atau awan hujan, lebih sering terbentuk.
Meski demikian, "Untuk tahun ini, ada (wilayah dengan) kondisi curah hujan sedang tapi
wilayah di Manado tergenang air. Menurut pandangan kami, curah hujan normal namun
daya dukung lingkungan sudah jenuh," menurut Ben Arther Molle, Prakirawan Cuaca
BMKG Sulawesi Utara.
"Pada Januari ini sudah sering terjadi hujan, itu membuat tanah jenuh meresap air."
Beragam bencana di Sumedang dan Garut
Pada awal Februari, Sumedang di Jawa Barat harus kembali menghadapi bencana,
setelah pada bulan lalu menghadapi bencana tanah longsor.
Kali ini, banjir, pergerakan tanah dan tanah longsor terjadi di sejumlah wilayah
Sumedang, pada Minggu (07/02) sore hingga malam.
Tingginya intensitas hujan yang terjadi sejak Sabtu (06/02) sore hingga Minggu malam
dituding menjadi penyebab berbagai bencana, yang salah satu akibatnya meluapkan
sejumlah anak Sungai Cimanuk.
Menurut riset Pusat Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dirilis
pada 2015, perubahan resapan air terjadi di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Cimanuk di bagian hulu, terutama di Daerah Tangkapan Air Waduk Jatigede.
"Dampaknya, ketika hujan maka air yang meresap ke tanah relatif berkurang dan yang
mengalir ke permukaan dan menyebabkan potensi banjir meningkat."
Alih fungsi lahan lainnya di daerah hulu Sungai Cimanuk yakni perubahan dari kawasan
hutan menjadi pertanian semusim untuk sayur yang pengolahannya tidak mengikuti
kaidah konservasi.
"Begitu hujan sedikit, erosi tinggi, tanah yang terangkut aliran hujan tinggi sekali. Hasil
erosi sampai ke Waduk Jatigede. Akhirnya Waduk Jatigede sedimentasinya tinggi,"
menurut Fakhrudin.
"Kedua, di bekas yang erosi, lama-lama lapisan tanah makin tipis, tidak subur, ini lama-
lama tanamannya tidak bisa tumbuh dengan bagus. Sehingga, airnya tidak meresap ke
tanah. Padahal di situ curah hujan tinggi. Seharusnya itu fungsi resapan air sangat
bagus."
SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO/CANDRA YANUARSYAH
Keterangan gambar,
Warga membersihkan rumah yang terdampak banjir di Desa Dangiang, Banjarwangi, Kabupaten
Garut, Jawa Barat, Selasa (09/02).
Menurut Fakhrudin, upaya banjir di Sumedang dan Garut bisa ditanggulangi dengan
mengedepankan aspek lingkungan dalam pembangunan kota.
Artinya, kawasan dengan zona resapan tinggi, idealnya dilindungi dan tidak dibangun
beton atau pemukiman yang menyulitkan proses infiltrasi air.
Hal serupa juga menjadi sorotan di Manado. Menurut Victoria, pemerintah perlu
membereskan daerah sempadan sungai di pemukiman dan membiarkan ruang terbuka
hijau sebagai area resapan air. Relokasi warga bantaran sungai pun diperlukan.
Untuk mengatasi daerah pinggir pantai, menurutnya, perlu ditanam tumbuhan yang
mampu menghambat laju air pasang atau gelombang tinggi.
BMKG: Perubahan iklim 'nyata'
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam konferensi pers secara daring pada Minggu
(31/01) menyebut bahwa perubahan iklim adalah "nyata" dan berdampak pada
peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian ekstrem, baik berupa kejadian cuaca
atau hujan ekstrem, iklim ekstrem, ataupun kejadian anomali global seperti La Nina dan
El Nino.
"Perkembangan musim hujan saat ini tidak lepas dari pengaruh dampak perubahan
iklim global, juga pengaruh kondisi iklim regional dan kondisi iklim atau cuaca
setempat," kata Dwikorita.
Herizal, Deputi Klimatologi BMKG, menambahkan BMKG mencatat perubahan iklim
jangka panjang telah terjadi di Indonesia.
"Analisis perubahan suhu udara rata-rata untuk seluruh wilayah Indonesia selama 71
tahun terakhir (1948 - 2019) menunjukan laju peningkatan suhu sebesar 0,030 derajat
Celcius per tahun," jelas Herizal.
Berdasarkan data dari 91 stasiun pengamatan BMKG, suhu udara rata-rata tahun 2020
adalah 27,30 derajat Celcius, lebih panas dibanding normal suhu udara rata-rata
periode 1981-2010 yaitu 26,60 derajat Celcius.
Suhu tahun lalu merupakan tahun terpanas kedua di sepanjang sejarah, setelah tahun
2016 (anomali +0,80 derajat Celcius), mengungguli tahun 2019 (anomali +0,60 derajat
Celcius).
Kondisi ini mirip dengan perubahan suhu global sebagaimana dilaporkan World
Meteorological Organization (WMO) pada awal Desember 2020.
Faktor cuaca atau ulah manusia?
Merujuk sejumlah kejadian bencana hidrometeorologi yang terjadi hingga saat ini, faktor
cuaca menjadi yang menyebabkan terjadinya bencana adalah karena faktor
antropogenik, atau ulah manusia dalam bencana itu.
Faktor antropogenik itu, antara lain, deforestasi, perluasan kawasan niaga, pemukiman
yang semakin padat, berkurangnya zona resapan, dan pendangkalan daerah aliran
sungai (DAS).
Akan tetapi, pemerintah Indonesia berulang kali menggaungkan cuaca ekstrem sebagai
penyebab bencana hidrometeorologi baru-baru ini.
Seperti yang diutarakan Presiden Joko Widodo kala meninjau bencana banjir besar
yang terjadi di Kalimantan Selatan pada Senin (18/1).