Anda di halaman 1dari 29

Bencana beruntun di tengah cuaca

ekstrem, 'Menurut pemerintah itu


anomali cuaca, kami menyebutnya krisis
iklim'
 Ayomi Amindoni & Aghnia Adzkia
 BBC News Indonesia

11 Februari 2021

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO/SYAIFUL ARIF


Keterangan gambar,
Warga menaiki sampan darurat saat banjir menggenangi Dusun Manisrenggo, Desa
Gondangmanis, Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Jumat
(05/02).
Pakar menyebut tren bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor dan
banjir bandang yang terus meningkat tiap tahun disebabkan krisis iklim yang
diperparah ulah manusia. Strategi pemerintah Indonesia yang menitikberatkan
pada mitigasi, alih-alih menuntaskan akar masalah, dipertanyakan.
Sederet bencana alam yang melanda Indonesia di awal tahun 2021 telah merenggut
213 korban jiwa dan menyebabkan hampir dua juta orang mengungsi, 12 ribu luka-luka,
serta tujuh orang hilang.
Rangkaian bencana ini menambah daftar panjang bencana alam yang terjadi di
Indonesia, negara kepulauan yang dikelilingi oleh rangkaian gunung berapi.
Merujuk data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sejak awal tahun
2021 hingga Selasa (09/02), tercatat 386 bencana terjadi di Indonesia yang didominasi
oleh bencana banjir sebanyak 232 kejadian dan puting beliung serta tanah longsor
masing-masing 73 dan 62 kejadian.

 Pesisir Indonesia terancam tenggelam, puluhan juta jiwa akan terdampak


 Berkurangnya area hutan primer dan sekunder 'picu' banjir terbesar di
Kalimantan Selatan
 Kisah keluarga yang bertahan sendirian di tengah desa yang tenggelam

Adapun, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat sebagian


besar wilayah Indonesia, yaitu 94% dari 342 zona musim, saat ini telah memasuki
puncak musim hujan. Cuaca ekstrem diperkirakan akan terjadi hingga bulan Maret.
Dengan kondisi demikian, intensitas bencana hidrometeorologi - di antaranya banjir,
banjir bandang, angin puting beliung dan tanah longsor - sangat berpotensi terjadi.
Menilik ke belakang, periode 2010-2020 disebut sebagai 'dekade penuh bencana bagi
Indonesia,' yang puncaknya terjadi pada 2019, dengan jumlah hampir mencapai 4.000
kejadian bencana. Banjir masih mendominasi.
SUMBER GAMBAR,BBC
Otoritas Indonesia, termasuk Presiden Joko Widodo, menyebut curah hujan tinggi
menjadi penyebab bencana banjir dan longsor yang terjadi di sejumlah daerah di
Indonesia di awal tahun 2021.
Bencana ini termasuk banjir di Kalimantan Selatan; banjir dan longsor di Sumedang,
Jawa Barat; banjir dan tanah longsor di Manado, Sulawesi Selatan, banjir dan tanah
longsor di Paniai, Papua; dan yang terbaru banjir di Semarang yang melumpuhkan
bandara dan stasiun kereta, serta banjir di Pekalongan dan Jakarta.
Pernyataan pemerintah Indonesia tentang musabab banjir, menuai kritik dari publik dan
pakar yang mempertanyakan strategi pemerintah yang menitikberatkan pada mitigasi,
alih-alih menuntaskan akar masalah.
"Menurut pemerintah itu anomali cuaca, kami menyebutnya bahwa memang kita saat ini
krisis iklim," ujar koordinator kampanye Walhi Nasional, Edo Rakhman.
Lantas, apakah memang benar penyebab bencana alam di awal tahun di Indonesia
hanya disebabkan faktor tunggal cuaca ekstrem?

SUMBER GAMBAR,REZAS / AFP


Keterangan gambar,
BMKG memperkirakan cuaca ekstrem akan terjadi di Indonesia hingga Maret 2021.
Sejumlah kota di pesisir utara Jawa terendam banjir
Banjir merendam sejumlah kota di Pulau Jawa sejak Sabtu (06/02). Kebanyakan banjir
terjadi di kota-kota pesisir seperti Semarang, Pekalongan dan Jakarta.
Selain menggenangi rumah warga, banjir yang terjadi di Semarang pada Sabtu (06/02)
telah melumpuhkan sejumlah sarana transportasi publik, seperti bandara, stasiun dan
jalur pantura.
Bandara Internasional Ahmad Yani sempat ditutup sehari karena banjir menggenangi
landasan pacu. Banjir yang melanda Stasiun Tawang yang berada tak jauh dari Kota
lama, menggenangi peron, ruang tunggu penumpang hingga jalan raya menuju stasiun.
Akibatnya, perjalanan kereta dari dan menuju Stasiun Tawang dialihkan.
Ketika berkunjung ke lokasi banjir di Semarang, Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimujono, mengatakan banjir disebabkan oleh
"curah hujan ekstrem tiap 50 tahun" yang membuat Sungai Beringin Mangkang dan
Sungai Plumbon Kaligawe meluap.
"Berdasar data curah hujan, ini ekstrem seperti prediksi BMKG, [curah hujan] 171
milimeter. Menurut hitungan hidrologi, return period atau periode ulangnya 50 tahunan,"
kata Basuki di kawasan Kota Lama Semarang, Sabtu (07/02).
SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO/AJI STYAWAN
Keterangan gambar,
Karyawan menyelamatkan sejumlah barang dari kantor yang terendam banjir di Stasiun Tawang,
Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (06/02).
Pada saat bersamaan, ketinggian air air pasang mencapai 1,4 meter. Sedangkan dari
tiga pompa untuk memompa genangan air, hanya dua yang berfungsi.
BPBD Semarang mencatat setidaknya ada sepuluh kecamatan terdampak banjir di
Semarang, antara lain Genuk, Gayamsari, Semarang Barat, Candisari dan Tugu.
Menilik Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Semarang pada 2011-2031, terdapat
alih fungsi lahan pada dua zona rawan banjir.
Peta di bawah menunjukkan adanya perubahan dari ruang terbuka hijau menjadi
pemukiman padat penduduk di Kampung Nelayan Tambak Lorok, Kecamatan
Semarang Utara dan area pelabuhan.
Sementara, daerah berpotensi abrasi di Mangunharjo, Kecamatan Tugu yang
seharusnya menjadi sempadan pantai dan menghalau air pasang, justru menjadi
kawasan perikanan tambak, yang kemudian tersapu abrasi.
Selain melanda Semarang, banjir juga melanda kota-kota lain di Jawa Tengah, seperti
Kudus dan Pekalongan.
Adapun hingga Selasa (09/02) atau hari keempat setelah banjir menerjang sejumlah
wilayah di Pekalongan, ketinggian air belum kunjung surut. Lebih dari 3.500 warga
masih bertahan di sejumlah posko pengungsian.
Foto yang menampilkan air berwarna merah darah yang menggenangi Desa Jenggot di
Pekalongan sempat viral di dunia maya. 'Banjir merah darah' itu berasal dari pewarna
batik yang digunakan produsen batik setempat.

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO/HARVIYAN PERDANA


Keterangan gambar,
Seorang anak kecil bermain di jalan perkampungan yang tergenang banjir berwarna merah di
Jenggot, Pekalongan, Jawa Tengah, Sabtu (06/02)
Heri Andreas, pakar geodesi ITB yang meneliti penurunan muka tanah di pantai utara
Jawa, menganggap banjir yang melanda sejumlah titik di pesisir utara Jawa juga
dipengaruhi oleh penurunan muka tanah (land subsidence).
Land subsidence yang terus terjadi di Semarang dan Pekalongan, ia perkirakan akan
berdampak pada makin meluaskan daerah risiko banjir.
"Karena dengan tanahnya turun itu otomatis drainase akan berdampak luar biasa, jadi
aliran air itu jadi kacau balau," kata dia.
"Drainase di Pekalongan yang harusnya ngalir ke laut, balik ngalir ke darat. Yang
harusnya ngalir, diem tidak mengalir. Itu ditemukan di Pekalongan, Semarang, Jakarta.
Bahkan di Pantura Jabar seperti di Pamanukan, Karawang."
Merujuk dari pemodelan yang dilakukan timnya, ia memastikan penurunan muka tanah
di Jakarta menyebabkan luasan daerah rawan banjir meluas tiga kali lipat.
Keterangan video,
Pesisir Indonesia terancam tenggelam
'Saya punya rumah sudah hancur'
Hujan deras yang mengguyur Kampung Uwibutu di Paniai, Papua pada Selasa (19/01)
malam menyebabkan banjir bandang yang disertai longsor yang mengakibatkan
setidaknya ratusan rumah - termasuk kediaman Bupati Paniai - diterjang banjir. Sebuah
sekolah tertimbun longsor dan pipa air bersih untuk warga terputus.
Salah satu rumah warga yang luluh lantak diterjang banjir adalah milik Bertha Madai.
Selain kehilangan rumah, kebun sayur miliknya juga hanyut terbawa air dan lumpur.
"Saya punya rumah sudah hancur, semua tanaman seperti kedelai, ubi, tebu, sayuran,
kacang tanah, buncis di kebun saya sudah hancur," tutur Bertha.
SUMBER GAMBAR,YAMOYE ABETH
Keterangan gambar,
Bertha Madai, salah satu korban terdampak banjir bandang saat diwawancarai di kebunnya yang
luluh lantak diterjang banjir bandang
Merujuk pantauan Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BBMKG)
Wilayah V Jayapura, terjadi curah hujan hingga 30 mm selama satu jam, pada Selasa
(19/01) malam. Cuaca ini tidak tergolong ekstrem.
"Kalau di Pegunungan Tengah, (curah hujan) 30 mm itu tidak termasuk cuaca ekstrem.
Memang di sana penduduknya tidak sepadat di Jayapura, bisa terjadi banjir bandang
karena faktor tanah tidak mampu meresap air hujan yang turun," ujar prakirawan cuaca
BBMKG Wilayah V Jayapura, Finnyalia Napitupulu.
Sekretaris BPBD Paniai, Simon Tenouye, mengatakan banjir dan longsor menjadi
"bencana langganan" yang berpotensi terjadi di Paniai. Dalam setahun, kata dia, terjadi
dua hingga tiga kali banjir dan tanah longsor di Paniai.
Menurut data BNPB, dalam sepuluh tahun terakhir, terjadi sepuluh kali bencana banjir
dan longsor di Paniai. Sebelumnya, pada 7 Juli 2020, terjadi tanah longsor di Kampung
Dupia, Paniai Timur yang dipicu hujan deras.
"Pantauan kami longsor yang terjadi di Kampung Uwibutu karena lereng gunung atau
bukit yang curam. Kemudian tanah di atas itu labil, akhirnya tidak kuat, kemudian
pepohonan di atas tidak mampu menahan hujan yang turun selama beberapa hari
terakhir," jelas Simon.
"Jadi hutannya tidak mampu menyerap air hujan, hutannya itu tidak ada kayu (pohon),"
lanjutnya.

SUMBER GAMBAR,YAMOYE ABETH


Keterangan gambar,
Menurut data BNPB, dalam 10 tahun terakhir, terjadi 10 kali bencana banjir dan longsor di
Paniai.
Minimnya daerah resapan air dan sampah yang menumpuk di saluran drainase, juga
disebut sebagai faktor pendukung penyebab banjir dan longsor di Paniai.
Ditinjau dari RTRW Papua pada 2013, area terdampak banjir adalah perbatasan dari
kawasan pemukiman dan kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK).
Berdasar data Kementerian ESDM, di kawasan HPK itu sempat terjadi pergeseran
tanah. Secara umum lokasi gerakan tanah ini merupakan daerah perbukitan,
pegunungan yang memiliki kemiringan lereng curam, sekitar 16º - 35º, dan sangat
curam, antara 35º - 55º.
Menurut riset UGM, ada alih fungsi lahan di Paniai dari pertanian menjadi pemukiman di
Desa Madi dan sekitarnya, di Paniai Timur.

Risiko bencana akibat alih fungsi lahan ini disadari oleh BPBD Paniai, yang kemudian
menempuh langkah-langkah mitigasi untuk meminimalisir bencana di masa mendatang.
Antara lain, kata Simon, mendesak pemerintah daerah melakukan reboisasi atau
menghutankan kembali daerah lereng, normalisasi Sungai Tuniyai dan menertibkan
sampah yang selama ini dibuang di bukit sepanjang jalan trans yang menghubungkan
beberapa kabupaten.
Pascabencana, Bupati Paniai Meki Nawipa mengatakan pihaknya telah mulai
melakukan normalisasi sungai untuk mengantisipasi gelombang banjir bandang
susulan.
Ia juga mengimbau warga agar tak lagi melakukan penebangan pohon di gunung atau
kawasan penyangga air, demi mencegah terjadinya bencana longsor dan banjir.
SUMBER GAMBAR,YAMOYE ABETH
Keterangan gambar,
Merujuk pada peta risiko bencana, Paniai memiliki sembilan wilayah yang memiliki risiko banjir
kategori sedang hingga tinggi.
Bencana beruntun di Manado
Dua hari sebelum banjir dan longsor menerjang Paniai, banjir rob melanda pesisir
Manado, Sulawesi Utara pada Minggu (17/01).
Air pasang disertai gelombang setinggi sekitar empat meter meluluhlantakkan kampung
nelayan di sekitar kawasan niaga Megamas, di Wenang, Manado. Sebanyak delapan
perahu nelayan hancur diterjang ombak, dua belas lainnya rusak ringan.
Salah satu nelayan, Sony Bro mengaku tak menyangka badai dan air pasang
menyebabkan kerusakan sedemikian parah.
"Pada saat kejadian sebenarnya kita orang tidak begitu perhatikan karena kita pikir kita
aman, tapi ternyata ombaknya lebih besar dari dermaga, membuat perahu-perahu kita
naik ke atas. Dampaknya ada perahu-perahu yang hancur," ujar Sony, yang juga Ketua
kelompok nelayan Firdaus'.
SUMBER GAMBAR,ANTARAFOTO
Keterangan gambar,
Seorang nelayan memeriksa perahunya yang rusak terhempas ombak di pesisir pantai di
Manado, Sulawesi Utara, Senin (18/01).
Merujuk data BMKG, tinggi gelombang pada saat itu adalah 2,5 meter hingga 4 meter.
Angka ini melebihi rata-rata harian setinggi 1,7-2 meter, menurut permodelan yang
dilakukan Universitas Sam Ratulangi.
Adapun air pasang maksimum harian juga mencapai puncaknya 170-190 cm di atas
permukaan laut pada Senin (17/01) pukul 20.00 WITA hingga 21.00 WITA.
Merujuk data RTRW Manado pada 2014-2034, daerah sempadan pantai yang
seharusnya menjadi kawasan resapan air di Kawasan Megamas - yang memiliki risiko
banjir tinggi - kini justru menjadi kawasan hotel dan perdagangan. Kawasan itu
merupakan sebagian dari lahan reklamasi Teluk Manado.
Penelitian Universitas Sam Ratulangi menunjukkan alih fungsi lahan di Kecamatan
Wenang, lokasi Megamas, berdampak pada kemampuan resapan air. Wenang adalah
kawasan resapan air tinggi yang mampu menyerap air hujan ekstrem.
Analisis ini dilihat dari tekstur tanah, curah hujan dan kelerengan. Namun, perlu dicatat,
sejak sebelum Kota Manado terbentuk, kawasan tersebut telah menjadi pusat niaga.
Kondisi ini diperparah dengan semakin banyaknya pemukiman dan pusat kegiatan kota,
menurut Kepala Laboratorium Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Sam
Ratulangi, Veronica Kumurur.
"Kondisi saat ini di Wenang, genangan air semakin banyak akibat pemukiman padat
dan ruang terbuka hijau kurang, hampir tidak ada. Ada tambah lagi lahan urugan dan
timbunan pantai," kata Veronica.

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO/ADWIT B PRAMONO


Keterangan gambar,
Warga membersihkan rumahnya dari endapan lumpur pascabanjir di Kelurahan Ternate Tanjung,
Manado, Sulawesi Utara, Minggu (17/01)
Setelah reklamasi, kata Sony, para nelayan harus menghadapi ancaman bencana
ganda, yakni air pasang dan banjir akibat buruknya drainase dan berkurangnya daerah
resapan air.
"Dulu ketika tidak ada reklamasi, kita tidak pernah terjadi banjir di kampung. Tapi
setelah ada reklamasi pantai, terjadilah banjir yang selama ini tidak pernah terpikirkan
bahwa kita akan kena banjir, dan seluruh kampung waktu hujan kemarin kena dampak
banjir. Tapi bukan air laut, air hujan," tutur Sony.
Selain banjir rob, curah hujan yang tinggi telah menyebabkan banjir di sejumlah
pemukiman padat penduduk, memakan korban jiwa setidaknya enam orang dan 500
orang terpaksa mengungsi.
Akibat cuaca ekstrem yang terus berlangsung, banjir kembali menerjang Manado pada
Jumat (22/01) merendam kawasan yang berdekatan dengan bantaran Sungai
Sawangan dan Tondano. Tiga orang dikabarkan tewas dan satu orang dinyatakan
hilang.

 Pandemi Covid-19 menghasilkan rekor penurunan tingkat emisi pada 2020


 Suhu September 2020 adalah 'yang terhangat dalam catatan' di seluruh dunia
 Bangladesh, negara yang beradaptasi dan hidup bersama banjir

Sungai Sawangan dan Tondano termasuk dalam lima sungai besar di Manado yang
berpotensi meluap saat hujan lebat terjadi.
Dari analisis citra satelit dibandingkan dengan RTRW Manado, kawasan sempadan dari
hulu Sungai Tondano hingga ke Sungai Tikala yang seharusnya ditanami pepohonan
atau dibiarkan menjadi lahan terbuka hingga tiga meter dari batas luar sungai, justru
menjadi pemukiman.
Alhasil, resapan air berkurang. Apabila ada hujan ekstrem maka air sungai meluap dan
tidak dapat dihalau oleh daerah sempadan.
Peta di bawah menunjukkan sebagian potret pemukiman di sempadan sungai di
sebelah timur Kantor Wali Kota Manado, di Kecamatan Tikala.
Kondisi ini diperburuk dengan sistem drainase yang tidak lagi mampu menampung
debit air hujan dan alih fungsi lahan di kawasan hutan Manado, menurut Veronica.
"Ketika lahan di atas (daerah bukit dan hutan) berubah (menjadi pemukiman atau
kawasan resapan air rendah), air (sungai) berkurang ketika kemarau. Tapi kalau musim
hujan, ketika lahan hutan jadi pemukiman, maka airnya tidak tertampung dan masuk ke
sungai, sungai akan meluap. Apalagi yang terbawa sedimen, mendangkal sungai dan
menggenangi air sekitarnya," jelas Veronica.
Air sungai tak hanya meluap di Kecamatan Tikala, tapi mengalir ke daerah lainnya,
termasuk Wanea yang menjadi area terdampak parah banjir bandang. Wanea adalah
kawasan padat penduduk yang berjarak sekitar 4 km dari kawasan bisnis Megamas.
Warga Tanjung Batu di Wanea, Decky Rumayar mengatakan "air sangat kencang"
ketika banjir bandang menerjang rumahnya.
"Akhirnya kita lari, timbang mau cedera atau kita mau tenggelam. Kita lari.. Arus
kencang sekali ini," ujar Decky.
SUMBER GAMBAR,DONNY MAYKEL ARAY
Keterangan gambar,
Warga Tanjung Batu di Wanea, Decky Rumayar mengatakan "air sangat kencang" ketika banjir
bandang menerjang rumahnya.
Semua barang di rumahnya hanyut terbawa banjir, ia dan keluarganya terpaksa
mengungsi di lokasi yang lebih aman.
Warga yang lain, Leidy Roring, menuturkan tak menyangka air naik dengan sangat
cepat.
"Tiba-tiba air ini, kitorang tak sangka air ini naik, tinggi hampir tiga meter," ujar Leidy
Sebagian rumah Leidy yang berada di bibir sungai Tondano, hancur diterjang ombak.
Leidy menyadari bahwa rumahnya berlokasi di kawasan rawan banjir, namun ia
berkukuh untuk bertahan.
"Karena tempat [mata] pencaharian di Tanjung Batu, plus ini kan tengah-tengah kota
tempat pencaharian kita di sini," kilah Leidy.
Setiap puncak musim hujan datang dengan curah hujan tinggi, rumah Leidy selalu
menjadi langganan banjir.
SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO/ADWIT B PRAMONO
Keterangan gambar,
Warga beristirahat sejenak usai membersihkan halaman rumahnya yang terdampak banjir di
Kelurahan Perkamil, Manado, Sulawesi Utara, Selasa (21/01).
Namun bagi Leidy, banjir kali ini adalah banjir terparah, bahkan dibandingkan banjir
bandang pada 2014 yang menewaskan setidaknya 18 orang dan lebih dari 1.000 rumah
rusak.
"Kalau lebih parah, [tahun] ini. Cuman pece-pece (lumpur) ini tak sebanding dengan dulu,
karena jembatan su bagus, air [setinggi] 3 meter. Waktu jembatan
belum dibeking (dibuat), air itu [setinggi] 4 meter, cuma beda sedikit. Parah besar ini,"
ungkap Leidy.
Menurut pantauan BMKG Sulawesi Utara, puncak musim hujan di provinsi itu memang
terjadi pada Januari, sehingga curah hujan lebih ekstrem terjadi.
SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO/ADWIT B PRAMONO
Keterangan gambar,
Warga menerobos banjir di salah satu ruas jalan di Kota Manado, Sulawesi Utara, Jumat (22/01).
Faktor lain yang berperan adalah fenomena La Nina dan fenomena atmosfer lain,
seperti konvergensi udara dan perlambatan massa udara yang mengakibatkan awan
Cumulonimbus, atau awan hujan, lebih sering terbentuk.
Meski demikian, "Untuk tahun ini, ada (wilayah dengan) kondisi curah hujan sedang tapi
wilayah di Manado tergenang air. Menurut pandangan kami, curah hujan normal namun
daya dukung lingkungan sudah jenuh," menurut Ben Arther Molle, Prakirawan Cuaca
BMKG Sulawesi Utara.
"Pada Januari ini sudah sering terjadi hujan, itu membuat tanah jenuh meresap air."
Beragam bencana di Sumedang dan Garut
Pada awal Februari, Sumedang di Jawa Barat harus kembali menghadapi bencana,
setelah pada bulan lalu menghadapi bencana tanah longsor.
Kali ini, banjir, pergerakan tanah dan tanah longsor terjadi di sejumlah wilayah
Sumedang, pada Minggu (07/02) sore hingga malam.
Tingginya intensitas hujan yang terjadi sejak Sabtu (06/02) sore hingga Minggu malam
dituding menjadi penyebab berbagai bencana, yang salah satu akibatnya meluapkan
sejumlah anak Sungai Cimanuk.
Menurut riset Pusat Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dirilis
pada 2015, perubahan resapan air terjadi di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Cimanuk di bagian hulu, terutama di Daerah Tangkapan Air Waduk Jatigede.

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI


Keterangan gambar,
Foto udara bencana tanah longsor di Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Selasa
(12/01).
Dua kecamatan terdampak banjir akhir pekan lalu, Kecamatan Tomo dan Kecamatan
Ujung Jaya di Sumedang, berjarak sekitar 20-40 km dari pusat Waduk Jatigede.
Sebanyak 80% kawasan waduk berada di Kab. Garut sementara 19% berada di
Kabupaten Sumedang. Kondisi daerah tangkapan air di sekitar waduk menjadi salah
satu faktor banjir kerap terjadi di dua kabupaten tersebut.
Berdasarkan analisis citra satelit dan pola ruang yang dilakukan tim LIPI, di sejumlah
kawasan di sekitar Waduk Jatigede dengan kemampuan resapan air tinggi, justru
dibuat pemukiman.
Di kawasan hulu Sungai Cimanuk, menurut pantauan Kepala Pusat Limnologi LIPI, M
Fakhrudin, mulai banyak dibangun villa-villa untuk wisata.
"Itu lah yang kami khawatirkan kalau tidak dikendalikan nasibnya sama dengan Puncak,
Bogor."

 Longsor Sukabumi: Daerah rawan bencana dalam sembilan tahun terakhir


 Bencana longsor: 'Tidak ada alasan pemda dan masyarakat tidak tahu daerah
rawan longsor'
 Banjir Kalsel: Bagaimana nasib warga Dayak Meratus yang desanya tak bisa
diakses?

"Dampaknya, ketika hujan maka air yang meresap ke tanah relatif berkurang dan yang
mengalir ke permukaan dan menyebabkan potensi banjir meningkat."
Alih fungsi lahan lainnya di daerah hulu Sungai Cimanuk yakni perubahan dari kawasan
hutan menjadi pertanian semusim untuk sayur yang pengolahannya tidak mengikuti
kaidah konservasi.
"Begitu hujan sedikit, erosi tinggi, tanah yang terangkut aliran hujan tinggi sekali. Hasil
erosi sampai ke Waduk Jatigede. Akhirnya Waduk Jatigede sedimentasinya tinggi,"
menurut Fakhrudin.
"Kedua, di bekas yang erosi, lama-lama lapisan tanah makin tipis, tidak subur, ini lama-
lama tanamannya tidak bisa tumbuh dengan bagus. Sehingga, airnya tidak meresap ke
tanah. Padahal di situ curah hujan tinggi. Seharusnya itu fungsi resapan air sangat
bagus."
SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO/CANDRA YANUARSYAH
Keterangan gambar,
Warga membersihkan rumah yang terdampak banjir di Desa Dangiang, Banjarwangi, Kabupaten
Garut, Jawa Barat, Selasa (09/02).
Menurut Fakhrudin, upaya banjir di Sumedang dan Garut bisa ditanggulangi dengan
mengedepankan aspek lingkungan dalam pembangunan kota.
Artinya, kawasan dengan zona resapan tinggi, idealnya dilindungi dan tidak dibangun
beton atau pemukiman yang menyulitkan proses infiltrasi air.
Hal serupa juga menjadi sorotan di Manado. Menurut Victoria, pemerintah perlu
membereskan daerah sempadan sungai di pemukiman dan membiarkan ruang terbuka
hijau sebagai area resapan air. Relokasi warga bantaran sungai pun diperlukan.
Untuk mengatasi daerah pinggir pantai, menurutnya, perlu ditanam tumbuhan yang
mampu menghambat laju air pasang atau gelombang tinggi.
BMKG: Perubahan iklim 'nyata'
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam konferensi pers secara daring pada Minggu
(31/01) menyebut bahwa perubahan iklim adalah "nyata" dan berdampak pada
peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian ekstrem, baik berupa kejadian cuaca
atau hujan ekstrem, iklim ekstrem, ataupun kejadian anomali global seperti La Nina dan
El Nino.
"Perkembangan musim hujan saat ini tidak lepas dari pengaruh dampak perubahan
iklim global, juga pengaruh kondisi iklim regional dan kondisi iklim atau cuaca
setempat," kata Dwikorita.
Herizal, Deputi Klimatologi BMKG, menambahkan BMKG mencatat perubahan iklim
jangka panjang telah terjadi di Indonesia.
"Analisis perubahan suhu udara rata-rata untuk seluruh wilayah Indonesia selama 71
tahun terakhir (1948 - 2019) menunjukan laju peningkatan suhu sebesar 0,030 derajat
Celcius per tahun," jelas Herizal.
Berdasarkan data dari 91 stasiun pengamatan BMKG, suhu udara rata-rata tahun 2020
adalah 27,30 derajat Celcius, lebih panas dibanding normal suhu udara rata-rata
periode 1981-2010 yaitu 26,60 derajat Celcius.
Suhu tahun lalu merupakan tahun terpanas kedua di sepanjang sejarah, setelah tahun
2016 (anomali +0,80 derajat Celcius), mengungguli tahun 2019 (anomali +0,60 derajat
Celcius).
Kondisi ini mirip dengan perubahan suhu global sebagaimana dilaporkan World
Meteorological Organization (WMO) pada awal Desember 2020.
Faktor cuaca atau ulah manusia?
Merujuk sejumlah kejadian bencana hidrometeorologi yang terjadi hingga saat ini, faktor
cuaca menjadi yang menyebabkan terjadinya bencana adalah karena faktor
antropogenik, atau ulah manusia dalam bencana itu.
Faktor antropogenik itu, antara lain, deforestasi, perluasan kawasan niaga, pemukiman
yang semakin padat, berkurangnya zona resapan, dan pendangkalan daerah aliran
sungai (DAS).
Akan tetapi, pemerintah Indonesia berulang kali menggaungkan cuaca ekstrem sebagai
penyebab bencana hidrometeorologi baru-baru ini.
Seperti yang diutarakan Presiden Joko Widodo kala meninjau bencana banjir besar
yang terjadi di Kalimantan Selatan pada Senin (18/1).

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO/BAYU PRATAMA S


Keterangan gambar,
Warga menggendong anaknya berada di dekat puing-puing rumah dan batang pohon yang
terbawa arus akibat banjir bandang di Desa Arangani, Kabupaten Hulu Sungai Tengah,
Kalimantan Selatan, Jumat (22/01).
Ia mengatakan banjir yang terjadi karena "curah hujan yang tinggi selama 10 hari
berturut-turut".
Akibatnya, Sungai Barito yang memiliki daya tampung hingga 230 juta meter kubik ini
tak mampu menahan derasnya luapan air," kata Jokowi.
Namun, klaim Jokowi dikritik oleh pegiat lingkungan, yang menyebut tren meningkatnya
bencana banjir dalam beberapa tahun terakhir, berbanding lurus dengan tren
deforestasi hutan.
"Jangan kemudian mendudukan penyebab tunggal dari curah hujan itu," ujar
Koordinator Kampanye Walhi Nasional, Edo Rakhman.
"Kami melihatnya curah hujan yang tinggi atau versi pemerintah itu anomali cuaca, kami
menyebutnya bahwa memang kita saat ini krisis iklim. Itu adalah dampak dari
perubahan iklim. Jadi kalau kita bicara perubahan iklim tak lepas juga dari ulah
manusia," jelas Edo kemudian.
Ia menambahkan, merunut data tren bencana, terutama bencana hidrometeorologi,
terus meningkat intensitasnya dari tahun ke tahun.
Dengan kondisi itu, ia menganggap bahwa Indonesia saat ini adalah "negara rawan
bencana".
"Kalau kita bicara soal banjir atau tanah longsor, itu tidak boleh kita abaikan bahwa ada
faktor lain yang mempengaruhi, selain misalnya kondisi perubahan iklim saat ini."
"Artinya kita harus mengecek seberapa kuat saat ini daya dukung ekosistem yang ada
di Indonesia saat itu, entah itu kawasan hutan, ekosistem gambut atau daerah aliran
sungai karena lagi-lagi itu tidak boleh diabaikan bahwa itu besar pengaruhnya, besar
kaitannya dengan bencana hidrometeorologi yang ada saat ini," kata dia.

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO/RAHMAD


Keterangan gambar,
Kondisi salah satu sisi hutan yang mengalami penebangan di kawasan Gunung Sala, Aceh Utara,
Aceh, Sabtu (06/02)
Senada, pakar geodesi ITB Heri Andreas menegaskan cuaca bukanlah faktor tunggal
penyebab bencana hidrometeorologi yang terus meningkat di Indonesia.
"Faktor cuaca is given, bukan suatu hal yang bisa disalahkan. Tidak ada hak kita untuk
menyalahkan faktor cuaca. Tetapi salahkanlah ketidakmampuan kita dalam
mempersiapkan. Terlebih cuaca menjadi sudah menjadi faktor yang besar, ditambah
kita mengurangi infiltrasi lahan karena konversi, akhirnya [faktor yang yang berperan
adalah] mampu tidaknya kita mempersiapkan wadah tersebut." jelas Heri.
"Yang harus disalahkan adalah ketidakmampuan kita dalam menyiapkan daya
tampung. Terlebih kita sudah merusak infiltrasi."
Infiltrasi merupakan proses masuknya air ke dalam tanah. Heri menjelaskan hutan
memiliki daya infiltrasi 80%, sementara non-hutan hanya 20%. Maraknya konversi
hutan, membuat daya infiltrasi suatu kawasan jauh berkurang.
"Dan itu sangat jelas dicirikan dengan banjir bandang, karena infiltrasinya sudah sangat
kecil," jelas Heri.

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO/BAYU PRATAMA S


Keterangan gambar,
Warga menggunakan sepeda melintas di dekat puing-puing rumah akibat banjir bandang di Desa
Waki, Kecamatan Batu Benawa,Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Rabu
(20/01)
'Hanya fokus pada tanggap bencana, tanpa
mengantisipasi'
Dengan teknologi yang dimiliki dan pemahaman tentang siklus cuaca, Heri
menganggap semestinya Indonesia telah "mempersiapkan diri" untuk mengantisipasi
bencana ke depan.
"Misalnya, Bandung di tahun 1986 ada banjir 100 tahunan dan itu luar biasa. Kita sudah
tahu, tinggal kita mau menyikapi nggak banjir yang 100 tahunan ini yang luar biasa. Tapi
pemerintah belum [menyikapi]," kata dia.
Edo dari Walhi Nasional menambahkan pemerintah Indonesia semestinya
melandaskan krisis iklim dalam menentukan kebijakan.
Sayangnya, menurut Edo, hal itu masih luput dari perhatian pemerintah. Alih-alih, justru
memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan investasi tanpa memprioritaskan kebijakan
adaptasi dan mitigasi bencana.

SUMBER GAMBAR,NTARA FOTO/ANTARA FOTO/YULIUS SATRIA WIJAY


Keterangan gambar,
BPBD Bogor menyatakan 474 warga berhasil dievakuasi dari bencana banjir bandang di Desa
Tugu Selatan, dan dalam peristiwa tersebut tidak terdapat korban jiwa
"Undang-Undang Penanggulangan Bencana sedang direvisi di DPR, ini momen
pemerintah untuk mendudukkan perhatian lebih besar pada bencana untuk kemudian
memprioritaskan bagaimana kebijakan yang relevan dengan konteks adaptasi dan
mitigasi bencana," jelas Edo.
"Jangan pekerjaan hari ini pemerintah Indonesia, kalau kita bicara BNPB misalnya,
hanya fokus ke tanggap bencana, tidak memikirkan bagaimana mengantisipasi itu,"
tambahnya.
Namun, tudingan ini ditepis oleh Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko, yang
mengklaim pemerintah sudah melakukan antisipasi dan mitigasi bencana "dengan
sebaik-baiknya".
Ia menegaskan pemerintah sudah membentuk Perpres No.87 Tahun 2020 pada 11
September 2020 tentang rencana induk penanggulangan bencana 2020 - 2044.
Rencana Induk itu memuat enam tahapan jangka waktu per lima tahunan, yang di
dalamnya memuat antara lain: pengenalan dan pengkajian bencana, pemahaman
tentang kerentanan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai