Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2021


UNIVERSITAS HALU OLEO

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA PNEUMOMEDIASTINUM

Oleh :
Nurmawadha Safaad, S.Ked
K1B1 20 048

Pembimbing :
dr. Tety Yuniarti Sudiro, Sp. PD, FINASIM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Nurmawadha Safaad, S.Ked

NIM : K1B1 20 048

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Referat : Diagnosis Dan Tatalaksana Pneumomediastinum


Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepanitraan klinik pada Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Februari 2021


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Tety Yuniarti Sudiro, Sp. PD, FINASIM


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pneumomediastinum atau disebut juga emfisema mediastinum, didefinisikan

sebagai adanya udara atau gas bebas yang diketemukan pada struktur mediastinum.

Istilah pneumomediastinum pertama kali dikemukakan oleh Laennec pada tahun

1819, yang menurutnya akibat beberapa faktor predisposisi dari jejas traumatik.

Kasus pneumomediastinum spontan pertamakali dilaporkan pada tahun 1939 oleh

Louis Hamman, dengan tanda patognomonik yang kemudian diberi nama

Hamman’s sign.1

Pneumomediastinum didiagnosis di 1 / 100.000 kelahiran, frekuensi pada anak-

anak banyak terjadi sekitar 1 / 800 -1 / 15.500 kasus atau 1 / 44.500 kejadian.

Insiden pada usia 5-34 tahun sekitar 1 / 25.000 dan 76% kasus adalah laki-laki.

Pneumomediastinum dapat disebabkan secara spontan atau secara traumatis.

Pneumomediastinum spontan adalah adanya udara masuk ke dalam mediastinum

tanpa faktor penyebab yang jelas seperti operasi, adanya infeksi, trauma, atau udara

setelah perforasi. Ketika faktor penyebab diidentifikasi, kondisi ini dikenal sebagai

sekunder pneumomediastinum, biasanya termasuk faktor asma, Penyakit Paru

Obstruktif Kronis (PPOK), penyakit paru interstitial, bronkiektasis, kista paru-paru

atau paru-paru keganasan, trauma dan muntah berlebihan.2


Mortalitas dan morbiditas terkait dengan pneumomediastinum umumnya

disebabkan keadaan penyakit yang mendasarinya. Pneumomediastinum biasanya

merupakan kondisi terbatas yang jarang menghasilkan gejala signifikan atau

mengancam jiwa, dan tidak akan menyebabkan kematian. Namun angka mortalitas

yang ada hubungannya dengan pneumomediastinum ini bisa meningkat, bahkan

sangat tinggi sampai 50-70% didapati pada sindroma Boerhaave (ruptur esophageal

pasca muntah).3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Pneumomediastinum adalah istilah yang mendefinisikan adanya udara di

mediastinum. Ini juga telah digambarkan sebagai emfisema mediastinum.4

B. ANATOMI
C. EPIDEMIOLOGI

Penelitian oleh Stack (1996) tentang pneumomediastinum yang terjadi pada

penderita asma, pasien laki-laki lebih mendominasi prevalensi

pneumomediastinum. Penelitian Damore (1991) melaporkan ada 29 kasus

pneumomediastinum yang berlangsung selama periode 10 tahun yang tidak

berhubungan dengan trauma, intubasi atau prosedur bedah, melaporkan bahwa 69%

dari pasien ini adalah laki-laki. Pneumomediastinum oleh sebab traumatik lebih

banyak terjadi pada laki-laki, hal ini mencerminkan kecenderungan aktivitas akan

meningkatkan resiko terjadinya barotrauma, seperti menyelam atau sering

melakukan pekerjaan yang menahan nafas (misalnya aktivitas atletik atau angkat

berat). Keadaan tersebut dapat menyebabkan pneumomediastinum. Pasien dengan

pneumomediastinum yang disebabkan karena ruptur alveolar yang terjadi secara

spontan, biasanya ditemukan pada pasien usia muda dan mempunyai riwayat asma,

batuk berat atau muntah-muntah.5

D. ETIOLOGI

Para ahli umumnya menyebutkan bahwa pneumomediastinum dapat disebabkan

oleh pneumomediastinum spontan (terjadi sebagai akibat penyakit sekunder atau

proses lainnya) dan dapat juga disebabkan oleh akibat sekunder dari traumathorax,

endobronkhial atau esophageal, ventilasi mekanis atau bedah thoraxatau berbagai

macam prosedur invasif lainnya. Secara umum terdapat 3 penyebab terjadinya

pneumomediastinum, yakni:
Udara memasuki ruang mediastinum dapat berasal dari intrathoracic dan

extrathoracic. Penyebabnya bisa akibat ruptur alveoli dengan diseksi udara ke

dalam mediastinum, dari laserasi tracheobronchial-tree, dari saluran pencernaan

(utamanya esofagus), atau dari perluasan udara ekstraluminal ke thoracal dari

daerah leher, retroperitoneum, atau dinding thorax.

Penyebab pneumomediastinum berdasarkan sumbernya yaitu :

E. FAKTOR RISIKO
Penyakit paru obstruktif (misalnya asma, bronkiolitis, aspirasi benda asing

dan displasia bronkopulmonal) merupakan faktor risiko, terutama pada pasien

diintubasi dan diberikan ventilasi mekanik. Riwayat asma bahkan dilaporkan

sebagai faktor pencetus pneumomediastinum yang mencapai hingga 50 % kasus

pada suatu penelitian.8,18

Dalam proporsi yang lebih kecil, pneumomediastinum bisa disebabkan oleh

cedera tracheobronchial dan perforasi esophagus. Terjadinya biasa akibat trauma,

iatrogenik, atau berlangsung spontan. Udara yang masuk ke mediastinum bisa

berasal dari kepala atau leher (misalnya dari maxilla facial injury, cedera laring,

atau perlakuan trakeostomi) dari retroperitoneum (misalnya, dari divertikulum yang

perforasi atau ulkus duodenum), atau dari dinding thorax (misalnya dari emfisema

subkutan yang terjadi di sekitar drain-thoracostomy). Rezende-Neto et al yang

dikutip Carolan (2012) melaporkan kasus pneumomediastinum yang terjadi pada

sekitar 6% dari semua pasien trauma dengan cedera thorax tumpul. Beberapa

penelitian juga melaporkan kasus pneumomediastinum yang terjadi dalam

hubungannya dengan kejang-kejang, ekstraksi gigi, dan dermatomiositis.8,18

F. PATOGENESIS
Ruptur alveolar yang merupakan penyebab pneumomediastinum yang paling

sering, dapat terjadi oleh adanya tekanan intraalveolar yang tinggi atau kerusakan

pada dinding alveolar. Diawali oleh kelainan yang mengarah ke emphysema paru

interstitial, udara kemudian meluas ke sentral di sepanjang bronchovascular-

interstitial-sheath masuk ke mediastinum. Mekanisme migrasi udara dari alveoli

yang ruptur ke mediastinum ini pertama kali dikemukakan oleh Macklin dan

Macklin (1939) berdasarkan percobaan pada binatang, dan telah dikonfirmasi

peneliti lain bahkan dengan menggunakan teknik imaging (CT-Scan). Macklin

menyatakan bahwa dengan perbedaan tekanan antara alveolus dan interstitium atau

penurunan tekanan interstitial perivaskular yang berlangsung cepat, atau karena

overdistensi, terjadi ruptur alveolus dan menyebabkan udara masuk ke selubung

fascia perivaskular dan peribronchial hingga ke hilus, kemudian bergerak menuju

mediastinum dan terakumulasi di dalamnya. Insuflasi lanjut dapat menyebabkan

meluasnya udara ke ruang retroperitoneum serta ke jaringan subkutan leher dan

axillar. 1,2,3,4,9,12

Penyebab tekanan alveolar yang tinggi termasuk obstruksi jalan napas (misalnya

pada penderita asma atau kemasukan benda asing ), pada ventilasi mekanis

(terutama dengan volume ventilasi besar atau dengantekanan akhir-ekspirasi yang

tinggi), trauma tumpul, emesis (Boerhaave’ syndrome), buang air besar, atau

manuver Valsava (misalnya selama partus),bahkan dikaitkan dengan kasus batuk

dalam penggunaan narkoba. Aktivitas atletik berat, menyelam, terbang, dan

persalinan juga menjadi faktor risiko potensial. Sadarangani et al melaporkan kasus


pneumomediastinum dipicuoleh aktivitas olahraga angkat berat. Juga terdapat

laporan kejadianbarotrauma saat melakukan tes fungsi paru (spirometri).2,8

Dalam proporsi yang lebih kecil, pneumomediastinum bisa disebabkan oleh

cedera tracheobronchial dan perforasi esophagus. Terjadinya biasa akibat trauma,

iatrogenik, atau berlangsung spontan. Udara yang masuk ke mediastinum bisa

berasal dari kepala atau leher (misalnya dari maxilla facial injury, cedera laring,

atau perlakuan trakeostomi) dari retroperitoneum (misalnya, dari divertikulum yang

perforasi atau ulkus duodenum), atau dari dinding thorax (misalnya dari emfisema

subkutan yang terjadi di sekitar drain-thoracostomy). Rezende-Neto et al yang

dikutip Carolan (2012) melaporkan kasus pneumomediastinum yang terjadi pada

sekitar 6% dari semua pasien trauma dengan cedera thorax tumpul. Beberapa

penelitian juga melaporkan kasus pneumomediastinum yang terjadi dalam

hubungannya dengan kejang-kejang, ekstraksi gigi, dan dermatomiositis.8,18

G. GEJALA KLINIS

Gejala klinis yang menyertai pneumomediastinum dapat bervariasi,mulai dari

tidak ada gejala sampai gejala yang berat. Beberapa gejaladiantaranya adalah :

1. Nyeri dada

Dinyatakan bahwa 50-90% pasien dengan kasusu pneumomediastinum

mengeluhkan adanya nyeri dada. Khasnya terdapat nyeri dada substernum

yang berat dengan atau tanpa penyebaran ke leher dan lengan, yang

diperberat dengan inspirasi, menyerupai gejala awal dariinfark miokard.

Okada et al (2014) yang dikutip Carolan (2012) melaporkan studi pada 20


pasien dengan pneumomediastinum berdasarkan CT-Scan thorax, keluhan

nyeri dada terjadi pada 75% pasien.

2. Dyspnea atau sesak nafas.

Dyspnea bisa mencerminkan penyakit terkait seperti asma, pneumothorax,

atau tension pneumomediastinum.

3. Demam

Demam ringan dapat timbul oleh pelepasan sitokin karena adanya

kebocoran udara. Namun mediastinitis atau gangguan infeksi mesti

dimasukkan dalam diferensial diagnosis bila terdapat gejala demam.

4. Nyeri tenggorokan

Dalam beberapa kasus pneumomediastinum timbul setelah trauma

orofaringeal yang relatif tidak berbahaya dan muncul sebagai mulut atau

tenggorokan yang nyeri. Dalam satu studi yang mengevaluasi manifestasi

kepala dan leher pada pneumomediastinum spontan, gejala awal utama

adalah leher bengkak, nyeri leher, dan odynophagia.

5. Gejala-gejala lain

Nyeri rahang, disfagia, dan leher bengkak telah dilaporkan dalam

hubungannya dengan pneumomediastinum spontan.

H. PEMERIKSAAN FISIK

1. Udara subkutan
Tanda paling sering dilihat pada pneumomediastinum adalah emfisema

subkutan. Meskipun bukan tanda patognomik dari pneumomediastinum, adanya

krepitasi subkutan bias menunjukkan keberadaan udara bebas dalam rongga

thorax.

2. Hamman’s Sign

Tanda Hamman merupakan tanda patognomik dari pneumomediastinum

spontan, terdiri dari Precardial Systolic Krepitasi dan melemahnya bunyi

jantung. Hamman’s sign ini menimbulkan bunyi “klik” (oleh karena adanya

krepitasi) yang sinkron dengan denyut jantung, dan akan lebih jelasdidengarkan

pada posisi lateral dekubitus lateral kiri.

3. Pneumothorax penyerta 

Adanya pneumothorax harus dicurigai pada individu dengan gangguan

pernapasan, asimetri suara nafas, dan hipoksemia. 

4. Saturasi oksigen

Pemeriksaan pulse oximetry semestinya dilakukan pada semua anak yang diduga

pneumomediastinum. Dalam sebuah studi pada serangkaian anak-anak dengan

asma akut yang datang ke unit gawat darurat, didapatkan bahwa anak dengan

pneumomediastinum memiliki perbedaan yang signifikan dalam saturasi

oksihemoglobin (90% vs 94%) dari mereka yang tidak pneumomediastinum.

I. DIAGNOSIS

Pada pemeriksaan radiologi pada foto thorax dapat menunjukkan adanya

gambaran udara yang mengisi struktur mediastinal. Pada X-ray atau CT-Scan Dada
dapat digunakan untuk pneumoperikardium dan pneumomediastinum. Pada

pneumomediastinum di dapatkan gambaran berupa spinnaker sail sign, ring around

the artery sign, tubular artery sign, continuous diaphragma sign, extrapleural sign,

double bronchial wall sign dan naclerio’s V sign.

a. Spinnaker sail sign

Tanda Spinnaker-Sail dapat dilihat pada foto polos frontal dada dan merupakan

karakteristik pneumomediastinum pada neonatus. Kedua lobus timus terangkat

dan bergeser ke lateral karena udara di mediastinum.

(Radiografi polos frontal dada, menunjukkan Spinnaker-Sail Sign. Kedua lobus timus diangkat dan
dipindahkan ke mediastinum atas, menciptakan opasitas berbentuk baji. Ini menyerupai layar Spinnaker.
Pneumotoraks dapat dilihat di apeks paru kiri.)

b. Ring Around The Artery Sign

Ring around the artery sign adalah gambaran udara yang mengelilingi arteri

pulmonalis atau salah satu dari cabang utamanya, yang menghasilkan gambaran

menyerupai cincin lusen di sekeliling arteri pulmonalis, terutama pada saat udara

mengelilingi segmen intramediastinal dari arteri pulmonalis kanan.


(Lateral CXR, menunjukkan udara di sekeliling arteri pulmoner kanan. Tampak juga udara bebas
berada di anterior pericardium (pneumoprecardium).)

c. Tubular Artery Sign

Tubular artery sign adalah adanya udara yang berdekatan dengan cabang utama

dari aorta dan mengambarkan kedua sisi pembuluh darah. Udara pada

mediastinum akan membentuk outline pada lateral arteri utama pulmo dan arkus

aorta, dimana pleural line ini dibentuk dari kedua pleura parietal mediastinum

dan pleura visceral.

(Foto toraks AP menunjukkan udara disepanjang permukaan dalam pleura mediastinal, yang
menunjukkan aortic knob, batas kiri jantung (panah hitam) dan Vena cava superior (kepala panah hitam).
Tampak udara mengelilingi pembuluh darah brachiocephalica membentuk gambaran tubular vessel sign.)
d. Continuous Diaphragma Sign

Continuous diaphragma sign adalah adanya udara pada mediastinum yang

membentuk batas pada permukaan superior diafragma dan tampak memisahkan

diafragma dari jantung.

(Pada proyeksi lateral didapatkan adanya continuous diaphragm sign.)

e. Extrapleural Sign

Extrapleural sign adalah adanya udara pada mediastinum yang menyebabkan

area lusensi pada daerah diluar pleura, biasanya pada tepi lateral aorta

descenden.
(Pada proyeksi AP terlihat area lusensi linier paralel dari aorta desenden yang memperlihatkan adanya
udara pada mediastinum. (panah hitam). Udara tersebut kemungkinan berada pada ligamen pulmo. Disini
juga terlihat adanya udara pada pleura kiri (panah putih))

f. Double Bronchial Wall Sign

Double Bronchial Wall Sign adalah adanya udara pada medistinum di daerah

sekitar bronkus, sehingga memperjelas dan menegaskan kedua sisi dari bronkus.

(Pada foto AP terlihat adanya udara di mediastinum dan main bronkus kiri, yang tervisualisasi
dengan terlihatnya kedua sisi dari dinding bronkus.)

g. Naclerio’s V sign

Naclerio’s V sign dapat terlihat pada foto toraks frontal membentuk gambaran

lusensi udara berbentuk huruf 'V' di daerah kiri bawah mediastinum. Tanda ini

dibentuk oleh udara di mediastinum yang memberi batas batas lateral kiri bawah
mediastinum dan dibentuk oleh udara yang ada di pleura paietal dan bagian

medial hemidiafragma kiri. Biasanya tanda ini terdapat pada kasus ruptur

esofagus, dimana udara masuk ke mediastinum dari esofagus yang pecah.

(Gambar CXR menunjukkan pneumomediastinum membentuk gambaran Naclerio’s V sign (panah).


Menggunakan bahan kontras Iopamidol tampak jelas extra pasase kontras)

J. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. Pemeriksaan analisa gas darah

Gas darah arteri harus diperiksa pada pasien dengan distress respirasi- Gas darah

mungkin normal atau bahkan menimbulkan keadaanhipoksia atau hiperkarbia,

tergantung dari toleransi akut sistemrespiratorik.

2. Enzim jantung

Untuk menyingkirkan adanya infark miokard.

3. Elektrokardiografi

Pemeriksaan elektrokardiografi dilakukan untuk menyingkirkan infark

miokardial, perikarditis dan miokarditis. Namun penurunan tegangan, ST depresi

dan gelombang T non spesifik mungkin dapat munculmeski pada kasus tanpa

pneumoperikardium. (sumber caralon).

K. PENATALAKSANAAN
L. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding kelainan pneumomediastinum antara lain pneumotoraks dan

pneumoperikardium. Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas

dalam rongga pleura. Udara dalam rongga pleura akan menimbulkan penekanan

terhadap paru sehingga paru tidak dapat mengembang dengan maksimal.

Pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun traumatik. Pneumotoraks

spontan bersifat primer dan sekunder. Pneumotoraks traumatik dapat bersifat

iatrogenik dan non iatrogenik. Diagnosis pneumotoraks ditegakkan melalui

pemeriksaan foto toraks dengan menunjukkan batas luar pleura viseral dan paru

(disebut juga dengan garis pleura/pleural line) yang terpisah dari pleura parietal oleh

adanya lusensi udara tanpa adanya pembuluh darah pulmoner.

Pneumoperikardium kebanyakan disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tembus

dada dan barotrauma. Penyebab lainnya yang pernah dilaporkan antara lain akibat

tindakan prosedur invasif, fistula perikardial dan infeksi perikardial. Komplikasi

yang mungkin terjadi adalah tamponade kordis, yang bisa mengancam nyawa.

Mortalitas oleh sebab tamponade kordis kurang lebih 50% dari keseluruhan kasus.
M. KOMPLIKASI

Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat pneumomediastinumdiantaranya:

1. Tension pneumomediastinum

Meskipun jarang, tension pneumomediastinum dapat timbul, menyebabkan

kompresi pada vena- vena besar, menyebabkan venous return, yang dapat

mengakibatkan terjadinya hipotensi.

2. Mediastinitis
Pneumomediastinum disertai oleh muntah-muntah yang masif dan frekuen

dapat berhubungan dengan terjadinya sindrom Boerhaave yang dapat

beresiko berkembang menjadi mediastinitis.

N. PROGNOSIS

Meskipun pneumomediastinum berulang kadang terjadi. Namun,

pneumomediastinum hamper selalu tidak mengancam jiwa. Morbiditas atau

mortalitas pada pneumomediastinum terutama disebabkan oleh penyakit penyerta

atau pencetus.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Keseharan RI. 2015. Infodatin Tuberkulosis : Temukan Obati Sampai

Tuntas. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

2. Janan, M. 2019. Faktor-Faktor Risiko Yang Berhubungan dengan Peningkatan

Prevalensi Kejadian TB MDR di Kabupaten Brebes Tahun 2011-2017. Jurnal

Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI, Vol. 08, No. 02 Juni 2019.

3. Carolia, N., Mardhiyyah, A., 2016. Multi Drug Resistant Tuberculosis pada Pasien

Drop Out dan Tatalaksana OAT Lini Kedua. Majority. 5(2).

4. Saputri, I. N., Munthe, E. L. 2020. Tuberkulosis Resisten Ganda (TB-MDR) dan

Implementasi Upaya Pengendalian di Kabupaten Ketapang. Jurnal Respirologi

Indonesia. 40 (1) p-ISSN 0853-7704 e-ISSN 2620-3162.

5. Aini, Z.M., Rufia, N.M. 2019. Karakteristik Penderita Tuberculosis Multidrug

Resistant (TB MDR) di Sulawesi Tenggara Tahun 2014-2017. Fakultas Kedokteran

Universitas Halu Oleo. EISSN: 2443-0218 547 6(2): 547-557.

6. Siregar, M.I.T. 2015. Mekanisme Resistensi Isoniazid & Mutasi Gen KatG

Ser315Thr (G944C) Mycobacterium tuberculosis Sebagai Penyebab Tersering


Resistensi Isoniazid. Bagian Farmakologi & Terapi Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Jambi. JMJ 3(2):119-131.

7. Tamsil, T. A., Nawas, A., Sutoyo, D. K. 2014. Pengobatan Multidrugs Resistant

Tuberculosis (MDR-TB) dengan Paduan Jangka Pendek. J Respir Indo. 34(2).

8. Jang, J. G., Chung, J. H. 2020. Diagnosis and treatment of multidrug-resistant

tuberculosis. Yeungnam University Journal of Medicine. 37(4):277-285 eISSN

2384-0293.

9. Park, M., Satta, G., Kon, O. M. 2019. An update on multidrug-resistant

tuberculosis. Royal College of Physicians Clinical Medicine. 19(2) : 135–9.

10. Reviono., Kusnanto, P., Eko, V., Pakiding, H., Nurwidiasih1, D. 2014. Multidrug

Resistant Tuberculosis (MDR-TB): Tinjauan Epidemiologi dan Faktor Risiko Efek

Samping Obat Anti Tuberkulosis. MKB. 46(4).

11. Devi, A. U., Cahyo, K., Shaluhiyah, Z. 2019. Faktor-Faktor yang Berhubungan

dengan Perilaku Pasien TB-MDR dalam Pencegahan Penularan TB-MDR di

Wilayah Kerja Puskesmas Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 7(1)

ISSN: 2356-3346.

12. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016 Tentang

Penanggulangan Tuberkulosis.

13. Antonius. 2014. Tuberculosis Resisten Obat. Refarat. Fakultas Kedokteran

Universitas Kristen Krida Wacana.


14. Wulan, A. A., Kateri, N. B., Wahyuni, V., Natalia, C., Najibah, B. Y. 2012.

TB – MDR (Multi Drug Resistance). Refarat. Fakultas Kedokteran Universitas

Trisakti.

15. Rinanda,T. 2015. Kajian Molekuler Mekanisme Resistensi Mycobacterium

Tuberculosis. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala 15(3): 162-167.

16. Nofriyanda, dr. 2010. Analisis Molekuler Pada Proses Resistensi Mikobakterium

Tuberkulosis Terhadap Obat – Obat Anti Tuberkulosis. Bagian Pulmonologi dan

Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Unand Rs.Dr.M.Djamil. Padang.

17. Hariadi, S., Amin, M., Pradjoko, I., Winariani., Margono, B. P., Wibisono, M. J.,

dkk. 2013. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. Surabaya. Departemen Ilmu

Penyakit Paru FK Unair-RSUD. Dr. Soetomo.

18. Rumende, C.M. 2018. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Resistan Obat.

Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2018. Departemen Ilmu Penyakit

Dalam FKUI-RSCM.

19. Keputusan Menteri Kesehatan. 2019. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran

Tata Laksana Tuberkulosis. Jakarta. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai