Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR

01/PHPU-PRES/XVII/2019 TENTANG SENGKETA PILPRES 2019

DISUSUN OLEH :

Adeyansyah Chatami ( 02011181823030 )


Nurhaliza ( 02011381823282 )
Meirin Rizkisyah Tasase ( 02011381823378 )
M Rizki Aditya ( 02011381722456 )
Ivan Fadillah ( 02011381722308 )
Muhammad Irfan Senoadji ( 02011381722306 )
Muhammad Farid Al Rasyid ( 02011381722395 )

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
KATA PENGANTAR

Puji syukur Saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang selalu melimpahkan rahmat dan
kasih sayang-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Pendidikam Latihan kemahiran
Hukum ini dengan baik. Bersama dengan makalah ini pula Kami lampirkan Ketetapan
Mahkamah KONSTITUSI NOMOR 01/PHPU-PRES/XVII/2019

Dalam kesempatan ini, Kami megucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada


semua pihak yang memberikan dukungan dan bantuan secara moral maupun material dalam
proses penyelesaian Makalah ini.

Semoga Allah SWT memberi rahmat dan hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah
membantu Kami. Serta mohon maaf bila terdapat hal-hal yang kurang berkenan . semoga
kehadiran Makalah ini dapat memberikan sumbangsih yang maksimal bagi pendidikan dan
pengembangan generasi muda bangsa, serta bagi siapa saja yang mencintai dan menggeluti dunia
Pendidikan.
I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemilihan umum pada tahun 2019 merupakan pemilihan legislatif dengan pemilihan
presiden yang diadakan secara serentak. Hal ini dilakukan berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang pemilu serentak. Putusan tersebut merupakan
pengujian Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112
Undang-Undang No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Beberapa Pasal tersebut mengatur ketentuan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dan
Pemilihan Presiden yang dilaksanakan terpisah. Namun berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi, ketentuan beberapa Pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.Impilkasi dari pembatalan tersebut adalah
dilaksanakannya Pemilihan Umum serentak yang dimulai pada tahun 2019.

Munculnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut ditelusuri melalui penyelenggaraan


Pilpres tahun 2004 dan tahun 2009 yang dilakukan setelah pemilu Legislatif dimana dalam
pemilu tersebut ditemukan fakta politik bahwa untuk mendapatkan dukungan demi terpilih
sebagai Presiden dan dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan, jika terpilih calon
Presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar politik terlebih dahulu dengan
partai politik yang berakibat sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan dikemudian hari.
Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat sesaat daripada
bersifat jangka panjang, misalnya karena persamaan garis perjuangan partai politik jangka
panjang.
Oleh karena itu, Presiden pada faktanya sangat tergantung pada partai politik sehingga
dapat mereduksi posisi Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem
pemerintahan presidensial. Syarat minimal dari pemilihan umum adalah free dan fair. Indikator
tersebut digunakan untuk menilai apakah sistem pemilihan umum tersebut cocok bagi suatu
negara atau tidak. Indikator tersebut adalah akuntabilitas (accountability), keterwakilan
(representativeness), keadilan (fairness), persamaan hal tiap pemilih (equality), lokalitas,
reliabel, numerical.Pada hakekatnya, pemilihan umum adalah sarana bagi rakyat untuk
menjalankan kedaulatannya sesuai dengan azas yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945.

Dalam memastikan kelancaran proses pemilihan umum, hal yang harus diperkuat adalah
aturan dan perundang-undangan yang dapat memberikan perlindungan penuh kepada para
pemilih terhadap kekhawatiran, ketakutan, bahaya, penyimpangan, kecurangan, dan praktik-
praktik curang lain yang dapat terjadi baik sengaja ataupun tidak sengaja selama
penyelenggaraan pemilihan umum. Pemilihan umum harus dilaksanakan secara jujur, adil, dan
demokratis. Agar pemilihan umum dapat mencapai derajat tersebut maka diperlukan beberapa
syarat atau prakondisi yang mendukungnya. Syarat-syarat tersebut dipergunakan untuk
mendapatkan pemilihan umum yang berkualitas sehingga mendapatkan pejabat publik yang
legitimate.

Pemilihan umum di Indonesia pada mulanya memiliki tujuan untukmemilih anggota


DPR, baik ditingkat pusat maupun daerah (provinsi, kabupaten/kota). Namun setelah
amandemen ke-4 UUD 1945, pemilihan umum juga bertujuan untuk memilih presiden dan wakil
presiden yang selanjutnya dikenal sebagai pilpres. Pilpres pada awalnya dipilih oleh MPR,
kemudian dirubah menjadi sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Pilpres yang dilaksanakan
secara langsung pertama kali diadakan pada tahun 2004. Setelah adanya UU Nomor 22 Tahun
2007, pemilihan kepala daerah (pilkada) juga termasuk kedalam rangkaian demokrasi di
Indonesia.

BAB II
PERMASALAHAN
DUDUK PERKARA

Menimbang bahwa Pemohon di dalam permohonannya bertanggal 24 Mei 2019 yang diterima
di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada hari
Jumat, tanggal 24 Mei 2019 pukul 22.35 WIB sebagaimana Akta Pengajuan Permohonan
Pemohon Nomor 01/AP3- PRES/PAN.MK/2019 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi pada hari Selasa, tanggal 11 Juni 2019 pukul 12.30 WIB dengan Nomor 01/PHPU
PRES/XVII/2019 serta naskah yang diterima oleh Mahkamah pada tanggal 10 Juni 2019 pukul
16.59 WIB yang oleh Pemohon dianggap sebagai perbaikan permohonan, yang pada pokoknya
mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

II. ARGUMENTASI
1.1 Argumentasi Pertama
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 Tentang
Sengketa Pilpres 2019 dapat dilihat bahwa diduga oleh tim pasangan calon presiden dan
wakil presiden nomor urut kedua ada kecendrungan kecurangan-kecurangan yang
dilakukan oleh pihak-pihak dari tim pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor
urut pertama yang menjadi dasar untuk tim pasangan calon nomor urut kedua untuk
membawa kasus hukum yang dirasa tidak berlaku adil dalam pesta demokrasi kali ini
yang menyebabkan sengketa pemilihan umum di mahkamah konstitusi. Dalam hal ini,
Mahkamah Konstitusi diminta untuk menyelesaikan persoalan kasus sengketa pemilihan
umum tahun 2019 yang menjadi pesta demokrasi selama 5 tahun sekali. Tim pasangan
calon nomor urut kedua meminta agar Mahkamah Konstitusi juga berlaku adil dan
menjalankan wewenangnya berdasarkan sifat independen dan netral tidak memihak
mengingat bahwa kekuasaan Mahkamah Konstitusi sejajar dengan Pemerintahan
(Eksekutif) dan DPR, DPD, DPRD (Legislatif). Pasangan Calon Urut Kedua juga
melampirkan hal-hal yang menyebabkan indikasi ketidakadilan dan kecurangan-
kecurangan yang muncul dalam pemilihan umum yakni :
1. Adanya indikasi kecurangan (yakni tidak jujur, tidak lurus dan tidak adil) yang
dilakukan oleh tim pasangan calon urut nomor pertama yang berlawanan
dengan prinsip pemilu yang “jujur” dan “adil” sebagaimana yang diamanatkan
oleh pasal 22E ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945
2. Ketidaknetralan Aparatur Negara: Polisi dan Intelijen, salah satu buktinya yakni
Kapolsek di kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat yaitu
AKP Sulman Azis yang mengaku diperintahkan untuk menggalang dukungan
kepada Pasangan Calon Nomor Urut Pertama Joko Widodo- Ma’ruf Amin oleh
Kapolres Kabupaten Garut. Perintah serupa juga diberikan kepada Kapolsek
lainnya di wilayah Garut yang diancam akan dimutasi apabila Pasangan Calon
01 kalah di wilayah tersebut. Ada dugaan juga bahwa polisi melakukan
pendataan kekuatan dukungan Capres hingga ke desa dan tim buzzer dengan
membuat akun media sosial untuk mendukung pasangan calon nomor urut
pertama
3. Ketidaknetralan aparat intelijen yang mendukung pasangan calon nomor urut
pertama pemilihan umum
4. Diskriminasi Perlakuan dan Penyalahgunaan Penegakkan Hukum, yakni
pelanggaran dan hukuman yang hanya ditujukan kepada tim pasangan calon
nomor urut kedua dan bersifat tebang pilih sehingga mencederai keadilan yang
sesungguhnya yang berlandaskan pada Undang-Undang Dasar 1945 yang
banyaknya muncul kasus-kasus melakukan pose-pose khusus yang dilakukan
oleh pejabat negara yang seharusnya bersifat independen dan tidak memihak.
5. Penyalahgunaan Birokrasi dan BUMN,
6. Penyalahgunaan Anggaran Belanja Negara dan/Program Pemerintah
7. Penyalahgunaan Anggaran BUMN
8. Pembatasan Kebebasan Media dan Pers
Adapun juga kecurangan kuantitatif dalam Pilpres 2019 yakni :

1. Daftar Pemilih Tetap tidak masuk akal


2. Kekacauan Situng KPU dalam kaitannya dengan DPT terdiri banyaknya
kesalahan input data pada SITUNG yang mengakibatkan terjadinya
ketidaksesuaian data (informasi) dengan data yang terdapat pada C1 yang
dipindai KPU, Banyaknya kesalahan penjumlahan suara sah yang tidak sesuai
dengan jumlat DPT, banyaknya kesalahan data yang terdapat pada C1 yang
dipindai (sumber data yang dimiliki KPU awalnya sudah salah dan anomali
lainnya.
3. Sanksi diskualifikasi bagi kecurangan STM

Dalam hal ini, adanya indikasi ketidakadilan dan kecurangan-kecurangan yang


dilakukan oleh pasangan calon nomor urut pertama secara kualitatif dan kuantitatif ini,
pemohon yakni tim pasangan calon nomor urut kedua meminta tindakan dari Mahkamah
Konstitusi agar mengabulkan seluruh permintaan pemohon, membatalkan dan tidak
sahnya keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 987/PL.01.08-KPT/06/KPU/V/2019
tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Secara Nasional Dalam
Pemilihan Umum Tahun 2019 dan Berita Acara KPU RI Nomor 135/PL.01.8-
BA/06/KPU/V/2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara di Tingkat
Nasional dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2019; menyatakan Pasangan
Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut Pertama, H. Joko Widodo dan K.H
Ma’ruf Amin, MA, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran dan
kecurangan pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 secara Terstruktur,
Sistematis dan Masif, membatalkan dan mendiskualifikasi pasangan calon nomor urut
pertama, menetapkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut Kedua,
H. Prabowo Subianto dan H. Sandiaga Salahuddin Uno sebagai Presiden dan Wakil
Presiden terpilih periode tahun 2019-2024, memerintahkan termohon mengeluarkan surat
keputusan tentang penetapan H. Prabowo Subianto dan H. Sandiaga Salahuddin Uno
sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode tahun 2019-2024 atau
memerintahkan termohon untuk melaksanakan pemungutan suara ulang secara jujur dan
adil di seluruh wilayah di Indonesia, sebagaimana dengan diamanatkan dalam pasal 22E
ayat (1) UUD Negara RI tahun 1945
Negara Indonesia tentu merupakan negara Hukum yang telah dijelaskan di pasal 1
ayat 3 UUD NRI 1945, mengingat hal tersebut keputusan finalnya ada pada hakim
Mahkamah Konstitusi yang bersidang yakni dengan menimbang, memikirkan secara
matang, berdiskusi, sesuai dengan fakta dan menggunakan kewenangan, fungsi serta
tugasnya dengan seadil-adilnya dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku yang
berdasar pada pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Negara juga menjamin warga negaranya
mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum dan menjamin penghidupan yang
layak dan sama di Negara Indonesia.
Sengketa Pemilihan Umum pada tahun 2019 diatas merupakan salah satu kasus dari
kesekian banyaknya kasus yang pernah ada dan tercatat di negara Indonesia sebagai
catatan kelam yang terus-menerus terulang, tentu ini merupakan ancaman bagi keutuhan
stabilitas politik, dan keamanan di wilayah negara Indonesia yang menyebabkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai pelaksana fungsi negara,
kecenderungan-kecenderungan ini berakibatkan buruk bagi negara kedepannya
dikarenakan rakyat sudah tidak percaya lagi pada negara dan melakukan tindakan-
tindakan radikal dan ekstrim serta menginginkan sistem baru dan politik yang baru.
Untuk itu, negara haruslah membuat kebijakkan politik dan sistem yang sesuai dengan
ketentuan hukum dengan melakukan kaji ulang secara sistematis, praktis dan terpadu agar
dapat menciptakan produk hukum dan payung hukum yang dapat membentengi dan
mencegah terjadinya hal semacam kasus-kasus sengketa pemilu dan politik lainnya
dimasa mendatang. Dalam hal ini pemerintah juga bertanggung jawab atas adanya
indikasi kecurangan-kecurangan dan ketidakadilan ini, pemulihan stabilitas politik dan
melakukan kajian dan memperbaiki sistem pemilihan umum dan politik secara kualitatif
dan kuantitatif terhadap ketentuan-ketentuan yang mengatur undang-undang pemilu,
sistem pemilihan umum namun haruslah berpatokan kepada ketentuan dan cita-cita
negara sesungguhnya yang berprinsip demokrasi pancasila. Terciptanya negara yang
sesuai dengan cita-cita dan memiliki kekuatan hukum yang sesuai dengan ketentuan-
ketentuan hukum UUD NRI 1945 dapat membuat negara Indonesia menjadi lebih kuat
secara Internal dan Eksternal di mata dunia karena terciptanya stabilitas politik yang
stabil diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

1. Analisis yaitu penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang
sebenarnya (sebab, musabab, duduk perkara).

2. Putusan MK No. 01/PHPU-PRES/XVII/2019 adalah putusan Mahkamah Konstitusi


tentang sengketa hasil pemilihan umum Pilpres 2019 yang menyatakan menolak
permohonan dari pemohon karena dalil dari pemohon dianggap tidak beralasan menurut
hukum.
3. Sengketa Pilpres 2019 adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal
dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat
menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.

BAB III
KESIMPULAN

Menimbang bahwa Pemohon di dalam permohonannya bertanggal 24 Mei 2019


yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan
Mahkamah) pada hari Jumat, tanggal 24 Mei 2019 pukul 22.35 WIB sebagaimana Akta
Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 01/AP3- PRES/PAN.MK/2019 dan dicatat
dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada hari Selasa, tanggal 11 Juni 2019 pukul
12.30 WIB dengan Nomor 01/PHPU PRES/XVII/2019

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 Tentang


Sengketa Pilpres 2019 dapat dilihat bahwa diduga oleh tim pasangan calon presiden dan
wakil presiden nomor urut kedua ada kecendrungan kecurangan-kecurangan yang
dilakukan oleh pihak-pihak dari tim pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor
urut pertama yang menjadi dasar untuk tim pasangan calon nomor urut kedua untuk
membawa kasus hukum yang dirasa tidak berlaku adil dalam pesta demokrasi

Dalam hal ini, adanya indikasi ketidakadilan dan kecurangan-kecurangan yang


dilakukan oleh pasangan calon nomor urut pertama secara kualitatif dan kuantitatif ini,
pemohon yakni tim pasangan calon nomor urut kedua meminta tindakan dari Mahkamah
Konstitusi agar mengabulkan seluruh permintaan pemohon, membatalkan dan tidak
sahnya keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 987/PL.01.08-KPT/06/KPU/V/2019
tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,

Negara Indonesia tentu merupakan negara Hukum yang telah dijelaskan di pasal 1
ayat 3 UUD NRI 1945, mengingat hal tersebut keputusan finalnya ada pada hakim
Mahkamah Konstitusi yang bersidang yakni dengan menimbang, memikirkan secara
matang, berdiskusi, sesuai dengan fakta dan menggunakan kewenangan, fungsi serta
tugasnya dengan seadil-adilnya dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku yang
berdasar pada pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Negara juga menjamin warga negaranya
mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum dan menjamin penghidupan yang
layak dan sama di Negara Indonesia.

Putusan MK No. 01/PHPU-PRES/XVII/2019 adalah putusan Mahkamah


Konstitusi tentang sengketa hasil pemilihan umum Pilpres 2019 yang menyatakan
menolak permohonan dari pemohon karena dalil dari pemohon dianggap tidak beralasan
menurut hukum.

Anda mungkin juga menyukai