Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

KLIEN DENGAN SNAKE BITE (GIGITAN ULAR)

Disusun Oleh :

Sandi Nugraha

P.27220010078

JURUSAN DIII KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURAKARTA


2012

Konsep Dasar

A. Pengertian

Bisa ular adalah kumpulan dari terutama protein yang mempunyai efek

fisiologik yang luas atau bervariasi. Yang mempengaruhi sistem multiorgan,

terutama neurologik, kardiovaskuler sistem pernapasan. (Suzanne Smaltzer dan

Brenda G. Bare, 2008: 2490)

Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa. Racun

binatang adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang berbeda yang

dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada manusia. Sebagian

kecil racun bersifat spesifik terhadap suatu organ,  beberapa mempunyai efek pada

hampir setiap organ. Kadang-kadang pasien dapat membebaskan beberapa zat

farmakologis yang dapat meningkatkan keparahan racun yang bersangkutan.

Komposisi racun tergantung dari bagaimana binatang menggunakan toksinnya.

Racun mulut bersifat ofensif yang bertujuan melumpuhkan mangsanya, sering kali

mengandung faktor letal. Racun ekor bersifat defensive dan bertujuan mengusir

predator, racun bersifat kurang toksik dan merusak lebih sedikit jaringan. (Retno

Aldo. 2010. Askep Gigitan Ular, (Online),

Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan

mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut

merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus.

Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah

parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular
tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran

kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik. (Ifan. 2010.

Penatalaksanaan Keracunan Akibat Gigitan Ular Berbisa, (Online)

B. Etiologi

Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae, Hidrophidae, dan

Viperidae. Bisa ular dapat menyebabkan perubahan lokal, seperti edema dan

pendarahan. Banyak bisa yang menimbulkan perubahan lokal, tetapi tetap dilokasi

pada anggota badan yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae tidak

terdapat lagi dilokasi gigitan dalam waktu 8 jam.

Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada beberapa macam :

1. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic)

Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang

dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan

menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel darah

menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan keluar menembus pembuluh-

pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput tipis

(lender) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.

2. Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)

Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf

sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati

dengan tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam

(nekrotis). Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf

pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernafasan
dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh

limfe.

3. Bisa ular yang bersifat Myotoksin

Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering berhubungan dengan maemotoksin.

Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat

kerusakan sel-sel otot.

4. Bisa ular yang bersifat kardiotoksin

Merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.

5. Bisa ular yang bersifat cytotoksin

Dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat

terganggunya kardiovaskuler.

6. Bisa ular yang bersifat cytolitik

Zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada

tempat gigitan.

7. Enzim-enzim

Termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa.

(Deddyrin. 2009. Intoxicasi. (Online), http : // deddyrn. blogspot.

Com/2009/09/intoxicasi.html, diakses 18 Juni 2012).

C. Patofisiologi

Bisa ular diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah

mata. Bisa ular dikeluarkan dari lubang pada gigi-gigi taring yang terdapat di
rahang atas. Gigi taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake (ular

derik) yang besar. Dosis bisa setiap gigitan tergantung pada waktu yang berlalu

sejak gigitan terakhir, derajat ancaman yang dirasakan ular, dan ukuran mangsa.

Lubang hidung ular merespon panas yang dikeluarkan mangsa, yang

memungkinkan ular untuk mengubah-ubah jumlah bisa yang akan dikeluarkan.

Ular koral memiliki mulut yang lebih kecil dan gigi taring yang lebih

pendek. Hal ini menyebabkan mereka memiliki lebih sedikit kesempatan untuk

menyuntikan bisa dibanding dengan jenis crotalid, dan mereka menggigit lebih

dekat dan lebih mirip mengunyah daripada menyerang seperti dikenal pada ular

jenis viper. Semua metode injeksi venom ke dalam korban (envenomasi) adalah

untuk mengimobilisasi secara cepat dan mulai mencernanya. Sebagian besar bisa

terdiri dari air. Protein enzimatik pada bisa menginformasikan kekuatan

destruktifnya.

Bisa ular terdiri dari bermacam polipeptida yaitu fosfolipase A,

hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease,

fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi

jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis, atau

pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Protease, kolagenase, dan

arginin ester hydrolase telah diidentifikasi pada bisa ular viper. Neurotoxin

merupakan mayoritas bisa pada ular koral. Detail spesifik diketahui beberapa

enzim seperti berikut ini:

1. Hyaluronidase memungkinkan bisa dapat cepat menyebar melalui jaringan

subkutan dengan merusak mukopolisakarida;


2. Phospholipase A2 memainkan peranan penting pada hemolisis sekunder dari

efek esterolitik pada membran eritrosit dan menyebabkan nekrosis otot; dan

3. Enzim trombogenik menyebabkan terbentuknya bekuan fibrin yang lemah,

dimana, pada waktunya mengaktivasi plasmin dan menyebabkan koagulopati

konsumtif dan konsekuensi hemoragiknya.

Konsentrasi enzim bervariasi di antara spesies, karena itu

menyebabkan perbedaan envenomasi. Gigitan copperhead secara umum terbatas

pada destruksi jaringan lokal. Rattlesnake dapat menyisakan luka yang hebat dan

menyebabkan toksisitas sistemik. Ular koral mungkin meninggalkan luka kecil

yang kemudian dapat muncul kegagalan bernafas dengan tipe blokade

neuromuscular sistemik.

Efek lokal dari bisa berfungsi sebagai pengingat akan potensi

kerusakan sistemik dari fungsi system organ. Salah satu efek adalah perdarahan;

koagulopati bukanlah hal yang aneh pada envenomasi yang hebat. Efek lain,

edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan interstisial di paru.

Mekanisme pulmonal dapat terpengaruh secara signifikan. Efek terakhir, kematian

sel lokal, meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap perubahan

status volume dan membutuhkan peningkatan ventilasi per menit. Efek-efek

blokade neuromuskuler berakibat pada lemahnya ekskursi diafragmatik. Gagal

jantung merupakan akibat dari hipotensi dan asidosis. Myonekrosis meningkatkan

kejadian kerusakan adrenal myoglobinuria.


D. Manifestasi Klinis

Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada semua

gigitan ular. Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (kulit

kegelapan karena darah yang terperangkap di jaringan bawah kulit).

Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular

berbisa, yaitu terjadi oedem (pembengkakan) pada tungkai ditandai dengan 5P:

pain (nyeri), pallor (muka pucat), paresthesia (mati rasa), paralysis (kelumpuhan

otot), pulselesness (denyutan).

Tanda dan gejala lain gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa

kategori:

1. Efek lokal, digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra menimbulkan

rasa sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat membengkak hebat

dan dapat berdarah dan melepuh. Beberapa bisa ular kobra juga dapat

mematikan jaringan sekitar sisi gigitan luka.

2. Perdarahan, gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat

menyebabkan perdarahan organ internal, seperti otak atau organ-organ

abdomen. Korban dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari

mulut atau luka yang lama. Perdarahan yang tak terkontrol dapat

menyebabkan syok atau bahkan kematian.

3. Efek sistem saraf, bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung pada

sistem saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara cepat

menghentikan otot-otot pernafasan, berakibat kematian sebelum mendapat


perawatan. Awalnya, korban dapat menderita masalah visual, kesulitan bicara

dan bernafas, dan kesemutan.

4. Kematian otot, bisa dari russell’s viper (Daboia russelli), ular laut, dan

beberapa elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot

di beberapa area tubuh. Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat

ginjal, yang mencoba menyaring protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal

ginjal.

5. Mata, semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata

korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara pada

mata.

(Deddyrin. 2009. Intoxicasi. (Online)

E. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium dasar, pemeriksaaan kimia darah, hitung sel

darah lengkap, penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protrombin, waktu

tromboplastin parsial, hitung trombosit, urinalisis, penentuan kadar gula darah,

BUN dan elektrolit. Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen,

fragilitas sel darah merah, waktu pembekuan dan waktu retraksi bekuan. (Retno

Aldo. 2010. Askep Gigitan Ular, (Online)

F. Penatalaksanaan

1. Prinsip penanganan pada korban gigitan ular:

a. Menghalangi penyerapan dan penyebaran bisa ular.


b. Menetralkan bisa.

c. Mengobati komplikasi.

2. Pertolongan pertama :

Pertolongan pertama, pastikan daerah sekitar aman dan ular telah pergi segera

cari pertolongan medis jangan tinggalkan korban. Selanjutnya lakukan prinsip

RIGT, yaitu:

R (Reassure) : Yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan korban,

kepanikan akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga

racun akan lebih cepat menyebar ke tubuh. Terkadang pasien

pingsan/panik karena kaget.

I (Immobilisation): Jangan menggerakan korban, perintahkan korban untuk

tidak berjalan atau lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan

medis tidak datang, lakukan tehnik balut tekan (pressure-

immoblisation) pada daerah sekitar gigitan (tangan atau kaki)

lihat prosedur pressure immobilization (balut tekan).

G (Get) : Bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin.

T (Tell the Doctor) : Informasikan ke dokter tanda dan gejala yang muncul 

ada korban.

3. Prosedur Pressure Immobilization (balut tekan):

a. Balut tekan pada kaki:

1) Istirahatkan (immobilisasikan) Korban.


2) Keringkan sekitar luka gigitan.

3) Gunakan pembalut elastis.

4) Jaga luka lebih rendah dari jantung.

5) Sesegera mungkin, lakukan pembalutan dari bawah pangkal jari kaki

naik ke atas.

6) Biarkan jari kaki jangan dibalut.

7) Jangan melepas celana atau baju korban.

8) Balut dengan cara melingkar cukup kencang namun jangan sampai

menghambat aliran darah (dapat dilihat dengan warna jari kaki yang

tetap pink).

9) Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki.

b. Balut tekan pada tangan:

1) Balut dari telapak tangan naik keatas. ( jari tangan tidak dibalut).

2) Balut siku & lengan dengan posisi ditekuk 90 derajat.

3) Lanjutkan balutan ke lengan sampai pangkal lengan.

4) Pasang papan sebagai fiksasi.

5) Gunakan mitela untuk menggendong tangan.

4. Penatalaksanaan selanjutnya:

a. Insisi luka pada 1 jam pertama setelah digigit akan mengurangi toksin

50%.

b. IVFD RL 16-20 tpm.


c. Penisillin Prokain (PP) 1 juta unit pagi dan sore.

d. ATS profilaksis 1500 iu.

e. ABU 2 flacon dalam NaCl diberikan per drip dalam waktu 30 – 40 menit.

f. Heparin 20.000 unit per 24 jam.

g. Monitor diathese hemorhagi setelah 2 jam, bila tidak membaik, tambah 2

flacon ABU lagi. ABU maksimal diberikan 300 cc (1 flacon = 10 cc).

h. Bila ada tanda-tanda laryngospasme, bronchospasme, urtikaria atau

hipotensi berikan adrenalin 0,5 mg IM, hidrokortisone 100 mg IV.

i. Kalau perlu dilakukan hemodialise.

j. Bila diathese hemorhagi membaik, transfusi komponen.

k. Observasi pasien minimal 1 x 24 jam

5. Pemberian ABU

Tabel 2.2 Pemberian ABU sesuai derajat parrish

Derajat Parrish Pemberian ABU


0-1 Tidak perlu
2 5-20 cc (1-2 ampul)
3-4 40-100 cc (4-10 ampul)

Tabel 2.3 Klasifikasi derajat parrish

Derajat
Ciri
Parrish
0 1.    Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam pasca gigitan.
2.    Pembengkakan minimal, diameter 1 cm
I 1.    Bekas gigitan 2 taring
2.    Bengkak dengan diameter 1-5 cm.
3.    Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam
II 1.    Sama dengan derajat I
2.    Petechie, echimosis
3.    Nyeri hebat dalam 12 jam
III 1.    Sama dengan derajat I dan II
2.    Syok dan distress napas, echimosis seluruh tubuh
IV Sangat cepat memburuk.

Catatan: Jika terjadi syok anafilaktik karena ABU, ABU harus dimasukkan

secara cepat sambil diberi adrenalin.

(Masmamad. 2009. Penatalaksanaan Gigitan Ular, (Online)


Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian

Pengkajian keperawatan Marilynn E. Doenges (2000: 871-873),  dasar data

pengkajian pasien, yaitu:

1. Aktivitas dan Istirahat

Gejala: Malaise.

2. Sirkulasi

Tanda: Tekanan darah normal/sedikit di bawah jangkauan normal (selama

hasil curah jantung tetap meningkat). Denyut perifer kuat, cepat, (perifer

hiperdinamik), lemah/lembut/mudah hilang, takikardi, ekstrem (syok).

3. Integritas Ego

Gejala: Perubahan status kesehatan.

Tanda: Reaksi emosi yang kuat, ansietas, menangis, ketergantungan,

menyangkal, menarik diri.

4. Eliminasi

Gejala: Diare.

5. Makanan/cairan

Gejala: Anoreksia, mual/muntah.

Tanda: Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa otot

(malnutrisi).

6. Neorosensori

Gejala: Sakit kepala, pusing, pingsan.


Tanda: Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma.

7. Nyeri/Kenyamanan

Gejala: Kejang abdominal, lokalisasi rasa nyeri, urtikaria/pruritus umum.

8. Pernapasan

Tanda: Takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan.

Gejala: Suhu umunya meningkat (37,95oC atau lebih) tetapi mungkin normal,

kadang subnormal (dibawah 36,63oC), menggigil. Luka yang sulit/lama

sembuh.

9. Integumen

Tanda: Daerah gigitan bengkak, kemerahan, memar, kulit teraba hangat.

B. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan

sepsis. Maka rencana keperawatan menurut Marilynn E. Doenges (2000), yaitu:

1. Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.

Gangguan Jalan napas tidak efektif adalah ketidakmampuan dalam

membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran pernapasan untuk menjaga

dari gangguan jalan napas. (Nanda, 2009 : 4).

2. Nyeri akut berhubungan dengan luka bakar kimia pada mukosa gaster, rongga

oral, respon fisik, proses infeksi.

misalnya gambaran nyeri, berhati-hati dengan abdomen, postur tubuh kaku,

wajah mengkerut, perubahan tanda vital.


Nyeri akut adalah. Keadaan ketika individu mengalami dan melaporkan

adanya sensasi tidak nyaman yang parah, yang berlangsung satu detik sampai

kurang dari 6 bulan. (Lynda Juall Carpenito, 2009: 209).

3. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,

dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus,

perubahan pada regulasi temperatur, proses infeksi.

Hipertermi adalah keadaan ketika individu mengalami atau berisiko

mengalami peningkatan suhu tubuh yang terus menerus lebih tinggi dari

37,8oC secara oral dan 38,8oC secara rectal yang disebabkan oleh berbagai

faktor eksternal. (Lynda Jual Carpenito, 2009: 152).

4. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah

sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau

kecacatan.

Ketakutan/ansietas adalah keadaan dimana seorang individu/kelompok

mengalami suatu perasaan gangguan fisiologis/emosional yang berhubungan

dengan suatu sumber yang dapat diidentifikasi yang dirasakan sebagai

bahaya. (Lynda Juall Carpenito, 2009: 134).

5. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk

mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka.

Resiko infeksi adalah resiko untuk terinvasi oleh organisme pathogen.

(Nanda, 2009: 121).


C. Intervensi

Berdasarkan diagnosa keperawatan yang biasa muncul pada klien dengan infeksi

gigitan ular. Maka rencana keperawatan menurut Marilynn E. Doenges (2000).

1.  Diagnosa I

Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:

Menunjukkan bunyi napas jelas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal,

bebas dispnea/sianosis.

Intervensi:

a. Pertahankan jalan napas klien.

      Rasional: Meningkatkan ekspansi paru-paru.

b. Pantau frekuensi dan kedalaman pernapasan.

Rasional: Pernapasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres, dan

sirkulasi endotoksin.

c. Auskultasi bunyi napas.

Rasional: Kesulitan pernapasan dan munculnya bunyi adventisius

merupakan indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial, atelektasis.

d. Sering ubah posisi.

Rasional: Bersihan pulmonal yang baik sangat diperlukan untuk

mengurangi ketidakseimbangan ventelasi/perfusi.

e. Berikan O2 melalui cara yang tepat, misal masker wajah.

Rasional: O2 memperbaiki hipoksemia/asidosis. Pelembaban menurunkan

pengeringan saluran pernapasan dan menurunkan viskositas sputum.


2. Diagnosa II

Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:

Melaporkan nyeri berkurang/terkontrol, menunjukkan ekspresi wajah/postur

tubuh tubuh rileks, berpartisipasi dalam aktivitas dan tidur/istirahat dengan

tepat.

Intervensi:

a. Kaji tanda-tanda vital.

Rasional: Mengetahui keadaan umum klien, untuk menentukan intervensi

selanjutnya.

b. Kaji karakteristik nyeri.

Rasional: Dapat menentukan pengobatan nyeri yang pas dan mengetahui

penyebab nyeri.

c. Ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi.

Rasional: Membuat klien merasa nyaman dan tenang.

d. Pertahankan tirah baring selama terjadinya nyeri.

Rasional: Menurunkan spasme otot.

e. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.

Rasional: Memblok lintasan nyeri sehingga berkurang dan untuk

membantu penyembuhan luka.


3. Diagnosa III

Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,

dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan

pada regulasi temperatur, proses infeksi.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:

Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal (36-37,5oC), bebas dari

kedinginan.

Intervensi:

a. Pantau suhu klien.

Rasional: Suhu 38,9-41,1oC menunjukkan proses penyakit infeksi akut.

b. Pantau asupan dan haluaran serta berikan minuman yang disukai untuk

mempertahankan keseimbangan antara asupan dan haluaran.

Rasional: Memenuhi kebutuhan cairan klien dan membantu menurunkan

suhu tubuh.

c. Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahan linen tempat tidur sesuai

indikasi.

Rasional: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk

mempertahankan suhu mendekati normal.

d. Berikan mandi kompres hangat, hindari penggunaan alkohol.

Rasional: Dapat membantu mengurangi demam, karena alkohol dapat

membuat kulit kering.

e. Berikan selimut pendingin.

Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam.


f. Berikan Antiperitik sesuai program.

Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya

pada hipotalamus.

4. Diagnosa IV

Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah

sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau

kecacatan.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:

Menyatakan kesadaran perasaan dan menerimanya dengan cara yang sehat,

mengatakan ansietas/ketakutan menurun sampai tingkat dapat ditangani,

menunjukkan keterampilan pemecahan masalah dengan  penggunaan sumber

yang efektif.

Intervensi:

a. Berikan penjelasan dengan sering dan informasi tentang prosedur

perawatan.

Rasional: Pengetahuan apa yang diharapkan menurunkan ketakutan dan

ansietas, memperjelas kesalahan konsep dan meningkatkan kerja sama.

b. Tunjukkan keinginan untuk mendengar dan berbicara pada pasien bila

prosedur bebas dari nyeri.

Rasional: Membantu pasien/orang terdekat untuk mengetahui bahwa

dukungan tersedia dan bahwa pembrian asuhan tertarik pada orang

tersebut tidak hanya merawat luka.


c. Kaji status mental, termasuk suasana hati/afek.

Rasional: Pada awal, pasien dapat menggunakan penyangkalan dan represi

untuk menurunkan dan menyaring informasi keseluruhan. Beberapa pasien

menunjukkan tenang dan status mental waspada, menunjukkan disosiasi

kenyataan, yang juga merupakan mekanisme perlindungan.

d. Dorong pasien untuk bicara tentang luka setiap hari.

Rasional: Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus menerus untuk

membuat beberapa rasa terhadap situasi apa yang menakutkan.

e. Jelaskan pada pasien apa yang terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya

dan berikan jawaban terbuka/jujur.

Rasional: Pernyataan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang dapat

membantu pasien/orang terdekat menerima realitas dan mulai menerima

apa yang terjadi.

5.  Diagnosa V

Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk

mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:

Mencapai penyembuhan luka tepat waktu bebas eksudat purulen dan tidak

demam.

Intervensi:

a. Kaji tanda-tanda infeksi.

Rasional: Sebagai diteksi dini terjadinya infeksi.


b. Lakukan tindakan keperawatan secara aseptik dan anti septik.

Rasional: Mencegah kontaminasi silang dan mencegah terpajan pada

organisme infeksius.

c. Ingatkan klien untuk tidak memegang luka dan membasahi daerah luka.

Rasional: Mencegah kontaminasi luka.

d. Ajarkan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien.

Rasional: Mencegah kontaminasi silang, menurunkan resiko infeksi.

e. Periksa luka setiap hari, perhatikan/catat perubahan penampilan, bau luka.

Rasional: Mengidentifikasi adanya penyembuhan (granulasi jaringan) dan

memberikan deteksi dini infeksi luka.

f. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.

Rasional: Untuk menghindari pemajanan kuman.


DAFTAR PUSTAKA

Suzanne Smaltzer dan Brenda G. Bare, 2008: 2490).

Retno Aldo. 2010. Askep Gigita Ular http://retnoaldo.blogspot.com/2010/10/askep-

gigitan-ular. html, (diakses 18 Juni 2012).

Ifan. 2010. Penatalaksanaan Keracunan Akibat Gigitan Ular Berbisa, ( http://ifan.

050285. wordpress. com/2010/03/24/penatalaksanaan - keracunan -

akibat - gigitan-ular-berbisa, (diakses 18 Juni 2012).

Deddyrin. 2009. Intoxicasi., http : // deddyrn. blogspot. Com/2009/09/ intoxicasi.

html, (diakses 18 Juni 2012).

Masmamad. 2009. Penatalaksanaan Gigitan Ular, http://masmamad.blogspot.com /

2009/09/penatalaksanaan-gigitan-ular-snake-bite.html (diakses 18 Juni

2012).

Marilynn E. Doenges (2000: 871-873)

Anda mungkin juga menyukai